"Kita harus bicara, Laura.” ucapan dingin Maria seolah memberi kode darurat padanya.
Laura ingin menolak, tapi Maria sudah memegang tangannya dengan sentuhan yang terlihat lembut—tapi mencengkeram seperti cakar burung. Sesaat kemudian, Laura sudah terdorong ke dalam kamar tidurnya sendiri. Pintu ditutup. Dikunci dari dalam oleh Maria sendiri. "Aku sudah cukup bersabar, Laura," suara Maria mendadak berubah rendah. "Bukannya aku tidak sayang padamu. Tapi kau harus tahu, hidup ini bukan tentang cinta konyol atau pemberontakan gadis manja seperti kau. Ini tentang ... kemampuan bertahan." "Apa maksudmu?" Laura melawan tatapan intimidasi Maria. "Kau harus menikahi Dave, jika tidak perusahaan kita kehilangan tender properti di Seine. Dana operasional bulan depan sangat minim. Saham bisa anjlok, dan perusahaan kita bakal tutup. Kau ingin semua pegawai dipecat hanya karena kau ingin 'bebas'?" "Tapi, aku tidak bisa menikah dengan pria yang bahkan tidak bisa menjaga komitmennya, Bu?!” Laura tetap menolak. Maria mendekat, menaruh tangan di pipi Laura seperti seorang ibu yang penuh kasih dan meyakinkan Laura pada pilihannya. "Kalau begitu lakukan demi ayahmu, bukan demi aku atau Jennifer. Hanya dia yang bisa menyelamatkan keluarga kita." Laura terdiam, hatinya perih menghadapi kenyataan yang tak sesuai harapan. “Tolong, pikirkan baik-baik Laura.” Maria keluar kamar, menatap putri tirinya sejenak sebelum akhirnya pergi menemani calon menantunya. Laura hanya bisa menggigit bibirnya. Menahan tangis yang mulai mengalir. Tekanan datang dari semua sisi. Ia baru saja kabur dari penjara lain … hanya untuk dipaksa kembali ke penjara yang berbeda. Setelah semalaman berpikir, dengan berat hati Laura akhirnya menyerah. Di bawah tekanan ibu tirinya, dan demi menyelamatkan perusahaan keluarga yang berada di ambang kehancuran, ia menyetujui pernikahan itu. Minggu depan ia akan menikahi Dave, sesuai rencana semula. Sore itu, media mulai mengendus kabar pernikahan mereka. Maria sibuk mengatur segala sesuatunya agar terlihat glamour. Seolah ini adalah kisah cinta dua bangsawan modern. Tapi ada yang tak mereka ketahui. Niat tersembunyi dari Dave. Di sebuah penthouse mewah dengan view Sungai Seine, sang calon mempelai pria tengah merayakan kemenangan kecilnya. David mencabut dasinya dan melemparkan jasnya asal ke sofa kulit putih. Ia tertawa licik setelah mendapatkan berita dari anak buahnya. “Mudah sekali menaklukkanmu Laura. Hanya butuh satu kedipan mata dan kau pun tunduk.” Di kamar itu, Bella telah menunggunya dengan balutan jubah satin hitam yang nyaris terbuka. Gadis Spanyol berdarah campuran itu memutar segelas bourbon di tangannya dan tersenyum nakal. “Kau berhasil,” katanya sambil menyilangkan kaki. “Dia menerima lamaranmu?” David hanya menjawab dengan satu kalimat pendek sebelum menarik Bella ke dalam pelukannya. “Laura kini resmi milikku.” Bella terkikik sebelum bibirnya ditelan ciuman dalam, penuh dominasi. Tubuh mereka terhempas ke tempat tidur berlapis satin. Tangan David melepas jubah tipis Bella tanpa ragu. Bella menggeliat dan memperlihatkan lekuk tubuhnya yang padat berisi. Dave tak bisa lagi menahan hasratnya. Ia menghimpit tubuh yang begitu ia kenal dan eksploitasi berkali-kali. "Aku harus merayakannya malam ini... dan kau tahu cara terbaiknya," bisiknya di telinga Bella sebelum menggigitnya ringan. Bella mendesah, tangannya meluncur ke sabuk David, membukanya cepat sambil menatap langsung ke mata lelaki tampan yang mengungkung dirinya. “Kalau begitu, biar aku bantu kau rayakan kemenangan ini, Señor Lemaire…” Pakaian keduanya terlepas satu per satu. Nafas mereka berat, kulit bertemu kulit, panas meledak seperti api unggun yang tak terkendali. David mendorong Bella ke posisi di mana tubuhnya melengkung sempurna di bawahnya. Wanita cantik itu melenguh panjang mencapai titik kepuasan, lalu membalik posisi. Ia tersenyum nakal diatas tubuh Dave menyentuh area sensitif di bagian dadanya sendiri, membuat Dave semakin liar hanya dengan suara desahan dan goyangan pinggul konstan Bella yang memabukkan. Suara kasur yang berdecit dan erangan rendah memenuhi kamar. Setiap gerakan David bukan hanya tentang kenikmatan, tapi ego. Ia memperlakukan Bella seperti milik pribadi—seperti prolog dari apa yang akan ia lakukan pada Laura di malam pertama mereka besok. Sambil terus bergerak, David berbisik di telinga Bella. “Setelah aku menikahinya… semua yang dimiliki keluarga Hartwell akan jadi milikku. Dan setelah itu, kita akan menikah diam-diam. Laura hanya sebagai batu loncatan, nothing more.” Bella menggigit bibir bawahnya, kembali melenguh dan mengerang di bawah hentakan Dave. Ia tak ingin menjawab, hanya ingin merasakan nikmatnya hentakan dave dibawah sana. Bella tahu David itu kejam, dan penuh skenario jahat. Tapi ia tak peduli. Yang terpenting adalah, malam ini … Dave miliknya! Setelah keduanya mencapai klimaks dan beristirahat, David menyalakan sebatang rokok. Duduk telanjang di sisi tempat tidur sambil menatap pemandangan kota Paris malam hari. Bella mendekat, menyandarkan kepalanya ke bahunya. “Apa dia tidak curiga sedikitpun?” “Laura … dia anak manis yang terlalu percaya pada ibunya. Dia akan datang ke altar, tersenyum manis, dan menandatangani kontrak pernikahan yang akan mengakhiri hidupnya sebagai wanita merdeka.” Mereka tertawa bersama, kembali saling memagut dengan liar. Tanpa mereka sadari, di luar jendela … sebuah kamera tersembunyi dari drone kecil menangkap gambar dan suara mereka dengan jelas. Seseorang tengah menonton dari tempat lain. Seseorang yang tak pernah meninggalkan Laura.Langkah sepatu terdengar menggema, tapi tak ada satupun yang memperhatikan hal itu.Keluarga inti Hartwell berkumpul di ruang keluarga. Shock bercampur sedih terlihat jelas menggantung di wajah Richard Hartwell. Ia dikhianati calon menantunya sendiri. Orang yang diharapkan bisa menolong keluarganya dari kebangkrutan.Pintu terbuka dan Brian muncul. Terlihat begitu maskulin dengan jas hitam yang kini terbuka dibagian atas. Senyum samar menghiasi wajahnya. Pria itu terlihat tenang, sangat tenang. “Tuan Hartwell,” ucap Brian, suaranya berat.mendominasi ruangan. “Bisa kita bicara empat mata?”Richard terkejut, ia menatapnya ragu, lalu memberi isyarat kepada Maria dan Megan untuk meninggalkan mereka. Dua pengawal Brian berjaga di depan pintu sementara asisten pribadinya masih setia berdiri selangkah di belakang Brian.Begitu ruangan cukup tenang, Brian menarik kursi dan duduk di depan Richard. Ia menyandarkan tubuh ke depan, jari-jarinya saling mengait.“Aku tahu situasi Anda saat ini s
"Cukup!! Hentikan!” Laura berteriak dan itu cukup untuk menghentikan suara-suara yang berisik. Hening menggantung panjang. Pernikahan Laura, hancur. Di depan semua orang. Laura memejamkan mata. Ia membuka veil-nya perlahan, lalu menarik cincin di jari manisnya dan meletakkannya di altar. Dengan langkah pasti, ia meninggalkan altar. Tak peduli dengan teriakan Dave yang memohon. Laura tidak ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia pergi begitu saja. Tak ingin menanggapi atau bicara. Hatinya sudah sakit, sangat sakit. “Dave Carter!” suara lantang dengan amarah terdengar menggema. Seorang wanita muda muncul dengan gaun mahal, bermake up tebal, berjalan lurus ke altar. Tatapannya begitu tajam, Laura menghentikan langkahnya, ia mengernyit. “Sarah?” Laura mengenalnya, itu pemilik butik ternama di Paris sekaligus teman kuliahnya. Sarah berjalan melewati Laura dengan tatapan sinis seolah tidak mengenalnya sama sekali. Semua mata kembali menoleh. Dave membulatkan mat
‘Andai ada keajaiban..,’ “Sebelum kita melanjutkan,” suara pendeta terdengar, “bila ada di antara kalian yang merasa bahwa pernikahan ini tidak seharusnya terjadi … kalian bisa menyampaikannya sekarang … atau tidak untuk selamanya.” Suasana hening sejenak. Satu detik … dua detik … tiga, dan … Tiba-tiba, terdengar suara lantang dari sisi lain taman. “Hentikan pernikahan ini!” Semua kepala menoleh. Seorang pria tinggi dengan wajah tegas dan berpakaian rapi melangkah masuk. Tatapannya tajam, melangkah dengan penuh keyakinan diiringi enam pengawal pribadi. Cahaya dari lampu membingkai kedatangannya dalam siluet dramatis. Sorot tajamnya… langsung mengarah ke altar. Ke arah Dave dan Laura. “Maaf, Bapa.” katanya, suaranya dalam dan penuh tekanan. “Tapi pernikahan ini… tidak bisa dilanjutkan.” Suasana membeku. Semua mata tertuju pada pria yang baru saja menerobos masuk. Brian datang bak dewa penyelamat Laura. Ia mengenakan jas hitam elegan, rambutnya begitu rapi an tentu
Di ruangan lain keluarga Hartwell begitu heboh mempersiapkan pesta termegah abad ini. Tenda putih gading telah berdiri di halaman belakang yang luas, dengan lampu-lampu kristal menggantung bak bintang berguguran. Para desainer interior, perencana pernikahan kelas dunia, dan juru masak berbintang Michelin lalu-lalang seperti semut pekerja, semuanya bekerja di bawah tekanan satu kalimat. Harus sempurna! Ayah Laura–Richard Hartwell–berdiri di balkon lantai dua, menatap ke arah taman yang sedang dihias dengan bunga calla lily dan mawar putih. Wajahnya berseri penuh bangga. "Akhirnya putriku menikah juga. Dengan pria yang sukses, mapan, dan punya masa depan cerah," gumamnya, menepuk-nepuk bahu wedding planner yang berdiri di sampingnya. Di dalam rumah, ibu tiri Laura–Maria Delacroix–sibuk memilih gaun-gaun dari koleksi couture bersama adik tiri Laura yang baru berusia 23 tahun, Megan. Keduanya tak henti-henti mengomentari potongan gaun, tekstur bahan, dan palet warna yang paling "I
"Entah, mungkin … setelah seluruh gadis kaya di dunia ini sudah habis?”Sienna berdecak sinis mendengar jawaban konyol Hugo Bannet, “kalian benar-benar kehilangan akal. Apa kalian tidak mempertimbangkan akibatnya? Para gadis itu dipermainkan layaknya boneka. Itu menyedihkan.”“Dipermainkan, benarkah? Heem, Laura atau … dirimu sendiri yang merasa begitu?” tanya Hugo mengejutkan hingga Sienna Hayes menoleh cepat ke arahnya.“Jangan kira aku tidak tahu apa yang kau rasakan nona Hayes.” Hugo berkata, sedikit mendekatkan wajahnya pada pewaris pengusaha minyak terbesar di Texas itu.“Kau menyukai Dave Carter bukan? Jika aku boleh menyarankan nona Hayes … jangan bawa cinta dalam klub ini jika kau tak ingin … kalah dengan taruhan.” ketua klub itu berbisik sangat dekat di telinga Sienna.Hugo Bannet dengan lancangnya mendaratkan kecupan di leher jenjang Sienna, memberi gigitan kecil menggoda yang memaksa gadis cantik itu mengerang.“Jangan memaksa, Bannet! Kau tidak tahu akibatnya.”“Coba saja
Langit di kota Paris menguning di balik jendela tinggi Hôtel Costes, memantulkan kilau emas di permukaan gelas sampanye yang dipegang Dave Carter dengan malas. Aroma musk maskulin dan aftershave mahal memenuhi ruangan bercampur tawa ringan dari para pria muda dengan setelan terbaik karya desainer eksklusif. Dave menyandarkan tubuh ke sofa beludru. Ia menoleh ketika Hugo Bannet—putra pewaris maskapai penerbangan ternama di Eropa—melemparkan selembar kartu undangan ke arahnya. "Rupanya kau sudah siap jadi suami, Carter?" goda Hugo, sambil menggigit rokoknya dengan gaya angkuh. "Laura Hartwell—putri dari konglomerat Richard Hartwell. Luar biasa, kau memenangkan poin tertinggi tahun ini.” "Aku sudah katakan padamu bukan? Aku akan memenangkan taruhan ini.” jawab Dave dengan senyum sinis. "Cincin sudah di jari, undangan sudah dikirim. Hanya tinggal naik ke altar, dan … dapatkan jackpotnya.” Ucapnya lagi sambil menatap angkuh pantulan wajahnya di gelas. “Kau luar biasa sekali t