"Apa ini, Mas?"
Tangan Jihan bergetar ketika melihat beberapa tautan yang dikirim oleh Yuna, kakaknya. Video itu berisi adegan-adegan yang mendetail pertempuran panas antara Yuna dengan suaminya. Bahkan, pakaian yang berserakan di sekitar ranjang pun menunjukkan bahwa video panas itu diambil malam itu.Abian yang menyaksikan manik sang istri yang membulat sempurna, serta desahan-desahan yang keluar dari mulut kakak iparnya sendiri akhirnya merampas ponsel milik Jihan. Dengan santai, Abian justru menghapus satu persatu pesan dari Yuna."Hilang kan?" tanya Abian."Kamu keterlaluan, Mas. Video itu memang bisa dihapus dari ponselku, tapi bukan berarti fakta bahwa kamu tidur bersama kakakku dan bahkan membuat video itu bisa hilang dari pikiranku!"Abian menyenderkan punggung pada sofa dan dengan entengnya bicara, "Kan tinggal dilupakan saja, apa susahnya? Lagi pula hanya tidur bersama saja, sama seperti yang sering kita lakukan. Bukan hal spesial kan?""Kamu benar-benar sudah gila, Mas Abian!" Jihan kini berteriak dengan lantang. Bisa-bisanya raut wajah milik sang suami tak menunjukkan rasa bersalah sedikitpun.Abian menghela napas kesal. "Kenapa sih? Harusnya kau bangga jadi istri seorang manajer, di luar sana banyak yang iri dengan posisimu.""Apa yang bisa aku banggakan darimu, Mas?""Hartaku," sahut Abian dengan bangga, namun Jihan tak mau membicarakan harta itu."Aku mau cerai," pinta Jihan setelah berusaha mengeluarkan kalimat itu sedari tadi. Kini, dirinya sudah tak kuasa menahan rasa kesal dan amarah yang sudah memenuhi seluruh tubuhnya.Abian memejamkan mata sejenak, kemudian menghela napas dan menatapnya. "Oke. Aku akan menceraikanmu, tapi setelah 40 harian Winda. Tapi, jaga mulutmu. Aku tidak mau ya, tetangga sama keluarga membicarakan kita berpisah karena ketahuan selingkuh.""Terserah," sahut Jihan tak ingin berdebat dan membuat suaminya ini berubah pikiran.Hari-hari tanpa putrinya terus saja Jihan jalani. Sekali pun ditemani tangisan dan kerinduan, tapi Jihan memilih untuk tetap hidup. Demi mendoakan anaknya selalu. Jihan tetap tinggal bersama Abian di rumah ini hingga 40 hari berakhir. Meski masih tidak bisa memaafkan Abian, tapi posisi Jihan di rumah itu adalah istri. Jadi, Jihan tetap melakukan kewajibannya sebagai istri, kecuali ranjang."Kau sudah berjanji untuk bercerai denganku, setelah acara 40 harian putri kita," singgung Jihan saat di ruang makan."Oh masalah cerai. Jangan menyesal setelah cerai. Aku tidak akan menikah lagi dengan orang yang sama," celetuk Abian sembari meliriknya dengan ekspresi santai.Jihan tatap wajah suaminya juga. Tapi ia hanya diam saja, Jihan merasa tak ada hal yang harus dibicarakan lagi. Apalagi mempertimbangkan masalah seperti menyesal. Mungkin iya, jika Abian sosok pria yang baik dan membuat Jihan bahagia. Tapi untuk pria tukang memukul, hanya peduli pada diri sendiri, Jihan lebih baik berpisah.Abian bangkit dari duduk setelah selesai sarapan, tiba-tiba saja Abian menatapnya. "Aku setuju bercerai, tapi aku punya satu syarat.""Syarat?""Selama hampir 40 hari ini, aku tidak pernah menyentuhmu. Aku mau kau lakukan kewajibanmu di ranjang sekarang juga." Mata Abian sudah melirik tubuh Jihan dengan minat."Mas Abian, kau mau apa?" tanya Jihan sedikit curiga.Abian tersenyum sinis. "Tentu saja menagih syarat bercerai."Mengetahui tujuan Abian ingin menyetubuhi dirinya, Jihan segera bangkit dari duduk dan siap berlari ke kamar untuk mengunci diri. Tapi, Abian lebih cepat dan berhasil meraih tangannya. Jihan terkejut ketika Abian menyingkirkan seluruh alat makan bekas sarapan ke lantai, hanya untuk menaikkan tubuhnya di atas meja."Turunkan aku, Mas!" pinta Jihan dengan mata melotot.Abian baru saja merebahkan Jihan dan mengelus pipinya, tapi Jihan memilih menghindar. "Aku tidak akan lama, kok.""Kita akan bercerai! Aku tidak mau melakukannya denganmu," tolak Jihan berusaha untuk mendorong Abian agar menyingkir dari atasnya."Kan kita belum cerai," sahut Abian santai.Jihan langsung melengos ketika Abian mendekatkan wajah padanya. Hal itu membuat suaminya tersenyum sinis dan mencoba lagi. Tapi, Jihan menolak kembali. Sampai Abian mendengkus, tangan suaminya yang semula menopang tubuh langsung mencengkram rahangnya supaya kepala Jihan tidak pindah ke mana pun."Mas Abian, berhenti!" seru Jihan dengan susah payah bicara karena Abian membungkam mulutnya."Kau gila ya Jihan!" seru Abian langsung bangkit dari tubuhnya, setelah Jihan menggigit keras bibir Abian."Aku tidak sudi disentuh oleh pria kotor sepertimu!" seru Jihan membuat wajah Abian menjadi marah.Jihan sedikit terkejut saat Abian menariknya. Tangan Jihan berusaha berpegangan pada benda apa pun yang bisa ia jangkau. Tapi, tenaga Abian lebih besar hingga berhasil membawanya ke arah kamar mandi. Jihan menatap curiga pada Abian yang menyalakan kran air. Abian kerap memukulnya di dalam ruangan ini, kran air tak pernah dimatikan selama Abian belum selesai memukul. Tujuannya supaya telinga tetangga tidak ada yang bisa mendengar perbuatan jahat Abian."Mas, kau mau apa!" seru Jihan berusaha keluar dari kamar mandi.Abian menyudutkan Jihan ke dinding, lantas melepaskan ikat pinggang hanya untuk mengikat kedua tangan Jihan. Jemari Abian tampak begitu bebas membuka pakaian Jihan yang kesulitan memberontak. Jihan hanya bisa menjerit minta dilepaskan, tapi Abian begitu larut dalam hasrat dan mulai menyentuhnya."Mas! Tolong hentikan," pinta Jihan sembari menangis.Tiba-tiba saja Abian menjauh dan menampar wajah Jihan. "Kenapa tidak melayaniku dengan baik hah!"Sorot netra Abian sangat marah. Suaminya mengambil tongkat pembersih toilet dan menggunakan gagang pegangannya untuk memukuli Jihan. Sekali lagi ia hanya bisa memohon supaya berhenti disiksa, dengan tangan terikat ini Jihan tak bisa berbuat apa pun selain menangis.Abian mendengkus sangat kesal dan membanting tongkat pembersih toilet asal. "Menyesal aku menikahi wanita yang tak bisa menyenangkan suami sepertimu.""Aku talak tiga dirimu, Jihan!"Mata jihan terbelalak mendengar kata haram itu baru saja terlontar dari mulut Abian."Cepat pakai bajumu, selesaikan urusan kita sekarang juga ke pengadilan," titah Abian tanpa melepaskan ikatan di tangan Jihan sama sekali dan mulai keluar meninggalkannya.Tak butuh waktu lama. Jihan menggenggam surat perceraiannya dengan Abian di depan pengadilan agama, tanpa debat juga banyak pertimbangan. Masih teringat jelas suara Abian memberi Jihan talak tiga sekaligus. Kata yang sangat haram itu, justru Jihan dapatkan dari suaminya. Sekarang Jihan berada di mobil bersama Abian, pasalnya Abian janji akan mengembalikan Jihan ke Bogor, rumah orang tuanya.Jihan sedikit tertegun oleh tangan Abian yang tiba-tiba saja menggenggamnya. Segera Jihan menarik tangannya. Hal itu membuat Abian tersenyum sinis. Jihan menggeser duduknya sedikit menjauh dari pria ini. Meski pagi tadi masih jadi suami, tapi siang ini sudah bukan lagi. Jihan sudah tidak halal untuk pria ini."Bagaimana kalau kau angkat rahimmu?" tanya Abian tiba-tiba membuat Jihan melirik terkejut."Angkat rahim, tega ya kamu Mas
"Siapa pengasuh yang bicara dengan Bella?" tanya Darren masih dengan tatapan serius ke arah Jihan yang sibuk bercengkrama bersama Bella.Bude Nisa yang ikut terkejut melirik ke arah Darren. "Namanya Jihan, dia bukan pengasuh tapi anak tiri dari kakakku, Pak."Netra Darren menatap Bude Nisa tajam. "Apa yang kau lakukan? Bukan pengasuh tapi membiarkannya mendekati Bella.""Tapi Pak Darren. Selama ini, tak ada pengasuh mana pun yang berhasil dekat dengan Bella, kan?"Darren membisu begitu mendengar pertanyaan dari pemilik Daycare ini. Bella juga tak pernah bicara karena trauma masa lalu, bahkan terhadap Darren pun tidak. Tapi ... di hadapan wanita bernama Jihan itu, sang anak begitu mudahnya bicara."Apakah Anda masih mencari orang untuk merawat Bella, Pak?" tanya Bude Nisa membuat Darren menyipitkan mata."Kenapa tiba-tiba kau menanyakannya?"Bude Nisa tersenyum. "Aku rasa hanya Jihan orangnya, yang bisa membuat Bella perlahan terbuka dan mau bicara kembali. Tidakkah Pak Darren ingin mem
"Menjadi ibu pengganti Bella? Tapi Pak, aku ke sini bekerja untuk jadi pembantu," Jihan bersikukuh pada pendiriannya.Darren menyeringai. "Siapa yang mengatakannya? Kalau aku butuh pembantu.""Bude-ku, pemilik Daycare," sahut Jihan.Kepala Darren nampak mengangguk mengerti. Tapi mulut tak juga bicara kembali, hingga membuat Jihan merasa sangat membutuhkan keputusan. Mata Darren memperhatikan Jihan cukup serius."Sebutkan saja berapa nominal uang yang kau inginkan. Jangankan rupiah, dollar juga aku bersedia membayarmu," ujar Darren masih berusaha membujuk Jihan."Sepertinya Pak Darren salah paham--""Salah paham dari mana? Jelas-jelas kau setuju aku bawa untuk jadi ibu Bella," potong Darren.Jihan menarik napas cukup panjang. Sepertinya ia butuh tenaga lebih untuk berdebat dengan pria yang Jihan kira bakal jadi majikannya, rupanya justru ingin menjadikan dirinya sebagai istri. "Kata Bude--""Aku tidak peduli. Kau hanya harus tahu satu hal, aku tidak sembarangan membawa wanita ke rumah.
"Hanya dengan status istri dariku, harusnya cukup bagimu untuk pamer pada mereka," tutur Darren lagi.Meski Jihan berpikir tak akan sudi untuk bertemu lagi, jika sampai harus berpapasan, Jihan memilih memutar jalan. Tapi, sampai kapan ia harus menghindar? Sepuluh tahun? Hingga tutup usia? Rasa sakit di hati begitu membekas dengan baik. Sampai Jihan rasanya ingin menenggelamkan Yuna dan Abian dari dunia."Hanya ibu pengganti saja kan, Pak?" tanya Jihan memastikan.Tangan Jihan mengambil pena dari Darren, lantas mulai berjongkok hanya untuk menorehkan secuil tanda tangannya pada kertas ini. Tapi, tanggung jawabnya sangat luar biasa. Menjadi ibu dari anak yang berkebutuhan khusus, serta istri dari pengusaha kaya yang kerap muncul di berbagai media.Mata Jihan menatapi kontrak yang telah sah ditanda tangani oleh kedua pihak dengan ekspresi terkejut. Jihan telah lalai. Jihan lupa siapa sosok Darren Gerald di khalayak umum."Pak. Apakah aku harus tampil di berbagai acara sebagai istri bersa
"Pak Darren ... tolong pakai dulu bajunya," ujar Jihan mengingatkan sembari menggeliat, berusaha lepas tanpa membuka matanya.Darren menatap sinis. "Sejak tadi aku pakai baju, tidak polosan. Pikiranmu saja yang kotor."Tubuh Jihan sedikit terhuyung ketika pinggangnya dilepaskan kasar oleh Darren. Perlahan Jihan mulai melepaskan kedua tangannya, mata ini menatap Darren yang memakai kaos putih. Darren sendiri tampak memilih set piyama tidur, lantas mulai memakainya."Mau sampai kapan melihatku seperti itu?" sindir Darren berbalik dan menatapnya lagi."Seka air liurmu," titah Darren dengan nada datar.Jihan tertegun dan merasa sangat malu, sebab ketahuan melihat Darren dengan pandangan terpaku. Kemudian tangan benar-benar menyeka bibirnya, padahal Darren hanya menyindir saja. Hal itu membuat mata Darren menyipit melihat tingkah dari Jihan.Tapi, Darren tampak mengabaikannya dan mulai bicara, "meski aku membawamu dan memberimu status ibu untuk Bella. Bukan berarti kau bisa melewati batas.
"Kenapa aku harus membawakan makanan setiap hari?" tanya Jihan meminta penjelasan.Darren tersenyum sinis, membuat Jihan yang semula menatap, kini mulai menurunkan pandangan. Jika memang Darren mencari tahu tentang dirinya, maka harusnya sudah tahu. Kalau Jihan sudah tak ingin ada hubungan dengan mantan suaminya itu."Bukankah kau ingin balas dendam? Kau harus tunjukkan dirimu sebagai Nyonya Gelard."Jihan terdiam. Memang ia ingin melakukan hal itu, tapi rasanya ini semua terlalu cepat. Jihan tidak mau bertemu dengan Abian dalam waktu dekat, takut hatinya kembali goyah meski sudah membenci. Bagaimana pun, Abian adalah cinta sekaligus suami pertama untuk Jihan."Oh, Bella sudah selesai makan ya?" tanya Jihan dengan antusias saat mendengar suara sendok diletakkan di atas meja.Bella mengangguk sebagai respon dari pertanyaannya.Sedang Darren menatap tajam. "Apa kau tuli? Aku memintamu untuk mengantar makanan, kenapa tidak menjawab?"Jihan terdiam sejenak, kemudian menatap suami kontrakn
Makan siang dengan ... Darren Gerald. Otak Jihan dipenuhi oleh perkataan itu. Sementara Abian sudah melempar senyum pada Darren dengan tangan menggenggam erat dirinya. Hingga mata Darren menyipit."Bisa lepaskan tanganmu? Wakil ketua tim," tutur Darren dengan nada dingin.Jihan menatap mantan suaminya ini. Wakil ketua tim? Bukankah sewaktu di perusahaan lama, Abian adalah seorang manajer. Kenapa bisa diturunkan begitu perusahaan diakusisi? Sementara Abian menatap sedikit kesal, tapi tak bisa sepenuhnya menunjukan ekspresi itu pada Darren."Maaf Pak Darren. Ini istri saya, dia datang karena ada janji untuk makan siang dengan saya, iya kan Jihan?"Darren tersenyum sinis atas pengakuan dari Abian. "Istri? Apa kau pria yang suka menjilat ludah sendiri?"Abian masih tetap tersenyum. "Maksudnya bagaimana Pak Darren?"Tubuh Darren mendekat hanya untuk melepaskan genggaman Abian padanya dengan paksa. Lantas, tangan ini mulai digenggam oleh Darren. Rasa hangat yang Jihan rasakan membuat netran
Jihan tertegun dengan tatapan dari ibu Darren yang terang-terangan tidak menyukai dirinya. Harusnya tadi Jihan tidak usah bersuara. Sementara Darren melirik ke arahnya dengan serius."Bawa Bella ke kamarnya dan tidurkan lagi jika masih ingin tidur," titah Darren membuat Jihan mengangguk.Tubuhnya mulai berjalan melewati ibu Darren, meski Jihan harus menundukkan wajah dan terus menuntun Bella. Sementara ibu Darren yang bernama Stella itu, melemparkan tatapan tajam pada Jihan yang menaiki anak tangga."Katakan, dari mana kau dapatkan wanita miskin itu," celetuk Stella berhasil membuat hati Jihan mencelos.Kata miskin itu tetap tak akan hilang, meski Jihan menikah secara resmi dengan Darren sekali pun. Jihan menyadari hal itu. Tapi, berhubung Jihan dengan Darren hanya kontrak saja, tak benar-benar ada ikatan serius. Jihan berusaha mengeluarkan omongan Stella dari otaknya.Darren memastikan Jihan sudah menjauh dulu baru bicara, "tidak penting dari mana asalnya, aku hanya butuh kemampuanny