로그인(POV Arin)Aku terkejut mendengar pernyataan Malik. Aku … aku tidak menyangka kejadiannya akan seperti ini.Aku menunduk malu sekaligus merasa terhina. Seberapa berusaha pun aku menutupi tubuhku, semua akan terasa percuma karena Malik telah melihat semuanya, bahkan dia telah menyentuhku. Arrrgh! kenapa ujungnya harus seperti ini, Ya Tuhan!“Aku ke kamarku dulu,” pamitku.Aku berlari dengan masih menggunakan selimut milik Malik. Kuraih pakaianku yang tercecer di lantai.Aku bisa mengingatnya, penyatuan panas tadi membuatku dan Malik mereguk kebahagiaan yang hanya sementara. Namun, setelahnya hanya penyesalan yang aku rasakan.“Jangan terlalu lama, aku menantikan apa yang akan kamu sampaikan!” sahut Malik.Aku hanya menjawabnya dengan sebuah anggukan kecil.Setelah keluar dari kamar Malik, aku berjalan dengan tertatih, rasa linu di seluruh tubuh begitu terasa. Aku … aku aaargh! Aku meremas kasar selimut ini.Aku menutup pintu cukup kuat setelah aku masuk ke dalam kamarku. Menyandarkan t
(POV Malik)Sial! Aku tidak bisa berbuat apa-apa setelah Arin meneguk air itu. Aku bingung harus berbuat apa setelah ini.Jantungku berdegup begitu kencang, saat tangan Arin tiba-tiba mengusap dadaku. Sebagai seorang lelaki normal, ada reaksi luar biasa yang tentu membangunkan macan di dalam diriku. Aku ingin melakukannya. Namun, aku tidak mungkin melanggar komitmenku.“Sebaiknya kamu masuk ke dalam kamar. Kamu istirahat, aku mau keluar!” seruku.Tatapan Arin terlihat sudah tidak berdaya. Menyesal sekali aku mengikuti saran Dion, untuk mencampurkan obat perangsang untuk Alya.Rencananya aku akan menemui Alya hari ini, melakukan sesuatu supaya Alya kembali lagi padaku. Namun, belum sempat aku menemui Alya, air ini telah diminum oleh Arin.PR besar bagiku, untuk mengatasi masalah yang ada di depan mata.“Sama kamu yuk, ke kamarnya!” ajak Arin. Dia terlihat seperti wanita penggoda.Aku tahu, pasti Arin merasakan sesuatu yang ingin sekali dia tuntaskan. Namun, aku tidak bisa melakukannya.
Dengan tangan yang tiba-tiba bergetar, aku meraih ponselku walaupun sempat nyaris terjatuh. Kuhidupkan fitur kamera, lalu mengambil potret mereka berdua secara diam-diam.“Aku harus segera menemuinya, dia harus tahu soal ini. Ini kesempatan bagus buat misi ini,” batinku. Aku menelan saliva dengan susah payah.Aku kembali menaiki motor ini. Aku menarik napas dalam-dalam sebelum kembali melajukan motor ini.Entah kenapa, perasaan ini begitu tidak karuan. Perasaan ini belum bisa tenang sebelum aku pergi dari sini. Jantung pun berdetak tidak karuan, tidak seperti biasanya.“Aku harus tenang, aku harus cepat-cepat pergi dari sini. Tenang, Arin, kamu pasti bisa. Ini kesempatan baik buat kamu. Lebih cepat akan lebih baik!” Aku terus mensugesti diri.Seperti kesetanan, Aku pun memacu motor ini dengan kecepatan tinggi. Padahal aku tidak sedang dikejar-kejar sesuatu. Namun, aku tetap melakukannya.Tin!Beberapa kali aku membunyikan klakson saat ada mobil dan motor yang berada di depanku. Aku ti
“Kok nggak hangat,” batinku.Sesuatu menempel di bibirku. Terasa dingin dan keras. Penasaran, aku membuka mata.Sialan! Aku pikir Malik akan … aaargh!“Kenapa? Ngarep kalau aku mau cium bibir kamu? Jangan mimpi!” bisik Malik, sambil menempelkan ponselnya di bibirku.Aku membuang muka, bisa-bisanya aku kepedean. Betapa malunya aku saat ini.“Siapa juga yang mau dicium sama kamu? Ogah, ya! Disandingkan sama gorila saja, masih cakep gorila. Lah kamu? Alya aja sampai nggak mau,” celetukku, aku mengusap pipiku bekas bibir Malik.Aduh! Salah bicara lagi. Malik sepertinya marah. Aku berusaha bersikap seperti tidak terjadi apa-apa. Namun, Malik tidak sedikit pun beralih melihatku. Mati aku!“Coba ulangi lagi,” pinta Malik.Aku menatap langit-langit kamar, lalu melihat-lihat ke arah jendela.Huaam!“Aku sudah ngantuk, bisakah kamu keluar sekarang? Aku mau tidur,” usirku, mencari alasan.“Ulangi lagi!” pinta Malik.Aku mengernyitkan dahi, menggaruk kepala yang tidak gatal. Berpura-pura tidak p
“Ya ampun, Mbak Arin kenapa?” Bi Saroh terdengar panik.Aku memuntahkan makanan yang baru saja masuk ke dalam mulut. Namun, tidak sampai aku telan.Mataku sampai berair, aku sangat mual.“Kenapa, kamu? Apakah kamu hamil?” tanya Malik, dia menyusulku ke belakang.Aku terbelalak, dengan cepat aku membalikan badan menghadap ke arahnya.“Kalau ngomong dijaga, ya! Aku tidak mungkin hamil. Masa Iddahku dengan mas Raka sudah selesai. Kita juga menikah baru sehari, dan kita belum–”“Ehem! Bi Saroh, sebaiknya ambilkan obat buat Arin!” potong Malik.“Baik, Mas Malik!”Bi Saroh pun pergi dari tempat ini.“Kalau ngomong dijaga, ya! Bisa-bisanya mengajarkanku menjaga omongan, sementara kamu sendiri hampir keceplosan ngomong di depan bi Saroh kalau kita tidak melakukan apa pun sebagai suami istri,” sergah Malik.Aku menghembuskan napas kasar.“Memangnya apa masalahnya? Dia pembantumu di sini, mungkin dia bisa menjaga rahasia kita. Kenapa kamu seperti ketakutan?” tanyaku.“Dengar, ya, bi Saroh bisa
“Kamu senang?” tanya Malik, saat aku tengah mencoba perhiasan baruku berupa kalung.Kini aku dan Malik telah berada di rumah. Setelah membeli perhiasan, kami memutuskan untuk pulang.“Tentu, sebagai seorang wanita, aku senang memiliki perhiasan. Normal, bukan?”Aku tersenyum di depan cermin. Kalung yang aku pakai sangat indah. Bahkan ini lebih indah daripada perhiasan tabungan mas Raka. Ya, tentu, perhiasan yang dibeli Malik tentunya lebih mahal daripada milik mas Raka.“Kamu menikmatinya?” tanya Malik.Malik duduk bersandar di ranjang, dengan sebelah kaki ditumpangkan.“Tepat! Aku menikmati semua yang kamu berikan, Malik. Tidak usah banyak bertanya. Adanya aku di sini, memang ini tujuanku. Mendapatkan semua yang aku mau. Pernikahan kita memang berlandaskan suatu misi. Misiku mendapatkan harta, dan kamu mendapatkan Alya,” jawabku.“Miskin!” celetuk Malik.Aku mendelikkan mata ke atas. Mulai lagi dia menghinaku.“Terserah,” sahutku.Dari pantulan cermin, kulihat Malik tersenyum sambil







