Share

Dibuang suami, dikejar berondong manis
Dibuang suami, dikejar berondong manis
Author: Iva puji J

Bagian 1

Author: Iva puji J
last update Last Updated: 2025-07-04 21:37:14

Anindya menimang-nimang map warna coklat. Map itu berisi akta cerai yang baru saja didapatnya dari pengadilan agama. Anindya menghela napas panjang memandangi map itu. Meski ia lega karena akta cerainya sudah keluar, tapi nyatanya masih saja menyisakan rasa sesak di dalam dadanya. Bagaimana tidak, orang yang sangat ia cintai dan menjadi teman hidupnya selama 5 tahun ini telah menorehkan luka batin yang teramat dalam di dalam dadanya.

Tiga bulan lalu, tepat di hari ulang tahun pernikahan mereka. Anindya sudah menyiapkan surprise untuk merayakan hari anniversary mereka. Dia bahkan sudah membooking sebuah kamar di hotel bintang lima untuk menginap berdua dan memesan meja di restoran mewah untuk makan malam.

Anindya tentu saja sangat antusias sekali. Apalagi ia sedang menjalani program kehamilan dari dokter kandungan. Ia berharap di malam itu, Tuhan mengabulkan doanya dengan untuk bisa memiliki momongan.

Namun, sebelum ia berangkat ke hotel yang sudah dipesannya, Anindya mendapatkan sebuah pesan misterius melalui aplikasi hijau miliknya. Semula ia mengabaikan pesan tersebut dan menganggap bahwa ada orang iseng yang sedang mengerjainya. Tapi, dirinya mendadak penasaran saat si pengirim itu mengirimkan beberapa foto dan video yang membuat Anindya mau tidak mau membuka isi keseluruhan pesan yang dikirim ke salam nomernya.

Betapa terkejutnya Anindya saat melihat foto-foto yang dikirim oleh si pengirim misterius. Apalagi saat membuka video itu darahnya langsung mendidih. Video tersebut menunjukkan jika suaminya bermain api dengan sahabatnya sendiri. Ia geram dan marah mengetahui rahasia yang mungkin sudah lama tersimpan rapat.

[Dimana mereka sekarang?] segera Anindya membalas pesan tersebut.

[Jika kau ingin tahu kebenarannya, pergilah ke rumah sakit Kasih Bunda] si pengirim misterius membalas dan mengirimkan sebuah alamat pada Anindya.

Tanpa berpikir panjang, wanita yang berumur 29 tahun itu segera tancap gas menuju ke rumah sakit yang diberitahukan oleh pengirim misterius. Ia ingin tahu apa yang suaminya dan sahabatnya lakukan di rumah sakit tersebut.

Anindya menghirup napas panjang. Ia memandangi gedung bercat putih itu. Kau harus siap dengan kenyataan buruk yang akan kamu terima, Nindy, ucapnya pada diri sendiri.

Anidya melangkahkan kaki masuk ke dalam dan mencari suaminya disana berdasarkan petunjuk yang ia terima dari si pengirim misterius. Langkahnya terhenti saat ia melihat sang suami dan sahabatnya keluar dari sebuah ruangan. Itu adalah ruang dokter kandungan.

"Bagaimana caramu memberitahukan hal ini pada Nindy?" Tanya wanita yang memegang selembar kertas itu.

"Entahlah." Lelaki disampingnya menggedikkan bahu. "Nanti aku pikirkan. Aku antarin kamu pulang dulu, setelah ini aku mau langsung ke hotel nemuin Nindy."

Anindya terus memperhatikan mereka dari jauh dan lamat-lamat mendengarkan percakapan keduanya. Saat dirinya ingin melangkah menghampiri kedua orang itu, tiba-tiba saja ia dikejutkan oleh kedatangan seseorang. Orang yang juga amat ia kenal. Orang itu adalah ibu mertuanya sendiri. Ia melihat dengan tergopoh-gopoh wanita paruh baya menghampiri suami dan sahabatnya.

"Gimana hasil pemeriksaannya?" Tanya mertuanya itu dengan wajah antusias. "Apakah Viona hamil?"

What? Hamil? Apa aku nggak salah dengar? Bagaimana bisa hamil, bukannya dia belum menikah? Batin Anindya bertanya-tanya.

Anindya melihat keduanya tersenyum pada ibu mertua. Kemudian Viona memperlihatkan lembaran kertas yang ia pegang sejak tadi pada ibu mertua Anindya.

"Waahhh...selamat ya. Akhirnya aku punya cucu juga." Ibu mertua Anindya hampir berteriak kegirangan setelah melihat lembaran kertas itu.

"Tapi bagaimana menjelaskan hal ini pada Nindy, Mah? Bagaimana pun juga Nindy harus tahu soal ini," ujar Viona dengan wajah bingung.

"Aahh....gampang itu. Kasih tahu aja langsung

Kalo dia nggak terima dan minta cerai, ya udah cerai aja," jawab ibu mertuanya sedikit ketus.

"Lagipula wanita itu juga sampai sekarang belum bisa memberikan keturunan untuk Andrian kok. Justru malah kamu, orang pertama yang bisa memberikan kebahagiaan itu, meski kalian cuma menikah secara siri," imbuh sang mertua lagi.

Anindya menutup mulutnya saat mendengar penjelasan dari mertuanya itu. Ia sama sekali tak menyangka jika lelaki yang sangat ia cintai dan percaya tega menghianatinya. Ia juga dibuat tak percaya sahabat yang telah ia kenal baik bertahun-tahun lamanya menusuknya dari belakang. Air mata Anindya menetes jatuh ke pipi. Ia keluar dari tempatnya bersembunyi dan menghampiri ketiga orang itu.

"Ada hubungan apa antara kau dan Viona, Mas??" Tanya Anindya dengan suara serak. Ia menahan agar sebisa mungkin air matanya tak jatuh di depan ketiga orang itu.

Ketiga orang itu langsung menoleh ke arah sumber suara dan terkejut melihat kedatangan Anindya yang tiba-tiba itu.

"Nindy? Ka...kamu disini??" Adrian ternganga melihat istrinya sudah berada di tempat itu.

"Nin, aku akan jelaskan semuanya padamu. Aku...." Viona berusaha memberikan penjelasan dan mendekati Anindya.

Anindya menepis tangan Viona yang hendak menyentuh lengannya. "Aku tak butuh penjelasan darimu. Aku bertanya pada suamiku!"

"Nin, maafkan aku. Aku...."

"Mereka sudah menikah setahun yang lalu dan sekarang Viona tengah hamil anak dari Adrian," sela ibu mertuanya yang terlihat tidak sabaran itu menjelaskan pada Anindya.

"Ibu tahu soal hubungan mereka??!" Anindya menatapnya tak percaya. Mereka semua telah menghianati kepercayaannya. Mereka sudah menorehkan luka yang teramat dalam di hatinya.

Ibu mertuanya tak menjawab segera langsung, namun hanya menganggukkan kepala pelan.

"Nin, aku harap kamu bisa menerima kehadiran Viona dan calon anak ini. Aku tahu kamu orang yang sangat baik, kamu pasti tak akan tega jika membiarkan bayi ini lahir tanpa seorang ayah. Aku akan berusaha adil pada kalian berdua. ....."

"Adil pada kami berdua? Apa maksudmu Mas?" Tanya Anindya tak mengerti.

"Kita bisa merawat bayi ini bersama-sama, Nindy. Dia akan menjadi anakmu juga. Kita bertiga akan menjadi satu keluarga. Jadi, aku mau kamu bisa menerima calon bayi kami," ujar Adrian penuh harap.

"Menerima?! Mas, apa kau sudah gila?! Setelah pengkhianatanmu dengan sahabatku sendiri, kau memintaku untuk menerima? Tidak! Aku tidak akan pernah menerima ini! Aku ingin kita bercerai!"

Anindya beralih menatap Viona. "Dan kau, Viona! Bagaimana bisa kau melakukan ini padaku?! Bagaimana bisa kau diam-diam menjalin hubungan dengan suami dari sahabatmu sendiri?!"

"Kamu egois Nindy!" Tuding ibu mertuanya tak senang. "Kamu itu mandul. Tak bisa memberikan putraku seorang keturunan. Hanya karena kamu tidak bisa punya anak, kamu tidak mau berbagi kebahagiaan Adrian?!" cecar Ibu Adrian terlihat emosi.

"Berbagi kebahagiaan yang bagaimana? Kebagaian semu yang dibangun di atas penderitaanku?! Begitukah? Aku tidak akan pernah bahagia dengan cara seperti ini!" Balas Anindya lagi.

"Tapi Nindy, aku tak mau berpisah darimu. Aku tak akan pernah menceraikanamu," ujar Adrian yang masih merayu Anindya.

"Sudahlah Adrian, kau tak perlu merendahkan dirimu di depan wanita mandul seperti dia. Tak ada gunanya juga bersikeras mempertahankan rumah tanggamu dengannya. Sudah jelas Viona yang bisa memberimu kebahagiaan, bukan Nindy," cerocos ibu Adrian menusuk hati Anindya. Di depan umum, di hadapan banyak orang, wanita yang telah Anindya anggap sebagai ibunya sendiri tega menyebutnya 'wanita mandul'. Semua kalimat yang dilontarkan wanita itu sangat menyakiti hati Anindya.

"Tapi Bu, aku tak bisa....."

"CUKUP!!" Teriak Anindya seraya mengangkat telapak tangannya ke depan. "Aku mau kita berpisah, jadi kamu tak perlu membagi waktu atau bersikap adil padaku dan Viona."

"Tapi Nin, aku tak mau berpisah denganmu. Aku masih mencintaimu...." Adrian yang kaget mendengar keputusan sepihak istri sahnya itu mendadak panik.

"Cinta kamu bilang?" Potong Anindya cepat dengan tatapan mata meremehkan. "Berselingkuh di belakangku dengan sahabat baikku sendiri sampai membuatnya hamil, lalu dengan mudahnya kamu bilang masih mencintaiku?? Konyol sekali!"

"Kita bisa bicarakan hal ini baik-baik, Nin," ujar Adrian berusaha membujuk istrinya. "Jika kamu tak ingin aku bersama dengan Viona, maka aku bisa meninggalkannya asalkan kamu masih tetap bersamaku."

"Mas?!" Viona melirik tajam kearah Adrian dengan wajah kesal.

Anindya tersenyum tipis. "Gampang banget kamu ngomong kayak gitu Mas. Kalo kamu ninggalin Viona, lalu bagaimana dengan bayi yang dia kandung? Apa kamu mau lepas tanggung jawab, begitu?!"

Adrian diam saja tak menjawab. Lelaki itu nampak bingung, sedangkan Viona menggenggam lengan lelaki itu dengan begitu erat.

Anindya yang melihat hal itu hanya menyunggingkan senyum miring. "Aku tunggu kamu di pengadilan Mas."

Anindya membalikkan badan dan melangkah dengan santai meninggalkan ketiga orang itu. Meski hatinya remuk redam, ia mencoba untuk tegar di hadapan mereka. Dirinya hanya tak mau dianggap wanit lemah walau harus menahan rasa perih yang teramat sangat di dalam dadanya.

"Nindy!! Tunggu! Jangan pergi dulu!" Teriak Adrian panik. "Kita bisa bicarakan hal ini secara kekeluargaan."

"Mas, kamu ini...." Viona semakin kesal melihat sikap plin plan Adrian.

"Sudahlah Adrian, tak ada gunanya kamu pertahankan rumah tanggamu dengan wanita mandul itu. Dia sama sekali nggak berguna. Nggak bisa memberikan kamu keturunan, jadi untuk apa dipertahankan. Lagipula dia yang meminta bercerai, ya sudah ceraikan saja," tutur ibunya enteng.

"Tapi Bu...." Adrian yang masih shock nyatanya belum siap berpisah dengan istri yang telah ia nikahi selama 5 tahun.

"Adrian, kamu harus lebih memperhatikan Viona. Karena dia sudah mengandung anakmu. Segera urus perceraianmu dengan Nindy kemudian daftarkan pernikahanmu dengan Viona," tegas ibunya. Ia yang tak begitu suka dengan Anindya karena tak segera memiliki cucu, malah lebih mendukung hubungan gelap Adrian dengan Viona.

"Bu..." Adrian terlihat masih enggan menerima saran dari ibunya.

"Sudahlah Adrian. Kamu seorang laki-laki, jangan terlihat lemah di hadapan seorang wanita seperti Nindy. Bisa besar kepala dia," tukas sang ibu.

"Ayo... sekarang kita pulang. Kasihan Viona harus butuh banyak istirahat." Ajak sang ibu yang langsung menggandeng tangan Viona mengajaknya pergi.

Anindya yang masih mendengar percakapan mereka semakin tertusuk-tusuk hatinya oleh ucapan sadis dari sang mertua. Jika sampai sekarang dia belum mengandung, itu bukan kesalahannya. Toh, selama ini rahimnya juga baik-baik saja. Mungkin Tuhan memang belum memberinya rejeki saja.

Dalam hati ia berterima kasih pada si pengirim pesan misterius itu. Berkatnya, Anindya tahu kebenaran tentang suaminya dan Viona.

Suara klakson dan deru mobil di depan gedung membuyarkan lamunan Anindya. Wanita itu segera menepis bayangan tiga bulan lalu itu dari pikirannya. Ia buru-buru masuk ke dalam mobil dan mengemudikannya meninggalkan halaman pengadilan agama.

*****

Cciiiittttt........Anindya menginjak pedal rem dengan kuat. Jantungnya berdebar tak karuan saat mobilnya secara tak sengaja menyenggol sebuah motor di depannya.

"Ya Tuhan Nindy, apa yang kamu lakukan? Kenapa bisa nabrak orang sih?!" Celotehnya sambil buru-buru keluar dari mobil untuk melihat keadaan orang yang ditabraknya.

"Maaf....maaf...saya tadi agak melamun, jadi..."

"Kalo lagi banyak masalah mending jangan nyetir mobil sendiran deh, bahayain orang tahu," potong orang yang disenggol oleh mobil Nindy itu berdiri dan mengibaskan celananya yang berdebu.

"Eh...saya nggak lagi banyak masalah kok." Anindya menatapnya tak suka. Sok tahu banget ni bocah!

"Saya akan tanggung jawab, kamu tenang aja," ujar Anindya sekali lagi.

"Tanggung jawab apa? Saya kan nggak hamil, ngapain tanggung jawab segala," sahut pemuda itu dengan asal.

"Bukan itu maksudnya." Anindya menahan kesalnya.

"Lha terus??"

"Saya akan membayar biaya perbaikan motor kamu yang rusak dan biaya berobat jika ada luka atau apa gitu," jelas Anindya.

Pemuda itu tak menyahut. Ia berusaha berdirikan motornya. Ia terlihat kesusahan karena berat motor itu.

"Bisa bantu nggak? Bengong aja!" Tegurnya.

Anindya tergagap namun segera menolong pemuda itu sebisanya. Dengan susah payah akhirnya motor itu sudah berdiri kembali. Pemuda itu lalu berjongkok dan meneliti apa yang kira-kira rusak. Ada lecet di beberapa bagian body motor dan satu kaca spionnya pecah.

Pemuda itu lalu berdiri dan mengeluarkan ponselnya dari dalam saku jaket jeans yang dipakainya. "Mana nomer ponsel kamu?"

"Hah? Apa??" Mata Anindya terbelalak.

"Nomer ponsel kamu."

"Mau ngapain minta nomer ponsel segala. Kamu jangan macem-macem ya," ujar Anindya yang enggan memberikan nomer ponselnya.

"Lah...gimana sih, katanya mau bayarin biaya perbaikan motorku. Dimintai nomer ponsel nggak mau. Terus aku minta ganti ruginya kemana coba," tukas pemuda itu.

"Eh...iya juga ya." Anindya manggut-manggut. Ia segera mengambil ponselnya yang ia simpan di ta di dalam mobilnya.

"Ini nomer ponselku." Anindya menunjukkan nomer ponselnya pada pemuda itu.

"Nama kamu?"

"Anindya. Panggil aja Nindy."

"Oke. Udah aku catet." Pemuda selesai mencatat dan menyimpan kembali ponselnya ke dalam kantong jaketnya. Ia mengambil helmnya lalu memakainya. Pemuda itu langsung tancap gas tanpa bicara apa-apa lagi meninggalkan Anindya yang masih berdiri terbengong-bengong.

"Balas chatku nanti, ya!,"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Iva puji J
Tinggalkan jejak komentar kalian
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Dibuang suami, dikejar berondong manis    Bagian 35

    "Nindy!" Sebuah suara terdengar menggema saat pintu kamar untuk make up terbuka. Anindya dan tim make up kompak menoleh kearah sumber suara. Kalila langsung menghambur dan memeluk Anindya yang belum selesai di make up. "Akhirnya kamu melepas masa jandamu juga. Sama berondong ganteng lagi. Aah....senengnya!" "Kenapa telat sih?" Anindya berpura-pura memasang wajah kesal. Bibirnya mengerucut. "Hehehe....maaf ya. Pagi tadi agak pusing, trus mual-mual gitu. Rasanya nggak enak banget," jawab Kalila seraya mengelus perutnya. "Kenapa, maag kamu kambuh lagi kah?" Wajah Anindya berubah khawatir. "Udah ke dokter belum?" "Udah nggak usah khawatir, aku nggak pa-pa kok," sahut Kalila menenangkan. Ia menepuk-nepuk pundak Anindya yang masih mengkhawatirkannya. "Nggak pa-pa gimana sih? Kalo maagmu kambuh lagi trus parah kayak waktu itu gimana?" Anindya masih teringat sahabatnya itu pernah dirawat intensif karena penyakit maagnya yang kambuh. Hampir seminggu dia menemani Kalila di rumah sakit,

  • Dibuang suami, dikejar berondong manis    Bagian 34

    "Undangan darimana ini Ma?" Tanya Adrian selepas pulang kerja dan menemukan sebuah undangan pernikahan diatas meja ruang tamu. "Undangan?" Bu Sarita yang muncul dari dapur dengan membawa segelas es jeruk mengulang pertanyaan tak mengerti. "Undangan apa?" Adrian menunjukkan undangan itu pada sang Mama. "Undangan ini? Sepertinya undangan pernikahan." Bu Sarita menggedikkan kedua bahunya. "Entahlah. Mama juga baru pulang dari arisan. Mungkin Bibik tahu undangan itu datang darimana. Coba Mama tanya Bibik." Bu Sarita meletakkan es jeruk di tangannya dan kembali ke belakang memanggil asisten rumah tangganya. Sementara itu, Adrian melonggarkan dasi, melepas jas yang dipakainya seharian lalu merebahkan diri diatas sofa. Bu Sarita datang bersama dengan asisten rumah tangga yang berjalan di belakangnya. "Coba Bibik bilang, itu undangan darimana?" Tanya Bu Sarita. "Oh...undangan itu ya. Tadi ada seorang pengantar datang ke rumah mengantarkan undangan pesta pernikahan. Saya semp

  • Dibuang suami, dikejar berondong manis    Bagian 33

    "Maaf jika sebelumnya sikapku kurang baik padamu, Nindy. Kamu pasti paham seorang ibu pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Apalagi soal pasangan hidup. Saya hanya tak ingin sampai Zevan salah dalam memilih pendamping." Nyonya Martha memulai percakapan malam itu. "Kita belum pernah bertemu dan saling mengenal. Aku sengaja mencari informasi soal dirimu. Ini bukan masalah statusmu sekarang. Aku bahkan tak peduli apakah kamu masih perawan atau sudah pernah menikah. Aku hanya ingin memastikan bahwa Zevan memilih wanita yang bisa diajak bekerjasama dan saling mendukung satu sama lain," lanjut nyonya Martha. "Tapi, apa Nyonya belum tahu jika saya memiliki kekurangan lain yang mungkin tak bisa Anda terima," ujar Anindya berhati-hati. "Mengingat Zevan adalah anak tunggal dalam keluarga ini. Tentu saja dia menjadi harapan untuk meneruskan keturunan keluarga, sedangkan saya kemungkinan tak bisa memenuhi keinginan tersebut."Wajah Anindya tertunduk sambil meremas tangannya. Mungkin Ze

  • Dibuang suami, dikejar berondong manis    Bagian 32

    "Apa Kak?! Mata Haikal membulat sempurna. "Si anak tengil itu benar-benar akan melamarmu?" Anindya hanya mengangguk pelan. "Aku sudah menelpon Ibu dan memberitahunya soal ini. Aku juga menceritakan tentang siapa Zevan." "Lalu Ibu setuju?" Tanya Haikal lagi. Sekali lagi Anindya mengangguk pelan. "Iya, Ibu setuju, dan kamu harus bersiap untuk jadi waliku." "Mereka akan mempersiapkan semuanya. Dari acara ijab kabul hingga pesta pernikahan yang meriah," sambung Anindya antusias. Dalam pikirannya bertanya-tanya, apakah dia perlu mengundang sang mantan atau tidak. "Kakak sudah memikirkannya baik-baik untuk menikah kembali? Apalagi ini menikah dengan Zevan." Tergambar rasa khawatir di wajah Haikal. Reputasi Zevan cukup buruk di kampus, meski belakangan ini dia terlihat cukup menunjukkan perubahannya di kampus. Namun, semua itu tak cukup bagi Haikal untuk mempercayakan masa depan kakaknya pada Zevan. Anindya menepuk pundak Haikal pelan. "Aku sudah memikirkan hal ini baik-baik, Ha

  • Dibuang suami, dikejar berondong manis    Bagian 31

    Tanpa disadari oleh Amelia, Zevan juga kebetulan berada di gedung yang sama. Pemuda itu bahkan melihat Amelia yang keluar ruangan nyonya Martha. Zevan yang hendak menemui mamanya di kantor, mengurungkan niat dan malah mengikuti Amelia. 'Cewek ini pasti ngomong macem-macem sama Mama. Awas aja kalo sampai merusak hubunganku dengan Nindy dan mengadu dombaku dengan Mama, batin Zevan. "Amel!" Panggil Zevan dengan suara lantang membuat gadis itu berhenti lalu menoleh ke belakang. "Zevan!" Matanya berbinar cerah saat melihat sosok Zevan. "Kok kamu ada disini sih? Kenapa nggak bilang?!" "Ehem!!" Zevan berdehem. "Kebetulan kita bertemu disini. Ada sesuatu yang penting yang mau aku obrolin sama kamu." "Ayo....mau ngobrol dimana?! Kebetulan juga aku lagi nggak sibuk." Amelia meraih tangan Zevan untuk bermaksud menggandengnya tapi segera ditepis oleh Zevan. "Nggak usah sok akrab!" Tukas Zevan mendelik. Amelia cuma cengengesan "Kita ngobrol di cafe. Ada cafe di sebelah gedung,

  • Dibuang suami, dikejar berondong manis    Bagian 30

    "Saya mau bertemu dengan Nyonya Martha," kata seorang gadis pada sekretaris kantor dimana mama Zevan bekerja. "Maaf, apakah Anda sudah memiliki janji dengan Bu Martha?" Tanya si sekretaris itu dengan ramah. "Belum," jawab gadis itu pendek. "Maaf Nona. Anda harus membuat janji terlebih dahulu. Silahkan Anda mengisi jadwal untuk bisa bertemu dengan Ibu Martha," kata si sekretaris itu menolak dengan sopan. "Saya mau bertemu sekarang! Nggak usah pake acara buat janji segala. Katakan saja jika Amelia ingin bertemu," paksanya ngenyel. "Maaf Nona, saya tidak bisa. Ibu Martha sangat sibuk. Beliau tak bisa ditemui sembarang orang," tolak sekretaris itu lagi mempertahankan aturan kantornya. "Kamu tahu siapa saya?!" Gadis itu mendelik marah. Ia berkacak pinggang. "Saya adalah calon menantunya. Calon istri dari Tuan Zevano. Saya bebas menemui calon mertua saya kapan saja. Terserah saya!" "Ini sudah prosedur perusahaan Nona. Anda harus ikut aturan, tidak bisa seenaknya saja," tegas

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status