Nilam menatap wajah Indra dengan nanar. Wajah itu masih sama seperti yang diingatnya. Nilam hapal bentuk setiap bagian wajah Indra. Alisnya, hidungnya, bibirnya. Tak ada yang berubah dari terakhir mereka bertemu. Yang berubah adalah tatapan pria tersebut. Tak ada lagi kehangatan dan binar antusias seperti dulu.
"Kamu... kamu sadar kan pas ngomong semua itu, Bang?" tanya Nilam lirih. Indra mengangguk yakin. "Ya maaf-maaf aja kalau kesannya nyakitin. Tapi kamu memang harus dibikin sadar diri biar nggak mimpi terlalu tinggi lagi," jawabnya. Jleb! Mimpi terlalu tinggi? Nilam rasanya tak memercayai pendengarannya sendiri. Bagaimana bisa Indra berkata seperti itu? Padahal pria itulah yang sejak dulu melambungkan harapan dan angan Nilam. "Kamu kok tega sama aku, Bang?" Nilam kembali berkata dengan lirih. "Ya biar kamu sadar, Nilam. Kamu dan Selina itu nggak bisa dibandingkan. Jauh! Jelas aku lebih milih dia daripada kamu." "Kamu lupa sama janji kamu sendiri, Bang?" Indra mengernyitkan keningnya. "Janji yang mana sih? Buat nikahin kamu? Ha-ha-ha." Indra tertawa meskipun Nilam merasa tak ada yang lucu. Ia justru merasa tawa pria tersebut bernada ejekan. "Dulu sama sekarang itu beda, Nilam. Dulu aku masih ABG, taunya cuma cinta-cintaan. Sekarang aku udah bisa mikir waras. Dan pria waras pasti milih calon istri yang punya privilage lah dari pada yang cuma anak pembantu." Hati Nilam terasa begitu nyeri. Ia semakin tak bisa memercayai pendengarannya sendiri. Apakah semua ini nyata? Benarkah pria yang mengatakan hal menyakitkan barusan sama dengan pria yang selama ini menumbuhkan bunga-bunga asmara di hatinya? Indra benar-benar berubah. Padahal dulu pria itu sepertinya sangat mencintainya. Bagaimana mungkin perasaan Indra berubah begitu saja, seakan cinta yang dulu dimilikinya lenyap tak bersisa? Indra bahkan tega mengucapkan kalimat nyelekit yang membuat hati Nilam bagai tersayat-sayat. Ah, ya. Nilam baru ingat. Sebenarnya, Indra tak berubah secara mendadak. Sikap pria itu agak berubah setelah Nilam menolak sebuah permintaan pria itu pada suatu malam. Saat itu, Nilam menghampiri Indra yang menunggu di pondok main tempat biasa mereka bertemu sekitar pukul sebelas malam. Nilam ingin merayakan ulang tahun Indra dan memberikan kue buatannya sendiri untuk pria tersebut. Ia juga menyiapkan kado untuk Indra. Awalnya, semuanya berjalan sesuai rencana. Indra tampak senang dan menyukai kue buatan Nilam. Ia juga memuji jaket yang dibeli Nilam dari uang tabungannya. Namun, suasana berubah saat Indra tiba-tiba merapatkan tubuhnya ke arah Nilam dan memeluk erat pinggang gadis tersebut. Suasana malam yang gelap dan dingin membuat insting lelaki Indra bangkit. Tangannya merayap ke bawah, menyusuri perut Nilam dari luar pakaian. Membuat Nilam berjengit kaget dan refleks mendorong Indra. "Dek, ini kan ulang tahunku. Aku boleh minta kado spesial, nggak?" tanya Indra malam itu. Nilam memang menyayangi Indra, tetapi ia tak bisa memungkiri ada rasa tak nyaman dengan tatapan Indra yang beda dari biasanya. "Kado apa, Bang? Sebenarnya uang tabungan aku udah tinggal dikit." "Nggak perlu ngeluarin duit kok, Dek. Cukup bikin Abang senang aja malam ini." "Gimana caranya, Bang?" Saat itu, perasaan Nilam semakin tidak enak. "Aku pengen ML sama kamu, Dek. Kamu cantik dan wangi banget malam ini. Aku nggak tahan." Nilam memang gadis polos. Ia tidak pernah melakukan hal-hal di luar norma seperti pergaulan bebas. Namun, ia juga tidak bodoh. Ia tentu saja pernah mendengar istilah itu dari teman-teman sekelasnya dan ia tahu maksud permintaan Indra. "Nggak, Bang. Maaf, aku nggak bisa," jawab Nilam yang langsung menolak saat itu juga. Meskipun tidak menempuh pendidikan di sekolah khusus agama, tetapi Nilam pernah diajarkan orang tua, guru ngaji, dan guru di sekolahnya untuk menjaga kehormatan sebagai seorang perempuan. Ia tidak boleh melakukan hal itu selagi belum terikat dalam sebuah pernikahan. "Kenapa, Dek? Kamu nggak sayang sama Abang? Ini permintaan aku di hari ulang tahunku loh, Dek." Nilam tetap saja bersikukuh menolak permintaan Indra. "Maaf, Bang. Abang harusnya tahu dalam agama kita nggak boleh melakukan itu sebelum nikah. Dosa besar, Bang. Abang sabar, ya. Kita pasti bakal ngelakuin itu kalau udah nikah nanti." "Jadi kamu nggak mau nurutin permintaan aku, Dek?" tanya Indra dengan wajah kecewa. Nilam menggelengkan kepalanya. "Maaf, Nilam nggak bisa, Bang." "Ya udahlah. Ayo pulang. Udah malam." "Kuenya bawa, Bang." "Hm." Sekarang Nilam ingat. Itu adalah awal mula perubahan sikap Indra. Semenjak itu, pria tersebut mulai jarang mengajaknya berjumpa. Indra bahkan tak lagi melontarkan rayuan-rayuan yang biasanya membuat Nilam merasa seakan ada ribuan kupu-kupu berterbangan di perutnya. Kembali ke keadaan saat ini, Nilam benar-benar sakit hati karena Indra lagi-lagi membandingkannya dengan Selina. "Memangnya kenapa kalau aku cuma anak pembantu, Bang? Manusia kan sama di mata Allah. Kamu jangan sombong, orang tuamu juga bukan orang yang kaya banget," kata Nilam menekankan setiap kata-katanya, sebagai perwujudan dari emosinya yang mulai bangkit karena ucapan Indra. Indra sontak melotot menatap Nilam. Ketara sekali pria itu tidak suka dengan ucapan Nilam barusan. "Kenapa kamu malah jelek-jelekin orang tua aku, hah?" tanya Indra tidak terima. Nilam menarik napas panjang. "Siapa yang jelek-jelekin orang tua Abang? Aku bicara sesuai fakta, kok. Bahkan kalau mau ngomongin fakta, kamu dan Selina sebenarnya juga nggak setara-setara banget, kamu jauh di bawahnya," balasnya. Wajah Indra seketika pias. Ia mulai berang menatap Nilam. Kesan wajah galaknya jadi semakin terlihat jelas. "Cukup, ya, Lam! Mending sekarang kamu pergi dari sini!" bentak Indra. "Kok ngusir sih, Bang? Aku belum selesai ngomong!" "Udah, cukup! Pergi sekarang sebelum aku suruh tentara jaga buat usir kamu secara paksa!" desak Indra dengan wajah kesal. Nilam menatap Indra dengan saksama. Ternyata begini akhirnya. Perjuangannya agar bisa setara dengan pria itu berujung sia-sia. Indra seakan lupa dengan segala janji dan rayuan manisnya kepada Nilam. Tanpa sadar, Nilam mulai meneteskan air mata di hadapan Indra. Namun, ia langsung mengusap air matanya karena tidak sudi menangisi pria itu. Semuanya sudah jelas. Indra yang berada di hadapannya sekarang bukanlah Indra yang ia cintai. Dan mulai sekarang, ia tidak perlu lagi berharap menjadi istri pria tersebut. Semuanya berakhir. "Aku memang mau pergi, kok. Lagian aku cuma mau memastikan aja buat pertimbangan," kata Nilam dengan nada dingin. Indra ternyata merasakan perubahan nada bicara Nilam. Tak ada lagi kehangatan dalam suara gadis itu. "Pertimbangan buat apa maksudnya? Di sini aku yang memutuskan. Dan aku udah mutusin milih Selina daripada kamu." "Pertimbangan buat nolak atau nerima lamaran laki-laki lain," jawab Nilam dengan nada datar. Indra tampak terkesiap. "Maksudnya? Emangnya ada yang datang buat ngelamar kamu?" Nilam mengangguk yakin. "Ada," jawabnya singkat. Indra terdiam. Dari raut wajahnya, menunjukkan ia agak terkejut mendengar hal tersebut. Sementara itu, Nilam sudah tak berniat lagi berbicara dengan pria tersebut. Ia sudah mendengar jawaban dari persoalan yang sejak semalam membuatnya susah tidur. Sekarang semuanya sudah jelas. Indra tak akan memenuhi janji untuk menikahinya. Itu saja sudah cukup membuat Nilam ingin secepatnya angkat kaki dari tempat tersebut. Nilam marah. Ya, ia benar-benar marah karena Indra benar-benar merendahkannya dan orang tuanya. Ia punya harga diri. Sebagai seorang wanita, Nilam tak akan sudi memohon agar pria itu memutuskan hubungannya dengan Selina. Satu-satunya hal yang ia inginkan adalah secepatnya melupakan segala hal tentang Indra. "Jabatan udah bikin mata hati kamu tertutup, Bang. Aku benar-benar kecewa sama kamu," kata Nilam sebelum membalikkan tubuhnya untuk pergi dari hadapan Indra. Tak terdengar seruan dari Indra, yang menandakan pria itu bahkan tak berusaha untuk menahannya. Hati Nilam semakin porak-poranda. Ia melangkahkan kaki dengan cepat tanpa memerhatikan jalan. "Argh!" Nilam menjerit saat menyadari ada sebuah mobil yang melaju memasuki batalyon. Ia nyaris saja tertabrak mobil tersebut. Memang tidak kencang, tetapi refleksnya membuat Nilam langsung melompat ke samping dan malah terperosok ke pinggiran selokan. Sebelah kakinya masuk ke dalam selokan dan terluka. "Aduh, sakit," lirih Nilam seraya meringis memegangi kakinya. Ia terduduk dan tak bisa langsung bangkit karena sedikit shock. Seorang pria turun dari kursi supir. Pria yang ternyata juga tentara itu langsung menghampiri Nilam dan membantu gadis itu berdiri. Tak jauh dari sana, Indra ternyata melihat hal tersebut. Ia langsung bergegas mendekati kedua orang itu. "Mbak, nggak apa-apa?" tanya sang supir dengan raut cemas. Emosi Nilam bangkit mendengar pertanyaan tersebut. "Nggak apa-apa gimana? Nggak lihat saya lecet-lecet?" jawabnya kesal sambil menunjuk beberapa baret di kakinya. Si supir yang mengenakan seragam tentara tadi tampak merasa bersalah. "Saya minta maaf, Mbak. Soalnya kan Mbak tadi yang—" "Oh! Mau lari dari tanggung jawab kamu?" sela Nilam dengan nada tinggi. Entahlah. Rasanya Nilam benar-benar kesal melihat seragam tentara yang dikenakan pria itu. Mengingatkannya dengan Indra saja. "Nggak, nggak begitu." "Dasar kalian semua tentara sama aja kelakuannya!" Nilam kembali mengoceh tidak karuan. Kakinya benar-benar perih dan semakin membuatnya kesal. Indra tampak kaget dan panik mendengar ucapan Nilam. "Lam, udah. Jangan bicara seperti itu!" tegurnya. "Kenapa, hah! Aku bener, kan! Kalian sama aja! Harusnya kalian tahu tentang tanggung jawab, tapi bisanya cuma—" Sebelum Nilam semakin berbicara yang tidak-tidak, Indra langsung menarik tangan Nilam. "Lam! Cukup!" "Diem kamu!" bentak Nilam balik marah kepada Indra. Untuk sejenak, Indra terdiam kaget mendengar nada tinggi yang sebelumnya tidak pernah ditujukan Nilam untuknya. Ia baru ingin bicara lagi, tetapi atensinya teralihkan saat mendengar suara pintu penumpang mobil hitam yang nyaris menabrak Nilam tadi terbuka. Seorang pria turun dari mobil tersebut. Baik supir, Nilam, maupun Indra sontak menoleh ke arah orang itu. "Ada apa ini?" tanya pria tersebut. Indra sontak meneguk ludah, begitu juga sang supir yang terlihat ikut ketar-ketir. "Komandan," ucap Indra sambil menatap pria itu.Selina dan Hanif saling bungkam di mobil. Keduanya tampak sibuk dengan pikiran masing-masing setelah pertemuan dengan Nilam tadi. Nilam dan Galih terpaksa berpamitan pulang karena Bu Salma menelepon dan memberitahu bahwa Pangeran rewel. Hanif pun kepikiran dengan ibunya jika ia dan Selina pergi terlalu lama. Sebelum pulang, Nilam meminta kontak Selina untuk berhubungan. Bagi Nilam, masa lalu sudah tidak penting lagi. Karena biang masalahnya tidak ada di kota ini.“Mas.” Selina tiba-tiba memanggil, memecah keheningan.Hanif menoleh sekilas. “Hm?”“Apa yang kamu pikiran, Mas, soal kata-katanya Bu Danyon?” tanyanya.Sejenak Hanif menimang-nimang jawabannya. Dia tidak ingin berprasangka buruk kepada ‘dia’, tetapi perkataan Nilam jelas merujuk kepada mantan kekasihnya itu. Hanif meremas kemudinya dengan erat. “Kamu pasti tahu apa yang saya pikirkan, Sel. Tapi, untuk saat ini, kita pantau dulu situasinya. Saya nggak ingin menuduh orang sembarangan.”“Aku juga begitu, Mas.” Selina menatap ja
Hanif dan Selina setuju bahwa mereka akan bertemu Nilam dan Galih. Menurut penuturan Hanif, Galih menghubunginya setelah meminta kontak dari salah satu kenalan di kesatuan. Sangat mudah bagi Galih untuk menjangkau Hanif meski telah dipindahtugaskan beberapa tahun silam. Itu sebabnya Galih bisa menemukan kontak Hanif dengan cepat.Hari ini Hanif dan Selina pergi ke tempat perjanjian. Mereka akan bertemu dengan Galih dan Nilam di restoran yang tak jauh dari kediaman Bu Ira. Sebelum pergi, Hanif meminta tolong kepada Bu Silvi untuk menjaga sang ibu selama setengah hari. Rencananya Hanif akan kembali sebelum siang agar tidak terlalu merepotkan Bu Silvi. Semoga saja perbincangan mereka nanti bisa cepat diselesaikan.Sementara Hanif berkendara dengan tenang di balik kemudi, Selina terus-terusan menoleh ke belakang dengan gelisah. Tangan wanita itu berkeringat dingin memegangi sabuk pengaman, ekspresinya terlihat tidak tenang. Hanif melirik Selina melalui spion tengah dan mendesah pelan.“Se
“Awas aja kalau kalian gagal. Bayaran yang kujanjikan akan langsung kucancel! Titik!” geram Mia kemudian mengakhiri teleponnya secara sepihak.Saat Nilam melihat wanita itu pergi, Nilam memang tidak salah lihat. Wanita tadi memakai seragam perawat. Nilam benar-benar tidak menyangka orang mana yang masih saja mendendam kepada Selina. Nilam pikir, sudah cukup Indra yang menghancurkan hidup wanita itu, ternyata ada orang lain yang menginginkannya menderita.“Aku harus cepet-cepet nebus obat dan pulang. Entah kenapa, perasaanku nggak enak semakin lama di rumah sakit ini,” gumam Nilam. Dia mendekap Pangeran lebih erat kemudian mengantre untuk mengambil obat di apotek.Setelah mendapatkan obatnya, barulah Nilam kembali ke mobil dan langsung pulang ke rumah. Bu Salma yang saat itu tengah menyuapi Ara terlihat kebingungan dengan ekspresi Nilam. Menantunya terlihat pucat pasi dan buru-buru sekali keluar mobil.“Nak Nilam? Ada apa? Kok kayak habis dikejar hantu. Masih siang loh ini,” tanya Bu S
Selina benar-benar panik. Hanif membocorkan pernikahan mereka tanpa pikir panjang. Satrio terbatuk-batuk sambil mengibas-ibaskan pakaiannya yang basah terkena teh. Riyani juga hanya mematung dengan wajah cengo. Semua orang terdiam di ruang tamu. Hingga akhirnya Hanif merasakan keberadaan orang lain di ruangan itu dan memutar kepalanya ke belakang.“Selina?” panggil Hanif kaget. Ia pikir ini akan menjadi percakapan antar lelaki. Namun, nyatanya tidak. Siapa sangka jika Selina telah mendengar semuanya.Riyani yang telah tersadar segera menoleh kepada Selina, mengguncang bahu wanita itu dengan kuat. “Apa-apaan ini, Sel? Kenapa kamu nggak ngomong apa-apa ke aku kalau udah nikah!?”“Bentar, bentar, Ri. Aku butuh waktu buat bicarain ini,” ungkap Selina. Dia melepaskan tangan Riyani kemudian berjalan cepat ke arah Hanif.“Mas, ikut aku. Kita bahas ini dulu berdua,” desak Selina, membuat Hanif sama sekali tidak bisa menolak.Mereka meninggalkan ruang tamu menuju kamar Selina. Pintu tertutup r
Pada akhir minggu, Riyani menyeret Satrio, teman satu pekerjaannya, untuk pergi bersamanya. Riyani sudah memegang informasi alamat tempat Selina bekerja. Dan pastilah wanita itu sedang senggang pada hari libur. Riyani membawa banyak sekali buah tangan dan berboncengan dengan Satrio menaiki sepeda motor antiknya. Motor itu sempat mogok dan baru menyala ketika Satrio menendang knalpotnya. Meski Satrio harus mengaduh kesakitan di sepanjang jalan. “Buset dah, Ri. Jauh amat tempat kerja Selina,” kata Satrio setelah sampai di halaman rumah Bu Ira. Riyani menjitak helm Satrio dengan kesal lalu melompat turun. “Ya gimana. Selina juga kerja karena kepepet keadaan. Kalau nggak, dia pasti bakal tetep bareng kita sampai sekarang.” “Emangnya, nggak papa kita ke sini? Ini ‘kan rumah majikannya.” “Asal nggak berisik sih, kurasa nggak papa, ya. Lagian aku kangen banget sama Selina. Tapi inget, Sat, jangan ngomong sembarangan atau kurobek mulut kamu!” ancam Riyani Galak. “Galak bener cewe
"Maksud Ibu, minta cucu dari Selina?" tanya Selina, sambil menunjuk dirinya sendiri dengan tak percaya. Selina tidak menyangka kenapa Bu Ira tiba-tiba meminta sesuatu yang jelas tidak bisa Selina berikan padanya. Bukankah wanita itu tahu bagaimana situasi pernikahannya dengan Hanif? Mereka hanya menikah tanpa perasaan. Jangankan memiliki anak, saling mencintai pun rasanya mustahil. Mata Selina bergetar menatap Bu Ira. Apa yang harus ia lakukan? Bu Ira mengangguk lemah. Ada harapan yang terlintas di mata tua wanita itu. Selina merasa ada beban baru yang menimpa bahunya. Tak pernah sekali pun terlintas di benaknya jika bekerja merawat seorang lansia yang sakit akan membawanya menuju titik ini. "Iya, Nak..." balas Bu Ira lirih. "Ibu... ingin melihat cucu... kamu dan Hanif..." Selina mengembuskan napas panjang. Ia tidak tahu harus menjawab apa. "Kenapa Ibu tiba-tiba membicarakan soal cucu? Ada yang mau Ibu sampaikan ke Selina?" "Sebelum Ibu tiada... Sekali saja..." Ucapan Bu