LOGINBRAKK!
Laura memecahkan vas bunga besar dengan itu menghantam lantai marmer. “Siapa di sana?!” teriak seorang penjaga. Langkah kaki terburu mendekat. Laura memutar badan cepat, menyelinap ke balik sofa dan merayap melewati sisi lain ruangan. Saat dua penjaga masuk dan memeriksa area tempat vas pecah, Laura lari secepat kilat keluar rumah. Udara malam langsung menyerbu wajahnya. Laura tidak berhenti. Kaki telanjangnya menjejak tanah dingin saat ia menyelinap melewati pagar samping kebun. Di kejauhan, ada jalan setapak kecil yang tampak mengarah ke daerah pemukiman. Tapi baru beberapa meter berlari, terdengar suara keras dari walkie-talkie di pos penjaga. “Nona muda kabur! Semua unit ke perimeter selatan!” Laura menahan napas, lalu berlari sekuat tenaga. Ia tak tahu kemana, tapi Laura tahu satu hal—ia takkan kembali. Tidak tanpa perlawanan. Sementara itu, di sebuah ruangan. Layar besar di ruang kontrol berpendar, menampilkan berbagai sudut rumah mewah Brian. Salah satunya menampilkan sosok Laura yang sedang merayap di balik pagar kebun belakang, nafasnya terengah-engah, wajahnya cemas tapi penuh tekad. Brian berdiri di tengah ruangan gelap itu, tangan di saku celana. Setelan hitam yang rapi masih membalut tubuhnya. Matanya tidak berkedip, fokus penuh pada layar. “Dia lari, Tuan,” ujar Asisten Pribadinya, Lucas, sambil menekan tombol di perangkat komunikasi. “Perlu saya aktifkan pengejaran? Semua unit perimeter siap digerakkan.” Brian diam. Lalu mengangkat satu tangan. “Tidak.” Lucas menoleh, bingung. “Tuan?” Brian masih menatap layar, melihat bagaimana Laura menerobos pagar kecil dan menyelinap ke jalan setapak. Cahaya remang-remang dari lampu taman menyorot wajahnya sesaat sebelum ia menghilang di balik bayang-bayang. Ia tersenyum kecil penuh siasat. “Biarkan dia pergi.” Lucas menegang. “Tapi …,” Lucas tak melanjutkan kalimatnya, ia menunggu penjelasan. Brian melangkah mendekat ke layar, lalu menyentuhnya pelan, tepat di tempat wajah Laura terakhir terlihat. “Laura bukan gadis biasa. Dia bukan boneka yang bisa aku genggam begitu saja. Dia menantangku ... dan itu menarik.” Ia berbalik, sorot matanya tajam namun penuh perhitungan. “Aku ingin tahu apa yang akan dia lakukan di luar sana. Apakah dia mencoba melupakan semuanya... atau justru kembali karena rasa ingin tahunya lebih besar daripada rasa takut.” Lucas mengangguk pelan, masih setengah bingung. “Jadi... tidak ada pengejaran sama sekali?” Brian tersenyum. Tapi senyumnya bukan senyum ramah—melainkan senyum dari seseorang yang tahu dia tetap mengendalikan permainan, bahkan ketika lawannya merasa sudah bebas. “Tidak perlu. Karena seberapa jauh pun dia lari, dia tetap milikku. Dan cepat atau lambat ... dia akan kembali.” ***** Deru taksi yang melambat di depan rumah besar keluarganya membuat Laura menghela napas lega. Keringat dingin masih menetes di pelipisnya—pelarian dari rumah Brian barusan bukan hal sepele. Disekap orang tak dikenal dan berhasil lolos itu sebuah keajaiban. Dalam pikirannya hanya satu setelah ini … lapor polisi! Laura membuka pintu taksi buru-buru, membayar dengan uang receh yang sempat ia curi dan sembunyikan di dalam bra sport-nya. Kakinya nyaris gemetar saat menapaki jalan masuk ke rumah. “Rumah! Home sweet home.” Laura menarik nafas dalam-dalam, berhenti sejenak merasakan euforia kebebasan. Tapi detak jantungnya justru berhenti sejenak saat melihat seseorang berdiri di bawah cahaya lampu gantung depan pintu. “Dave,” Dave berdiri dengan seulas senyum–Laura yakin itu palsu. Ia mengenakan jas abu-abu yang disesuaikan sempurna dengan buket mawar merah darah sebesar boneka beruang di tangannya. "Hai, sayang. Kau baru pulang?” katanya dengan senyum sok manis. Laura menatap sinis padanya dan berjalan melenggang melewati Dave. “Kau bahkan tidak bertanya darimana aku semalam.” Ucapnya pelan sambil berlalu. "Laura, dengarkan aku dulu. Aku minta maaf soal … kemarin. Aku akui kalau aku … melupakan hari istimewa kita. Dan … itu salah.” Dave menarik tangan Laura, menahannya penuh harap. “Lupakan, Dave. Hubungan kita sudah berakhir. Aku lelah, sebaiknya kau pergi.” Laura berusaha menepis cengkraman tangan Dave tapi lelaki tampan itu bersikukuh tak ingin melepas. “Laura, beri aku kesempatan. Ini bukan tentang bisnis atau hal lainnya. Ini tentang kita … aku janji akan berubah dan lebih memperhatikan dirimu.” jurus pamungkas dikeluarkan Dave dengan sorot mata memohon. Laura diam membeku, matanya langsung menatap buket bunga. Bukan karena sikap Dave yang romantis. Tapi karena ia tahu ada sesuatu dibalik sikap manisnya. Untuk Laura, setiap kelopak mawar bisa jadi simbol jebakan. Laura sudah sangat hafal dengan sikap Dave. "Aku tidak ingin menikah denganmu, Dave … dan itu tidak bisa ditawar lagi.” Suara Laura dingin, tapi gemetar di ujung. Dave melangkah maju hendak menyahut, tapi pintu terbuka dari dalam. Ibu tiri Laura–Maria–berdiri dengan gaun rumah satin warna marun dan raut wajah yang tenang. Seperti sedang menyambut tamu penting. "Oh, Dave sayang, kau datang! Ayo masuklah dulu." ia berganti menatap Laura, senyumnya berubah kaku. "Kita harus bicara, Laura.”Keesokan harinya, mereka beralih ke prosesi pembaptisan Elias. Ethan ditunjuk khusus Laura untuk menjadi ayah baptis bagi Elias. Brian tentu saja setuju. Dengan begitu ia tak perlu khawatir Ethan akan bertingkah macam-macam pada Laura.Prosesi pembaptisan dimulai. Ethan berdiri di samping pendeta, menyiapkan air suci. Laura menggendong Elias, sementara Brian berdiri di belakang mereka, menatap dalam diam—tatapan seorang ayah yang siap menantang dunia demi anaknya.Ethan meneteskan air di kepala kecil Elias. “Dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus …” katanya lembut.Air menetes perlahan di kulit bayi itu, memantulkan sinar senja.Laura tersenyum, sementara Brian menunduk, menatap buah hatinya penuh haru.Dalam hatinya, Brian berjanji. Tidak akan ada seorangpun yang dapat menyentuh dan menyakitimu, Nak. Tidak selama ayahmu masih bernafas.Laura menoleh, menatap Brian dengan senyum yang hanya dimengerti oleh hati mereka berdua.Ketika lonceng gereja kecil berdentang di kejauhan, mereka be
Cahaya senja menembus lembut melalui tirai tipis berwarna krem, membentuk garis keemasan di lantai kamar. Aroma susu bayi, mawar putih, dan sedikit wangi musk dari parfum Brian bercampur menjadi satu — hangat, menenangkan. Laura duduk disisi tempat tidur, mengenakan gaun rumah sederhana dari linen. Rambutnya dibiarkan terurai, sebagian menempel di pipi karena lembab. Di lengannya, Elias baru saja tertidur setelah disusui. Bayi mungil itu mendengkur pelan, wajahnya begitu damai seolah seluruh dunia berhenti hanya untuknya. Brian berdiri di ambang pintu, masih mengenakan kemeja hitam dengan lengan digulung sampai siku. Ia diam beberapa saat, hanya menatap Laura dan putra mereka. Kebahagiaan Brian berada pada titik puncak saat ini. Elias dinyatakan sehat setelah melalui serangkaian tes di fasilitas medis Dominic. Tubuh kecilnya sama sekali tidak berpengaruh dari sejumlah obat yang pernah disuntikkan Rafael Ortega pada Laura. Bahkan Elias terlihat lebih sehat dan mengalami per
Brian berdiri panik, nyaris menjatuhkan kursi di belakangnya. “A-Air ketuban?! Tunggu, sekarang? Ya Tuhan … sekarang?!”“Kalau kamu masih bertanya, ya Brian, sekarang!” teriak Laura dengan amarah bercampur rasa sakit.Pria yang biasanya mengatur anak buah bersenjata tanpa gentar kini berlari ke pintu, suaranya menggema di seluruh rumah.“Siapkan mobil! Panggil dokter! SEKARANG!”“Tuan, ada apa ini?” Alfred yang baru tiba di villa ikut panik.“Laura, dia … dia … ah sudahlah, cepat siapkan mobil dan hubungi rumah sakit segera!”Brian berlari mondar mandir kebingungan, sementara Laura terus merintih kesakitan. Sesekali wanita yang dicintainya itu berteriak memanggil Brian yang terus bergerak mengatur anak buahnya.“Brian, berhenti dan cepat kemari!” seru Laura seraya menarik tangan suaminya.“Tuan, tenangkan dirimu atau Anda akan membuat proses ini semakin sulit.” Madeline menenangkan Brian agar bisa berada di sisi Laura.Beberapa jam kemudian, di rumah sakit keluarga Marchetti.Laura be
Brian menekan tombol di tablet kecil yang ia bawa, dan dalam sekejap layar di depan ruangan menampilkan hasil voting digital dewan direksi. Pada barisan teratas nama pemilik saham terbesar membuat Richard terbelalak. Brian Castellano Marchetti berada pada posisi 48,9 persen. Sorot lampu dari layar memantul di mata Richard, membuat wajahnya tampak lebih pucat. Ia terdiam, bibirnya bergetar seperti ingin protes tapi tak ada kata yang bisa keluar. “Permainanmu sudah selesai,” ucap Brian tenang. “Kau melanggar kontrak, menyalurkan dana ke proyek yang bukan milikmu, dan berusaha menutupi jejak itu dengan manipulasi laporan. Aku hanya mengembalikan Hartwell ke tangan yang lebih mampu menjaganya.” Richard terdiam. Tubuhnya perlahan merosot kembali ke kursi, seperti tikus yang terjebak dalam perangkap. Semua mata kini beralih padanya—bukan dengan hormat, melainkan dengan rasa iba. Brian menatapnya satu kali lagi sebelum berdiri tegak. “Kau pernah mengatakan padaku, kekuasaan hanya milik
Ruang rapat utama di gedung Hartwell Tower siang itu terlihat tenang. Cahaya matahari menerobos lembut, menyinari meja panjang yang terbuat dari kaca obsidian, tempat para direktur yang kini duduk berjajar dalam diam.Wajah-wajah serius mendominasi ruangan. Sebagian ada yang memilih fokus pada layar ponsel, sebagian lagi mengerutkan kening, melihat laporan terakhir yang disajikan para divisi.Suasananya terlalu hening untuk disebut pertemuan biasa.Di ujung meja, Richard Hartwell duduk menatap satu persatu anggota Dewan Direksi. Dasi hitamnya sedikit longgar, sementara jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja tanpa sadar.“Bagaimana ini bisa terjadi Asher?” Ia berbisik pada asisten pribadinya.“Kita benar-benar hancur, apa kau menemukan Kenny dan Miller?” lanjutnya lagi degan cemas, ia mengusap peluh yang menetes di keningnya.Asher menggeleng pelan, “jejaknya saja tidak terlihat, Tuan.”Richard menarik nafas dalam dan panjang, bersiap pada kemungkinan terburuk.Di hadapannya, layar d
“Sudah cukup tenang sekarang?” Laura tersenyum manis, menatap wajah Brian yang terlihat lebih rileks.Brian mengangguk kecil. “Cukup tenang untuk menghadapi masalah lain hari ini.”Brian mengambil ponselnya yang lain, lalu menekan satu tombol. “Bersiaplah kedatangan tamu spesial, Dom.” Ujarnya singkat sebelum menutup panggilan.Laura menaikkan alisnya. “hm, masalah lain?”Brian menoleh pada Laura. “Ethan,” ia terdiam sejenak, menatap mata bening Laura. “Kau tahu alasan aku mengusirnya? Dia memakai penyadap dan mungkin saja ada alat pengintai lain yang sengaja dibawanya untuk memata-matai mansion ini dan juga dirimu.”Laura terkejut. “Menyadap? Kamu yakin?”Brian melepaskan pelukannya perlahan, mendekati lemari kayu di sebelah ranjang. Ia membuka laci paling atas dan mengeluarkan kotak unik dengan kode digital.“Microbee mendeteksi sinyal aneh begitu dia masuk. Ada transmitter di tubuhnya. Aku harus mengusir Ethan sebelum dia mendapatkan banyak informasi.”Di telapak tangan Brian micro







