LOGIN‘Andai ada keajaiban..,’
“Sebelum kita melanjutkan,” suara pendeta terdengar, “bila ada di antara kalian yang merasa bahwa pernikahan ini tidak seharusnya terjadi … kalian bisa menyampaikannya sekarang … atau tidak untuk selamanya.” Suasana hening sejenak. Satu detik … dua detik … tiga, dan … Tiba-tiba, terdengar suara lantang dari sisi lain taman. “Hentikan pernikahan ini!” Semua kepala menoleh. Seorang pria tinggi dengan wajah tegas dan berpakaian rapi melangkah masuk. Tatapannya tajam, melangkah dengan penuh keyakinan diiringi enam pengawal pribadi. Cahaya dari lampu membingkai kedatangannya dalam siluet dramatis. Sorot tajamnya… langsung mengarah ke altar. Ke arah Dave dan Laura. “Maaf, Bapa.” katanya, suaranya dalam dan penuh tekanan. “Tapi pernikahan ini… tidak bisa dilanjutkan.” Suasana membeku. Semua mata tertuju pada pria yang baru saja menerobos masuk. Brian datang bak dewa penyelamat Laura. Ia mengenakan jas hitam elegan, rambutnya begitu rapi an tentu saja aroma parfum mahal yang dikenal Laura malam itu. Brian berdiri tegak di depan altar. Matanya menusuk tajam ke arah satu orang. Tentu saja, siapa lagi kalau bukan Dave. Laura membeku di tempatnya. Sungguh, ia tidak percaya Brian benar-benar datang dan berdiri tepat disampingnya. Di hari ini, di saat ini. Seolah menjadi jawaban atas doanya barusan. “Menyingkirlah dari altar, Dave.” suara Brian terdengar tegas, dan dingin. “Kau tidak pantas berdiri di altar ini.” Dave tersenyum kaku, mencoba tetap tenang di tengah keterkejutan semua orang. “Ini bukan waktunya untuk drama, tuan.” Tapi Brian tak peduli. Dalam satu gerakan mengejutkan, Brian menarik kerah jas Dave dan mendorongnya turun dari altar. Suara teriakan terdengar dari para tamu. Beberapa langsung berdiri, sebagian besar hanya membelalak. Orang tua Dave langsung bereaksi. “Apa-apaan ini! Siapa kau berhak menghalangi pernikahan putraku!” bentak ayah Dave. Ia berdiri dari kursinya, hendak memukul Brian. Bodyguard pribadi Brian—dua pria bertubuh besar berbaju gelap—bergerak cepat, menghadang ayah Dave, dan memberi peringatan dingin. “Duduklah, tuan. Anda tidak ingin membuat ini semakin buruk bukan.” Brian naik ke altar. Ia menatap Laura sejenak, lalu menoleh ke arah tamu undangan yang masih syok. Hanya dengan satu anggukan saja. Layar besar yang sedianya disiapkan untuk slideshow bahagia pengantin menampilkan video mengejutkan. “Sekarang kalian lihat alasan kenapa aku menghentikan pernikahan konyol ini,” ucap Brian dingin. Layar menyala lalu ... gambar pertama muncul. Sebuah foto email bertajuk “Taruhan Jeu des Héritiers. Siapa pun yang mendapatkan Laura akan mendapatkan Hadiah Utama.” Lalu muncul screenshot dari grup chat. Tertulis pengirimnya Dave Carter. [Aku akan mendapatkannya. Kalian semua bakal kalah telak.] [See, akulah pemenangnya dan siapa sangka Laura bisa dibohongi semudah itu.] Tamu-tamu mulai berbisik keras. Laura tak berkedip menatap layar, dadanya berguncang. Lalu … video berikutnya muncul. Rekaman syur Dave bersama Bella. Tak hanya satu potongan. Brian memutar beberapa bagian, cukup untuk membuat siapa pun yang menontonnya merasa jijik. Beberapa tamu wanita menutup mulut mereka, ngeri. Seorang kerabat Laura langsung berdiri dan berteriak, “Cukup, hentikan!” Dengungan beranda sinis terdengar menggema, memerahkan telinga keluarga besar Carter dan kerabatnya. “Hentikan! Siapa kau sebenarnya?!” Dave carter meradang. Ia hendak memukul Brian tapi dua pengawal Brian yang lain menahan ditambah bonus pukulan keras di perutnya. Para tamu menjerit. Tapi Brian tetap tenang, menatap sinis Dave yang tersungkur kesakitan. “Kau memang pria yang tak tahu diri.” “Inikah calon suamimu Laura? Beginikah kelakuan calon menantu kalian?” ia menoleh ke Laura, yang kini diam dengan tangan mengepal kuat. Laura menggigil. Air matanya jatuh, bukan karena sedih gagal menikah tapi karena muak dengan sikap Dave Carter. Dave mencoba bangkit. “Itu semua fitnah! Aku—aku dijebak!” Brian menghampirinya, menatap Dave tajam. “Kalau ini fitnah, kenapa aku bisa mengakses akun mu dengan mudah? Kenapa aku bisa menunjukkan semua pesan menjijikkan dari ponsel Bella?” “Oh aku tahu … kau ingin aku menyebut siapa lagi yang ikut dalam permainan konyol itu?” Brian berbisik, mengintimidasi Dave hingga tak bisa lagi membalas kata. Suara gaduh terdengar berbisik di antara tamu undangan. Seperti bom waktu, semua yang ditutupi selama ini meledak di hadapan tamu-tamu terhormat, keluarga bangsawan, dan anggota klub elite yang selama ini bersembunyi di balik reputasi mereka. Max Lewis Carter–ayah Dave–berdiri dari kursi barisan depan. Menggeram kesal dan tak lagi bisa menutupi rasa malunya. “Dave, kau telah mempermalukan keluarga kita! Permainan konyol yang sangat kekanak-kanakan!” teriaknya dengan wajah memerah menahan malu. Dave hanya diam, tertunduk, seperti mayat hidup di depan altar. Tak berani menatap siapa pun. Tangannya mengepal kuat, geram karena rencananya gagal. “Pernikahan ini dihadiri anggota klub! Keluarga besar! Pejabat! Wartawan!” lanjut Max geram dengan suara tertahan. “Anak tak tahu diri!” Sejumlah pria paruh baya bersetelan mahal—anggota klub eksklusif yang menjadi kolega keluarga Carter—mulai gelisah. Wajah-wajah putra mereka tersorot jelas di video yang ditampilkan Brian tadi. Beberapa di antara mereka langsung berbisik satu sama lain, ikut tertampar skandal memalukan itu. “Ini gila … kita juga bisa terseret kalau media tahu,” desis salah satu pria tua. “Bersihkan rekamannya. Sekarang juga!” bentak yang lain. “Tahan lelaki itu jangan sampai dia pergi.” sahut yang lain menunjuk ke arah Brian. “Cukup!! Hentikan!”Keesokan harinya, mereka beralih ke prosesi pembaptisan Elias. Ethan ditunjuk khusus Laura untuk menjadi ayah baptis bagi Elias. Brian tentu saja setuju. Dengan begitu ia tak perlu khawatir Ethan akan bertingkah macam-macam pada Laura.Prosesi pembaptisan dimulai. Ethan berdiri di samping pendeta, menyiapkan air suci. Laura menggendong Elias, sementara Brian berdiri di belakang mereka, menatap dalam diam—tatapan seorang ayah yang siap menantang dunia demi anaknya.Ethan meneteskan air di kepala kecil Elias. “Dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus …” katanya lembut.Air menetes perlahan di kulit bayi itu, memantulkan sinar senja.Laura tersenyum, sementara Brian menunduk, menatap buah hatinya penuh haru.Dalam hatinya, Brian berjanji. Tidak akan ada seorangpun yang dapat menyentuh dan menyakitimu, Nak. Tidak selama ayahmu masih bernafas.Laura menoleh, menatap Brian dengan senyum yang hanya dimengerti oleh hati mereka berdua.Ketika lonceng gereja kecil berdentang di kejauhan, mereka be
Cahaya senja menembus lembut melalui tirai tipis berwarna krem, membentuk garis keemasan di lantai kamar. Aroma susu bayi, mawar putih, dan sedikit wangi musk dari parfum Brian bercampur menjadi satu — hangat, menenangkan. Laura duduk disisi tempat tidur, mengenakan gaun rumah sederhana dari linen. Rambutnya dibiarkan terurai, sebagian menempel di pipi karena lembab. Di lengannya, Elias baru saja tertidur setelah disusui. Bayi mungil itu mendengkur pelan, wajahnya begitu damai seolah seluruh dunia berhenti hanya untuknya. Brian berdiri di ambang pintu, masih mengenakan kemeja hitam dengan lengan digulung sampai siku. Ia diam beberapa saat, hanya menatap Laura dan putra mereka. Kebahagiaan Brian berada pada titik puncak saat ini. Elias dinyatakan sehat setelah melalui serangkaian tes di fasilitas medis Dominic. Tubuh kecilnya sama sekali tidak berpengaruh dari sejumlah obat yang pernah disuntikkan Rafael Ortega pada Laura. Bahkan Elias terlihat lebih sehat dan mengalami per
Brian berdiri panik, nyaris menjatuhkan kursi di belakangnya. “A-Air ketuban?! Tunggu, sekarang? Ya Tuhan … sekarang?!”“Kalau kamu masih bertanya, ya Brian, sekarang!” teriak Laura dengan amarah bercampur rasa sakit.Pria yang biasanya mengatur anak buah bersenjata tanpa gentar kini berlari ke pintu, suaranya menggema di seluruh rumah.“Siapkan mobil! Panggil dokter! SEKARANG!”“Tuan, ada apa ini?” Alfred yang baru tiba di villa ikut panik.“Laura, dia … dia … ah sudahlah, cepat siapkan mobil dan hubungi rumah sakit segera!”Brian berlari mondar mandir kebingungan, sementara Laura terus merintih kesakitan. Sesekali wanita yang dicintainya itu berteriak memanggil Brian yang terus bergerak mengatur anak buahnya.“Brian, berhenti dan cepat kemari!” seru Laura seraya menarik tangan suaminya.“Tuan, tenangkan dirimu atau Anda akan membuat proses ini semakin sulit.” Madeline menenangkan Brian agar bisa berada di sisi Laura.Beberapa jam kemudian, di rumah sakit keluarga Marchetti.Laura be
Brian menekan tombol di tablet kecil yang ia bawa, dan dalam sekejap layar di depan ruangan menampilkan hasil voting digital dewan direksi. Pada barisan teratas nama pemilik saham terbesar membuat Richard terbelalak. Brian Castellano Marchetti berada pada posisi 48,9 persen. Sorot lampu dari layar memantul di mata Richard, membuat wajahnya tampak lebih pucat. Ia terdiam, bibirnya bergetar seperti ingin protes tapi tak ada kata yang bisa keluar. “Permainanmu sudah selesai,” ucap Brian tenang. “Kau melanggar kontrak, menyalurkan dana ke proyek yang bukan milikmu, dan berusaha menutupi jejak itu dengan manipulasi laporan. Aku hanya mengembalikan Hartwell ke tangan yang lebih mampu menjaganya.” Richard terdiam. Tubuhnya perlahan merosot kembali ke kursi, seperti tikus yang terjebak dalam perangkap. Semua mata kini beralih padanya—bukan dengan hormat, melainkan dengan rasa iba. Brian menatapnya satu kali lagi sebelum berdiri tegak. “Kau pernah mengatakan padaku, kekuasaan hanya milik
Ruang rapat utama di gedung Hartwell Tower siang itu terlihat tenang. Cahaya matahari menerobos lembut, menyinari meja panjang yang terbuat dari kaca obsidian, tempat para direktur yang kini duduk berjajar dalam diam.Wajah-wajah serius mendominasi ruangan. Sebagian ada yang memilih fokus pada layar ponsel, sebagian lagi mengerutkan kening, melihat laporan terakhir yang disajikan para divisi.Suasananya terlalu hening untuk disebut pertemuan biasa.Di ujung meja, Richard Hartwell duduk menatap satu persatu anggota Dewan Direksi. Dasi hitamnya sedikit longgar, sementara jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja tanpa sadar.“Bagaimana ini bisa terjadi Asher?” Ia berbisik pada asisten pribadinya.“Kita benar-benar hancur, apa kau menemukan Kenny dan Miller?” lanjutnya lagi degan cemas, ia mengusap peluh yang menetes di keningnya.Asher menggeleng pelan, “jejaknya saja tidak terlihat, Tuan.”Richard menarik nafas dalam dan panjang, bersiap pada kemungkinan terburuk.Di hadapannya, layar d
“Sudah cukup tenang sekarang?” Laura tersenyum manis, menatap wajah Brian yang terlihat lebih rileks.Brian mengangguk kecil. “Cukup tenang untuk menghadapi masalah lain hari ini.”Brian mengambil ponselnya yang lain, lalu menekan satu tombol. “Bersiaplah kedatangan tamu spesial, Dom.” Ujarnya singkat sebelum menutup panggilan.Laura menaikkan alisnya. “hm, masalah lain?”Brian menoleh pada Laura. “Ethan,” ia terdiam sejenak, menatap mata bening Laura. “Kau tahu alasan aku mengusirnya? Dia memakai penyadap dan mungkin saja ada alat pengintai lain yang sengaja dibawanya untuk memata-matai mansion ini dan juga dirimu.”Laura terkejut. “Menyadap? Kamu yakin?”Brian melepaskan pelukannya perlahan, mendekati lemari kayu di sebelah ranjang. Ia membuka laci paling atas dan mengeluarkan kotak unik dengan kode digital.“Microbee mendeteksi sinyal aneh begitu dia masuk. Ada transmitter di tubuhnya. Aku harus mengusir Ethan sebelum dia mendapatkan banyak informasi.”Di telapak tangan Brian micro







