Nilam langsung berlari menghampiri sang Ibu. Tampak wajah ibunya basah oleh air mata. Meskipun belum tahu apa yang sebenarnya terjadi, hati Nilam benar-benar sakit melihat ibunya menangis seperti itu. "Ibu, ngapain sih berlutut gini?" tanya Nilam. Nyonya Mona tersenyum sinis melihat kedatangan Nilam. "Ooh, ini anaknya maling muncul. Main selonong pula. Memang benar-benar keluarga nggak punya adab!" ucapnya. Nilam terkejut. Ia fokus dengan kalimat 'anaknya maling' yang diucapkan Nyonya Mona. "Maksud Ibu apa?" tanya Nilam yang enggan memanggil wanita paruh baya itu dengan sebutan 'Nyonya'. "Ibu kamu ini kepergok maling uang saya!" Nilam terbelalak. Ia langsung menoleh ke arah ibunya yang langsung menggelengkan kepalanya. "Nggak. Itu nggak benar, kan, Bu?" tanya Nilam yang tidak mempercayai ucapan Nyonya Mona. "Iya, Nya. Saya nggak mencuri. Demi Allah," jawab ibu Nilam dengan suara gemetar. Nilam memegang bahu ibunya, mencoba membantu sang Ibu berdiri. Namun, Ibu Nilam menolak u
Awalnya, Nilam tidak memiliki clue sama sekali tentang siapa gerangan pria yang memiliki tatapan tajam dan mengintimidasi, tetapi sekaligus berwibawa tersebut. Pria itu jelas lebih dewasa dari Nilam. Posturnya lebih tinggi dan gagah di banding tentara lain. Saat Indra menyebut kata 'Komandan', Nilam langsung menghampiri pria tersebut dengan segala rasa jengkel dan marah di hatinya. Ia yakin kalau pria itu mungkin atasan atau seniornya Indra. Tak terlihat raut takut atau secuil rasa segan yang ditunjukkan Nilam untuk sang Komandan. Ia justru dengan beraninya berhadapan dengan pria tersebut dan menunjuk Indra dengan segenap emosi. "Pak! Ini si Indra bawahan Anda, tukang PHP! Tukang selingkuh! Sombong sundul langit!" kata Nilam menggebu-gebu di depan hidung pria tersebut. Ketiga pria yang ada di tempat tersebut kompak terlihat kaget. Si supir membelalakkan matanya. Indra ikut melotot dan menatap protes ke arah Nilam. Sementara pria yang dipanggil Nilam Komandan hanya mengernyitkan ke
Nilam menatap wajah Indra dengan nanar. Wajah itu masih sama seperti yang diingatnya. Nilam hapal bentuk setiap bagian wajah Indra. Alisnya, hidungnya, bibirnya. Tak ada yang berubah dari terakhir mereka bertemu. Yang berubah adalah tatapan pria tersebut. Tak ada lagi kehangatan dan binar antusias seperti dulu. "Kamu... kamu sadar kan pas ngomong semua itu, Bang?" tanya Nilam lirih. Indra mengangguk yakin. "Ya maaf-maaf aja kalau kesannya nyakitin. Tapi kamu memang harus dibikin sadar diri biar nggak mimpi terlalu tinggi lagi," jawabnya. Jleb! Mimpi terlalu tinggi? Nilam rasanya tak memercayai pendengarannya sendiri. Bagaimana bisa Indra berkata seperti itu? Padahal pria itulah yang sejak dulu melambungkan harapan dan angan Nilam. "Kamu kok tega sama aku, Bang?" Nilam kembali berkata dengan lirih. "Ya biar kamu sadar, Nilam. Kamu dan Selina itu nggak bisa dibandingkan. Jauh! Jelas aku lebih milih dia daripada kamu." "Kamu lupa sama janji kamu sendiri, Bang?" Indra mengernyitka
“Pelan-pelan toh, Lam, makannya.” Sang Ibu mengingatkan. Nilam tak menyahut ucapan ibunya. Ia lebih tertarik untuk menuntut penjelasan dari sang Ibu. “Bu, maksud Ibu, Ibu mau jodohin Nilam sama anaknya Bu Salma? Sama papanya Ara?” Ia kaget, jelas saja.“Kan kenalan dulu, Lam. Siapa tau cocok,” jawab sang Ibu dengan enteng. “Tapi, Bu....”“Kalau kamu nggak mau nggak apa-apa, kok. Ibu nggak akan maksa.” Nilam kembali meneguk minumannya. Berusaha menenangkan diri dari keterkejutannya. “Tapi menurut Ibu, nggak ada salahnya juga kenalan dulu, Lam. Anaknya Bu Salma itu sudah mapan. Kalau kamu menikah sama laki-laki seperti dia, Ibu yakin hidup kamu nggak akan kekurangan, apalagi sampai harus kerja jadi pembantu lagi. Masa depanmu akan cerah,” ucap ibunya memberi nasihat. Nilam menunduk. Ia paham betul sang Ibu bermaksud baik demi masa depannya. Namun, jatuh cinta pada orang lain tidak segampang jatuh cinta seperti di film-film. Apalagi Nilam juga masih mengharapkan seseorang saat ini.
“Mama!” Anak kecil itu terus memanggil Nilam dengan sebutan Mama, sambil berusaha turun dari gendongan neneknya. Tangannya menggapai baju Nilam namun segera dihentikan oleh sang nenek.“Ara, itu bukan Mama kamu, Sayang,” ucap Bu Salma menenangkan anak kecil bernama Ara itu.Nilam sempat shock ketika ia dipanggil Mama. Tetapi kemudian menjadi haru saat Bu Salma—Mantan majikan ayahnya menjelaskan kenapa tingkah cucunya seperti ini.“Maaf, ya, Nak Nilam. Ara memang merindukan figur seorang ibu. Sejak bayi, dia memang tidak pernah mendapatkan kasih sayang seorang Ibu. Ibunya meninggal sewaktu melahirkan Ara. Jadi ya kadang-kadang suka begini, manggil-manggil Mama ke sembarang orang. Maaf ya, jadi nggak enak saya. Tapi sebenarnya saya juga kasihan sama Cucu saya ini. Ara butuh sosok seorang ibu, tapi... papanya malah belum mau menikah lagi hingga sekarang.” Bu Salma terlihat sedih saat menceritakan kehidupan cucunya.Nilam terenyuh. Hatinya menjadi ikut sedih. Ia menatap bola mata gadis ke
Wajah Nyonya Mona memerah, campuran antara rasa marah dan malu yang dirasakannya karena perbuatan Nilam. Sementara itu, Nilam masih berdiri mematung seraya menatap Indra yang membuang wajah dan bersikap seolah tidak mengenalnya. Nyonya Mona berdiri dan menghampiri Nilam. "Apa-apaan ini, Nilam?" serunya membentak Nilam. Nilam terkesiap. Ia tersadar dan langsung kaget menyadari nampan yang tadi dipegangnya sudah tidak lagi di tangan. Matanya terbelalak melihat kepingan gelas dan air menggenangi lantai. "Kamu ini bisa kerja atau nggak sebenarnya, hah! Bikin malu saja!" maki Nyonya Mona lagi dengan emosi yang tertahan. Tampak ia berusaha tidak terlalu melampiaskan kekesalannya karena perlu menjaga muka di hadapan calon besan dan calon menantu."M-maaf, Nya," balas Nilam yang masih shock dengan kehadiran Indra di sana. "Cepat bersihkan!" perintah Nyonya Mona. Nilam langsung berjongkok dan membersihkan kekacauan yang tidak sengaja diciptakannya itu. Tangannya tanpa sadar bergetar hebat
"Minimal jadi bidan atau sarjana lah, baru Abang mau nikah sama kamu, Dek. Kalau cuma lulusan SMA kayak kamu gini, maaf-maaf aja, Dek. Kita nggak setara. Aku ini tentara, loh."Kata-kata itulah yang selalu diingat Nilam dalam hidupnya. Kata-kata yang memotivasi dirinya hingga akhirnya lulus menjadi Sarjana muda di usianya yang baru 22 Tahun. Ia mengambil jurusan bahasa Inggris di universitas ternama dengan jalur beasiswa. Berkat kegigihannya, ia lulus dengan gelar cumlaude. Nilam bukan berasal dari keluarga mampu, ia berasal dari keluarga miskin yang ayah dan ibunya bekerja menjadi seorang pembantu dan supir di rumah keluarga kaya raya."Aku yakin, Bang Indra mau nerima aku sekarang," ucapnya percaya diri. Ia sudah membayangkan akan menikah dengan pria impiannya dan menjadi Cinderella di prosesi sangkur pora mereka nanti.Pria itu bernama Indra Sanjaya, seorang tentara berpangkat Sersan satu yang saat ini bertugas menjadi Caraka/Ajudan yang membantu Pak Danyon (Komandan Batalyon) di k