Langit di kota Paris menguning di balik jendela tinggi Hôtel Costes, memantulkan kilau emas di permukaan gelas sampanye yang dipegang Dave Carter dengan malas.
Aroma musk maskulin dan aftershave mahal memenuhi ruangan bercampur tawa ringan dari para pria muda dengan setelan terbaik karya desainer eksklusif. Dave menyandarkan tubuh ke sofa beludru. Ia menoleh ketika Hugo Bannet—putra pewaris maskapai penerbangan ternama di Eropa—melemparkan selembar kartu undangan ke arahnya. "Rupanya kau sudah siap jadi suami, Carter?" goda Hugo, sambil menggigit rokoknya dengan gaya angkuh. "Laura Hartwell—putri dari konglomerat Richard Hartwell. Luar biasa, kau memenangkan poin tertinggi tahun ini.” "Aku sudah katakan padamu bukan? Aku akan memenangkan taruhan ini.” jawab Dave dengan senyum sinis. "Cincin sudah di jari, undangan sudah dikirim. Hanya tinggal naik ke altar, dan … dapatkan jackpotnya.” Ucapnya lagi sambil menatap angkuh pantulan wajahnya di gelas. “Kau luar biasa sekali tuan Carter. Bahkan gadis sedingin dan seangkuh Laura Hartwell pun bertekuk lutut padamu.” Hugo berkata, ada rasa iri karena tahun ini ia dikalahkan Dave. "Laura, gadis yang keras kepala," ujar Armand, ahli waris kerajaan perhiasan. "Kudengar kau nyaris kehilangan dia, bukan? Setelah kau dan Bella tertangkap basah tengah ..,” Armand tak melanjutkan kalimatnya, tapi seluruh anggota club tahu dan menertawakan hal itu. Tak ada yang bisa disembunyikan dari mereka. Informasi berjalan begitu cepat, menyebar sesuai aturan permainan. Dave hanya tersenyum miring. "Justru itu yang membuatnya lebih menantang. Berkali-kali aku mengecewakan dan tertangkap basah tapi keteguhan cintanya luar biasa. Sayang sekali aku kurang berminat dengan gadis biarawati itu.” “Tapi permainan tetap permainan Carter. Kau harus tetap menjalaninya meski kau tak suka.” Hugo Bannet selaku ketua club menegaskan. “Kau benar dan sekarang, dia milikku. Meskipun dia melarikan diri dariku tapi tetap saja dia akan kembali asalkan kau … tahu cara memainkan kartunya." Hugo berdecak, ia setuju dengan prinsip Dave. Hugo mengangkat tinggi gelasnya diikuti anggota lain. “Untuk penutupan perburuan kita dan akhir yang menyenangkan … cheeeers!” Tawa menggema di seluruh ruangan. Para pria muda kaya yang tergabung dalam klub eksklusif itu bersulang dengan wajah puas. Melanjutkan pesta menandai berakhirnya masa buruan. Mereka adalah sekumpulan pria muda kaya dari kalangan darah biru. Tidak semua pria muda kaya bisa masuk menjadi anggota. Para pria muda ini berkumpul karena kesamaan. Kekayaan berlebih, kejenuhan akut, dan permainan gila yang semakin berbahaya. Jeu des Héritiers adalah nama permainan para pewaris ini. Aturannya sederhana tapi cukup kejam. Menargetkan para putri konglomerat dari berbagai penjuru dunia. Siapa pun yang berhasil membuat targetnya menikah secara sah—mendapatkan poin tertinggi. Hadiahnya tentu saja sejumlah uang yang cukup banyak, dan satu trofi perak bergilir yang diakui diam-diam di antara para sultan-sultan muda Eropa. Nama mereka akan terpampang dan ditulis dalam tinta emas di dinding pentahbisan dan dinobatkan sebagai Man of The Year. “Apa yang akan kau lakukan setelah menikah Dave?” "Aku?” Dave menenggak minuman pelan, lalu menyeringai. "Aku ingin tahu seberapa jauh ia akan melangkah ... sebelum akhirnya sadar, kalau dia tak pernah benar-benar bisa lepas dariku." "Sadis," gumam seseorang sambil terkekeh. "Itu realistis," balas Dave. "Dia ingin dirinya bebas. Tapi cincin ini akan mengikat dan mengurungnya dalam penjara kristal.” “Bersulang untuk tahun yang begitu menyenangkan!” Seru Dave mengangkat gelasnya. Mereka kembali bersulang, gelas kristal berdenting—mengiringi tawa kejam para pria yang terlalu muda untuk mengerti arti kata lelah, dan terlalu kaya untuk mengerti batasan normal. Langkah sepatu bergema, semua mata menoleh ke arah yang sama. Seorang wanita muda berbalut dress satin merah menggoda masuk dengan gelas di tangan kanannya. Sienna menyipitkan mata, memeluk gelas wine-nya lebih erat saat bersitatap dengan sepasang mata yang didambakan. Bibir merahnya menekan garis senyum palsu. “Sepertinya … aku ketinggalan perayaan,” ucapnya pelan, meneguk sampanye perlahan. Selamat datang Sienna, aku kira kau tidak akan datang ke pesta.” Hugo Bannet menyambut. Sienna tersenyum tipis tanpa menoleh, memilih meneguk sampanye-nya lagi. Ia berjalan menghampiri Dave yang tengah berdiri menatapnya. “Wow, tatapanmu itu bisa membakar rambut seorang gadis hanya dari jarak seratus meter,” sindir Hugo santai, menyandarkan tubuh ke kusen pintu. “Aku hanya ingin mengucapkan selamat, Dave … atas kemenanganmu.” Sienna menatap tajam Dave, bukan karena benci atau ikut senang meskipun hatinya terluka. “Thanks, jangan lupa … kau harus datang sebagai bridesmaids.” Sienna masih tak berkedip, tersenyum tipis dan menjawab, “tentu.” Untuk sesaat keduanya saling menatap sebelum Sienna memutar tubuhnya dan menjauh dari Dave. Pesta kembali berjalan dengan gelak tawa dan hiburan dari para wanita penari sexy. Dentum musik menggema mengiringi goyangan tubuh para muda mudi itu. Sienna belum bergeming dari posisinya. menatap lurus Dave yang asyik berjoget dengan rekannya. “Kapan kalian akan berhenti memainkan hal konyol seperti ini, Bannet?” Tanya Sienna saat menyadari tatapan Hugo Bannet padanya. “Entah, mungkin … setelah seluruh gadis kaya di dunia ini sudah habis?”Langkah sepatu terdengar menggema, tapi tak ada satupun yang memperhatikan hal itu.Keluarga inti Hartwell berkumpul di ruang keluarga. Shock bercampur sedih terlihat jelas menggantung di wajah Richard Hartwell. Ia dikhianati calon menantunya sendiri. Orang yang diharapkan bisa menolong keluarganya dari kebangkrutan.Pintu terbuka dan Brian muncul. Terlihat begitu maskulin dengan jas hitam yang kini terbuka dibagian atas. Senyum samar menghiasi wajahnya. Pria itu terlihat tenang, sangat tenang. “Tuan Hartwell,” ucap Brian, suaranya berat.mendominasi ruangan. “Bisa kita bicara empat mata?”Richard terkejut, ia menatapnya ragu, lalu memberi isyarat kepada Maria dan Megan untuk meninggalkan mereka. Dua pengawal Brian berjaga di depan pintu sementara asisten pribadinya masih setia berdiri selangkah di belakang Brian.Begitu ruangan cukup tenang, Brian menarik kursi dan duduk di depan Richard. Ia menyandarkan tubuh ke depan, jari-jarinya saling mengait.“Aku tahu situasi Anda saat ini s
"Cukup!! Hentikan!” Laura berteriak dan itu cukup untuk menghentikan suara-suara yang berisik. Hening menggantung panjang. Pernikahan Laura, hancur. Di depan semua orang. Laura memejamkan mata. Ia membuka veil-nya perlahan, lalu menarik cincin di jari manisnya dan meletakkannya di altar. Dengan langkah pasti, ia meninggalkan altar. Tak peduli dengan teriakan Dave yang memohon. Laura tidak ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia pergi begitu saja. Tak ingin menanggapi atau bicara. Hatinya sudah sakit, sangat sakit. “Dave Carter!” suara lantang dengan amarah terdengar menggema. Seorang wanita muda muncul dengan gaun mahal, bermake up tebal, berjalan lurus ke altar. Tatapannya begitu tajam, Laura menghentikan langkahnya, ia mengernyit. “Sarah?” Laura mengenalnya, itu pemilik butik ternama di Paris sekaligus teman kuliahnya. Sarah berjalan melewati Laura dengan tatapan sinis seolah tidak mengenalnya sama sekali. Semua mata kembali menoleh. Dave membulatkan mat
‘Andai ada keajaiban..,’ “Sebelum kita melanjutkan,” suara pendeta terdengar, “bila ada di antara kalian yang merasa bahwa pernikahan ini tidak seharusnya terjadi … kalian bisa menyampaikannya sekarang … atau tidak untuk selamanya.” Suasana hening sejenak. Satu detik … dua detik … tiga, dan … Tiba-tiba, terdengar suara lantang dari sisi lain taman. “Hentikan pernikahan ini!” Semua kepala menoleh. Seorang pria tinggi dengan wajah tegas dan berpakaian rapi melangkah masuk. Tatapannya tajam, melangkah dengan penuh keyakinan diiringi enam pengawal pribadi. Cahaya dari lampu membingkai kedatangannya dalam siluet dramatis. Sorot tajamnya… langsung mengarah ke altar. Ke arah Dave dan Laura. “Maaf, Bapa.” katanya, suaranya dalam dan penuh tekanan. “Tapi pernikahan ini… tidak bisa dilanjutkan.” Suasana membeku. Semua mata tertuju pada pria yang baru saja menerobos masuk. Brian datang bak dewa penyelamat Laura. Ia mengenakan jas hitam elegan, rambutnya begitu rapi an tentu
Di ruangan lain keluarga Hartwell begitu heboh mempersiapkan pesta termegah abad ini. Tenda putih gading telah berdiri di halaman belakang yang luas, dengan lampu-lampu kristal menggantung bak bintang berguguran. Para desainer interior, perencana pernikahan kelas dunia, dan juru masak berbintang Michelin lalu-lalang seperti semut pekerja, semuanya bekerja di bawah tekanan satu kalimat. Harus sempurna! Ayah Laura–Richard Hartwell–berdiri di balkon lantai dua, menatap ke arah taman yang sedang dihias dengan bunga calla lily dan mawar putih. Wajahnya berseri penuh bangga. "Akhirnya putriku menikah juga. Dengan pria yang sukses, mapan, dan punya masa depan cerah," gumamnya, menepuk-nepuk bahu wedding planner yang berdiri di sampingnya. Di dalam rumah, ibu tiri Laura–Maria Delacroix–sibuk memilih gaun-gaun dari koleksi couture bersama adik tiri Laura yang baru berusia 23 tahun, Megan. Keduanya tak henti-henti mengomentari potongan gaun, tekstur bahan, dan palet warna yang paling "I
"Entah, mungkin … setelah seluruh gadis kaya di dunia ini sudah habis?”Sienna berdecak sinis mendengar jawaban konyol Hugo Bannet, “kalian benar-benar kehilangan akal. Apa kalian tidak mempertimbangkan akibatnya? Para gadis itu dipermainkan layaknya boneka. Itu menyedihkan.”“Dipermainkan, benarkah? Heem, Laura atau … dirimu sendiri yang merasa begitu?” tanya Hugo mengejutkan hingga Sienna Hayes menoleh cepat ke arahnya.“Jangan kira aku tidak tahu apa yang kau rasakan nona Hayes.” Hugo berkata, sedikit mendekatkan wajahnya pada pewaris pengusaha minyak terbesar di Texas itu.“Kau menyukai Dave Carter bukan? Jika aku boleh menyarankan nona Hayes … jangan bawa cinta dalam klub ini jika kau tak ingin … kalah dengan taruhan.” ketua klub itu berbisik sangat dekat di telinga Sienna.Hugo Bannet dengan lancangnya mendaratkan kecupan di leher jenjang Sienna, memberi gigitan kecil menggoda yang memaksa gadis cantik itu mengerang.“Jangan memaksa, Bannet! Kau tidak tahu akibatnya.”“Coba saja
Langit di kota Paris menguning di balik jendela tinggi Hôtel Costes, memantulkan kilau emas di permukaan gelas sampanye yang dipegang Dave Carter dengan malas. Aroma musk maskulin dan aftershave mahal memenuhi ruangan bercampur tawa ringan dari para pria muda dengan setelan terbaik karya desainer eksklusif. Dave menyandarkan tubuh ke sofa beludru. Ia menoleh ketika Hugo Bannet—putra pewaris maskapai penerbangan ternama di Eropa—melemparkan selembar kartu undangan ke arahnya. "Rupanya kau sudah siap jadi suami, Carter?" goda Hugo, sambil menggigit rokoknya dengan gaya angkuh. "Laura Hartwell—putri dari konglomerat Richard Hartwell. Luar biasa, kau memenangkan poin tertinggi tahun ini.” "Aku sudah katakan padamu bukan? Aku akan memenangkan taruhan ini.” jawab Dave dengan senyum sinis. "Cincin sudah di jari, undangan sudah dikirim. Hanya tinggal naik ke altar, dan … dapatkan jackpotnya.” Ucapnya lagi sambil menatap angkuh pantulan wajahnya di gelas. “Kau luar biasa sekali t