Menaiki angkutan umum, Embun pergi ke sebuah villa sederhana dekat hutan pinus yang ia tinggali saat menjalani pernikahan dengan Danar Yudistira.
Setelah dipersunting oleh Danar, Embun langsung diboyong oleh pria itu untuk menempati villa yang sepi dan sunyi itu. Letak villa itu jauh dari pemukiman warga. Di sana Embun tinggal dengan seorang asisten rumah tangga dan seorang security. Namun villa itu kini kosong!
Usai ijab qabul, Danar hanya menginap semalam untuk melakukan ritual malam pertama dengan Embun. Keesokan harinya Danar pergi keluar kota karena harus bekerja. Perusahaan miliknya berada di luar kota.
Semenjak menikahi Embun, hanya dalam hitungan jari, Danar pulang ke villa itu. Lagi, ia hanya datang untuk meminta haknya sebagai suami dan mengecek kehamilan Embun. Embun yang lugu tidak pernah menaruh curiga pada Danar.
Air mata Embun kini tak terbendung ketika mengingat keping demi keping kenangan yang dilewatinya bersama Danar. Pantas saja, Danar hanya bersikap seperlunya padanya. Sebaliknya, Embun selalu menyambutnya bagaikan seorang raja. Kepulangannya ialah hal yang paling ditunggunya. Ia melayani Danar dengan sangat baik.
“Tuan Danar, mengapa kau tega berbuat ini padaku?”
Baru saja kakinya melangkah, menginjak halaman villa, hatinya berdenyut pilu. Di sana, biasanya Danar memarkirkan mobil jeep Cherokee miliknya, dekat tanaman bunga mawar yang ditanamnya.
Embun pun mengayunkan kakinya menuju dalam villa. Ia masih menyimpan kuncinya. Ia masuk ke dalam dengan perasaan yang pedih. Ia berjalan perlahan menuju kamar miliknya bersama dengan Danar. Ia pun menatap sesaat foto dirinya bersama Danar saat walimah. Frame foto berukuran kecil yang ditaruhnya di atas nakas samping tempat tidur. Kemudian tatapannya tertuju pada ranjang bayi yang sudah ia persiapkan untuk bayi mereka.
Melihat pemandangan itu, air mata Embun kembali deras. Tubuhnya kembali merosot ke lantai. Seketika bayangan indah melintas. Di kamar itu, untuk pertama kalinya Danar menyentuhnya dengan lembut. Namun ternyata di balik semua itu Danar hanyalah seorang penipu ulung. Semua orang telah memanfaatkan kepolosan dirinya.
Selang satu kedipan mata, tatapan Embun tertuju pada sebuah sofa bed yang berada di samping ranjang besar itu, di sanalah ia duduk sembari mengajak mengobrol janinnya saat masih di dalam perutnya.
Malam itu, Embun tidur di atas ranjangnya sembari memeluk selimut bayi untuk bayi lelakinya. Sungguh, ia merindukannya.
“Anak Mama, kau sedang apa? Maafkan Mama ya Nak, belum bisa menjemputmu!” gumamnya dengan perasaan yang teriris sembilu. Selimut itu sudah basàh oleh air matanya.
Tangisan Embun semakin kencang saat ia menghidu selimut bayi itu dengan membayangkan bahwa dirinya sedang memeluk bayinya yang sudah direnggut dari sisinya secara tiba-tiba.
****
“Dari mana saja kau?”
Bagas-ayah Embun langsung membentak putrinya kala ia baru saja tiba di rumah. Pria bertubuh tinggi besar itu memasang wajah garang di depan Embun.
Seketika Embun bergidik ngeri saat melihat kemarahan sang ayah. Ketika ia mengingat amarah sang ayah, mengingatkannya pada hukuman yang harus diterimanya. Ia akan dikurung di gudang sendirian sehari semalam. Padahal seharusnya Embun yang marah atas perlakuan sang ayah padanya. Bagas telah menjualnya pada Tuan Danar.
Mencengkram roknya dengan erat, Embun memberanikan diri menengadah, menatap sang ayah.
“A-Ayah, mengapa kau tega menjualku?”
Bagas tersentak mendengar pertanyaan Embun. Namun ia juga tahu pasti Embun akan kecewa dan kesal padanya atas perjanjian yang dilakukan dirinya dengan Danar.
“Kau mau tau jawabannya?”
Bagas menjawab dengan suara pelan namun terdengar dingin dan serius. Kemudian ia berjalan masuk dan meninggalkan putrinya di belakangnya.
Embun pun mengikuti langkah besar kaki sang ayah. Bagas duduk di sofa dengan wajah tegang.
Embun ikut duduk di seberangnya, tak sabar menunggu jawaban.
Bagas mengeluarkan setumpuk kertas lalu menaruhnya di atas meja.
Bola mata Embun membeliak saat melihat tumpukan kertas itu adalah bon berisi jumlah nominal utang bekas pengobatan ibunya yang menderita leukimia.
“Jadi Ibu selama ini sakit leukimia?”
Embun bertanya dengan suara yang sesak. Air matanya kembali luruh. Ibu Embun meninggal saat ia masih berusia tiga tahun. Embun mengira jika ibunya sakit biasa. Ternyata ibunya sakit leukimia.
Embun menatap kertas itu lalu menatap ayahnya. “Kenapa Ayah tidak bilang sebelumnya?”
“Embun, kau tahu rumah ini juga bukan rumah Ayah. Ini rumah milik Indira. Jika A-Ayah tidak menikahi Indira, bahkan Ayah tidak bisa menghidupimu!”
Embun merasa sesak. Ia sempat berpikir jika ayahnya memang telah menjualnya karena tidak menginginkannya.
“Tapi, Ayah, perbuatanmu itu sudah keterlaluan! Mengapa kau tidak memberitahuku sebelumnya?”
Tatapan Embun beralih dari tumpukan kertas itu tertuju pada sang ayah.
Bagas memandang lurus putrinya kemudian menjawab. “Memberitahumu soal pernikahan kontrak? Memang kau bersedia?”
“Um, bukan begitu, Ayah! Tapi … cara ini tidaklah benar. Aku telah kehilangan bayiku, Ayah! Bayi itu makhluk hidup, Ayah! Bagaimana bisa kau memisahkan ibu dan bayinya. Itu bukan solusi, Ayah!”
Meskipun tindakan Ayahnya berniat baik. Namun tetap saja cara yang diambil keliru. Ia tidak menerima ide sang ayah.
“Terus, kau mau menjual diri?” sergah Bagas tak terima dengan respon putrinya. Kehadiran putrinya juga sangat tidak diharapkan. Baginya, Embun hanyalah beban.
“Astagfirullah, Ayah!” lirih Embun dengan hati yang mencelos. Betapa frontal kata-kata sang ayah padanya. Di manakah sosok ayah itu? Seharusnya sosok ayah itu bisa mengayomi putrinya, bukan melimpahkan kesalahan pada putrinya.
“Sudah, Embun! Maafkan Ayah! Ayah benar-benar bingung. Ayah tidak punya uang lagi. Ini juga A-Ayah sedang mencari modal untuk kebun kopi kita.”
Bagas berkelit sesuka hatinya. Ia menyalakan sebatang rokok kemudian menghisapnya dengan candu.
Embun menahan kelu di lidah. Ia bingung harus berbuat apa. Ternyata hutang ayahnya sangat banyak akibat ibu kandungnya. Pantas saja, Indira terlihat membencinya.
Namun Embun tak bisa menerima begitu saja. Ia ingin bayinya, bagaimanapun caranya!
‘Mungkin jika aku bisa mempunyai uang, aku bisa memperoleh bayiku kembali. Satu miliar? Dari mana aku bisa punya uang sebesar itu? Mereka pasti punya pengacara. Mereka pasti akan memilih jalur hukum untuk mendapatkan hak asuh bayiku,’
Embun hanya menghela nafas berat. Apakah mungkin ia bisa mendapatkan putranya kembali?
Sepuluh Tahun KemudianLangit pagi itu cerah di kawasan perbukitan tempat kediaman keluarga Manggala berdiri megah. Rumah bergaya modern tropis dengan sentuhan klasik itu dikelilingi taman bunga dan pepohonan rindang, dibangun oleh Aldino, sang kakek yang visioner. Di halaman belakang, terdengar suara tawa anak-anak dan langkah kaki berlarian.Kini Manggala mengambil alih perusahaan sang ayah, sedangkan Jeena menjadi seorang pianis seperti ibunya. Ia juga bahagia menjadi seorang ibu dari empat orang anak. “Mas Sagara! Tunggu aku dong!” seru Bintang, bocah sepuluh tahun yang berusaha mengejar kakaknya.Sagara menoleh sambil tertawa. “Cepat dong, Bintang! Katanya mau lomba lari?”Dari balik pintu kaca, dua gadis kembar berambut panjang hitam–berusia tujuh tahun, Savana dan Aurora, berseru bersamaan, “Mamaaa! Mas Sagara gak mau ajak kita main!”Jeena, yang tengah menyiram bunga, menoleh sambil tersenyum. “Kalian gak usah ikut main lari-larian. Kalian bisa kan main yang lain,”Savana dan
Tiga minggu telah berlalu sejak kecelakaan itu.Alby akhirnya pulang ke Jakarta. Ia masih lemah, tubuhnya belum sepenuhnya pulih, tapi kesadarannya sudah kembali. Dan itu saja sudah cukup membuat seluruh keluarga menghela napas lega.Di kamar yang tenang, Alby perlahan duduk di sisi ranjang. Levina sigap menopangnya.“Kamu yakin udah kuat buat berdiri?” tanyanya pelan, seolah takut suaranya akan membuat Alby goyah.Alby tersenyum tipis. “Aku nggak selemah itu, Lev… Tapi kalau kamu tetap mau di sini, aku nggak keberatan.”Senyum itu begitu lemah, tapi cukup untuk menggetarkan hati Levina. Ia membalas tatapan itu dengan lembut, menyembunyikan guncangan di dadanya. Sejak hari pertama Alby tak sadarkan diri, Levina tidak pernah meninggalkan sisinya.Ia bertahan, bahkan ketika dokter kehilangan harapan. Dan, keluarga Basalamah mengabaikannya. “Lev,” suara Alby pelan.Levina menoleh cepat. “Hmm?”“Makasih ya… sudah rawat aku.”Alby menatap Levina dengan senyum tipis.Levina diam kemudian m
RS Bali International Cahaya lampu rumah sakit memantul di lantai keramik yang licin, menciptakan suasana dingin dan sepi. Di balik pintu ICU yang tertutup rapat, Alby tengah berjuang mempertahankan hidupnya. Tubuhnya penuh luka, sebagian tulangnya retak, dan kepalanya mengalami trauma berat akibat benturan keras dalam kecelakaan.Di ruang tunggu ICU, suasana dipenuhi ketegangan.Dokter Bagas, ahli bedah saraf yang menangani Alby, keluar dengan wajah serius langsung mengabari kondisi Alby saat ini pada keluarga; Sulis-Ali, Beryl, Ana-dr Zain, dan Manggala-Jeena yang langsung terbang ke Bali setelah mendapat kabar buruk mengenai kecelakaan yang menimpa Alby.Dokter Bagas berkata. “Kami sudah melakukan tindakan penyelamatan secepat mungkin. Alby mengalami pendarahan hebat di otak serta beberapa patah tulang rusuk yang melukai paru-paru kirinya. Kami telah memasang ventilator dan melakukan dekompresi kranial untuk mengurangi tekanan pada otaknya.”Tak ada yang berbicara. Wajah Ali pucat,
“Hari ini mendadak sepi, ya?”Levina menoleh. Alby ada di sampingnya, berjalan santai di antara deretan pohon mahoni yang mulai meranggas. Cahaya senja memantulkan rona keemasan di wajah mereka, menciptakan siluet yang tenang namun menyimpan gelombang perasaan yang tak terucap.Alby menatap tunangannya dengan lembut. Banyak hal ingin ia katakan, tapi belum waktunya. Ia hanya meraih jemari Levina dan menggenggamnya erat. Namun, kali ini Levina tidak menolak. Ia tahu harus berpura-pura menjadi kekasih Alby dengan sebaik mungkin.“Besok kita menikah. Tapi hari ini… izinkan aku jujur.”Alby menatap Levina dari samping. Meskipun Levina selalu menampilkan wajah dengan minim ekspresi, di matanya gadis itu terlihat cantik. Mungkin wanita tercantik yang pernah ia sukai. Ia menyukai segala hal tentang dirinya. Entah sejak kapan, Ia mulai merasakannya. Alih-alih merespon perkataan Alby, Levina menatapnya dalam. “Aku dengar kau sudah melaporkan Bella dan Roger.”Alby mengangguk pelan. “Aku rekam
“Lihat nih! Komennya udah tembus sepuluh ribu. Gila, Bella, kamu viral!”Manager Bella, seorang wanita berkacamata bernama Fara, tertawa kecil sambil menyodorkan ponsel ke arah kliennya. Di layar, unggahan Bella sedang dibanjiri komentar dan likes. Foto-foto kontroversial dengan Alby—yang sengaja diposting ulang oleh akun fanbase-nya, membuat namanya melejit dalam semalam.Bella tersenyum tipis, membolak-balik notifikasi dengan santai.“Ya... kalau skandal bisa bikin aku trending, kenapa nggak?” ujarnya ringan.Fara menyikut lengannya. “Kamu jahat juga, ya.”Bella menjawab dengan anggukan percaya diri. “Dunia hiburan bukan tempat buat yang terlalu baik.”Namun sebelum mereka bisa tertawa lagi, pintu studio tempat mereka santai tiba-tiba terbuka keras.BRAK!Keduanya terlonjak kaget. Di ambang pintu, berdiri Alby dengan sorot mata yang tak pernah Bella lihat sebelumnya—dingin, tajam, dan penuh kemarahan yang ditekan.“Untuk apa kamu lakukan ini, Bella?”Nada suaranya rendah, tapi mengge
“Astaga, Bella, sialan!” gumam Alby saat melihat layar ponselnya. Foto-foto itu terpampang jelas. Ia dan Bella terlihat terlalu dekat. Mereka seperti sepasang kekasih.Skandal itu tersebar begitu cepat. Akun-akun gosip di X dan I*******m berebut menaikkannya, sementara bot-bot anonim memperkeruh suasana dengan komentar tajam dan spekulasi kejam. Nama Alby mendadak trending, bukan karena prestasi, tapi karena ciuman yang tak pernah benar-benar terjadi.Dengan geram, Alby melemparkan ponselnya ke meja. Ia ingin menyangkal semua ini, tapi bagaimana? Mata kamera tidak pernah peduli pada kebenaran—hanya pada apa yang terlihat.Ponselnya bergetar. Nama “Mommy” tertera di layar.Sulis tidak pernah menelepon tanpa alasan. Dan kali ini, Alby tahu persis apa yang membuat ibunya menelepon di tengah malam, saat hujan mengguyur kota seperti murka langit yang tak tertahan.Sulis duduk anggun di sofa ruang tamu. Ruangan itu sepi, tapi hawa di dalamnya menggigit seperti salju saat musim dingin. Alby