Senja menumpahkan cahaya oranye pucat di taman lantai teratas rumah sakit. Dave Carter berdiri di tepi pagar besi, matanya menyapu pemandangan kota yang perlahan tenggelam dalam gelap.“Cerita bohong itu akan membuat Laura membenci keluarganya,” bisik Dave dengan yakin. “Dan saat itu terjadi, aku akan berada di sisinya. Mendukungnya dan menyiapkan bahu untuknya bersandar. Perlahan, Laura akan kembali padaku.”“Kau cukup percaya diri juga, Carter. Apa kau yakin dengan rencanamu ini? Laura bukan orang bodoh yang bisa mempercayai cerita murahan seperti itu.” Rafael Ortega menyalakan rokok lalu menghisapnya dalam-dalam.“Tentu saja aku sangat yakin. Aku mengenal Laura, dia sangat mencintai ibunya dan kehadiran Maria Delacroix telah menghancurkan hatinya. Meskipun, dihadapan semua orang Laura bersikap hangat tapi sebenarnya … ia membenci Maria.”Rafael Ortega tetap menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras. Hanya angin sore yang bergerak di antara mereka.“Carter,” suaranya datar namun te
Pukul lima sore tapi suasana rumah sakit masih terlihat sibuk dengan lalu lalang perawat dan dokter. Laura baru saja keluar dari lift ketika suara gaduh terdengar dari lobi utama. Ia berhenti, menajamkan telinga. “Maaf, Tuan, Anda tidak bisa masuk tanpa izin,” suara salah satu pengawal pribadi Laura terdengar tegas. “Singkirkan tanganmu dariku! Aku hanya ingin bicara sebentar dengan Laura,” balas seorang pria dengan nada kesal. Laura menoleh dari balik pintu kaca, matanya membesar. Dave Carter berdiri berhadapan dengan dua pengawalnya. Tangan Dave memegang buket bunga besar. “Kau tidak diizinkan mendekati atau bertemu dengan Nyonya Laura,” ujar pengawal lainnya dengan dingin. Dave mendengus, suaranya meninggi. “Persetan dengan izin! Aku hanya perlu lima menit. Katakan padanya aku di sini, atau aku akan membuat keributan lebih besar!” Situasi makin panas, beberapa orang mulai menoleh, penasaran dengan pertikaian itu. Petugas keamanan rumah sakit tidak bisa berbuat apa-apa karena
Lorong rumah sakit terasa lengang ketika Laura akhirnya keluar dari ruang operasi. Dua prosedur besar–yang melelahkan–hari ini menguras seluruh tenaganya. Rambutnya sedikit berantakan meski masih terikat rapi, dan wajahnya terlihat pucat. Laura berjalan pelan menuju ruang istirahat dokter, berniat sekadar duduk sebentar untuk menenangkan diri.Saat pintu bergeser, aroma kopi hangat menyambutnya. Rafael Ortega sudah menunggu di sana dengan dua gelas kertas di tangannya. Senyumnya muncul begitu melihat Laura, seolah ia tahu persis kapan waktu yang tepat untuk hadir.“Aku pikir kau membutuhkan ini,” ucap Rafael sambil menyodorkan satu gelas ke arahnya.Laura mengerjap, kaget sekaligus heran tapi sejurus kemudian Laura tersenyum.“Kau … menungguku?”Rafael mengangkat bahu dengan ringan, matanya menatapnya dengan penuh arti. “Aku mungkin tidak sehebat dirimu di meja operasi, tapi aku cukup pintar membaca ekspresi lelah seseorang. Dan aku … hanya ingin memastikan kau baik-baik saja.”Laur
Dominic dan Laura saling menjabat tangan singkat setelah Brian memperkenalkan keduanya.“Nyonya Marchetti, suatu kehormatan bertemu dengan Anda.” Dominic mencium singkat punggung tangan Laura.Brian berdehem keras, membuat Laura canggung, dan segera menarik tangannya. Ia mengumpat dalam hati jika sampai tindakan Dominic vesper membuatnya tak bisa turun dari ranjang.“Kau keberatan, Brian? Setidaknya aku bersikap gentle dengan mencium istrimu tepat didepan mata.” Dominic menyindir halus dengan senyuman konyol yang menyebalkan bagi Brian.Brian menaikkan alisnya sebelah, berusaha bersikap normal sambil merapikan pakain Laura yang sedikit terbuka.Tatapan mata Dominic langsung tertuju pada jejak kemerahan yang menghiasi leher Laura, ia terkekeh.“Gosh, aku rasa seseorang habis mengamuk semalam?” Laura kikuk, ia mengalihkan mata ke arah luar dan terkejut melihat sekelompok pria yang berkumpul di taman.“Mereka … orang mu Tuan Vesper?”Dominic menoleh lalu mengangguk, “Ya. Suamimu ini mem
“B-Brian?” Laura terkejut, kaget dengan perlakuan kasar Brian apalagi cengkraman kuat di lengan mulai menyakitinya.Alih-alih menjawab, bibir Brian kembali mendarat di leher Laura, disusul gigitan kecil yang nyaris menyakitkan. Nafasnya berat, seolah tak memberi ruang pada Laura untuk berpikir.“Kenapa kau begitu ramah padanya, hm?” bisik Brian serak di telinganya. “Apa kau lupa siapa yang sekarang ada di sisimu?”Laura terengah, mencoba menahan tubuh Brian yang membombardir dengan kecupan panas dan cengkeraman yang tak memberinya kesempatan mengelak.“Tidak … bukan seperti itu … kau salah mengerti,” Laura berusaha menjelaskan, tapi suara Brian menginterupsi, penuh kecemburuan.“Jangan bohong, Laura.” Rahangnya menegang, ciumannya kembali menuntut, lebih kasar, seakan hendak menghapus jejak siapapun selain dirinya. “Aku tidak suka melihatmu tersenyum pada pria lain … apalagi dia.”Brian tidak memberi Laura kesempatan untuk bernapas. Tubuhnya menekan dengan kasar, desahannya terden
Laura mendorong pintu ruang pemulihan, berusaha mengalihkan dirinya. Untungnya panggilan penting dari seseorang membuat Rafael Ortega menjauh darinya. Laura menghela nafas, lega karena tekanan hari ini berkurang satu. Di ruang pemulihan yang remang, hanya terdengar desau pelan mesin ventilator pasien. Laura berdiri di sisi ranjang, mencatat kondisi, mencoba fokus pada pekerjaannya. Tapi ia tidak bisa menghapus jejak di kepalanya yang terus memutar momen di lorong bersama Rafael. Tatapan mata Rafael Ortega, caranya menggoda, dan nostalgia kuliah tadi—semua berputar ulang di benaknya. Ia menggigit bibir, merapikan jas putihnya sebelum meninggalkan ruangan. Laura kembali memeriksa ponselnya, tak ada pesan atau panggilan dari Brian. “Huft, memangnya apa yang aku harapkan? Dia mungkin sibuk, atau …,” Jantungnya berdegup lebih cepat saat bayangan wajah Brian muncul dengan sorot mata tajamnya. Laura meraih ponselnya. Ia mengetik pesan dengan cepat. [Brian, kau masih terjaga? Aku ingin