Sekitar jam tujuh malam, Bu Iyes, Silvia dan Tiara sudah bersiap-siap untuk pergi menemui orang yang telah menjadi penyelamat kepala keluarga mereka itu.
Mereka dijemput oleh mobil keluaran terbaru. Bagaikan sebuah mimpi yang menjadi kenyataan, saat mereka bertemu lagi dengan orang yang mereka sayangi dalam keadaan sehat dan bonusnya menjadi seorang konglomerat. Bahkan mereka tidak pernah membayangkan akan bisa menaiki sebuah mobil yang sangat mahal ini.Yang biasanya mereka berdesak-desakan naik angkot sekarang naik mobil mewah. Aroma harum di dalam mobil itu dihirup secara perlahan oleh ketiga orang yang baru menaiki mobil itu.“Kita berangkat sekarang ya,” ucap pak Herman yang masuk paling akhir.Ketiga wanita itu tersenyum sambil mengangguk. Sopir pribadi pak Herman mulai menyalakan mesin dan memulai laju kendaraan dengan perlahan, karena mereka masih berada di area padat penduduk. Setelah sampai di jalan lintas kendaraan itu baru berjDi antara mereka yang ditolak untuk masuk, ada tiga orang yang memaksa ingin masuk. Yaitu, Pazel, Ibunya, dan selingkuhannya, Rima.“Kenapa kami dilarang masuk? Apa kamu pikir kami ini orang miskin? Kami bukan orang miskin. Kami mampu membayar semua makanan di sini.”Bu Rohana, benar-benar marah. Karena kedatangan mereka ditolak mentah-mentah. Dia merasa sangat terhina. Sebelum datang ke tempat itu, dia sudah berkhayal akan memotret momen saat dia makan, saat makanan terhidang di meja, dan saat mereka tertawa bersama calon menantunya, lalu akan dia pos ting di media sosial miliknya. Sudah pasti Silvia mantan menantunya akan panas saat melihat postingan dia. Tapi ternyata, kenyataan tidak sesuai dengan yang dia harapkan.“ Bukan begitu, Nyonya. Kami sedang ada tamu penting. Tempat ini sudah dipesan secara keseluruhan oleh keluarga Pak Hermansyah. Jadi kami harap Nyonya maklum.”Tidak hanya pihak keamanan restoran yang menghalangi mereka.
Setelah Efendi Kusuma pulang, Hermansyah juga mengajak keluarganya untuk pulang.“Ayo kita juga pulang?” ajak Herman kepada istri dan anak-anaknya.Herman melangkah lebih dulu dan diikuti istri dan anak-anaknya. Bodyguardnya mengikuti di kiri dan kanan Herman. Sesampainya mereka di lobi restoran, sopirnya segera membukakan pintu mobil. Tapi Herman tidak langsung masuk. Lelaki yang masih terlihat gagah dan berwibawa itu mempersilakan istri dan anaknya untuk masuk terlebih dahulu.“Jalan, yup!” Herman memerintahkan agar sopirnya yang dipanggil ayup itu segera menjalankan kendaraan yang sudah ia dan keluarganya naiki.Sepanjang jalan, Tiara memperhatikan jalan yang ia lewati. Gadis tomboi itu heran melihat jalanan yang bukan ke arah rumahnya. Dia sangat hafal seluk beluk jalan raya, karena dia sering keliling kota dengan motor bersama temannya. Rasa herannya mendorong dia untuk bertanya.“Akan ke mana kita, Yah?”
“Sekarang saatnya untuk memberi mantan suamiku sedikit pelajaran,” batin Silvia saat dia merebahkan badannya di sebuah ranjang berukuran besar.Kesedihan dan kebahagiaan yang datang hampir bersamaan dalam hidupnya membuat dia agak tercengang. Ternyata Tuhan memberikan kebahagiaan yang lebih kepadanya di saat dia ikhlas dengan cobaan yang datang.Silvia bangun dari tidurannya. Dia segera ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah itu dia berwudhu dan melanjutkan salat isya. Tidak lupa dia mengucapkan syukur Alhamdulillah kepada Allah Yang Maha Esa atas segala nikmat yang sudah didapatnya.Keesokan paginya seperti biasa dia bersiap-siap untuk berangkat ke butik Boby tempatnya bekerja. Begitu dia turun, dilihatnya sudah ada ayah, ibu dan adiknya di meja makan.“Sini, Nak. Sarapan dulu,” ajak ibunya sambil menarik salah satu kursi.“Wah. Sepertinya, nasi gorengnya enak, nih. MMM wangi banget lagi...,” ucap Silvia sambil menjoro
“Di sana Ayah bertemu dengan.” Dia tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Karena takut akan melukai perasaan anaknya. Dia ingin menjaga perasaan anaknya. Mulai sekarang dia bertekad akan membahagiakan anaknya. Dia ingin membuat anaknya bahagia. Jika bisa dia akan membeli kebahagiaan anaknya. Namun tidak semua bisa dia beli dengan uang, seperti halnya kebahagiaan.Pandangannya begitu penuh dengan penyesalan dan rasa iba terhadap putrinya. Dia merasa selama ini telah menelantarkan anak dan istrinya.Selama ini Silvia sudah banyak menanggung penderitaan. Sebenarnya dia sudah mencari tahu sejak lama tentang anak dan istrinya.Dia sengaja belum menampakkan diri karena dia ingin tahu siapa saja orang yang baik dan yang jahat kepada anak dan istrinya. Pazel mendapatkan pekerjaan juga karena dirinya sendiri yang menerimanya di Perusahaannya. Dan itu demi putri tercintanya.Jika bukan karena putrinya, dia tidak akan menerima Paze
Begitu Silvia sampai di butik milik Boby, Silvia langsung masuk dan menyapa semua karyawan yang lain.“Bos sudah datang belum Ri?” tanya Silvia kesalah satu karyawan bernama Riri.“Sudah, Buk. Bos sudah di dalam,” ucap karyawan yang bernama Riri itu. “O, ya sudah. Aku ke dalam dulu, Ya.”“Iya, Buk,” ucap karyawan itu dengan sopan. Silvia pun berlalu meninggalkan karyawan itu.Karyawan itu kembali melanjutkan aktivitas rutinnya. Setiap pagi memang semua karyawan di wajibkan untuk piket secara bergantian. Kebetulan hari itu adalah jadwal piket karyawan yang bernama Riri itu bersama satu orang lainnya.Tidak lama ia berjalan, ia pun sampai di sebuah ruangan. Dia melihat dari kaca kecil yang ada di pintunya kalau memang sahabatnya itu sudah duduk di meja kerjanya.Silvia mengetuk pintu kantor sahabatnya itu sebelum masuk.Tok..., Tok..., Tok.“Masuk, Sil.” Terdengar suara sahutan dari dalam ruangan tersebut.
“Ok. Gue janji gak bakal sedih. Emang apaan sih? Bikin penasaran saja.”Setelah menarik napas beberapa kali, sahabatnya itu berdiri dan mengayunkan langkahnya ke arah meja kerjanya yang tidak jauh dari tempat mereka duduk.Dia mengeluarkan sebuah amplop kartu undangan pernikahan dari dalam laci mejanya. Tidak lupa juga surat cerai dengan amplop warna merah.“Ini, Sil. Pazel dan wanita itu tadi datang ke sini. Katanya lu harus datang ke pernikahan mereka.”“O, itu, Kirain apaan? Ngapain gue harus sedih? Gue pasti datang. Kapan acaranya, Beb?”“Katanya minggu depan. Coba saja lihat di kartunya.”“Malas ah. Oiya, gue sampai lupa. Besok gue ijin keluar dari butik ya? Sebab gue disuruh kerja di perusahaan ayah.” Seraya memelas, dia merengkuh bahu sahabatnya.“Ok, gak masalah. Gue malah senang, sebab lu bakal jadi big bos di sana.”“Makasih ya, Beb? Selama ini lu dah banyak bantu gue.”“Itulah gunanya s
Dia berharap bisa memperbaiki hubungannya dengan Silvia suatu saat nanti. Yang jelas sekarang dia harus bertanggung jawab atas janin dalam kandungan selingkuhannya.Setelah itu baru dia pikirkan bagaimana caranya agar dia bisa bersatu lagi dengan Silvia.“Takkan aku biarkan yang sudah ditakdirkan menjadi milikku dimiliki orang lain.” Pandangan matanya begitu tajam dan sebelah matanya agak disipitkan.“Ke mana pun kamu pergi, kita akan tetap bertemu karena takdirmu adalah aku. Mm, akan kupastikan untuk memilikimu lagi, cintaku!” senyum miring terukir di wajahnya.“Salah kamu juga sih! Kenapa kamu berubah jadi wanita sempurna seperti ini? Aku benar-benar tidak tahan ingin memilikimu lagi.”Bayangan mesum terlintas di benaknya. Dia membayangkan saat-saat dia akan bersama Silvia dalam sebuah kamar. Dia mencumbu Silvia, mulai dari membelai rambutnya, mencium keningnya, turun ke bibir mungilnya, leher, lanjut ke belahan dadanya dan me
Dia berlari ke dalam toilet dan segera mengunci pintunya.Air bening menggenang di bola mata indahnya. Dia sama sekali tidak menyangka akan bertemu dengan lelaki itu. Dan yang lebih parah lagi dia berani untuk menciumnya secara paksa.Untung saja ia refleks untuk menghantam harta pusaka kebanggaannya, sehingga ia bisa terbebas dari hal yang tidak diinginkannya.Sungguh hal yang tidak terduga dan tidak diinginkannya. Dia tidak ingin percaya kalau selama ini laki-laki seperti itu yang dia cintai. Tapi inilah kenyataannya.“Kenapa juga tidak ada orang yang lewat sih tadi?” Dia menghapus air mata yang mulai jatuh secara kasar. Bajunya yang tadi berantakan kini sudah rapi lagi.Dia mendongak ke atas dan bicara dalam hatinya.“Ya Tuhanku, beri aku kekuatan untuk menghadapi semua permasalahan dalam hidupku. Aku tidak dendam, tapi aku ingin memberinya pelajaran agar dia mengerti dengan rasa sakit yang aku alami,” Silvia