"Aaa..."
Embun terbangun saat merasakan cipratan air mengenai wajahnya. Ia merasa tersentak lalu membelakan mata almondnya dengan penuh keterkejutan. Tangannya buru-buru mengusap air dingin yang membasahi wajahnya.
Sepasang mata tajam langsung menyambut Embun. Seketika perempuan muda itu langsung menggerakan bibirnya, ingin menanyakan soal perjanjian yang dibuat antara ayahnya dan suaminya. Atau, mungkin wanita pesolek yang berdiri di hadapannya itu ikut terlibat di dalamnya!
Sembari mencengkram sprei dan berusaha menegakkan tubuhnya, Embun langsung membuka mulutnya. “Tante, perjanjian apa yang dilakukan Ayah dengan Tuan Danar?”
Suara Embun bergetar hebat. Sebetulnya sudah jelas Embun membaca surat kontrak yang dibawa suaminya. Hanya saja, ia tak terima karena merasa tidak pernah membuat kesepakatan apapun dengan Danar.
Embun menyukai Danar dan jatuh hati pada pandangan pertama. Ketika Danar melamarnya di depan sang ayah, ia langsung menerimanya dengan penuh sukacita.
Indira-ibu tiri Embun seketika tersenyum sinis. “Perjanjian apa? Memang perjanjian apa lagi? Kau ini bodoh atau dungu sih Embun! Mana mungkin Tuan Danar Yudistira, sosok pengusaha kaya raya menikahi gadis kampung jelek sepertimu kalau bukan karena sebuah kepentingan!”
“Kepentingan?”
Embun mengulangi kata-kata ibu tirinya. Sungguh, terdengar enteng sekali! Namun Embun yang mendengarnya merasa dihantam palu godam. Terbuat dari apakah hati wanita itu?
Embun pun menurunkan ke dua tungkai kakinya yang masih lemah dan berusaha berdiri lalu menghampiri ibu tirinya. Baik ayah dan Ibu tirinya berhutang penjelasan padanya.
Indira menatap cemooh anak sambungnya itu. Sebetulnya ia tak sudi tinggal bersama dengannya. Hanya saja, suaminya yang memintanya membawa pulang ke sana. Embun bisa menjadi ladang emas bagi mereka.
“A-Apa?” salak Indira dengan melotot tajam pada Embun.
“Tante, kalian tega sekali! Aku tak pernah menandatangani surat kontrak apapun dengan Tuan Danar. Mengapa kalian melakukan hal sekeji ini padaku?”
Sebelumnya Embun memang gadis yang penurut dan lugu. Sekalipun ia seringkali diperlakukan tidak adil oleh ayah dan ibu tirinya, ia tidak pernah mengeluh apalagi membangkang.
Namun hari itu, Embun merasa kesabarannya sudah menipis. Satu-satunya keluarga yang dimilikinya ternyata memperdaya dan memanfaatkan kepolosannya.
Ingin sekali meneriaki dan membentak ibu tirinya itu. Namun Embun tidak memiliki keberanian sejauh itu. Ia hanya menahan kemarahannya dalam hati.
Tawa pecah di bibir Indira. “Kau mau tau alasannya? Tanyakan saja pada Ayahmu!”
Indira mendekati Embun lalu menudingkan telunjuknya di depan muka Embun. Sedetik kemudian telunjuknya turun lalu menekan dada Embun dengan keras hingga tubuh Embun yang masih lesu dan tak bertenaga langsung terhuyung jatuh ke atas lantai.
Embun mengaduh kesakitan karena merasakan betapa sakitnya bagian sensitifnya membentur lantai. Namun tak ada gunanya ia mengeluh. Indira sama sekali tidak merasa simpatik padanya.
Sebaliknya, Indira tersenyum puas melihat penderitaan anak sambungnya. Wanita angkuh itu berjalan keluar kamar Embun.
Embun hanya bisa meratapi nasib malangnya. Namun ia tak bisa berbuat apa-apa. Yang bisa ia lakukannya hanyalah menangis lirih.
Melihat Embun tepekur di lantai dengan satu tangan mengalung pada ranjang, salah satu pelayan yang bekerja di rumahnya menghampirinya dengan penuh keterkejutan.
“Teh Embun! Ya Allah, Teh!” imbuhnya dengan panik. Wanita dengan kerutan di wajahnya itu langsung menundukan tubuhnya, berusaha membantu Embun untuk bangun.
Embun berpegangan pada ke dua tangan yang menolongnya. Sekonyong-konyong ia memeluk pelayan itu. “Bibik!!” katanya dengan isak tangis.
Wanita tua yang dipanggil Bibik itu ikut bersedih hati melihat takdir yang menimpa anak majikannya itu. Ia pun memeluk Embun dengan penuh kehangatan. Ia mengusap-usap punggung Embun dengan lembut, bermaksud memberikan dukungan moril padanya.
Mungkin Bibik Lilis tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Embun dan keluarganya. Ia hanya datang tiga kali dalam seminggu untuk mencuci pakaian dan beres-beres di rumah itu. Ia hanya menduga jika memang telah terjadi sesuatu yang besar menimpa Embun. Mungkin bayinya meninggal, pikirnya. Sebab setahunya Embun seperti baru melahirkan. Tubuhnya lesu dan perutnya kempes.
Bibik Lilis membantu Embun untuk berbaring di atas ranjang. Ia pun memberikannya air minum agar Embun merasa tenang.
“Minum dulu, Teh,” serunya dengan penuh perhatian.
Alih-alih menerima air minum dari tangan Bibik Lilis, Embun menatap wanita tua itu lalu bertanya. “Ayah pergi kemana?”
“Oh, Bapak sedang pergi keluar kota.”
Bibik Lilis menjawab seperlunya.
Embun menghela nafas pelan. Ia sudah tak sabar ingin berbicara pada ayahnya.
“Kapan Ayah pulang?”
Embun kembali bertanya pada pelayan wanita itu.
Wanita bersurai hitam agak keputih-putihan itu hanya menggeleng pelan. Tatapannya membola tatkala melihat bagian dada Embun yang basàh dan berbau khas ASI.
“Teh Embun, bajunya basah! Maaf, Teh, apa Teteh sudah melahirkan?”
Pelayan itu memberanikan diri bertanya sebab terakhir kali ia melihat Embun hamil. Ia bisa melihat jika bagian dadanya basàh karena ASI yang merembes. Apalagi aroma khas berasal dari ASI menyeruak. Mungkin jika ia menyusui bayinya, ASI-nya tidak akan tumpah dan terbuang begitu saja.
Mendengar perkataan pelayan itu, Embun meringis pelan. Meskipun baru beberapa jam, ia sudah sangat merindukan bayinya. Rasanya, Embun tak bisa berpisah dengan bayinya.
“Maaf, Teh, saya lancang bertanya. Permisi!”
Bibik Lilis merasa bersalah atas pertanyaannya. Ia menjadi serba salah. Melihat reaksi Embun yang terlihat begitu sedih, pelayan itu menarik kesimpulan jika bayinya meninggal.
Kini Embun hanya berbaring di atas ranjang. Tubuhnya mendadak demam akibat ia tidak menyusukan ASI-nya yang melimpah. Andai ia diberkati sehat, mungkin saat itu juga ia akan menyusul suaminya untuk mengambil bayinya. Namun helaan nafas berat lolos dari bibirnya. Kemanakah mereka membawa bayinya?
Embun menggigil dengan gigi geligi yang gemeletuk. “Dek, tunggu Mama ya!”
Dengan menguatkan hati, Embun langsung mencari kotak obat. Tak ingin membuang tempo, ia langsung menelan obat anti demam. Ia pun memutuskan keluar rumah dengan mengendap-endap.
Mengancingkan sweaternya, Embun berjalan di tengah keheningan malam. Ia menyusuri jalanan lengang untuk pergi ke sebuah tempat. Ia yakin suami dan wanita bernama Mita itu akan membawa bayinya ke sana. Mungkin!
Semua bisa terjadi, kan?
Sepuluh Tahun KemudianLangit pagi itu cerah di kawasan perbukitan tempat kediaman keluarga Manggala berdiri megah. Rumah bergaya modern tropis dengan sentuhan klasik itu dikelilingi taman bunga dan pepohonan rindang, dibangun oleh Aldino, sang kakek yang visioner. Di halaman belakang, terdengar suara tawa anak-anak dan langkah kaki berlarian.Kini Manggala mengambil alih perusahaan sang ayah, sedangkan Jeena menjadi seorang pianis seperti ibunya. Ia juga bahagia menjadi seorang ibu dari empat orang anak. “Mas Sagara! Tunggu aku dong!” seru Bintang, bocah sepuluh tahun yang berusaha mengejar kakaknya.Sagara menoleh sambil tertawa. “Cepat dong, Bintang! Katanya mau lomba lari?”Dari balik pintu kaca, dua gadis kembar berambut panjang hitam–berusia tujuh tahun, Savana dan Aurora, berseru bersamaan, “Mamaaa! Mas Sagara gak mau ajak kita main!”Jeena, yang tengah menyiram bunga, menoleh sambil tersenyum. “Kalian gak usah ikut main lari-larian. Kalian bisa kan main yang lain,”Savana dan
Tiga minggu telah berlalu sejak kecelakaan itu.Alby akhirnya pulang ke Jakarta. Ia masih lemah, tubuhnya belum sepenuhnya pulih, tapi kesadarannya sudah kembali. Dan itu saja sudah cukup membuat seluruh keluarga menghela napas lega.Di kamar yang tenang, Alby perlahan duduk di sisi ranjang. Levina sigap menopangnya.“Kamu yakin udah kuat buat berdiri?” tanyanya pelan, seolah takut suaranya akan membuat Alby goyah.Alby tersenyum tipis. “Aku nggak selemah itu, Lev… Tapi kalau kamu tetap mau di sini, aku nggak keberatan.”Senyum itu begitu lemah, tapi cukup untuk menggetarkan hati Levina. Ia membalas tatapan itu dengan lembut, menyembunyikan guncangan di dadanya. Sejak hari pertama Alby tak sadarkan diri, Levina tidak pernah meninggalkan sisinya.Ia bertahan, bahkan ketika dokter kehilangan harapan. Dan, keluarga Basalamah mengabaikannya. “Lev,” suara Alby pelan.Levina menoleh cepat. “Hmm?”“Makasih ya… sudah rawat aku.”Alby menatap Levina dengan senyum tipis.Levina diam kemudian m
RS Bali International Cahaya lampu rumah sakit memantul di lantai keramik yang licin, menciptakan suasana dingin dan sepi. Di balik pintu ICU yang tertutup rapat, Alby tengah berjuang mempertahankan hidupnya. Tubuhnya penuh luka, sebagian tulangnya retak, dan kepalanya mengalami trauma berat akibat benturan keras dalam kecelakaan.Di ruang tunggu ICU, suasana dipenuhi ketegangan.Dokter Bagas, ahli bedah saraf yang menangani Alby, keluar dengan wajah serius langsung mengabari kondisi Alby saat ini pada keluarga; Sulis-Ali, Beryl, Ana-dr Zain, dan Manggala-Jeena yang langsung terbang ke Bali setelah mendapat kabar buruk mengenai kecelakaan yang menimpa Alby.Dokter Bagas berkata. “Kami sudah melakukan tindakan penyelamatan secepat mungkin. Alby mengalami pendarahan hebat di otak serta beberapa patah tulang rusuk yang melukai paru-paru kirinya. Kami telah memasang ventilator dan melakukan dekompresi kranial untuk mengurangi tekanan pada otaknya.”Tak ada yang berbicara. Wajah Ali pucat,
“Hari ini mendadak sepi, ya?”Levina menoleh. Alby ada di sampingnya, berjalan santai di antara deretan pohon mahoni yang mulai meranggas. Cahaya senja memantulkan rona keemasan di wajah mereka, menciptakan siluet yang tenang namun menyimpan gelombang perasaan yang tak terucap.Alby menatap tunangannya dengan lembut. Banyak hal ingin ia katakan, tapi belum waktunya. Ia hanya meraih jemari Levina dan menggenggamnya erat. Namun, kali ini Levina tidak menolak. Ia tahu harus berpura-pura menjadi kekasih Alby dengan sebaik mungkin.“Besok kita menikah. Tapi hari ini… izinkan aku jujur.”Alby menatap Levina dari samping. Meskipun Levina selalu menampilkan wajah dengan minim ekspresi, di matanya gadis itu terlihat cantik. Mungkin wanita tercantik yang pernah ia sukai. Ia menyukai segala hal tentang dirinya. Entah sejak kapan, Ia mulai merasakannya. Alih-alih merespon perkataan Alby, Levina menatapnya dalam. “Aku dengar kau sudah melaporkan Bella dan Roger.”Alby mengangguk pelan. “Aku rekam
“Lihat nih! Komennya udah tembus sepuluh ribu. Gila, Bella, kamu viral!”Manager Bella, seorang wanita berkacamata bernama Fara, tertawa kecil sambil menyodorkan ponsel ke arah kliennya. Di layar, unggahan Bella sedang dibanjiri komentar dan likes. Foto-foto kontroversial dengan Alby—yang sengaja diposting ulang oleh akun fanbase-nya, membuat namanya melejit dalam semalam.Bella tersenyum tipis, membolak-balik notifikasi dengan santai.“Ya... kalau skandal bisa bikin aku trending, kenapa nggak?” ujarnya ringan.Fara menyikut lengannya. “Kamu jahat juga, ya.”Bella menjawab dengan anggukan percaya diri. “Dunia hiburan bukan tempat buat yang terlalu baik.”Namun sebelum mereka bisa tertawa lagi, pintu studio tempat mereka santai tiba-tiba terbuka keras.BRAK!Keduanya terlonjak kaget. Di ambang pintu, berdiri Alby dengan sorot mata yang tak pernah Bella lihat sebelumnya—dingin, tajam, dan penuh kemarahan yang ditekan.“Untuk apa kamu lakukan ini, Bella?”Nada suaranya rendah, tapi mengge
“Astaga, Bella, sialan!” gumam Alby saat melihat layar ponselnya. Foto-foto itu terpampang jelas. Ia dan Bella terlihat terlalu dekat. Mereka seperti sepasang kekasih.Skandal itu tersebar begitu cepat. Akun-akun gosip di X dan I*******m berebut menaikkannya, sementara bot-bot anonim memperkeruh suasana dengan komentar tajam dan spekulasi kejam. Nama Alby mendadak trending, bukan karena prestasi, tapi karena ciuman yang tak pernah benar-benar terjadi.Dengan geram, Alby melemparkan ponselnya ke meja. Ia ingin menyangkal semua ini, tapi bagaimana? Mata kamera tidak pernah peduli pada kebenaran—hanya pada apa yang terlihat.Ponselnya bergetar. Nama “Mommy” tertera di layar.Sulis tidak pernah menelepon tanpa alasan. Dan kali ini, Alby tahu persis apa yang membuat ibunya menelepon di tengah malam, saat hujan mengguyur kota seperti murka langit yang tak tertahan.Sulis duduk anggun di sofa ruang tamu. Ruangan itu sepi, tapi hawa di dalamnya menggigit seperti salju saat musim dingin. Alby