Share

Bab 3 Nasehat Ibu

Hana mengernyit setelah membaca pesan w******p dari seseorang, " Rina ...," lirih Hana. Sejenak menatap langit-langit kamar, mengingat apa-apa saja yang sudah Ridwan beri untuknya. Ada tas, sepatu, pakaian dan yang terakhir kalung emas yang bahkan sampai saat ini masih bertengger di lehernya. Semuanya itu tak pernah Hana minta, melainkan Ridwan sendiri yang memberikannya.

Hana membuka kalung emas itu dan menyimpannya di dalam lemari pakaiannya. Nanti saat ada waktu senggang, Hana akan mengemas semua barang barang yang pernah Ridwan beri.

Selesai dengan tujuan awal, Hana pun keluar dari kamar menuju dapur. Ia melihat sang ibu sudah berkutat dengan bahan dapur.

Hana datang dan langsung memeluk sang ibu dari belakang. Sungguh saat ini hanya ibunyalah yang ia punya, harta paling berharga dalam hidup Hana.

"Buk, gimana udah enakan kepalanya?" tanya Hana yang masih menyandarkan kepalanya di punggung sang ibu.

"Udah, Ibu udah baikan, Na. Nggak tahu kenapa pagi ini ibu merasa hati ini lega dan enteng gitu. Padahal sebelumnya ada beban yang menyesakkan di dada ibu Na," jelas sang ibu memberi tahu suasana hatinya.

'Sebegitu kuatnya naluri seorang Ibu. Dari dulu Ibu memang nggak tenang kalau aku dalam kebimbangan. Mungkin karena pagi ini sudah aku lepaskan beban yang mengganjal di hati. Aku rasa karena itu juga sekarang ibu sudah merasa lega' batin Hana sambil duduk di kursi makan menghadapi secangkir teh manis dengan asap yang masih mengepul buatan ibunya.

"Buk ...," panggil Hana.

"Hmm ...?" jawab Nining dengan tanpa menoleh. Ia masih sibuk membalik pisang goreng dalam wajan.

"Ibu tau nggak siapa lelaki yang udah meminang Rina?" tanya Hana hati hati. Ia tak ingin sang ibu mengalami sakit yang sama seperti dirinya tadi malam, namun juga tak bisa menutupi kenyataan sebenarnya. Ia yakin wanita yang telah melahirkannya akan kuat melebihi dirinya.

"Siapa?" tanya ibu penasaran. Setelah mematikan kompor, Nining pun duduk di kursi makan. Melipat kedua tangannya di atas meja, bersiap untuk mendengarkan apa yang anaknya ketahui.

"Bang Ridwan, Buk."

"Ridwan? Oh pantesan," lirih Nining disertai anggukan kecil. Kemudian bangkit lagi dari duduknya dan meletakkan pisang goreng itu pada sebuah piring plastik.

"Pantesan apa buk? pantesan Bang Ridwan nggak datang?" tanya Hana menelisik.

"Bukan, pantes aja Bude Obed berkali-kali menekankan sama ibu kalau kejadian yang menimpa kamu itu, karena kamu dan Ridwan itu nggak berjodoh. Dia berusaha menenangkan hati ibu, eh rupanya ada udang di balik batu ya, Na," ujar Nining yang juga geram dengan sang kakak. Andai Kakak kandungnya itu jujur pasti Nining tidak sekesal dan sekecewa ini.

"Oh jadi Bude Obed sengaja bilang ke ibu kalau gagalnya pertunangan Hana karena memang udah nggak jodoh. Hmmm heran banget Hana, Buk. Bisa-bisanya ya Bude Obed udah tahu kenapa Bang Ridwan nggak datang, tapi masih diam dan seakan nggak tahu apa-apa." Hana juga terlihat kesal. Namun satu yang ia syukuri, bersyukur telah dijauhkan dari lelaki seperti Ridwan. Tak punya pendirian.

"Jadi gimana dengan kamu, Na? Apa udah bisa move on?" Entah dari mana sang ibu tahu kata kata move on itu. Mungkin karena sering melihat sinetron kesukaannya setiap malam.

Hana bergeming. Tidak mudah melupakannya begitu saja, sepanjang hidup mungkin akan terus teringat. Akan tetapi, Hana sadar takdir untuk bersama Ridwan sudah tidak mungkin ia genggam.

Sebenarnya hatinya masih begitu sakit, tak dipungkiri ingin sekali saja Hana bertatap muka dengan Ridwan. Meminta penjelasan untuk semua ini, tapi itu semua hanya akan membuang buang waktu saja. Ridwan tak mungkin kembali, karena tampaknya Ridwan berbahagia atas lamaran itu, begitu juga dengan Rina. Lagi pula keduanya tampak serasi dan sepadan. Jadi tak usah lagi merusak hubungan orang lain, meski di hati masih begitu sakit dan nyeri. Demi ibu, Hana kuat.

"Sudahlah, buk! Bang Ridwan memang cocoknya sama Rina," jawab Hana. Dari dulu Rina dan Hana adalah dua orang yang tidak pernah akur. Rina selalu ingin bersaing dengan adik sepupunya, Hana. Ia akan melakukan cara apa saja agar dirinya saja yang menang. Sementara dari segi apa saja jelas, Hana selalu kalah.

"Alhamdulillah, kalau kamu ngerti, Na. Karena segala sesuatunya itu nggak akan terjadi tanpa kehendak Allah. Mungkin saat ini Allah tengah mempersiapkan jodoh terbaik buat kamu," jelas Nining dengan suara lembut lagi menenangkan. Mendengar penuturan ibunya, Hana menjadi jauh lebih tenang. Ternyata jauh sekali dengan apa yang ada dipikirannya.

Tadinya Hana ragu untuk memberitahukan hal ini pada ibunya, takut kalau ibu semakin sakit. Namun nyatanya sang ibulah yang memberikannya kekuatan untuk itu.

Di sebalik kata kata Nining, ada harapan dan doa yang besar untuk anak anaknya terutama Hana, anak bungsunya.

"Ya udah, kamu mau dibawain berapa biji pisang gorengnya, Na?" tanya Nining mencairkan suasana.

"Nggak usah, Buk. Hana makan di rumah aja udah cukup kok!" jawab Hana yang kemudian menyeruput teh hangat di hadapannya.

Ketika akan bangkit dari duduknya, Nining merasakan nyeri di dadanya yang begitu luar biasa, sehingga ia kesulitan untuk bernafas seperti kekurangan oksigen.

"Buk, Ibuk kenapa?" Hana dengan cepat membantu sang ibu agar tidak jatuh, lalu memapahnya ke tempat tidur. Dengan susah payah ia membawa wanitanya itu dan terakhir kondisi ibunya semakin tak karuan, Hana pun melarikannya ke rumah sakit.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status