Brrr… brrr… brrr…
Getaran itu menusuk telingaku, memaksa kesadaranku kembali dari tidur yang tak benar-benar lelap. Kelopak mataku berat, kepala terasa berdenyut, dan setiap sendi tubuhku seperti dipukul berulang kali. Rasa sakit merayap dari bahu hingga ke pinggang, mengingatkan malam panjang yang baru saja kulewati. Aku menggeliat sedikit, merintih pelan, tapi yang kudapat hanya rasa perih yang membuatku mengerutkan wajah.
Suara bergetar itu belum berhenti. Ritmenya konstan, menyebalkan, datang dari arah nakas di samping ranjang. Perlahan, dengan tenaga yang tersisa, aku melirik sisi tempat tidur. Kosong. Rafael sudah tidak ada. Hanya sprei kusut, aroma maskulinnya yang masih tertinggal, dan keheningan yang terasa menyesakkan.
Aku menarik napas panjang, menutup mata sejenak, berharap getaran itu berhenti sendiri. Tapi tidak. Getaran itu semakin lama semakin memaksa, seolah sengaja mengusik sisa-sisa tenang yang kupunya. Dengan desahan letih, aku memaksa tubuhku bangkit, menyibakkan selimut dengan gerakan pelan agar rasa sakit di tubuhku tak terlalu menyiksa. Kakiku menjejak lantai dingin, lutut bergetar, seakan tubuh ini menolak untuk bergerak lebih jauh.
Tangan gemetar meraih nakas, membuka laci yang menjadi sumber getaran itu. Sebuah ponsel hitam mengkilap tergeletak di sana, elegan dan mahal, tapi jelas bukan milikku. Dan aku tahu, ini juga bukan ponsel yang biasa Rafael gunakan—ponselnya berwarna perak, selalu ia simpan di saku celana atau meja kerja. Jantungku berdegup tak nyaman. Lalu siapa pemilik ponsel ini? Kenapa ada di sini… di kamar kami?
Getaran berhenti tepat ketika aku menyentuhnya. Layar menyala, menunjukkan notifikasi email masuk. Satu baris subjek yang membuatku membeku: [File Baru: Rekaman Malam yang begitu panas.] .
Aku menatap layar itu lama, tubuhku menegang, otak menolak memahami kata-kata yang terpampang. Jari-jariku bergetar saat menyentuh layar, membuka email tersebut. Sebuah tautan video ada di sana, dan tanpa sempat berpikir panjang, aku menekannya.
Layar menampilkan rekaman gelap dengan suara samar yang langsung membuat napasku tercekat. Suara itu… adalah aku. Desahan tertahan bercampur tangisan kecil, rintihan memohon, terdengar jelas meski bergema. Lalu suara Rafael, serak, rendah, penuh desakan, memenuhi ruangan seperti belenggu yang kembali melilit leherku.
“Keira… lihat aku… kau milikku malam ini…”
Tubuhku kaku, darahku seperti membeku. Adegan itu semakin jelas, gambar samar tapi cukup untuk membuat isi perutku berputar. Itu… semalam. Malam yang ingin kulupakan, malam yang bahkan dalam tidurku masih membekas seperti luka baru, kini terekam dan dikirim entah oleh siapa. Video itu terus berjalan, menampilkan setiap detik kebisuan yang kupaksa, setiap isak yang kutahan, setiap sentuhan yang tak kuinginkan… semua terekspos seakan dunia menonton dari balik layar kecil ini.
Aku menjatuhkan ponsel itu di atas nakas, napasku memburu panik. Jantungku memukul keras, keringat dingin membasahi pelipis meski udara pagi masih sejuk. Siapa yang merekam ini? Siapa yang berani masuk kamar kami? Dan… untuk apa? Ancaman? Permainan kotor Rafael? Atau… sesuatu yang lebih gelap?
Aku menatap sekeliling kamar dengan mata liar, tubuhku bergetar hebat. Pandanganku naik ke sudut ruangan, ke titik yang semalam sempat kulihat berkedip merah. Kamera. Jadi aku tidak berhalusinasi. Ada kamera di sini, tersembunyi, merekam segalanya. Bahkan malam yang mestinya menjadi rahasia tergelapku.
Tanganku menutup mulut, menahan suara yang nyaris pecah. Aku ingin menjerit, ingin memecahkan ponsel itu, ingin berlari keluar rumah ini dan tidak kembali. Tapi tubuhku lemah, lututku nyaris tak sanggup menopang beban ketakutan yang kian menumpuk.
Getaran ponsel kembali berbunyi, membuatku tersentak. Dan kembali meraihnya. Sebuah pesan masuk, kali ini singkat dan menusuk:
“Nikmati hidup barumu, Nyonya Ardian. Semua mata tertuju padamu.”
Aku membeku, menggenggam sisi ranjang agar tidak terjatuh. Suara di kepalaku berputar, menyusun kemungkinan terburuk. Entah siapa yang mengirim pesan ini, tapi satu hal jelas: aku tidak aman di rumah ini. Tidak hanya dari Rafael… tapi dari mata-mata yang entah di mana, mengintai setiap detik kehidupanku.
Aku menatap pintu kamar, berharap Rafael muncul dan memberikan penjelasan… atau setidaknya membuatku tidak merasa sendirian. Tapi sepi. Hanya aku, ponsel asing yang kini seperti bom waktu, dan rasa takut yang menelan seluruh ruang.
Aku baru hendak beranjak ketika suara langkah berat terdengar di balik pintu. Detaknya lambat… tenang… tapi membawa rasa dingin yang merayap di sepanjang tulang punggungku. Pegangan di ponsel mengencang. Nafasku tertahan.
Pintu berderit terbuka. Sosok Rafael muncul, tegap, hanya mengenakan kemeja hitam yang lengannya digulung. Rambutnya sedikit berantakan, rahangnya tegas, dan mata gelapnya langsung mengunci pada diriku. Pada ponsel di tanganku.
Aku ingin menyembunyikannya, tapi tubuhku membeku di tempat.
Dia melangkah masuk pelan, setiap hentakan kakinya seperti gema yang memerangkapku lebih dalam. Saat ia berhenti hanya setengah meter dariku, napasnya hangat tapi dingin di telinga saat berbisik, rendah, berat, menusuk:
“Siapa yang memberimu izin membuka itu, sayang?”
Ponsel hampir terlepas dari tanganku. Aku mendongak, menatapnya, tapi kata-kata tercekat di kerongkongan. Mata Rafael menelusuri wajahku, kemudian turun ke ponsel, lalu kembali menatapku dengan kilatan yang tak bisa kubaca—antara bahaya dan… kepemilikan.
Senyum miringnya muncul perlahan, membuat perutku semakin mual. Tangannya yang besar terulur, menyentuh pipiku lembut—terlalu lembut untuk pria yang semalam menandai tubuhku dengan kerasnya. “Kau seharusnya tidur, Keira,” ucapnya, suaranya seperti beludru yang menyimpan duri. “Bukan… mengutak-atik barang yang bukan milikmu.”
Aku ingin bertanya, ingin berteriak apa maksud semua ini, tapi Rafael lebih dulu mengambil ponsel itu dari tanganku. Gerakannya santai, namun sorot matanya menajam, berbahaya, seakan aku baru saja melangkahi batas yang tak boleh kulanggar.
Lalu ia menunduk, bibirnya begitu dekat hingga napasnya membelai kulitku saat berbisik, lebih pelan, namun menghantam seperti badai:
“Kau tak seharusnya tahu tentang ini.”
Brrr… brrr… brrr…Getaran itu menusuk telingaku, memaksa kesadaranku kembali dari tidur yang tak benar-benar lelap. Kelopak mataku berat, kepala terasa berdenyut, dan setiap sendi tubuhku seperti dipukul berulang kali. Rasa sakit merayap dari bahu hingga ke pinggang, mengingatkan malam panjang yang baru saja kulewati. Aku menggeliat sedikit, merintih pelan, tapi yang kudapat hanya rasa perih yang membuatku mengerutkan wajah.Suara bergetar itu belum berhenti. Ritmenya konstan, menyebalkan, datang dari arah nakas di samping ranjang. Perlahan, dengan tenaga yang tersisa, aku melirik sisi tempat tidur. Kosong. Rafael sudah tidak ada. Hanya sprei kusut, aroma maskulinnya yang masih tertinggal, dan keheningan yang terasa menyesakkan.Aku menarik napas panjang, menutup mata sejenak, berharap getaran itu berhenti sendiri. Tapi tidak. Getaran itu semakin lama semakin memaksa, seolah sengaja mengusik sisa-sisa tenang yang kupunya. Dengan desahan letih, aku memaksa tubuhku bangkit, menyibakkan
Brak!Aku terhempas di atas kasur, tubuhku memantul di permukaan empuk yang terasa seperti perangkap. Nafasku tercekat, kedua tangan refleks meraih selimut untuk menutupi diri. Tapi Rafael sudah di atasku, menahan kedua pergelangan tanganku di sisi kepala, tubuhnya menindih tanpa memberi jarak.“Rafael… lepaskan…” suaraku pecah, campuran takut dan marah. Aku meronta, tapi kekuatannya tak tergoyahkan.Dia menatapku lama, tajam, lalu mendengus pendek, seakan kesabarannya habis. “Tidak ada lelaki waras yang bisa menahan diri dengan istri sepertimu di rumah,” gumamnya serak. Tangannya berpindah, menyentuh rahangku kasar, lalu turun menyusuri leher hingga berhenti di dada. “Putih… terlalu besar... lembut… sempurna.” Jemarinya menekan perlahan di sana, membuatku terperangah, pipi panas terbakar malu.“Jangan…,” bisikku terputus-putus, air mata menetes di pelipis.Dia hanya mengangkat sebelah alis, bibirnya tersenyum miring tapi matanya tetap gelap. “Kau tidak tahu betapa aku menahan ini sej
"Keira."Suaranya tajam. Dalam. Membekukan udara yang semula tenang.Aku mematung di balik semak, kaki yang baru saja hendak mundur terasa membatu. Perlahan, aku menoleh. Rafael berdiri tegak, pandangannya menusuk segelap malam, tepat ke arahku. Aku tak tahu bagaimana dia bisa melihatku di balik bayangan pohon itu, tapi sorot matanya... seakan aku tak punya tempat bersembunyi lagi."Kabur, hm?" Suara itu kembali menghantam, datar, dingin, tanpa nada marah—justru itu yang membuatku semakin takut.Bagaimana dia tahu rencanaku?Sebelum aku bisa bergerak, suara tawa kecil mengiris ketegangan itu.Wanita bergaun merah darah yang tadi memeluk Rafael kini berbalik, matanya menyapaku dari ujung kepala hingga kaki dengan tatapan menghina. Ia melangkah mendekat, hak tingginya mengetuk bebatuan dengan irama yang membuatku ingin mundur lebih jauh lagi."Jadi ini istrimu, Rafael?" katanya, senyumnya miring, menusuk. "Aku, Dinda. Mantan istri Rafael." Dia memperkenalkan diri dengan angkuh. Fakta ba
“Kamu selalu menolak setiap kali aku sentuh, tapi sepertinya tubuhmu berkata sebaliknya.”Langkahku langsung terhenti di anak tangga terakhir.Suara itu—dalam, dingin, dan menohok—datang dari ujung ruang makan. Suara Rafael. Ada bara yang ia sembunyikan di balik ketenangan itu. Mataku langsung menemuinya, duduk di kepala meja, satu tangan menopang dagu, dengan sorot yang membuat tengkukku panas.Tapi dia tidak menatap wajahku. Pandangannya jatuh tepat ke arah tubuhku.Aku langsung sadar kenapa.Gaun marun ketat ini terlalu menonjol. Mbok Narti yang menyodorkannya, katanya semua bajuku belum selesai dicuci. Aku tak sempat menolak. Tapi jelas, Rafael akan berpikir lain. Dan sekarang... aku merasa seperti sedang telanjang di hadapannya.Tanganku gemetar. Tapi aku berdiri diam di sana. Rahangku mengatup.Rafael bangkit perlahan. Langkahnya terdengar berat dan pasti, seperti dentang ancaman yang semakin mendekat. Aku ingin lari, tapi kakiku beku.Beberapa detik kemudian, dia sudah berdiri
"Kau milikku sekarang,” bisiknya pelan, sebelum ia menyentuh pipiku dengan jemari panjangnya yang dingin.Aku mematung.Ini bukan mimpi. Ini nyata.Aku… baru saja dinikahkan dengan Rafael Ardian, pria yang bahkan baru pertama kali ini aku lihat secara langsung.Nama itu sering disebut-sebut ayahku dengan nada hormat. Pengusaha sukses, dominan, dan terlalu tampan untuk dipercaya. Namanya sering berseliweran di berita, dan investor yang menyelamatkan bisnis kami—dengan syarat.Aku dijadikan syarat itu.Dan sekarang, kami berada di kamar pengantin. Hanya kami berdua.Kini, aku berdiri di kamar yang lebih besar dari rumahku sendiri.Gaun kebaya putihku masih melekat di tubuh. Tubuh yang kini terasa terlalu terbuka, terlalu rentan, terlalu… menggoda.Kutahu bentuk tubuhku tidak sederhana. Pinggangku ramping, bokongku bulat, dan dadaku… ya, sering jadi bahan lirikan sejak aku SMA. Tapi malam ini, aku ingin tubuh ini menghilang. Tertelan bumi. Disembunyikan dari tatapan pria yang kini berdir