Part 6
“Kamu tahu, bayi ini tidak bisa menunggu. Dia bisa lapar kapan saja, jam berapa saja. Karena itu, saya ingin tahu apakah kamu bersedia tinggal di sini? 24 jam. Agar kapan pun dia butuh, kamu siap menyusuinya.” Berlian menelan ludah. Ia melirik Anggun, lalu kembali memandang Kaivan. “Kalau memang itu yang terbaik untuk bayi ini, saya bersedia.” Kaivan mengangguk pelan. “Terima kasih. Saya hanya ingin memastikan bayi ini mendapat perawatan terbaik. Dia sudah kehilangan ibunya sejak hari ketujuh kelahirannya. Saya tidak ingin dia merasa kekurangan kasih sayang.” Mata Berlian mulai berkaca-kaca lagi, perasaannya campur aduk jadi satu. Tak lama setelah Berlian menyatakan kesediaannya, seorang perempuan paruh baya berpakaian rapi masuk ke ruang tamu. Wajahnya ramah namun berwibawa, dengan stetoskop menggantung di lehernya. “Selamat siang,” sapanya hangat. “Saya Dokter Nirmala. Dokter pribadi keluarga Tuan Kaivan.” Berlian dan Anggun berdiri spontan, memberi salam sopan. “Dokter Nirmala akan memeriksa Anda sebentar, untuk memastikan Anda dalam kondisi sehat dan mampu menyusui secara aman,” jelas Kaivan. “Oh, tentu…” Berlian mengangguk pelan, meski ada gugup yang melingkupinya. “Silakan ikut saya ke ruang periksa,” ujar Dokter Nirmala lembut. Di dalam ruang khusus yang didesain khusus seperti klinik kecil, Dokter Nirmala memeriksa tekanan darah Berlian, memeriksa suhu tubuh, serta menanyakan riwayat kesehatan secara menyeluruh. “Apakah kamu punya alergi obat tertentu?” “Tidak, Dok.” “Kamu punya riwayat sakit menular? Hepatitis? TBC? HIV?” Berlian menggeleng. “Tidak, Dok. Saya baru saja melahirkan beberapa hari lalu, tapi bayi saya meninggal.” Dokter Nirmala menatapnya penuh empati, lalu menyentuh lembut punggung tangan Berlian. “Saya turut berduka ya. Dan kamu tetap kuat. Ini luar biasa.” Berlian tersenyum kecil, menahan emosi. “ASI kamu masih lancar?” tanya dokter lagi. “Masih, Dok. Kadang rembes, malah. Kadang bengkak juga.” Dokter Nirmala mengangguk puas. “Bagus. Saya akan sarankan beberapa suplemen untuk jaga stamina dan produksi ASI kamu tetap stabil.” Setelah pemeriksaan selesai, mereka kembali ke ruang tamu. Kaivan berdiri dari duduknya. “Bagaimana, Dokter?” “Sehat. Fit. Dan secara mental, saya pikir dia juga siap. Saya rekomendasikan.” Kaivan mengangguk. Tak lama setelah dokter Nirmala keluar dari ruangan, seorang pria berusia sekitar empat puluhan masuk dengan map tebal di tangan. Tubuhnya tegap, penampilannya rapi. “Maaf mengganggu, Tuan Kaivan. Ini dokumen yang diminta,” ujarnya sambil menyerahkan map kulit cokelat. “Terima kasih, Pak Surya,” ucap Kaivan singkat. Pak Surya lalu melirik sopan ke arah Berlian, sejenak tampak meneliti. Setelah itu, ia undur diri dengan hormat. Kaivan membuka map tersebut, lalu menarik satu bundel kertas dan meletakkannya di atas meja kaca. “Ini kontraknya,” katanya sambil menatap Berlian. “Hanya beberapa poin sederhana. Tapi saya ingin kamu membacanya sebelum menandatangani.” Berlian mengambil dokumen itu dengan hati-hati. Tangannya agak gemetar. Ia melihat beberapa poin tertulis rapi, tentang tugas, tanggung jawab, durasi kerja, hingga aturan tinggal di rumah keluarga Kaivan. “Poin utamanya, kamu akan tinggal di sini 24 jam, fokus utamamu adalah merawat dan menyusui bayi saya. Tidak ada kewajiban rumah tangga lain. Kami akan sediakan kamar dan semua kebutuhan kamu, termasuk pakaian dan suplemen kesehatan,” jelas Kaivan tenang. Berlian mengangguk pelan. “Iya, Pak, saya ngerti.” Kaivan menarik napas pendek lalu melanjutkan, “Sebagai imbalan, kamu akan menerima gaji sepuluh juta rupiah setiap bulan. Ditambah bonus jika bayi dalam kondisi sehat secara konsisten.” Berlian langsung menunduk dalam, menutup mulutnya dengan tangan untuk menahan haru. “Sepuluh juta?” ulangnya lirih, hampir tak percaya. “Ya. Ini bukan pekerjaan biasa. Dan kamu akan menggantikan peran yang sangat penting. Uang itu tak akan bisa membalas semuanya, tapi semoga cukup untuk membantu kehidupanmu.” Berlian mengusap matanya yang mulai berkaca-kaca lagi. “Terima kasih, Pak Kaivan, Saya ... Saya akan jaga dia sepenuh hati. “Saya akan melakukan yang terbaik." Kaivan mengangguk tegas. “Silakan tanda tangan di halaman terakhir. Dengan tangan bergetar, Berlian mengambil pulpen yang disodorkan Kaivan dan membubuhkan tanda tangannya. Di sebelahnya, Anggun menahan senyum haru dan bangga. “Baik. Mulai malam ini, kamar kamu sudah disiapkan.” Setelah semua dokumen selesai ditandatangani, Kaivan berdiri dari duduknya. Ia melirik ke arah Anggun lalu berkata, “Anggun, kalau kamu mau bersantai dulu, ada taman kecil di sebelah kanan. Silakan duduk di sana.” Anggun mengangguk sopan. “Iya, Pak.” Kaivan kemudian menatap Berlian. “Ikut saya.” Langkah mereka menyusuri lorong rumah yang sunyi namun mewah. Lampu-lampu gantung kristal memantulkan cahaya hangat, dan dinding-dinding dihiasi lukisan indah serta foto-foto keluarga yang tampaknya bersejarah. Mereka tiba di sebuah pintu putih dengan hiasan ukiran halus. Kaivan membukanya perlahan, memperlihatkan ruangan bernuansa lembut. Dindingnya pastel, langit-langitnya bergambar awan biru, dan aroma bedak bayi menguar lembut. Di tengah ruangan, sebuah ranjang bayi berwarna putih berdiri kokoh. Di dalamnya, seorang bayi mungil sedang terlelap dengan bibir sedikit terbuka. Wajahnya bulat, kulitnya pucat sehat. “Ini dia,” kata Kaivan lirih. Berlian mematung di ambang pintu. Napasnya tercekat. Suatu rasa yang sulit dijelaskan menyelinap ke dalam dadanya. "Kemarilah!" Berlian melangkah perlahan mendekat ke ranjang bayi. Kaivan memberi isyarat dengan dagu. “Namanya Alif, kamu boleh menggendongnya.” Mata Berlian tampak berkaca-kaca, tanpa terasa setetes butiran bening menitik di pipinya. Tangannya perlahan terulur meraih bayi itu, “Ya Allah … Masih sekecil ini…” Berlian mengangkat tubuh mungil itu ke pelukannya, bayi itu menggeliat pelan dan mengeluarkan suara lirih seperti mencari sesuatu. Berlian terisak tanpa suara. Seketika teringat pada bayinya sendiri yang telah tiada. Bayi itu mulai merengek pelan, mulutnya mencari dengan gerakan refleks. Berlian segera duduk di kursi menyusui yang tersedia di sudut ruangan. Dengan tangan yang masih gemetar, ia mulai menyusui. Kaivan berdiri diam tak jauh dari situ, memandang dengan tatapan yang tidak bisa dibaca. Tapi sepasang matanya tampak sedikit berembun. Saat bayi itu mulai mengisap dengan tenang, suara tangisnya mereda, dan matanya perlahan terpejam kembali. “Dia … dia tenang sekarang,” ucap Berlian dengan suara parau. Kaivan menarik napas panjang. “Sudah beberapa hari ini dia menangis terus. Ini pertama kalinya dia terlihat setenang ini sejak ibunya tiada.”Part 6“Kamu tahu, bayi ini tidak bisa menunggu. Dia bisa lapar kapan saja, jam berapa saja. Karena itu, saya ingin tahu apakah kamu bersedia tinggal di sini? 24 jam. Agar kapan pun dia butuh, kamu siap menyusuinya.”Berlian menelan ludah. Ia melirik Anggun, lalu kembali memandang Kaivan. “Kalau memang itu yang terbaik untuk bayi ini, saya bersedia.”Kaivan mengangguk pelan. “Terima kasih. Saya hanya ingin memastikan bayi ini mendapat perawatan terbaik. Dia sudah kehilangan ibunya sejak hari ketujuh kelahirannya. Saya tidak ingin dia merasa kekurangan kasih sayang.”Mata Berlian mulai berkaca-kaca lagi, perasaannya campur aduk jadi satu.Tak lama setelah Berlian menyatakan kesediaannya, seorang perempuan paruh baya berpakaian rapi masuk ke ruang tamu. Wajahnya ramah namun berwibawa, dengan stetoskop menggantung di lehernya.“Selamat siang,” sapanya hangat. “Saya Dokter Nirmala. Dokter pribadi keluarga Tuan Kaivan.”Berlian dan Anggun berdiri spontan, memberi salam sopan.“Dokter Nirma
Part 5"Ayo siap-siap!" ajak Anggun yang udah berganti baju."Sekarang?""Iya dong, Li! Kasihan bayi itu, pasti kelaperan," tukasnya sambil memoles wajahnya dengan bedak.Berlian mengangguk dan segera bangkit .Dengan langkah tergesa, Ia masuk ke kamar kecil dan berganti pakaian seadanya. Tangannya sempat bergetar saat merapikan kerudung. Sesekali ia menghela napas, menenangkan degup jantung yang berdetak cepat.Di ruang depan, Anggun sudah siap dengan tas kecil berisi perlengkapan penting."Ayo, kita naik ojek online aja biar cepet. Aku udah catat alamatnya!"***Rumah mewah berarsitektur Eropa itu berdiri megah di ujung jalan kompleks elite. Pilar-pilar putih tinggi menjulang di depan bangunan berlantai dua, dikelilingi taman luas yang tertata rapi. Anggun dan Berlian berdiri terpaku di depan gerbang besi hitam yang menjulang, mulut keduanya sama-sama sedikit terbuka.“Ya ampun, Nggun, ini rumah apa istana ya?” bisik Berlian kagum, matanya menyapu setiap sudut taman dan jendela kaca
Part 4[Mas, tolong beri tahu aku, dimana makam bayi kita? Aku ingin mengunjunginya.]Pesan terkirim. Berlian menatapnya cukup lama, berharap ada balasan dari sang suami.Tidak ada.Ia menunggu hingga sepuluh menit. Lalu mencoba mengirim pesan lagi.[Mas, aku mohon … Setidaknya izinkan aku mendoakan anak kita. Aku ibunya.]Masih tidak ada balasan. Dan tiba-tiba …Pesan-pesan sebelumnya berubah status menjadi tidak terkirim. Matanya membulat. Ia coba buka profil Leo, tapi sudah tidak ada. Dan yang muncul hanyalah satu kalimat menyakitkan;'Anda tidak dapat mengirim pesan ke kontak ini.'Leo memblokirnya.Berlian menggertakkan gigi, menghela napas panjang kesal sekaligus sedih. Anggun yang sedang menyeduh teh di dapur, mendengar isakan lirih itu. Ia melangkah cepat, lalu duduk di samping Berlian.“Kamu kenapa, Li? Leo jawab pesanmu?”Berlian menggeleng pelan, lalu menyerahkan ponselnya. “Nggak. Dia blokir aku. Dia bahkan nggak izinkan aku tahu di mana makam anakku sendiri, Nggun.” Mat
Part 3Clara menatapnya, berusaha menahan diri. "Oke. Tapi, jangan salahkan aku kalau semuanya akan bocor ke publik. Termasuk hubungan kita, alasan kamu mencampakkan istrimu, tentang bayimu dan semua hal yang kamu coba sembunyikan selama ini.”Leo menghela napas berat. Matanya menatap tajam ke arah Clara, lalu perlahan melembut.“Oke … aku akan nikahi kamu,” ucapnya singkat, suara rendah tapi penuh kepastian.Clara terdiam, terkejut, lalu senyum kecil muncul di bibirnya. “Kapan?”Leo menghela napas panjang, memandang ke luar jendela yang basah hujan. “Secepatnya. Kamu sabar ya, sebentar lagi semuanya akan beres.”***Klinik Medika Berlian sudah dibaringkan di ranjang kecil, tubuhnya diselimuti handuk hangat oleh perawat. Dokter perempuan paruh baya memeriksa kondisinya dengan telaten.“Luka operasi sesarnya terbuka sebagian karena aktivitas fisik yang terlalu berat dan kondisi emosional tidak stabil. Dia kehilangan cukup banyak darah, tapi untungnya kamu cepat membawanya ke sini,” uj
Part 2“Kalau kamu mau tinggal di rumah orang tuamu lagi, silakan. Tapi jangan pernah datang ke sini lagi," katanya dengan nada menghina. “Aku sudah capek, Berlian! Hidupku penuh drama sejak kamu datang!”Berlian memejamkan mata, menahan isak. “Aku cuma butuh kamu, Mas, satu-satunya orang yang kupunya…”Leo mengibaskan tangan, geram. “Masih untung aku gak nuntut kamu bayar biaya rumah sakit! Kamu pikir melahirkan itu murah? Puluhan juta, Berlian! Dari kamar perawatan sampai ruang operasi! Itu semua aku yang tanggung!”Ia tertawa hambar, sinis, menusuk. “Dan lihat hasilnya? Bayinya mati. Sia-sia.”“Aku … aku gak pernah minta kejadian ini, aku gak pengin bayi kita pergi …” lirihnya. “Tapi kamu suamiku, Mas. Kamu tempat aku pulang.”“Salah!” Leo mendesis. “Mulai hari ini, kamu bukan siapa-siapa. Dan aku akan urus perceraian kita secepatnya.”Deg.Ucapan itu seperti palu besar yang menghantam jantungnya. Berlian terisak, dan kali ini ia tak sanggup berdiri. Lututnya lemas, tubuhnya jatuh
Part 1“Bayi Anda meninggal dunia, Bu. Kami sudah melakukan yang terbaik …”Ucapan itu terasa seperti palu godam yang menghantam dada Berlian. Tubuhnya masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit, wajahnya pucat, mata sayu dan sembab karena belum sempat tidur sejak kontraksi semalam. Dia menoleh pelan, seolah berharap mendengar kalimat lanjutan yang menenangkan bahwa semua ini hanya mimpi buruk. Tapi tidak ada. Hanya tatapan dingin dari Leo, suaminya, yang berdiri kaku di samping ranjang.“A-apa?” bisiknya nyaris tak terdengar. “Tidak mungkin … tidak … Aku, aku dengar tangisnya tadi … aku dengar ...”Perawat yang berdiri di sampingnya menunduk dalam. “Itu tangisan sesaat, Bu. Bayinya lahir prematur. Parunya belum sempurna. Kami mohon maaf …”Air mata jatuh begitu saja, membasahi pipi pucatnya. Tangan Berlian menggenggam selimut rumah sakit erat-erat, gemetar hebat. Dia bahkan belum sempat menyentuh anaknya. Belum sempat memberi nama. Belum sempat membisikkan doa. "Aku ingin memeluk