LOGIN"Entah, mungkin … setelah seluruh gadis kaya di dunia ini sudah habis?”
Sienna berdecak sinis mendengar jawaban konyol Hugo Bannet, “kalian benar-benar kehilangan akal. Apa kalian tidak mempertimbangkan akibatnya? Para gadis itu dipermainkan layaknya boneka. Itu menyedihkan.” “Dipermainkan, benarkah? Heem, Laura atau … dirimu sendiri yang merasa begitu?” tanya Hugo mengejutkan hingga Sienna Hayes menoleh cepat ke arahnya. “Jangan kira aku tidak tahu apa yang kau rasakan nona Hayes.” Hugo berkata, sedikit mendekatkan wajahnya pada pewaris pengusaha minyak terbesar di Texas itu. “Kau menyukai Dave Carter bukan? Jika aku boleh menyarankan nona Hayes … jangan bawa cinta dalam klub ini jika kau tak ingin … kalah dengan taruhan.” ketua klub itu berbisik sangat dekat di telinga Sienna. Hugo Bannet dengan lancangnya mendaratkan kecupan di leher jenjang Sienna, memberi gigitan kecil menggoda yang memaksa gadis cantik itu mengerang. “Jangan memaksa, Bannet! Kau tidak tahu akibatnya.” “Coba saja, aku bersedia menggantikan Dave jika kau mau. Tapi jangan ganggu kesenangan kami.” Sienna tertawa sinis, menatap Hugo Bannet dalam jarak dekat. “Kau terlalu berani.” Tatapan mata Sienna jelas menunjukkan luka dibalik sikap angkuhnya dan Hugo tahu itu. “Sekarang kau bisa menolakku tapi ingatlah pesanku nona Hayes. Jangan bawa cinta dalam klub ku.” Sienna kesal, ia menjauh meninggalkan Hugo. Melirik sekilas pada Dave yang tengah berjoget dengan wanita sewaan tanpa peduli padanya. “Aku ada disini jika kau berubah pikiran Sienna!” Hugo berteriak padanya sebelum pintu ruangan tertutup. Sienna menggeram kesal, “Kau lihat saja, siapa yang akan hancur. Aku atau klub sialan ini!" ***** Senja mulai tenggelam dibalik jendela kaca yang menghadap taman, menyisakan semburat jingga yang redup. Laura duduk di sebuah kursi rotan di balkon samping mansion keluarga Hartwell. Gaun satin putih tipis yang dikenakannya berkibar pelan ditiup angin. Wajahnya terlihat muram tak seperti wajah calon pengantin pada umumnya. Clara Jennings, sahabat lama sekaligus mantan teman sekampusnya, duduk bersandar sambil menatap Laura dengan wajah getir. "Aku tidak percaya ini ... Kau, menikah dengan Dave Carter? Apa kau kehilangan akal sehatmu, Laura?" suara Clara nyaris berbisik, penuh tekanan emosional. Laura menunduk. Jemarinya menggenggam secangkir teh yang sudah tak lagi hangat. "Tidak ada pilihan lain ..,” Clara menggeleng pelan. "Pilihan selalu ada, tapi kau selalu menutup mata bahkan saat kau tahu jika Dave …,” Laura memotong cepat, "Aku tahu dia pria brengsek! Tapi semuanya sudah terlambat.” Clara membuang napas. Matanya menerawang jauh, lalu mulai menyebutkan satu per satu bukti yang dulu pernah mereka ungkapkan bersama teman-teman lain. "Ingat saat kita pergi ke Milan tahun lalu? Dave tidur dengan dua influencer lokal sekaligus, padahal waktu itu dia sudah bersamamu.” "Atau Olivia, sahabat kita sendiri. Kau ingat dia mendekatinya dengan dalih membantu merintis bisnis clothing line-nya? Dia meninggalkan Olivia begitu saja setelah memberi sejuta harapan dan meninggalkan kekacauan dalam hidup Olivia.” Clara begitu kesal dan belum ingin berhenti mengingatkan fakta bejat Dave Carter. “Dan apa kau sudah lupa bagaimana dia menghancurkan hidup pekerja magang di kantornya? Namanya Kelly, jika kau lupa!” “Yah, aku ingat dia. Gadis muda polos yang dibuat jatuh cinta, lalu Dave memberikannya apartemen mewah.” Laura menjawab pelan. “Dave meminta Kelly pindah ke cabang baru di luar negeri tiba-tiba sekali. Dan kau tahu, apartemen itu sekarang dihuni jalang lain yang kabarnya melayani Dave sampai detik ini!” Laura tak bisa menahan air matanya lagi. Ia menunduk dalam, tubuhnya bergetar. "Aku pikir... aku bisa mengubahnya. Aku pikir... dia akan serius jika aku ada untuk mendukungnya, meskipun semua orang memperingatkanku. Aku pikir kesetiaanku bisa jadi alasan agar dia berhenti jadi bajingan." Clara menatap Laura penuh iba. "Tapi nyatanya tidak dan yang perlu kau ingat adalah … kau bukan obat untuk menyembuhkannya.” Suasana hening sesaat. Lalu suara Laura nyaris seperti bisikan. "Ayahku … bisnis, saham, merger besar, masa depan perusahaan … semua tergantung padaku. Aku tidak bisa menolak.” Clara berdiri, matanya basah. Ia memegang kedua bahu Laura. "Jika kau menikahinya, bukan hanya masa depan yang kau korbankan tapi juga nuranimu. Kamu masih bisa pergi, Laura … sekarang." Laura menatap sahabatnya dalam-dalam. Sorot matanya sayu penuh kesedihan. Lalu perlahan menjawab dengan suara bergetar. "Aku tidak bisa mundur kali ini. Terlalu banyak yang dipertaruhkan. Bahkan kalau aku pergi sekarang pun... aku sudah tidak tahu ke mana aku akan pulang." Laura termenungi di kamarnya. Ia menatap ke luar jendela, seolah menikmati hari terakhir kebebasannya sebagai seorang single. Laura tidak menyadari bahwa keputusannya menikah akan membawa gadis itu pada pengalaman tak terlupakan sepanjang hidupnya. Sore nanti, janji suci akan diikrarkan di depan altar, pendeta, dan para saksi. Tapi, tak seperti calon pengantin lain. Laura tidak begitu antusias menyambut hari besarnya. Hatinya masih bimbang tapi kenyataan bahwa keluarga terutama ayahnya membutuhkan ikatan resmi, mau tidak mau … Laura harus melakukannya.Keesokan harinya, mereka beralih ke prosesi pembaptisan Elias. Ethan ditunjuk khusus Laura untuk menjadi ayah baptis bagi Elias. Brian tentu saja setuju. Dengan begitu ia tak perlu khawatir Ethan akan bertingkah macam-macam pada Laura.Prosesi pembaptisan dimulai. Ethan berdiri di samping pendeta, menyiapkan air suci. Laura menggendong Elias, sementara Brian berdiri di belakang mereka, menatap dalam diam—tatapan seorang ayah yang siap menantang dunia demi anaknya.Ethan meneteskan air di kepala kecil Elias. “Dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus …” katanya lembut.Air menetes perlahan di kulit bayi itu, memantulkan sinar senja.Laura tersenyum, sementara Brian menunduk, menatap buah hatinya penuh haru.Dalam hatinya, Brian berjanji. Tidak akan ada seorangpun yang dapat menyentuh dan menyakitimu, Nak. Tidak selama ayahmu masih bernafas.Laura menoleh, menatap Brian dengan senyum yang hanya dimengerti oleh hati mereka berdua.Ketika lonceng gereja kecil berdentang di kejauhan, mereka be
Cahaya senja menembus lembut melalui tirai tipis berwarna krem, membentuk garis keemasan di lantai kamar. Aroma susu bayi, mawar putih, dan sedikit wangi musk dari parfum Brian bercampur menjadi satu — hangat, menenangkan. Laura duduk disisi tempat tidur, mengenakan gaun rumah sederhana dari linen. Rambutnya dibiarkan terurai, sebagian menempel di pipi karena lembab. Di lengannya, Elias baru saja tertidur setelah disusui. Bayi mungil itu mendengkur pelan, wajahnya begitu damai seolah seluruh dunia berhenti hanya untuknya. Brian berdiri di ambang pintu, masih mengenakan kemeja hitam dengan lengan digulung sampai siku. Ia diam beberapa saat, hanya menatap Laura dan putra mereka. Kebahagiaan Brian berada pada titik puncak saat ini. Elias dinyatakan sehat setelah melalui serangkaian tes di fasilitas medis Dominic. Tubuh kecilnya sama sekali tidak berpengaruh dari sejumlah obat yang pernah disuntikkan Rafael Ortega pada Laura. Bahkan Elias terlihat lebih sehat dan mengalami per
Brian berdiri panik, nyaris menjatuhkan kursi di belakangnya. “A-Air ketuban?! Tunggu, sekarang? Ya Tuhan … sekarang?!”“Kalau kamu masih bertanya, ya Brian, sekarang!” teriak Laura dengan amarah bercampur rasa sakit.Pria yang biasanya mengatur anak buah bersenjata tanpa gentar kini berlari ke pintu, suaranya menggema di seluruh rumah.“Siapkan mobil! Panggil dokter! SEKARANG!”“Tuan, ada apa ini?” Alfred yang baru tiba di villa ikut panik.“Laura, dia … dia … ah sudahlah, cepat siapkan mobil dan hubungi rumah sakit segera!”Brian berlari mondar mandir kebingungan, sementara Laura terus merintih kesakitan. Sesekali wanita yang dicintainya itu berteriak memanggil Brian yang terus bergerak mengatur anak buahnya.“Brian, berhenti dan cepat kemari!” seru Laura seraya menarik tangan suaminya.“Tuan, tenangkan dirimu atau Anda akan membuat proses ini semakin sulit.” Madeline menenangkan Brian agar bisa berada di sisi Laura.Beberapa jam kemudian, di rumah sakit keluarga Marchetti.Laura be
Brian menekan tombol di tablet kecil yang ia bawa, dan dalam sekejap layar di depan ruangan menampilkan hasil voting digital dewan direksi. Pada barisan teratas nama pemilik saham terbesar membuat Richard terbelalak. Brian Castellano Marchetti berada pada posisi 48,9 persen. Sorot lampu dari layar memantul di mata Richard, membuat wajahnya tampak lebih pucat. Ia terdiam, bibirnya bergetar seperti ingin protes tapi tak ada kata yang bisa keluar. “Permainanmu sudah selesai,” ucap Brian tenang. “Kau melanggar kontrak, menyalurkan dana ke proyek yang bukan milikmu, dan berusaha menutupi jejak itu dengan manipulasi laporan. Aku hanya mengembalikan Hartwell ke tangan yang lebih mampu menjaganya.” Richard terdiam. Tubuhnya perlahan merosot kembali ke kursi, seperti tikus yang terjebak dalam perangkap. Semua mata kini beralih padanya—bukan dengan hormat, melainkan dengan rasa iba. Brian menatapnya satu kali lagi sebelum berdiri tegak. “Kau pernah mengatakan padaku, kekuasaan hanya milik
Ruang rapat utama di gedung Hartwell Tower siang itu terlihat tenang. Cahaya matahari menerobos lembut, menyinari meja panjang yang terbuat dari kaca obsidian, tempat para direktur yang kini duduk berjajar dalam diam.Wajah-wajah serius mendominasi ruangan. Sebagian ada yang memilih fokus pada layar ponsel, sebagian lagi mengerutkan kening, melihat laporan terakhir yang disajikan para divisi.Suasananya terlalu hening untuk disebut pertemuan biasa.Di ujung meja, Richard Hartwell duduk menatap satu persatu anggota Dewan Direksi. Dasi hitamnya sedikit longgar, sementara jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja tanpa sadar.“Bagaimana ini bisa terjadi Asher?” Ia berbisik pada asisten pribadinya.“Kita benar-benar hancur, apa kau menemukan Kenny dan Miller?” lanjutnya lagi degan cemas, ia mengusap peluh yang menetes di keningnya.Asher menggeleng pelan, “jejaknya saja tidak terlihat, Tuan.”Richard menarik nafas dalam dan panjang, bersiap pada kemungkinan terburuk.Di hadapannya, layar d
“Sudah cukup tenang sekarang?” Laura tersenyum manis, menatap wajah Brian yang terlihat lebih rileks.Brian mengangguk kecil. “Cukup tenang untuk menghadapi masalah lain hari ini.”Brian mengambil ponselnya yang lain, lalu menekan satu tombol. “Bersiaplah kedatangan tamu spesial, Dom.” Ujarnya singkat sebelum menutup panggilan.Laura menaikkan alisnya. “hm, masalah lain?”Brian menoleh pada Laura. “Ethan,” ia terdiam sejenak, menatap mata bening Laura. “Kau tahu alasan aku mengusirnya? Dia memakai penyadap dan mungkin saja ada alat pengintai lain yang sengaja dibawanya untuk memata-matai mansion ini dan juga dirimu.”Laura terkejut. “Menyadap? Kamu yakin?”Brian melepaskan pelukannya perlahan, mendekati lemari kayu di sebelah ranjang. Ia membuka laci paling atas dan mengeluarkan kotak unik dengan kode digital.“Microbee mendeteksi sinyal aneh begitu dia masuk. Ada transmitter di tubuhnya. Aku harus mengusir Ethan sebelum dia mendapatkan banyak informasi.”Di telapak tangan Brian micro







