Saat Anindya dan Zevan tengah sibuk berdiskusi dan mengerjakan tugas, tak jauh dari tempat mereka duduk, terlihat Adrian dan Viona berdiri celingukan mencari meja kursi yang masih kosong.
"Mas, itu bukannya Nindy?" Jari Viona menunjuk mengarah ke depan tempat dimana Anindya dan Zevan duduk. Wanita yang perutnya mulai membesar itu memperhatikan Anindya yang duduk bersama dengan Zevan. Mata Adrian langsung mengarah kearah jari telunjuk Viona. Ia menyipitkan matanya. "Sama siapa dia? Adiknya?" Tanya Viona memancing reaksi Adrian. Ia sebenarnya juga tahu pemuda yang duduk disamping Anindya bukanlah adiknya. Ia hanya ingin menunjukkan pada Adrian jika Anindya bersama laki-laki lain. Dengan begitu, Adrian akan menganggap Anindya sudah melupakan dirinya. Kepala Adrian menggeleng setelah memperhatikan lelaki yang bersama dengan mantan istrinya itu. " Bukan adik Nindy deh kayaknya. Aku kenal bagaimana wajah adik lelaki Nindy." "Lha terus siapa dong? Apa jangan-jangan itu pacar barunya kali ya?" Tanya Viona lagi seakan-akan ia penasaran dan ingin tahu. Padahal ia ingin memancing Adrian agar mempermalukan Anindya yang tengah berdua dengan berondong di depan umum. "Kok dia mau ya pacaran sama berondong gitu. Kek nggak ada laki-laki mapan yang mau sama dia." "Lagian gercep banget udah dapat pacar baru dia, mana masih muda lagi. Jangan-jangan asal comot aja," cibir Viona lagi. "Jangan ngomong sembarangan kamu!" hardik Adrian terlihat kesal. Lelaki itu membalikkan badan hendak meninggalkan area foodcourt. "Udah jangan ngurusin dia. Kita cari tempat lain saja." "Eh ...Mas, tunggu dulu." Viona menahan Adrian dengan menarik lengan lelaki itu. "Kamu nggak penasaran sama cowok itu? Barangkali cowok itu pacar baru mantan istrimu? Kasihan amat setelah cerai sama kamu malah dapat cowok mokondo. Bisa-bisa uangnya habis diporotin sama pemuda itu." Adrian terpaksa berhenti dan menoleh lagi. Ia menatap tajam ke arah pemuda yang duduk bersama mantan istrinya itu. Mereka tertawa-tawa terlihat bahagia. Wajah Anindya sama sekali tak menunjukkan rasa sedih setelah palu diketu menandakan resminya pisahan mereka. Hal ini malah membuat Adrian meradang karena jujur dilubuk hatinya yang terdalam ia masih mencintai mantan istrinya itu. Jika bukan karena kesalahan fatal dan terpikat oleh godaan Viona, ia tak akan melepas Anindya begitu saja. "Nindy!" Suara panggilan Adrian membuat Anindya dan Zevan mendongakkan kepalanya. Lelaki itu menghampiri meja Anindya dengan wajah geram. "Mas Adrian," gumam Anindya langsung berdiri dari tempat duduknya. "Rupanya kamu sudah punya pengganti Mas Adrian, Nindy. Syukurlah kalo begitu," tukas Viona terdengar seperti lega seraya melirik kearah Zevan sambil mengapit lengan Adrian mesra. "Lelaki itu kekasih barumu?!" Dengan sedikit ragu Adrian menunjuk ke arah Zevan yang masih terbengong-bengong tak mengerti apa yang terjadi. Anindya menoleh sebentar ke Zevan. "Kalo iya memang kenapa? Apa ada yang masalah?" "Harusnya kamu mencari sosok lelaki yang jauh diatasku, bukan anak muda yang masih bergantung pada orang tua kayak gini," sahut Adrian sedikit ketus. "Bisa-bisanya kamu pacaran sama pemuda yang belum jelas masa depannya kayak dia gini!" Imbuh Adrian terlihat marah. Ia melirik kearah Zevan yang sedari tadi hanya bengong. "Lah...apa masalahnya? Suka-suka aku dong. Lagian kita sudah tidak ada ikatan atau hubungan apapun, jadi Mas nggak berhak mengomentari atau mengatur hidupk. Mau berteman dengan siapa pun terserah aku, bukan urusan Mas lagi," balas Anindya tak suka. "Aku bicara seperti ini juga demi kebaikanmu, Nindy. Laki-laki macam dia bisanya cuma morotin kamu. Dia nggak akan bisa membahagiakanmu apalagi membuat hidupnya lebih baik," tangkas Adrian jengkel. Ia merasa Anindya mulai berani melawan dirinya. "Sudah Mas biarin aja, nanti kalo kehabisan uang diporotin sama berondongnya baru tahu rasa," cetus Viona asal mencibir. Adrian menoleh sebentar kearah Viona. "Dari awal aku tidak yakin kamu bisa hidup dengan benar tanpaku. Sekarang aku yakin tanpaku, hidupmu akan semakin berantakan dan sengsara." Anindya mengepalkan tangannya. Ia merasa mantan suaminya itu terlalu meremehkannya dab sudah sangat keterlaluan mempermalukan dirinya di depan umum seperti itu. Apalagi sekarang banyang pasang matang yang melihat ke arah mereka. Adrian seakan lupa jika sebelum menikah dengannya, Anindya sudah memiliki karir yang cemerlang. "Dia siapa sih? Sok iye banget!" Tanya Zevan lirih sambil menowel lengan Anindya dengan wajah keheranan. "Dua penghianat nggak penting!" Jawab Anindya pendek penuh penekanan membuat wajah pasangan suami istri itu merah padam. "Ooohhh...." Zevan membulatkan mulutnya seraya manggut-manggut. "Sudahlah Mas, aku malas berdebat denganmu. Lebih baik kamu segera pergi dan bawa istri barumu itu juga. Muak aku lihat wajah kalian disini," ujar Anindya dengan tenang sengaja mengusir Adrian dan Viona secara halus. Ia juga kembali duduk seakan tak mempedulikan kehadiran dua orang itu. "Nindy! Kamu!?" Adrian melotot. Wajahnya memerah. "Udah Mas, ayo kita pergi. Kita cari tempat lain saja." Viona segera menyeret lengan Adrian lalu melangkah meninggalkan meja Anindya. Anindya tertunduk lemas setelah kepergian dua orang itu. Tubuhnya lunglai begitu saja diatas kursi. Hatinya yang belum sembuh, kembali terasa perih. Bagaimana pun juga tak mudah melupakan lelaki yang sudah mengisi hidupnya 5 tahun belakangan ini, meski lelaki itu sudah menghianatinya dan menorehkan luka yang teramat dalam. "Siapa lelaki itu?" Tanya Zevan penasaran. "Dia mantan suamiku," jawab Anindya lirih. "Ternyata kamu janda??" Mulut Zevan ternganga, menatap Anindya tak percaya. *****"Bisakah kita menjalin hubungan lebih sekedar teman?" Pinta Zevan penuh harap."Maaf, aku tak bisa Zevan," jawab Anindya tegas. Tentu saja ia masih menutup pintu hatinya rapat-rapat karena banyaknya luka yang masih belum sembuh total. Ia tahu Zevan akan kecewa dengan ucapannya, namun dia belum mau menjalin hubungan dengan lawan jenis dalam waktu dekat ini."Kenapa? Apa karena kamu takut akan statusmu saat ini? Atau karena aku hanya seorang pemuda yang masih berkuliah? Atau kau takut jika aku tak bisa menafkahimu dan membuatmu bahagia?" Cecar Zevan sedikit kecewa."Bukan....bukan soal itu. Ada hal lain yang membuatku tak bisa menerimamu lebih dari sekedar teman." Kepala Anindya menunduk. Hatinya masih terasa sakit mengingat penghianatan yang dilakukan oleh orang terdekatnya. Mereka menorehkan luka yang teramat dalam dan sulit untuk sembuh. "Katakan padaku apa yang membuatmu sulit menjalin hubungan lebih dari sekedar teman? Barangkali aku bisa membantumu untuk lebih percaya diri, mungk
Anindya sedikit ragu saat akan memasuki gedung itu. Ia tahu itu restoran mewah, harga makanan di dalamnya tentu tidaklah murah. Jika ingin merayakan sebuah keberhasilan kenaikan nilai ujian, ini terlalu berlebihan untuknya. "Kita beneran mau makan disini?" Tanya Anindya ragu. "Apa jangan-jangan uang yang akan kubayar untuk nraktir aku makan disini?!""Yakin!" Tegas Zevan. "Memang kenapa? Lagipula nggak pa-pa juga kan kalo misalnya separo hutang yang kamu bayar, kita gunain buat makan disini.""Tapi mungkin makanan disini mahal, kamu nggak sayang sama duitnya?" Anindya mengingatkan. Kepala Zevan menggeleng tegas. "Kan nggak tiap hari. Hanya sekali doang. Udah, yuk turun."Zevan segera melepas seatbeltnya dan bersiap untuk turun dari mobil. Anindya mengikutinya saja walau wajahnya menunjukkan sikap ragu-ragu. Tentu saja ini pun pertama kalinya ia datang ke sebuah restoran mewah. Selama menikah dengan Adrian, lelaki itu belum pernah mengajaknya dinner berdua di restoran se-mewah ini. L
Sudah satu bulan berlalu sejak pertemuan pertama mereka kala itu. Zevan terlihat semakin dekat dan nyaman berada di dekat Anindya. Ia jatuh cinta pada Anindya. Ia juga tak peduli pada status jandanya dan jarak umur diantara mereka. Baginya, Anindya lah yang bisa menggetarkan hatinya dan membuatnya membuka hati. Hari ini tepat dimana Anindya akan membayar separo dari total hutang perbaikan motornya seperti yang dijanjikan. Semula Anindya akan mentransfer melalui rekening, namun Zevan menolak dan meminta uangnya dibayar secara langsung. Ia beralasan memiliki hutang pada seorang teman dan berjanji akan membayarnya, jadi sekalian saja ia tak perlu capek mengambil uang di atm. "Kamu ini menyusahkanku saja. Padahal ada yang mudah tinggal tranfer beres, malah minta dibayar cash dan ketemuan," dengus Anindya kesal. Ia merasa dikerjai oleh Zevan. Ia masih memegang ponselnya "Pasti ini cuma modus kamu kan?" Tuduh Anindya. "Sembarangan!" Seru Zevan melalui sambungan telepon. "Modus ap
Mobil Anindya berhenti di sebuah apartemen mewah. Ia berpikir jika pemuda itu bukan anak dari orang sembarangan. Tak akan mungkin dia tinggal di apartemen semewah itu jika dia anak orang dari kalangan biasa. "Pantas saja motornya mahal begitu. Cuma lecet sedikit doang udah habis belasan juta untuk biaya perbaikan, ternyata dia anak orang kaya rupanya," gumam Anindya sambil memperhatikan apartemen itu. Anindya segera menyalakan mobilnya kembali dan masuk ke area parkiran apartemen. Dia keluar mobil dan segera masuk ke dalam apartemen itu mencari lift untuk naik ke lantai 5. Pemuda itu sudah mengirimkan alamat lengkap dimana dia tinggal pada Anindya. Wanita itu berdiri di depan sebuah pintu dan memastikan nomor yang tertera di alamat yang ada di ponselnya sebelum ia memencet bel. Tak berapa lama, pintu pun terbuka dan sesosok wajah yang ia kenal muncul dari balik pintu. "Selamat datang," ucap Zevan menyambut kedatangan Anindya. Dengan kikuk Anindya melangkahkan kakinya
Zevan menyeruput es kopi susu favoritnya hingga tinggal separo. "Jadi, lelaki itu adalah mantan suamimu?" Anindya mengangguk lesu. Masih nampak gurat kesedihan akibat perceraian beberapa hari lalu. Anindya bukan tak bisa move on, namun baginya sulit melupakan cinta lelaki yang sudah membersamainya selama beberapa tahun terakhir, meski cintanya sudah dihianati. Tentu saja hatinya sedih dan terluka akibat perselingkuhan yang dilakukan oleh Adrian dan Viona, teman dekatnya. Tapi, ia hanya manusia biasa, masih ada sedikit rasa tertinggal di dalam hatinya untuk Adrian. Bahkan ia selalu membayangkan bahwa apa yang ia alami hanyalah sebuah mimpi belaka. Ia sadar bahwa dirinya tak bisa berlarut dalam kesedihan. Ia juga tak mau ditertawakan oleh Viona ataupun sang mantan mertua karena keputusan cerai yang ia ambil malah membuatnya terpuruk. "Maaf ya tadi aku ngakuin kamu sebagai kekasih baruku," ucap Anindya merasa bersalah. Ia sadar hal itu tak pantas ia lakukan, apalagi tanpa seizin Ze
Saat Anindya dan Zevan tengah sibuk berdiskusi dan mengerjakan tugas, tak jauh dari tempat mereka duduk, terlihat Adrian dan Viona berdiri celingukan mencari meja kursi yang masih kosong. "Mas, itu bukannya Nindy?" Jari Viona menunjuk mengarah ke depan tempat dimana Anindya dan Zevan duduk. Wanita yang perutnya mulai membesar itu memperhatikan Anindya yang duduk bersama dengan Zevan. Mata Adrian langsung mengarah kearah jari telunjuk Viona. Ia menyipitkan matanya. "Sama siapa dia? Adiknya?" Tanya Viona memancing reaksi Adrian. Ia sebenarnya juga tahu pemuda yang duduk disamping Anindya bukanlah adiknya. Ia hanya ingin menunjukkan pada Adrian jika Anindya bersama laki-laki lain. Dengan begitu, Adrian akan menganggap Anindya sudah melupakan dirinya. Kepala Adrian menggeleng setelah memperhatikan lelaki yang bersama dengan mantan istrinya itu. " Bukan adik Nindy deh kayaknya. Aku kenal bagaimana wajah adik lelaki Nindy." "Lha terus siapa dong? Apa jangan-jangan itu pacar baru