“Pelan-pelan toh, Lam, makannya.” Sang Ibu mengingatkan.
Nilam tak menyahut ucapan ibunya. Ia lebih tertarik untuk menuntut penjelasan dari sang Ibu. “Bu, maksud Ibu, Ibu mau jodohin Nilam sama anaknya Bu Salma? Sama papanya Ara?” Ia kaget, jelas saja. “Kan kenalan dulu, Lam. Siapa tau cocok,” jawab sang Ibu dengan enteng. “Tapi, Bu....” “Kalau kamu nggak mau nggak apa-apa, kok. Ibu nggak akan maksa.” Nilam kembali meneguk minumannya. Berusaha menenangkan diri dari keterkejutannya. “Tapi menurut Ibu, nggak ada salahnya juga kenalan dulu, Lam. Anaknya Bu Salma itu sudah mapan. Kalau kamu menikah sama laki-laki seperti dia, Ibu yakin hidup kamu nggak akan kekurangan, apalagi sampai harus kerja jadi pembantu lagi. Masa depanmu akan cerah,” ucap ibunya memberi nasihat. Nilam menunduk. Ia paham betul sang Ibu bermaksud baik demi masa depannya. Namun, jatuh cinta pada orang lain tidak segampang jatuh cinta seperti di film-film. Apalagi Nilam juga masih mengharapkan seseorang saat ini. Ya, meskipun ia malah menyaksikan pria itu melamar wanita lain. “Maaf, Bu. Nilam belum bisa kasih jawaban sekarang. Nilam belum kepikiran buat ke arah sana, tapi mungkin Nilam akan coba pertimbangkan,” jawab Nilam diselimuti kebohongan. Sejujurnya, Nilam sudah sangat ingin menikah dan memiliki pendamping hidup. Namun sayangnya, pria yang Nilam harapkan menjadi suami dunia akhiratnya malah memupus mimpi indah itu. Bagaimana mungkin tiba-tiba ia memikirkan tentang menikah dengan pria lain? Ibu Nilam mengangguk seraya tersenyum tipis. “Nggak apa-apa, Nak. Kamu boleh pikirin dulu. Kalau kamu nolak pun Ibu nggak akan maksa, karena yang paling penting bagi Ibu adalah kebahagiaan kamu, Lam.” Setelah obrolan serius itu selesai, Nilam memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Merenung cukup lama sambil menatap langit-langit kamar. Nilam masih kepikiran soal Indra. Ia ingin menghubungi pria itu, berharap ia masih punya kesempatan untuk menikah dengannya. Namun, sayangnya nomor Indra sudah lama tidak aktif. “Apa aku langsung ke rumahnya aja, ya?” Ide itu terlintas di kepala. “Tapi Bang Indra kan dari dulu jarang ada di rumah.” Nilam malah jadi bimbang sendiri. Nilam berbalik dan menatap layar ponselnya yang masih menyala. Menampilkan wallpaper bergambar wajah Indra yang selama ini membuatnya semangat dalam mengejar cita-cita. Nilam tiba-tiba punya ide lain. Besok, ia akan menemui Indra langsung ke kesatuannya untuk menanyakan kejelasan hubungan mereka. Bagaimanapun, Nilam berhak tahu. Ia benar-benar masih berharap kalau Indra berjodoh dengannya. Esoknya, sesuai dengan rencana awal Nilam. Ia datang ke kesatuan tempat Indra berdinas. Ia lama menatap gerbang Batalyon itu dari luar, untuk memastikan ingatannya kalau memang di sana lah tempat Indra ditugaskan. Dulu Indra pernah memberitahunya nama kesatuannya. Meskipun, Nilam sendiri belum pernah ke sana. Semoga saja Indra belum dipindah tugaskan ke tempat lain. Setelah Nilam yakin, ia mendekat ke pos jaga. Bertanya pada salah satu tentara yang berjaga di sana. “Permisi, Mas.” Seorang pria berbaju loreng dan bersenjata lengkap mendekat. “Cari siapa, Mbak?” tanyanya ramah. “Saya mencari Bang Indra. Sersan Indra Sanjaya. Saya Nilam, temannya.” “Sudah janjian?” tanya tentara itu. Nilam menggeleng. Penjaga posko akhirnya membawa Alifa ke ruang penerimaan tamu. Ia dimintai KTP, dan juga mengisi buku tamu. “Mbak tunggu sebentar, ya, kami akan konfirmasi dulu sama Sersan Indranya.” Nilam mengangguk dan menunggu dengan sabar. Setelah beberapa menit kemudian, akhirnya yang ditunggu datang juga. Indra muncul di belakangnya, membuat Nilam sangat senang. Akhirnya, setelah sekian lama ia bisa bertemu lagi dengan Indra secara langsung. Nilam begitu merindukan pria itu. Penampilannya tidak banyak berubah, tetap tampan dan gagah seperti dulu. Namun, sikap pria itu justru malah semakin dingin padanya. “Kita bicara di luar.” Indra langsung menarik pergelangan tangan Nilam dan membawa gadis itu ke tempat yang lebih sepi, jauh dari tatapan para penjaga atau rekannya. Setelah memastikan situasi aman dan hanya mereka berdua di sana. Indra langsung menyerbu dengan pertanyaan nyelekitnya. “Kamu ngapain sih ke sini?” tanyanya dengan nada ketus. Nilam sebenarnya kaget. Tapi Nilam harus mengetahui jawaban Indra soal nasib hubungan mereka. “Bang Indra, Nilam cuma mau tanya soal hubungan kita. Kemarin itu—” “Memangnya sejak kapan kita punya hubungan?” Deg! Nilam langsung menatap Indra dengan tatapan tak percaya. Apa Indra sudah amnesia? Padahal, dia sendiri yang halo dek halo dek kepadanya. Kenapa sekarang mendadak bertanya seperti itu seolah tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka? Seolah mereka hanya dua orang asing yang tidak saling kenal. “Loh? Kan selama ini Bang Indra bilang cinta sama aku dan pernah bilang juga kalau Abang akan nikahin Nilam kalau Nilam udah punya gelar. Sekarang, Nilam udah punya gelar, Bang. Nilam udah sarjana. Tapi kenapa kemarin Abang malah ngelamar perempuan lain?” tanya Nilam dengan suara bergetar. Ia berharap jawaban Indra akan menenangkan hatinya yang sedang berkobar panas, tetapi nyatanya pria itu malah tertawa mengejek. “Punya gelar apa, sih, kamu?” “Sarjana pendidikan Bahasa Inggris, Bang.” “Terus pekerjaan kamu?” tanya Indra lagi. Masih dengan nada merendahkan. “Belum, Nilam masih–“ “Masih jadi pembantu?” Indra menyela. Membuat Nilam mengangkat wajahnya. “Nilam cuma gantiin Ibu kemarin karena Ibu lagi sakit, Bang.” Nilam mencoba membela diri. “Ooh.. berarti pengangguran, ya kamu?” Nilam tak membantah karena memang itulah faktanya. “Udahlah, Lam. Bangun dari mimpi kamu. Gini ya, aku perjelas aja deh. Kita itu nggak setara. Kamu pikir kenapa aku melamar perempuan lain? Coba kamu ngaca, bandingin diri kamu sama dia. Sama Selina. Jauh! Jauh banget Lam. Kamu cuma anak pembantu, sedangkan Selina anak orang kaya dari lahir. Kamu pikir, perempuan kayak kamu ini pantes buat aku? Nggak! Aku nggak akan sudi nikah sama anak pembantu macam kamu.” Kalimat itu membuat detak jantung Nilam seolah berhenti sejenak. Ada sesuatu yang menusuknya dengan kuat. Bola matanya mulai berembun. Hatinya sakit sekali.Selina dan Hanif saling bungkam di mobil. Keduanya tampak sibuk dengan pikiran masing-masing setelah pertemuan dengan Nilam tadi. Nilam dan Galih terpaksa berpamitan pulang karena Bu Salma menelepon dan memberitahu bahwa Pangeran rewel. Hanif pun kepikiran dengan ibunya jika ia dan Selina pergi terlalu lama. Sebelum pulang, Nilam meminta kontak Selina untuk berhubungan. Bagi Nilam, masa lalu sudah tidak penting lagi. Karena biang masalahnya tidak ada di kota ini.“Mas.” Selina tiba-tiba memanggil, memecah keheningan.Hanif menoleh sekilas. “Hm?”“Apa yang kamu pikiran, Mas, soal kata-katanya Bu Danyon?” tanyanya.Sejenak Hanif menimang-nimang jawabannya. Dia tidak ingin berprasangka buruk kepada ‘dia’, tetapi perkataan Nilam jelas merujuk kepada mantan kekasihnya itu. Hanif meremas kemudinya dengan erat. “Kamu pasti tahu apa yang saya pikirkan, Sel. Tapi, untuk saat ini, kita pantau dulu situasinya. Saya nggak ingin menuduh orang sembarangan.”“Aku juga begitu, Mas.” Selina menatap ja
Hanif dan Selina setuju bahwa mereka akan bertemu Nilam dan Galih. Menurut penuturan Hanif, Galih menghubunginya setelah meminta kontak dari salah satu kenalan di kesatuan. Sangat mudah bagi Galih untuk menjangkau Hanif meski telah dipindahtugaskan beberapa tahun silam. Itu sebabnya Galih bisa menemukan kontak Hanif dengan cepat.Hari ini Hanif dan Selina pergi ke tempat perjanjian. Mereka akan bertemu dengan Galih dan Nilam di restoran yang tak jauh dari kediaman Bu Ira. Sebelum pergi, Hanif meminta tolong kepada Bu Silvi untuk menjaga sang ibu selama setengah hari. Rencananya Hanif akan kembali sebelum siang agar tidak terlalu merepotkan Bu Silvi. Semoga saja perbincangan mereka nanti bisa cepat diselesaikan.Sementara Hanif berkendara dengan tenang di balik kemudi, Selina terus-terusan menoleh ke belakang dengan gelisah. Tangan wanita itu berkeringat dingin memegangi sabuk pengaman, ekspresinya terlihat tidak tenang. Hanif melirik Selina melalui spion tengah dan mendesah pelan.“Se
“Awas aja kalau kalian gagal. Bayaran yang kujanjikan akan langsung kucancel! Titik!” geram Mia kemudian mengakhiri teleponnya secara sepihak.Saat Nilam melihat wanita itu pergi, Nilam memang tidak salah lihat. Wanita tadi memakai seragam perawat. Nilam benar-benar tidak menyangka orang mana yang masih saja mendendam kepada Selina. Nilam pikir, sudah cukup Indra yang menghancurkan hidup wanita itu, ternyata ada orang lain yang menginginkannya menderita.“Aku harus cepet-cepet nebus obat dan pulang. Entah kenapa, perasaanku nggak enak semakin lama di rumah sakit ini,” gumam Nilam. Dia mendekap Pangeran lebih erat kemudian mengantre untuk mengambil obat di apotek.Setelah mendapatkan obatnya, barulah Nilam kembali ke mobil dan langsung pulang ke rumah. Bu Salma yang saat itu tengah menyuapi Ara terlihat kebingungan dengan ekspresi Nilam. Menantunya terlihat pucat pasi dan buru-buru sekali keluar mobil.“Nak Nilam? Ada apa? Kok kayak habis dikejar hantu. Masih siang loh ini,” tanya Bu S
Selina benar-benar panik. Hanif membocorkan pernikahan mereka tanpa pikir panjang. Satrio terbatuk-batuk sambil mengibas-ibaskan pakaiannya yang basah terkena teh. Riyani juga hanya mematung dengan wajah cengo. Semua orang terdiam di ruang tamu. Hingga akhirnya Hanif merasakan keberadaan orang lain di ruangan itu dan memutar kepalanya ke belakang.“Selina?” panggil Hanif kaget. Ia pikir ini akan menjadi percakapan antar lelaki. Namun, nyatanya tidak. Siapa sangka jika Selina telah mendengar semuanya.Riyani yang telah tersadar segera menoleh kepada Selina, mengguncang bahu wanita itu dengan kuat. “Apa-apaan ini, Sel? Kenapa kamu nggak ngomong apa-apa ke aku kalau udah nikah!?”“Bentar, bentar, Ri. Aku butuh waktu buat bicarain ini,” ungkap Selina. Dia melepaskan tangan Riyani kemudian berjalan cepat ke arah Hanif.“Mas, ikut aku. Kita bahas ini dulu berdua,” desak Selina, membuat Hanif sama sekali tidak bisa menolak.Mereka meninggalkan ruang tamu menuju kamar Selina. Pintu tertutup r
Pada akhir minggu, Riyani menyeret Satrio, teman satu pekerjaannya, untuk pergi bersamanya. Riyani sudah memegang informasi alamat tempat Selina bekerja. Dan pastilah wanita itu sedang senggang pada hari libur. Riyani membawa banyak sekali buah tangan dan berboncengan dengan Satrio menaiki sepeda motor antiknya. Motor itu sempat mogok dan baru menyala ketika Satrio menendang knalpotnya. Meski Satrio harus mengaduh kesakitan di sepanjang jalan. “Buset dah, Ri. Jauh amat tempat kerja Selina,” kata Satrio setelah sampai di halaman rumah Bu Ira. Riyani menjitak helm Satrio dengan kesal lalu melompat turun. “Ya gimana. Selina juga kerja karena kepepet keadaan. Kalau nggak, dia pasti bakal tetep bareng kita sampai sekarang.” “Emangnya, nggak papa kita ke sini? Ini ‘kan rumah majikannya.” “Asal nggak berisik sih, kurasa nggak papa, ya. Lagian aku kangen banget sama Selina. Tapi inget, Sat, jangan ngomong sembarangan atau kurobek mulut kamu!” ancam Riyani Galak. “Galak bener cewe
"Maksud Ibu, minta cucu dari Selina?" tanya Selina, sambil menunjuk dirinya sendiri dengan tak percaya. Selina tidak menyangka kenapa Bu Ira tiba-tiba meminta sesuatu yang jelas tidak bisa Selina berikan padanya. Bukankah wanita itu tahu bagaimana situasi pernikahannya dengan Hanif? Mereka hanya menikah tanpa perasaan. Jangankan memiliki anak, saling mencintai pun rasanya mustahil. Mata Selina bergetar menatap Bu Ira. Apa yang harus ia lakukan? Bu Ira mengangguk lemah. Ada harapan yang terlintas di mata tua wanita itu. Selina merasa ada beban baru yang menimpa bahunya. Tak pernah sekali pun terlintas di benaknya jika bekerja merawat seorang lansia yang sakit akan membawanya menuju titik ini. "Iya, Nak..." balas Bu Ira lirih. "Ibu... ingin melihat cucu... kamu dan Hanif..." Selina mengembuskan napas panjang. Ia tidak tahu harus menjawab apa. "Kenapa Ibu tiba-tiba membicarakan soal cucu? Ada yang mau Ibu sampaikan ke Selina?" "Sebelum Ibu tiada... Sekali saja..." Ucapan Bu