Pemuda yang motornya ditabrak oleh Anindya beberapa waktu lalu itu melambaikan tangan kearah Anindya yang tengah celingukan mencari keberadaannya di dalam Mall lantai 2.
Anindya segera berjalan menghampiri dimana pemuda itu duduk. Lelaki itu menungu Anindya di depan foodcourt yang berjejer rapi. "Maaf ya baru datang. Soalnya tadi aku ada klien dadakan," ucap Anindya seraya menggeser sebuah kursi untuknya duduk. "Udah lama nunggunya?" Pemuda itu tak segera menjawab, tapi matanya bergerak mengarah ke dua gelas minuman yang ada diatas meja. Satu gelas sudah kosong dan satu lagi masih sisa separo isinya. "Tuh, liat aja sendiri hampir habis 2 gelas minuman. Sampai kembung perutku." "Maaf....maaf...." ucap Anindya dengan wajah bersalah. Ia bukanlah tipe orang yang tidak menepati janji, bahkan ia selalu tepat waktu jika sudah ada janji bertemu seseorang. Tapi, memang saat dirinya hendak pulang, si bos menyuruhnya menemui seorang klien yang ingin berkonsultasi tentang pembangunan rumah. Klien tersebut ingin dibuatkan desain denah rumah lengkap dengan interior dan eksteriornya. Si bos menyerahkan proyek ini kepada Anindya dan Kalila. Jadilah, Anindya sedikit terlambat menemui pemuda itu. "Oh iya...maaf aku belum tahu siapa namamu..." "Zevano Alaric Kalandra," potongnya cepat. "Panggil aja Zevan." Anindya manggut-manggut. "Aku Anindya Prameswari. Kamu bisa memanggilku Nindy." "Oh ya satu lagi yang ingin aku tanyakan padamu," ujar Anindya yang masih penasaran kenapa biaya perbaikan motor pemuda itu begitu mahal hingga mencapai angka belasan juta. "Soal apa?" Tanyanya datar. "Soal biaya perbaikan motor kamu," jawab Anindya. "Apa memang betul biayanya segitu ya?!" "Memang kenapa?" Zevan mengernyitkan keningnya. "Maksudku kenapa biayanya mahal sekali, padahal kan cuma lecet doang di beberapa bagian. Aku rasa nggak ada yang parah. Atau jangan-jangan kamu sengaja menaikkan biaya perbaikan hingga berkali lipat untuk memerasku? Kamu mau nipu aku?" tuduh Anindya. Zevan tak tersinggung dengan tuduhan yang dilontarkan Anindya kepadanya. Dia malah tertawa terbahak-bahak menertawakan Anindya. "Lucu sekali! Kamu pikir motorku itu seharga motor matic seperti milik orang-orang di luaran sana?" "Maksudnya?" Wajah Anindya nampak kebingungan. "Motorku itu motor mahal. Limited edition. Di design secara khusus. Jadi, mau lecet sedikit kek, lecet banyak kek, tetep aja biaya perbaikannya mahal seperti yang kamu bilang. Biaya 15 juta itu termasuk murah karena memang lecetnya nggak terlalu parah," jelas Zevan panjang lebar. Anindya hanya mendengarkan dengan tatapan tak percaya. Masa' sih? Dia bohong atau jujur? batin Anindya yang masih meragukan penjelasan dari Zevan. "Suer! Aku bicara jujur!" Zevan mengangkat tanganya dengan dua jemari membentuk huruf V. "Kalo nggak percaya ya sudah. Emang cewek ngerti apa sih soal otomotif." "Hm...baiklah, aku percaya!" tukas Anindya. Ia tak mau berdebat lagi soal biaya perbaikan itu. Mungkin memang dia yang kurang paham soal motor. Lagipula ia juga mengakui bahwa motor Zevan bukanlah motor murahan. "Sepertinya emang kamu nggak percaya sama yang aku omongin kok," sungut Zevan lirih. "Ngomong apa kamu tadi? Aku nggak denger?!" "Ah.... Nggak ada kok." Pemuda itu terkekeh. Dih....padahal jelas tadi dia ngomong sesuatu. Pake acara nggak ngaku segala, batin Anindya dongkol. "Oke Zevan, sekarang tunjukkan padaku tugas apa yang sedang kamu kerjakan. Aku berharap itu sesuai dengan bidangku agar aku bisa maksimal membantumu. Karena jika tidak aku juga pasti kesulitan untuk membantumu. Tapi , meski begitu akan berusaha semaksimal mungkin untuk membantumu," ujar Anindya yang tetap berkomitmen membantu Zevan mengerjakan tugas kuliahnya demi tenggang waktu mengembalikan biaya perbaikan motor. "Aku mengambil program kuliah study arsitektur. Mamaku menginginkan agar aku menjadi seorang arsitek. Padahal aku sama sekali tak memiliki bakat di bidang perencanaan apalagi menggambar sebuah denah," tuturnya sambil mendengus kesal. "Jika kamu tak suka dengan jurusan tersebut, kenapa tetap mengambil dan menjalani hingga semester akhir?" Tanya Anindya yang penasaran dengan jalan pikiran pemuda yang duduk di sampingnya itu. Dia bisa saja kan mengatakan pada orang tuanya bahwa bukan dia tak menyukai jurusan yang sudah dipilih. "Mamaku ngotot memaksaku masuk kesana, sekaligus mengancamku. Jadi, mau tak mau aku menurutinya daripada aku kehilangan fasilitas yang selama ini aku nikmati," jawab Zevan. Anindya manggut-manggut. Ia menduga jika pemuda ini bukan anak dari kalangan biasa. Ia mungkin anak orang kaya yang harus meneruskan usaha orang tuanya. "Lalu, apa sebenarnya minatmu? Tak mungkin kan kamu tak memiliki cita-cita atau impian di masa depan?" Tanya Anindya mulai mengulik pribadi Zevano. "Ehm...aku ingin jadi tentara nasional. Tapi, Mama tak mengijinkanku masuk sekolah militer. Dia takut aku nanti akan di kirim untuk perang atau ke daerah konflik. Aku bisa mengerti dengan ketakutannya itu karena aku anak satu-satunya yang dia miliki. Pastinya dia tak ingin kehilanganku," jawabnya menjelaskan panjang lebar. Anindya kembali manggut-manggut. "O...jadi begitu ya. Baiklah coba tunjukkan padaku tugas mana yang harus kamu kerjakan." Anindya terlihat bersemangat karena itu sesuai dengan bidangnya. Ia lega sebab jurusan kuliah yang diambil oleh pemuda itu tak beda jauh dengan dirinya. Jadi, ia tak akan kesulitan membantu pemuda ini menyelesaikan tugasnya. Zevan menyalakan laptop yang dibawanya. Jemarinya bergerak mengetik sesuatu diatas keyborad. Kemudian dia menggeser laptopnya tepat di depan Anindya. Ia menunjukkan sebuah desain gambar yang baru setengah jadi pada wanita itu. Anindya menatap layar laptop milik Zevan dengan wajah serius. Bola matanya bergerak meneliti setiap garis dan sudut gambar dalam laptop. "Kamu yakin bisa bantu aku ngerjain tugas ini??" Zevan melirik Anindya seakan meremehkan. Pemuda itu seperti tak yakin jika Anindya bisa membantunya mengerjakan tugas yang diberikan oleh dosen. Anindya tersenyum tipis. Ia lalu menjentikkan jarinya dan berkata, "Tenang aja. Ini gampang kok, aku sudah mengerjakan yang beginian beberapa tahun lalu. Jadiz aku yakin seratus persen bisa membantumu menyelesaikan tugas ini sampai siap diserahkan pada dosen." "Serius??" Mata Zevan membulat tak percaya dengan mulut yang ternganga. "Jangan bohong padaku?!" "Serius lah, ngapain aku bohong," balas Anindya. Wanita itu merogoh tas dan mengambil sesuatu dari sana. Ia memberikan kartu nama pada Zevan. Zevan membaca kartu tersebut berikut pekerjaan yang tertera disana. "Arsitek?" Anindya menganggukkan kepalanya dan tersenyum lebar. "Whuaahhh.....kebetulan sekali!" Teriaknya seraya bertepuk tangan kegirangan. "Ini sungguh diluar dugaan. Ternyata keberuntungan masih menyertaiku. Terima kasih Tuhan." Anindya terkekeh sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Memangnya hidupmu selama ini kurang beruntung atau bagaimana?" "Dipaksa masuk ke jurusan yang nggak aku suka itu sudah termasuk ketidakberuntunganku," cetusnya asal. Wajahnya melengos begitu saja. "Begitukah??" Zevan menganggukkan kepala. "Ya begitulah." "Tapi, kamu harus lebih bersyukur masih bisa kuliah dibiayai oleh orang tuamu. Di luar sana banyak anak-anak seusiamu yang terpaksa mengubur mimpinya tak bisa duduk di bangku kuliah karena keterbatasan biaya. Kamu salah satu orang yang lebih beruntung di banding mereka. Kamu harus bersyukur dengan hal itu," tutur Anindya menasehati sambil mengerjakan tugas itu. Jemari lentiknya dengan gesit menari-nari diatas keyboard. Zevan terdiam tak menangggapi, namun dalam hatinya ia membenarkan perkataan wanita itu. Mungkin selama ini dia kurang mensyukuri apa yang dia dapatkan dan miliki dengan mudah. Ia kurang peka bisa jadi karena dirinya terbiasa hidup serba berkecukupan. *****"Nindy!" Sebuah suara terdengar menggema saat pintu kamar untuk make up terbuka. Anindya dan tim make up kompak menoleh kearah sumber suara. Kalila langsung menghambur dan memeluk Anindya yang belum selesai di make up. "Akhirnya kamu melepas masa jandamu juga. Sama berondong ganteng lagi. Aah....senengnya!" "Kenapa telat sih?" Anindya berpura-pura memasang wajah kesal. Bibirnya mengerucut. "Hehehe....maaf ya. Pagi tadi agak pusing, trus mual-mual gitu. Rasanya nggak enak banget," jawab Kalila seraya mengelus perutnya. "Kenapa, maag kamu kambuh lagi kah?" Wajah Anindya berubah khawatir. "Udah ke dokter belum?" "Udah nggak usah khawatir, aku nggak pa-pa kok," sahut Kalila menenangkan. Ia menepuk-nepuk pundak Anindya yang masih mengkhawatirkannya. "Nggak pa-pa gimana sih? Kalo maagmu kambuh lagi trus parah kayak waktu itu gimana?" Anindya masih teringat sahabatnya itu pernah dirawat intensif karena penyakit maagnya yang kambuh. Hampir seminggu dia menemani Kalila di rumah sakit,
"Undangan darimana ini Ma?" Tanya Adrian selepas pulang kerja dan menemukan sebuah undangan pernikahan diatas meja ruang tamu. "Undangan?" Bu Sarita yang muncul dari dapur dengan membawa segelas es jeruk mengulang pertanyaan tak mengerti. "Undangan apa?" Adrian menunjukkan undangan itu pada sang Mama. "Undangan ini? Sepertinya undangan pernikahan." Bu Sarita menggedikkan kedua bahunya. "Entahlah. Mama juga baru pulang dari arisan. Mungkin Bibik tahu undangan itu datang darimana. Coba Mama tanya Bibik." Bu Sarita meletakkan es jeruk di tangannya dan kembali ke belakang memanggil asisten rumah tangganya. Sementara itu, Adrian melonggarkan dasi, melepas jas yang dipakainya seharian lalu merebahkan diri diatas sofa. Bu Sarita datang bersama dengan asisten rumah tangga yang berjalan di belakangnya. "Coba Bibik bilang, itu undangan darimana?" Tanya Bu Sarita. "Oh...undangan itu ya. Tadi ada seorang pengantar datang ke rumah mengantarkan undangan pesta pernikahan. Saya semp
"Maaf jika sebelumnya sikapku kurang baik padamu, Nindy. Kamu pasti paham seorang ibu pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Apalagi soal pasangan hidup. Saya hanya tak ingin sampai Zevan salah dalam memilih pendamping." Nyonya Martha memulai percakapan malam itu. "Kita belum pernah bertemu dan saling mengenal. Aku sengaja mencari informasi soal dirimu. Ini bukan masalah statusmu sekarang. Aku bahkan tak peduli apakah kamu masih perawan atau sudah pernah menikah. Aku hanya ingin memastikan bahwa Zevan memilih wanita yang bisa diajak bekerjasama dan saling mendukung satu sama lain," lanjut nyonya Martha. "Tapi, apa Nyonya belum tahu jika saya memiliki kekurangan lain yang mungkin tak bisa Anda terima," ujar Anindya berhati-hati. "Mengingat Zevan adalah anak tunggal dalam keluarga ini. Tentu saja dia menjadi harapan untuk meneruskan keturunan keluarga, sedangkan saya kemungkinan tak bisa memenuhi keinginan tersebut."Wajah Anindya tertunduk sambil meremas tangannya. Mungkin Ze
"Apa Kak?! Mata Haikal membulat sempurna. "Si anak tengil itu benar-benar akan melamarmu?" Anindya hanya mengangguk pelan. "Aku sudah menelpon Ibu dan memberitahunya soal ini. Aku juga menceritakan tentang siapa Zevan." "Lalu Ibu setuju?" Tanya Haikal lagi. Sekali lagi Anindya mengangguk pelan. "Iya, Ibu setuju, dan kamu harus bersiap untuk jadi waliku." "Mereka akan mempersiapkan semuanya. Dari acara ijab kabul hingga pesta pernikahan yang meriah," sambung Anindya antusias. Dalam pikirannya bertanya-tanya, apakah dia perlu mengundang sang mantan atau tidak. "Kakak sudah memikirkannya baik-baik untuk menikah kembali? Apalagi ini menikah dengan Zevan." Tergambar rasa khawatir di wajah Haikal. Reputasi Zevan cukup buruk di kampus, meski belakangan ini dia terlihat cukup menunjukkan perubahannya di kampus. Namun, semua itu tak cukup bagi Haikal untuk mempercayakan masa depan kakaknya pada Zevan. Anindya menepuk pundak Haikal pelan. "Aku sudah memikirkan hal ini baik-baik, Ha
Tanpa disadari oleh Amelia, Zevan juga kebetulan berada di gedung yang sama. Pemuda itu bahkan melihat Amelia yang keluar ruangan nyonya Martha. Zevan yang hendak menemui mamanya di kantor, mengurungkan niat dan malah mengikuti Amelia. 'Cewek ini pasti ngomong macem-macem sama Mama. Awas aja kalo sampai merusak hubunganku dengan Nindy dan mengadu dombaku dengan Mama, batin Zevan. "Amel!" Panggil Zevan dengan suara lantang membuat gadis itu berhenti lalu menoleh ke belakang. "Zevan!" Matanya berbinar cerah saat melihat sosok Zevan. "Kok kamu ada disini sih? Kenapa nggak bilang?!" "Ehem!!" Zevan berdehem. "Kebetulan kita bertemu disini. Ada sesuatu yang penting yang mau aku obrolin sama kamu." "Ayo....mau ngobrol dimana?! Kebetulan juga aku lagi nggak sibuk." Amelia meraih tangan Zevan untuk bermaksud menggandengnya tapi segera ditepis oleh Zevan. "Nggak usah sok akrab!" Tukas Zevan mendelik. Amelia cuma cengengesan "Kita ngobrol di cafe. Ada cafe di sebelah gedung,
"Saya mau bertemu dengan Nyonya Martha," kata seorang gadis pada sekretaris kantor dimana mama Zevan bekerja. "Maaf, apakah Anda sudah memiliki janji dengan Bu Martha?" Tanya si sekretaris itu dengan ramah. "Belum," jawab gadis itu pendek. "Maaf Nona. Anda harus membuat janji terlebih dahulu. Silahkan Anda mengisi jadwal untuk bisa bertemu dengan Ibu Martha," kata si sekretaris itu menolak dengan sopan. "Saya mau bertemu sekarang! Nggak usah pake acara buat janji segala. Katakan saja jika Amelia ingin bertemu," paksanya ngenyel. "Maaf Nona, saya tidak bisa. Ibu Martha sangat sibuk. Beliau tak bisa ditemui sembarang orang," tolak sekretaris itu lagi mempertahankan aturan kantornya. "Kamu tahu siapa saya?!" Gadis itu mendelik marah. Ia berkacak pinggang. "Saya adalah calon menantunya. Calon istri dari Tuan Zevano. Saya bebas menemui calon mertua saya kapan saja. Terserah saya!" "Ini sudah prosedur perusahaan Nona. Anda harus ikut aturan, tidak bisa seenaknya saja," tegas