Part 7
Berlian masih terduduk di samping boks, menatap wajah mungil yang kini mulai terlelap dalam pelukannya setelah kenyang menyusu. Lalu segera meletakkan kembali baby Alif ke dalam boks. Ia sempat menatap wajah mungil itu sekali lagi. Sang pelayan yang sejak tadi mendampingi mendekat perlahan, membawa handuk kecil dan air hangat. “Silakan, Mbak, kalau sudah, mungkin bisa bersihkan diri dulu. Mbak pasti lelah. Kami sudah siapkan kamar untuk beristirahat,” ucapnya lembut, memberi isyarat bahwa waktu menyusui sudah cukup untuk sementara. Berlian menunduk pelan. “Baik, Bu. Terima kasih.” “Saya antar ke kamar, Mbak Berlian, kamarnya ada di sebelah sini, berdampingan langsung dengan kamar bayi, hanya dibatasi pintu geser tapi hanya bisa dibuka dari kamar Mbak. Agar kalau sewaktu-waktu bayi menangis, Mbak bisa langsung datang,” jelas Bik Tarmi dengan nada sopan dan tenang. Kaivan yang berdiri di dekat pintu, mengamati semuanya dengan ekspresi tenang. “Terima kasih, Berlian. Istirahatlah. Kamu sudah melakukan hal besar hari ini.” "I-iya, Pak." Bik Tarmi membuka pintu kamar Berlian. “Silakan,” ujarnya. Berlian melangkah masuk dengan hati berdebar. Ruangan itu hangat dan bersih. Ada ranjang nyaman, meja kecil, lemari pakaian, dan pintu geser kayu lebar di sisi kanan yang terlihat bisa langsung mengarah ke kamar bayi. “Ini pintu penghubungnya,” jelas Bik Tarmi sambil menunjukkan pintu kayu geser yang hanya bisa dibuka dari kamar Berlian. “Kalau malam bayi menangis, Mbak bisa langsung masuk lewat sini. Tidak perlu lewat pintu utama.” “Saya mengerti. Terima kasih, Bu.” "Panggil saja saya Bik Tarmi." Berlian mengangguk penuh rasa terima kasih. Tak lama kemudian, Anggun muncul dengan wajah cerah, membawa beberapa barang milik Berlian dalam tas kecil. “Li, kamarmu lucu banget! Dekat banget sama bayi itu, ya?” Berlian tersenyum tipis, perasaannya masih campur aduk. “Iya, Jadi kalau dia butuh aku, bisa langsung nyamperin.” Anggun menarik nafas pelan, lalu menggenggam tangan sahabatnya erat. “Aku pulang dulu ya, Li. Tapi nanti aku balik lagi buat bawain barang-barang kamu yang lain. Sekalian bersih-bersih kontrakan.” Berlian menatap sahabatnya dengan mata berkaca-kaca. “Makasih ya, Nggun. Tanpa kamu, aku nggak tahu harus gimana ...” “Udah ah, jangan melow. Kamu tuh kuat, tahu?” Anggun menarik sudut bibirnya, menyembunyikan emosinya sendiri. “Kalau kamu ngerasa sedih, langsung telepon aku. Aku pasti datang.” Pak Surya berdiri dengan sopan di dekat pintu. “Maaf, Mbak Anggun. Kalau sudah siap, saya antar sekarang.” Anggun menatap Berlian sekali lagi, lalu meraih sahabatnya dalam pelukan hangat dan cepat. “Kamu nggak sendiri. Kamu kuat. Inget itu.” “Iya,” bisik Berlian sambil mengangguk pelan. Setelah Anggun pergi bersama Pak Surya, Berlian menutup pintu dan kembali duduk di tepi tempat tidur. Matanya melirik ke pintu penghubung, memperlihatkan sisi kamar bayi yang tenang. Ia berdiri, melangkah pelan ke sana, dan berdiri di ambang pintu. Bayi itu tidur tenang dalam boksnya, dibalut selimut biru lembut. Cahaya lampu malam berbentuk bintang memantul lembut di pipinya yang montok. Berlian memejamkan mata sejenak, meresapi ketenangan itu. “Selamat malam, Sayang,” bisiknya. *** Tengah malam yang sunyi. Tiba-tiba, suara tangisan terdengar dari dalam kamar bayi. Berlian langsung terbangun dari tidurnya. Tanpa pikir panjang, ia membuka pintu geser yang menghubungkan kamarnya dengan kamar bayi. Nafasnya sedikit tergesa saat menghampiri baby Alif yang menangis dalam boks. “Sayang ... kenapa, hm?” bisiknya lembut, dengan gerakan yang sudah mulai terbiasa. Ia mengangkat bayi mungil itu ke dalam pelukannya dan duduk di kursi panjang di sudut kamar. Tangannya perlahan membuka kancing piyama, menyusui bayi itu dengan penuh kasih. Tangisan Alif mereda, berganti dengan suara isapan kecil yang tenang. Berlian menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Kepalanya bersandar ke sisi kanan. Matanya memejam sesaat. Tak sadar, ia pun tertidur, masih dalam posisi mendekap bayi Alif di dada. Pagi harinya. Langkah kaki pelan terdengar memasuki kamar bayi. Kaivan berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja rapi dengan lengan tergulung. Matanya langsung tertuju pada pemandangan di kursi panjang itu. Berlian tertidur lelap, masih dalam posisi setengah duduk, satu tangan memeluk Alif yang kini juga tertidur pulas di pangkuannya. Kaivan tidak berkata apa pun. Ia hanya diam menatap keduanya, wajah lelah Berlian, dan kedekatan dengan bayinya. Beberapa detik kemudian, Berlian menggeliat kecil dan terbangun. Matanya langsung membulat begitu sadar Kaivan ada di sana. “Ma—maaf, Pak!” ucapnya panik, buru-buru berdiri dan merapikan bajunya. “Saya tidak sengaja tertidur. Saya hanya berniat menyusui, lalu, lalu ketiduran. Saya benar-benar minta maaf.” Kaivan masih diam. Ekspresinya datar, tanpa senyum. “Bik Tarmi!” panggil Kaivan. Bik Tarmi muncul di balik pintu. “Siapkan sarapan pagi,” ucap Kaivan. "Baik, Tuan." “Kamu juga ikut sarapan. Setelah ini," ucapnya pada Berlian. Berlian menatapnya dengan bingung dan canggung. “Tapi, Pak, saya—” “Baby Alif sudah kenyang. Sekarang giliran kamu.” Tanpa menunggu jawaban, Kaivan berbalik dan melangkah keluar. Berlian terdiam sejenak. Lalu menunduk, mengelus pipi baby Alif dengan hati yang campur aduk. Ia tidak tahu maksud Kaivan, apakah marah atau justru peduli? Beberapa waktu kemudian ... Setelah memastikan Alif sudah tertidur nyaman di dalam boks, Berlian berjalan keluar kamar dengan langkah pelan. Ia sempat bercermin sebentar di kaca, merapikan hijab dan kerah bajunya meski jantungnya masih berdebar karena kejadian tadi pagi. Ruang makan terlihat tenang dan tertata elegan. Cahaya matahari menembus jendela tinggi di sisi ruang, menambah kesan hangat di pagi itu. Kaivan sudah duduk di kursi utama, membaca sesuatu di tablet di tangannya. Tanpa ekspresi, ia hanya menoleh sekilas ketika Berlian datang. “Silakan duduk,” ucapnya pendek, tangannya masih sibuk menggulir layar. Berlian ragu sejenak, lalu perlahan menarik kursi di samping, dengan posisi agak menjauh tapi masih dalam satu sisi meja. Bik Tarmi datang menyajikan dua piring nasi tim ayam hangat, irisan buah, serta teh melati yang mengepul wangi. “Silakan, Mbak Berlian. Masih hangat,” katanya ramah. “Terima kasih, Bik,” gumam Berlian pelan. Sesaat berlalu tanpa suara. Yang terdengar hanya denting sendok dan garpu, serta deru napas yang ditahan. Berlian melirik Kaivan beberapa kali, lalu memberanikan diri bicara. “Pak, tentang tadi malam, saya benar-benar minta maaf. Saya tidak bermaksud ketiduran di kamar Alif. Saya ... hanya khawatir kalau Alif menangis lagi ...” Kaivan meletakkan sendoknya perlahan. Menatapnya tenang. “Kamu sudah melakukan tugasmu.” Berlian menunduk. Tapi kemudian terdengar Kaivan kembali berbicara. “Bayi tidak butuh hanya susu. Tapi juga kasih sayang dan kehangatan. Seperti tadi malam.” Berlian mengangkat wajahnya perlahan, sedikit terkejut. “Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri,” lanjut Kaivan. “Yang terpenting, bayi itu tenang. Dan kamu sehat.” Kaivan kembali menyendok nasi tim-nya. “Habiskan sarapanmu. Setelah ini, kamu bisa kembali beristirahat. Atau menemani bayi itu lagi. Terserah kamu.”Lima Tahun KemudianSuasana mall siang itu cukup ramai. Musik lembut mengalun dari pengeras suara, anak-anak berlarian sambil memegang balon, dan aroma wangi dari kafe di lantai bawah tercium sampai eskalator.Alif, yang kini berusia enam tahun, berjalan riang sambil memegang cone es krim. Berlian berjalan sedikit di belakang sambil sesekali tersenyum melihat tingkah laku putranya.“Pelan-pelan, Sayang. Lantainya licin,” pesan Berlian. Wanita itu kini tengah mengandung. Perutnya membuncit tanda usia kehamilannya sudah menginjak tujuh bulan.“Baik, Bun!” jawab Alif sambil melambaikan tangan, tak sadar ia menginjak bagian lantai yang basah karena baru saja dipel.BRUK!Alif terpeleset, tubuhnya miring ke belakang. Namun sebelum punggungnya benar-benar membentur lantai, sepasang tangan besar menangkapnya dengan sigap.“Nak, hati-hati. Lantai licin,” tukas sebuah suara berat namun lembut.Alif mendongak, sedikit gug
Part 39 Ulang tahun Alif yang pertama Pagi itu, matahari bersinar lembut menembus tirai jendela kamar Berlian. Ia terbangun lebih awal dari biasanya, meski semalam sempat susah tidur karena memikirkan acara hari ini. Tangannya otomatis meraih Alif yang masih terlelap di ranjang bayi di sisi tempat tidurnya. Berlian tersenyum, hatinya hangat. “Selamat ulang tahun yang pertama, sayangku …” bisiknya lembut sambil mencium kening Alif. Tak lama, Kaivan masuk ke kamar sambil membawa nampan sarapan. Ada roti panggang, segelas susu hangat untuk Berlian, dan bubur lembut untuk Alif. “Selamat pagi, dua malaikatku,” sapanya ceria. Berlian terkekeh kecil. “Pagi, Mas. Kenapa repot-repot bawa sarapan ke sini?” “Karena hari ini spesial,” jawab Kaivan, duduk di tepi ranjang. Ia lalu menatap Alif dengan penuh kasih sayang. “Selamat ulang tahun, jagoan ayah. Satu tahun sudah k
"Kata siapa kami tidak memberitahumu? Kami datang memintamu untuk jadi wali Berlian tapi Anda justru menolak dan mengusir kami!" tukas Kaivan tegas."Aah bulshit! Dasar orang kaya tak punya adab!" Eris hampir saja melayangkan tangannya hendak menghajar Kaivan."Tunggu! Kamu harus lihat ini dulu!" sela Kaivan lalu menunjukkan video saat Berlian meminta jadi wali tapi dia menolaknya. Posisi saat itu Eris sedang mabuk. Eris terdiam sejenak, dalam hati kecilnya merasa malu. Tapi karena sudah kepalang tanggung akhirnya dia mengancam."Oke! Beri aku uang sekarang! Kalau tidak, Berlian dan anaknya akan--""Berapa yang kau inginkan?""100 juta."Berlian kaget mendengar penuturan kakaknya. "Bang, jangan ngaco! Uang sebanyak itu buat apa?!""Ah berisik! Cepat berikan! Kalau gak--""Oke. Aku akan memberikannya tapi setelah ini jangan pernah kembali dan ganggu kami!" ucap Kaivan. Eris manggut-manggut me
Jalanan perumahan elit tampak sepi, hanya lampu-lampu taman yang berderet di sisi kiri-kanan. Mobil yang dikemudikan Kaivan melaju tenang.Di kursi belakang, Ny. Inara duduk dengan Alif di pangkuannya. Berlian di sebelahnya, sesekali membantu membetulkan selimut kecil untuk anak itu.“Bunda pasti capek ikut kita seharian,” ucap Berlian pelan, mencoba mencairkan suasana.Ny. Inara tersenyum tipis. “Capek sedikit tidak apa-apa. Bunda senang melihat Alif lebih ceria.”Berlian mengangguk pelan. Kaivan yang fokus menyetir hanya melirik lewat kaca spion. Wajahnya tetap datar, namun sesekali tatapannya bergeser pada Berlian.Mobil berhenti di depan rumah besar milik Ny. Inara. “Bunda hati-hati. Kalau butuh sesuatu, telepon saya,” kata Kaivan sambil keluar untuk membukakan pintu.Ny. Inara turun, lalu menepuk bahu putranya. “Kamu juga hati-hati di jalan, Van. Jangan terlalu keras pada diri sendiri dan juga pada Berlia
Leo menoleh, matanya merah dan basah, “Tapi, Ma, Alif itu anakku. Berlian juga ... Aaargh! Aku sudah kehilangan semuanya! Bisnis, rumah, sekarang dia pun hilang …” Bu Rahayu tak sanggup berkata apa-apa. Ia hanya mengelus punggung anaknya. Ia tahu, luka ini tak akan sembuh dalam sehari. Dan ia pun sadar, mungkin anaknya sedang menjalani hukuman dari kesalahan masa lalunya. *** Beberapa hari berlalu ... Pagi itu, Leo terbangun lebih awal dari biasanya. Matanya masih sembab, namun ada tekad baru yang perlahan tumbuh di dadanya. Ia mengambil wudhu, lalu memutuskan untuk pergi ke masjid dekat kontrakan. Suara adzan subuh berkumandang, menyatu dengan dinginnya udara pagi. Di masjid, Leo ikut shalat berjamaah. Saat sujud terakhir, bulir bening di matanya jatuh ke sajadah. "Ya Allah, ampuni aku. Aku sudah terlalu jauh tersesat. Aku tak mau kehilangan-Mu lagi," bisiknya lirih. Selesai dz
Part 37Malam itu, kamar terasa hening hanya ditemani suara detak jam di dinding. Berlian duduk di tepi ranjang, menunduk, raut wajahnya masih terlihat shock dan sedih usai pertemuan dengan Leo tadi.Pintu kamar terbuka pelan. Kaivan masuk, menutup pintu, lalu berjalan mendekat. Ia duduk di samping Berlian, “Berlian …” panggilnya lirih.Berlian tak langsung menoleh, hanya mengangkat sedikit wajahnya. “Ya?” sahutnya nyaris berbisik.Kaivan menarik napas panjang, menatap kosong ke depan. “Aku ingin kau tahu tentang Alif. Waktu itu, aku sedang hancur karena Bayi kami meninggal tak lama setelah lahir. Dan setelah melahirkan Rania ia terus menanyai bayinya, saak kubilang bayinya meninggal dia tak percaya, depresi. Dan di saat yang bersamaan, Leo …” Kaivan menelan ludah, nada suaranya terdengar berat. "Leo mau membuang bayi yang baru saja lahir darimu. Aku tak tega. Jadi, aku memutuskan mengadopsinya. Aku membayar sejumla