Share

Malam menyakitkan (bab 4)

last update Last Updated: 2025-07-30 07:56:05

Brak!

Aku terhempas di atas kasur, tubuhku memantul di permukaan empuk yang terasa seperti perangkap. Nafasku tercekat, kedua tangan refleks meraih selimut untuk menutupi diri. Tapi Rafael sudah di atasku, menahan kedua pergelangan tanganku di sisi kepala, tubuhnya menindih tanpa memberi jarak.

“Rafael… lepaskan…” suaraku pecah, campuran takut dan marah. Aku meronta, tapi kekuatannya tak tergoyahkan.

Dia menatapku lama, tajam, lalu mendengus pendek, seakan kesabarannya habis. “Tidak ada lelaki waras yang bisa menahan diri dengan istri sepertimu di rumah,” gumamnya serak. Tangannya berpindah, menyentuh rahangku kasar, lalu turun menyusuri leher hingga berhenti di dada. “Putih… terlalu besar... lembut… sempurna.” Jemarinya menekan perlahan di sana, membuatku terperangah, pipi panas terbakar malu.

“Jangan…,” bisikku terputus-putus, air mata menetes di pelipis.

Dia hanya mengangkat sebelah alis, bibirnya tersenyum miring tapi matanya tetap gelap. “Kau tidak tahu betapa aku menahan ini sejak kemarin.”

Ia menunduk, ciumannya mendarat brutal di dada kiriku. Aku menoleh, mencoba menghindar, tapi tangannya di rahang memaksa wajahku kembali. Ciumannya tak memberi ruang untuk menolak, dalam, keras, seakan ia ingin menandai kepemilikan. Di sela ciuman, desahannya terdengar rendah, berat. “Kau milikku, Keira… hanya milikku.”

Aku menegang, kedua tangan berusaha mendorong dadanya, tapi kekuatannya seperti tembok. Jemarinya yang tadi menahan pergelangan tanganku kini merayap turun, mengelus sisi pinggang lalu naik kembali ke dadaku, berani dan tanpa ragu. Sentuhannya membuatku membeku ketakutan.

“Rafael… jangan… aku…” suaraku tersangkut, tercekat oleh isak.

Dia hanya menggeram pelan, tak menghentikan dirinya. “Berhenti bilang jangan kalau kau benar-benar istri sahku.” Bibirnya naik ke leherku, mengisap kulitku dengan panas yang membuatku menggigil ngeri.

Aku tak tahu harus fokus ke mana—sentuhan kasarnya yang membuat napasku putus-putus, atau rasa takut yang menusuk setiap inci kulitku saat Rafael makin mendekatkan tubuhnya ke tubuhku.

“Rafael… kumohon… jangan…” suaraku bergetar, hampir tak terdengar. Air mata mengalir di pelipis, membasahi sarung bantal.

Tapi Rafael hanya mendengus pelan, seakan permohonanku angin lalu. Jemarinya yang kasar merenggangkan genggaman di pergelangan tanganku, tapi bukan untuk melepaskanku—hanya memindahkan tangan besar itu ke pinggangku, menahan agar aku tak bisa bergerak sedikit pun. Tubuhnya yang panas dan berat menindihku, menutup semua ruang untuk bernapas lega.

“Dua hari, Keira…” gumamnya, bibirnya dekat telingaku, suaranya rendah, serak, bergetar oleh sesuatu yang tak kukenal. “Dua hari aku menahan diri sejak kau resmi jadi istriku.” Tangannya mengusap pelan sisi wajahku, lalu menurun di sepanjang leherku hingga berhenti lagi di dada. “Kau sadar betapa gila rasanya tidur di ranjang yang sama dengan wanita secantik ini… dan tidak menyentuhnya?”

Aku menggigit bibir kuat-kuat, menahan suara tangis. Napasku berat, tubuhku menegang di bawah kekuasaannya.

Rafael memiringkan kepalanya, menatapku tajam, sorot matanya gelap dan panas sekaligus. “Lihat aku, Keira.”

Aku menggeleng pelan, mencoba memalingkan wajah. Tapi jemarinya mencengkeram daguku, memaksaku menatapnya. “Aku bilang lihat.”

Mata kami bertemu. Mata cokelat gelap itu menyala seperti bara, dalam, menuntut, tak memberi ruang untuk mengelak. Ada obsesi, ada amarah, tapi juga sesuatu yang… mengikat, menakutkan dan memikat sekaligus.

“Begitu,” gumamnya. Ia mendekat, bibirnya menekan bibirku lagi, kali ini lebih dalam, lebih brutal, hingga aku terpaksa membuka mulut karena napasku terputus. Ciumannya menuntut, seakan ia ingin menenggelamkan seluruh keberadaanku di dalam dirinya. Tangannya mengusap punggungku, lalu turun memeluk pinggangku erat, membawaku semakin dekat ke tubuhnya.

“Rafael… jangan…” bisikku terputus di sela ciumannya.

“Berhenti menolak,” balasnya datar, dingin tapi penuh desakan. “Aku takkan berhenti malam ini.”

Tangannya meraih ujung gaun tidurku, menyusuri pinggulku perlahan, sementara bibirnya bergerak di sepanjang rahangku, lalu turun ke leherku. Isapannya meninggalkan jejak panas yang membuatku menggigil, bukan karena senang, tapi karena campuran takut dan perasaan yang tak bisa kujelaskan.

Dia mengangkat kepalanya, menatapku dalam-dalam, ujung jarinya menyusuri kulitku yang basah oleh air mata. “Terlalu cantik untuk disia-siakan,” katanya serak, nada suaranya seperti bisikan dosa.

Aku mencoba mendorong dadanya, tapi ototnya sekeras batu, tak bergeming sedikit pun. “Aku… aku tidak mau begini…”

Dia menghela napas berat, menutup mata sejenak seakan berusaha mengendalikan diri. Tapi saat membuka mata, sorotnya lebih gelap. “Aku juga tidak mau menikah dengan seorang wanita yang menganggap dirinya hanya boneka tebusan hutang,” katanya dingin. “Tapi kamu tak punya pilihan. Jadi malam ini… jangan lagi bilang tidak.”

Sebelum aku bisa menjawab, ia menunduk, bibirnya menutup bibirku sekali lagi, kali ini lebih pelan tapi tak kalah mendominasi. Jemarinya kembali menelusuri sisi tubuhku, berhenti lama di dadaku, mengusapnya perlahan seakan menguji kelembutannya. Aku terisak kecil, tubuhku bergetar, tapi tak mampu menepisnya.

“Indah…” gumamnya di antara ciuman, napasnya panas di telingaku. “Aku tidak bercanda ketika bilang aku tergila-gila pada tubuhmu.”

Aku memejamkan mata erat-erat, ingin berada jauh dari sini, jauh dari dirinya. Tapi kenyataan menahanku di bawah cengkeramannya, mendengar tiap pujian yang terasa seperti belenggu, merasakan tiap sentuhan yang menandai aku miliknya.

Rafael menelusuri lekuk tubuhku dengan tangan dan bibir, gerakannya campuran obsesi dan kesabaran yang dipaksakan. Tak ada kelembutan nyata, hanya dorongan yang selama ini ia pendam dan kini tumpah, mengikatku sepenuhnya. Suaranya parau setiap kali ia membisikkan namaku, seakan aku satu-satunya hal yang diinginkannya malam ini, tapi bagi diriku, itu bukan cinta—itu penguasaan.

Aku hanya bisa berbisik lirih di tengah rasa takut, sakit di antara kedua kaki serta dada yang sesak, “Tolong… berhenti…”

Jawaban Rafael adalah hembusan napas berat di telingaku, lalu suara rendahnya yang menghantamku bagai rantai, “Tidak malam ini, Keira. Malam ini, aku tidak akan berhenti sampai kau paham… kau milikku sepenuhnya.”

Waktu seperti berhenti. Semua yang terjadi selanjutnya hanya campuran napas berat, desahan serak Rafael, isak tertahan dariku, dan malam panjang yang terasa tak berujung. Malam pertama kami bukan mimpi indah, tapi realita pahit yang menandai awal dari pernikahan yang tak pernah kuminta.

Dan ketika tubuh Rafael akhirnya mereda, ia menarik napas panjang, menatapku lama dengan mata gelap yang penuh kepemilikan. Tangan besarnya menyapu keringat di dahiku, lalu menyentuh bibirku dengan ibu jarinya. “Cantik…” gumamnya pelan, hampir seperti pujian lembut—tapi pada akhirnya terasa seperti kunci yang mengunci rantai ini lebih erat.

Aku menutup mata, berjanji pada diriku sendiri bahwa jika masih ada jalan keluar, aku akan menemukannya… bahkan jika itu harus kubayar dengan seluruh hidupku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dibelenggu Duda: Istri Di balik Kontrak   Live (bab 6)

    Bab 6 – Mata yang Mengintai“Apa maksudmu?” suaraku parau, lebih seperti bisikan putus asa. “Rafael… jangan main-main denganku. Ada kamera di kamar kita! Ada seseorang yang—”“Astaga, Keira.” Rafael menyela dengan nada dingin, namun jemarinya tetap membelai pipiku, seakan ia ingin menenangkan sekaligus mengikatku. “Kau benar-benar senang membuat kepalaku pusing.”Aku menepis tangannya dengan kasar. “Pusing? Aku hampir gila! Ada yang merekam kita—mere—” suaraku pecah, dadaku naik turun karena panik. “Itu bukan hal sepele!”Sorot mata Rafael berubah. Ada kilatan tajam, tetapi di baliknya seperti ada sesuatu yang ingin ia sembunyikan. Perlahan ia mengambil ponsel hitam itu, menekannya hingga layar padam, lalu menyelipkannya ke saku kemejanya.“Dengar aku baik-baik.” Suaranya berat, nyaris seperti perintah. “Ada hal-hal yang lebih baik tidak kau usik. Kau istriku. Tugasmu hanya percaya padaku.”Aku membeku. Kata-katanya terdengar seperti tamparan. Percaya? Bagaimana aku bisa percaya jika

  • Dibelenggu Duda: Istri Di balik Kontrak   Siapa yang merekam? (Bab 5)

    Brrr… brrr… brrr…Getaran itu menusuk telingaku, memaksa kesadaranku kembali dari tidur yang tak benar-benar lelap. Kelopak mataku berat, kepala terasa berdenyut, dan setiap sendi tubuhku seperti dipukul berulang kali. Rasa sakit merayap dari bahu hingga ke pinggang, mengingatkan malam panjang yang baru saja kulewati. Aku menggeliat sedikit, merintih pelan, tapi yang kudapat hanya rasa perih yang membuatku mengerutkan wajah.Suara bergetar itu belum berhenti. Ritmenya konstan, menyebalkan, datang dari arah nakas di samping ranjang. Perlahan, dengan tenaga yang tersisa, aku melirik sisi tempat tidur. Kosong. Rafael sudah tidak ada. Hanya sprei kusut, aroma maskulinnya yang masih tertinggal, dan keheningan yang terasa menyesakkan.Aku menarik napas panjang, menutup mata sejenak, berharap getaran itu berhenti sendiri. Tapi tidak. Getaran itu semakin lama semakin memaksa, seolah sengaja mengusik sisa-sisa tenang yang kupunya. Dengan desahan letih, aku memaksa tubuhku bangkit, menyibakkan

  • Dibelenggu Duda: Istri Di balik Kontrak   Malam menyakitkan (bab 4)

    Brak!Aku terhempas di atas kasur, tubuhku memantul di permukaan empuk yang terasa seperti perangkap. Nafasku tercekat, kedua tangan refleks meraih selimut untuk menutupi diri. Tapi Rafael sudah di atasku, menahan kedua pergelangan tanganku di sisi kepala, tubuhnya menindih tanpa memberi jarak.“Rafael… lepaskan…” suaraku pecah, campuran takut dan marah. Aku meronta, tapi kekuatannya tak tergoyahkan.Dia menatapku lama, tajam, lalu mendengus pendek, seakan kesabarannya habis. “Tidak ada lelaki waras yang bisa menahan diri dengan istri sepertimu di rumah,” gumamnya serak. Tangannya berpindah, menyentuh rahangku kasar, lalu turun menyusuri leher hingga berhenti di dada. “Putih… terlalu besar... lembut… sempurna.” Jemarinya menekan perlahan di sana, membuatku terperangah, pipi panas terbakar malu.“Jangan…,” bisikku terputus-putus, air mata menetes di pelipis.Dia hanya mengangkat sebelah alis, bibirnya tersenyum miring tapi matanya tetap gelap. “Kau tidak tahu betapa aku menahan ini sej

  • Dibelenggu Duda: Istri Di balik Kontrak   Mantan istri (bab3)

    "Keira."Suaranya tajam. Dalam. Membekukan udara yang semula tenang.Aku mematung di balik semak, kaki yang baru saja hendak mundur terasa membatu. Perlahan, aku menoleh. Rafael berdiri tegak, pandangannya menusuk segelap malam, tepat ke arahku. Aku tak tahu bagaimana dia bisa melihatku di balik bayangan pohon itu, tapi sorot matanya... seakan aku tak punya tempat bersembunyi lagi."Kabur, hm?" Suara itu kembali menghantam, datar, dingin, tanpa nada marah—justru itu yang membuatku semakin takut.Bagaimana dia tahu rencanaku?Sebelum aku bisa bergerak, suara tawa kecil mengiris ketegangan itu.Wanita bergaun merah darah yang tadi memeluk Rafael kini berbalik, matanya menyapaku dari ujung kepala hingga kaki dengan tatapan menghina. Ia melangkah mendekat, hak tingginya mengetuk bebatuan dengan irama yang membuatku ingin mundur lebih jauh lagi."Jadi ini istrimu, Rafael?" katanya, senyumnya miring, menusuk. "Aku, Dinda. Mantan istri Rafael." Dia memperkenalkan diri dengan angkuh. Fakta ba

  • Dibelenggu Duda: Istri Di balik Kontrak   Rencana kabur (bab2)

    “Kamu selalu menolak setiap kali aku sentuh, tapi sepertinya tubuhmu berkata sebaliknya.”Langkahku langsung terhenti di anak tangga terakhir.Suara itu—dalam, dingin, dan menohok—datang dari ujung ruang makan. Suara Rafael. Ada bara yang ia sembunyikan di balik ketenangan itu. Mataku langsung menemuinya, duduk di kepala meja, satu tangan menopang dagu, dengan sorot yang membuat tengkukku panas.Tapi dia tidak menatap wajahku. Pandangannya jatuh tepat ke arah tubuhku.Aku langsung sadar kenapa.Gaun marun ketat ini terlalu menonjol. Mbok Narti yang menyodorkannya, katanya semua bajuku belum selesai dicuci. Aku tak sempat menolak. Tapi jelas, Rafael akan berpikir lain. Dan sekarang... aku merasa seperti sedang telanjang di hadapannya.Tanganku gemetar. Tapi aku berdiri diam di sana. Rahangku mengatup.Rafael bangkit perlahan. Langkahnya terdengar berat dan pasti, seperti dentang ancaman yang semakin mendekat. Aku ingin lari, tapi kakiku beku.Beberapa detik kemudian, dia sudah berdiri

  • Dibelenggu Duda: Istri Di balik Kontrak   Malam tak tersentuh (Bab1)

    "Kau milikku sekarang,” bisiknya pelan, sebelum ia menyentuh pipiku dengan jemari panjangnya yang dingin.Aku mematung.Ini bukan mimpi. Ini nyata.Aku… baru saja dinikahkan dengan Rafael Ardian, pria yang bahkan baru pertama kali ini aku lihat secara langsung.Nama itu sering disebut-sebut ayahku dengan nada hormat. Pengusaha sukses, dominan, dan terlalu tampan untuk dipercaya. Namanya sering berseliweran di berita, dan investor yang menyelamatkan bisnis kami—dengan syarat.Aku dijadikan syarat itu.Dan sekarang, kami berada di kamar pengantin. Hanya kami berdua.Kini, aku berdiri di kamar yang lebih besar dari rumahku sendiri.Gaun kebaya putihku masih melekat di tubuh. Tubuh yang kini terasa terlalu terbuka, terlalu rentan, terlalu… menggoda.Kutahu bentuk tubuhku tidak sederhana. Pinggangku ramping, bokongku bulat, dan dadaku… ya, sering jadi bahan lirikan sejak aku SMA. Tapi malam ini, aku ingin tubuh ini menghilang. Tertelan bumi. Disembunyikan dari tatapan pria yang kini berdir

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status