Inara menggigit bibir dengan hati gelisah. Berusaha menahan tangisnya yang hampir meledak.
Ponsel masih digenggam erat, terus mencoba menghubungi Damian. Namun, hasilnya tetap sama—tak ada jawaban.Air matanya mulai jatuh. Suaranya tercekat penuh kepiluan. “Di saat penting seperti ini, kamu ke mana, Mas?”Kembali menatap sang putri di pangkuannya. Bibir mungil itu makin pucat membuat Inara sangat khawatir Alma akan kenapa-kenapa.Pandangannya menyapu sekeliling, berusaha mencari pertolongan. Akan tetapi, suasana malam cukup sepi membuat Inara mengembuskan napas putus asa.Mau minta tolong pada tetangga, rumah tetangganya pada jauh-jauh, kemungkinan tak ada yang menyadari ada kebakaran di sini.Tak ada pilihan lain. Di tengah rasa khawatir pada kondisi Alma serta rasa kecewa dan frustrasinya pada Damian yang hilang bagai ditelan bumi, tangannya kembali bergerak, menekan nomor lain dengan cepat.Begitu panggilan tersambDicengkeramnya jemarinya gugup. Wajah wanita itu mulai pucat pasi. Ia bisa merasakan tatapan Daffa menusuk dari ujung kepala hingga kaki, seolah menguliti apa yang ada pada dirinya itu, termasuk kebohongannya.Tak lama, Daffa berdiri dari duduknya dan mulai mengitari ibu dan anak itu, tubuh Selena sontak menegang dibuatnya. Ia sangat takut, pria-pria itu akan membawanya pada polisi.Dengan cepat, ia menunduk dan memeluk Vano. “Maaf, Pak ...,” ucapnya dengan suara bergetar. “Kalau Bapak keberatan kami ada di sini, kami akan segera pergi.”Jelas, Selena mengatakan itu karena buru-buru ingin menghindar. Salahnya, karena minta tolong pada orang yang tak dikenal.Ia menggandeng tangan Vano berbalik. Langkah mereka terburu-buru, seperti kucing yang tertangkap basah mencuri ikan di meja makan.Hanya saja, belum sampai mereka keluar dari pintu, suara Daffa menggema lantang di seluruh ruangan.“Berhenti di situ!”Suara itu bukan
Beberapa bulan yang lalu ....“Cepat, Vano! Ayo lari!” Dengan menggandeng tangan kecil Vano, Selena terus berlari. Napasnya tersengal dan wajahnya panik.Sementara itu, suara langkah kaki terus mengejarnya. “Berhenti! Jangan mempersulit keadaan!”Langkah dua pria berseragam polisi itu makin dekat. Namun, Selena tidak boleh lengah. Kalau sampai tertangkap, maka dia akan dipenjara karena dengan sengaja membakar rumah Damian dan Inara.Tiba di jalan besar, pandangan Selena menyapu sekeliling, mencari tempat yang aman ketika tatapannya menangkap sebuah mobil hitam yang berhenti di seberang jalan.Tanpa pikir panjang, ia berlari menuju mobil itu dengan Vano yang masih dalam gandengannya. Cepat, membuka pintu belakang dan membantu Vano masuk lebih dulu. Setelah itu, barulah ia menyusul tanpa memedulikan pemilik mobil yang tengah menelepon di samping mobilnya.Pria yang mengenakan masker dan topi hitam itu tersentak mendengar
“Apa yang kamu lakukan sampai Damian bisa tau semuanya, hah?!” Suara Daffa melengking tajam, memantul memenuhi ruangan megah nan luas itu. Selena terkejut dengan pertanyaan yang dilayangkan Daffa. Jelas-jelas ia tidak melakukan apa pun. Dan, ia sendiri tidak tahu mengapa Damian bisa mengetahuinya. “Aku? Aku tidak ngapa-ngapain! Damian tiba-tiba aja membatalkan pernikahan kami dan bilang kalau mengetahui ayah dari janin dalam kandunganku. Aku juga tidak mengerti semuanya, Daffa.” Selena mencoba berkata jujur. Namun, sepertinya kejujurannya seperti tak ada gunanya bagi Daffa. Pria yang berdiri di dekat jendela besar yang memperlihatkan gemerlap kota itu perlahan berbalik. Matanya menyala marah seperti kucing yang hendak membunuh mangsa. “Jangan bohong!” bentaknya, mendekat dengan rahang mengeras. “Kamu itu terlalu ceroboh, Selena! Selalu aja blunder! Ngomong tidak mikir, gerak tidak hati-hati! Seperti kemarin, kamu menculik Alma tanpa mikir
Setelah pertemuan dengan Damian dan Selena tadi, Inara langsung mengajak Alma pulang, karena bocah itu mengaku sudah lelah berkeliling sambil menunjukkan tubuhnya yang lemes.Kini, mereka berada dalam perjalanan pulang. Mobil melaju pelan di antara lalu lintas malam yang cukup padat. Alma duduk di jok tengah bersama sang bunda. Memeluk tangan bundanya. Bibirnya kadang monyong. Sesekali pipinya mengembang.“Bunda .…” panggil Alma tiba-tiba. Memecah keheningan perjalanan pulang itu.Inara menoleh, berdehem pelan. “Hm?”“Kira-kira nanti pas lomba di sekolah Alma, Papa bisa ikut enggak, ya?”Pertanyaan itu seketika membuat dada Inara sedikit sesak. Ia tak langsung menjawab, hanya menarik napas pelan, mencoba tetap tenang dan berusaha mencari kata-kata yang tidak menyakiti perasaan putrinya. “Mm. Bunda belum sempat bicarain soal itu pada Papa, Sayang, tapi nanti Bunda coba cari waktu, ya? Soalnya Alma tau sendiri kalau Papa juga sang
Suasana mendadak hening. Mereka sontak menoleh ke arah sumber suara. Selena muncul dan melangkah percaya diri, mendekat dengan suara hak tinggi berdetak pelan dari arah lorong. Tatapannya tajam dan dingin. Langsung menggamit lengan Damian seolah-olah pria itu sepenuhnya miliknya begitu tiba. Raut wajah Alma yang masih berada di gendongan sang papa sontak berubah. Mata bulatnya menatap Selena, dan hanya dalam hitungan detik, ia meringkuk, lalu turun dari gendongan Damian. Tanpa sepatah kata, bocah itu melangkah kecil menghampiri Inara dan langsung memeluk erat pinggang sang bunda, wajahnya menunjukkan ketakutan. Masih terbayang jelas di benak bocah itu bagaimana dulu Selena nyaris mendorongnya dari ketinggian. Inara menunduk, mengelus rambut putrinya dengan maksud memberikan perlindungan agar gadis kecil itu merasa aman di sisinya. Ia tahu betul ekspresi Alma saat ini sedang merasa tidak nyaman. Tak hanya Alma, dada Inara pun sebenarnya ikut sesak melihat pemandangan d
Damian mengusap wajahnya dengan gusar. Rahangnya terlihat menegang, menahan gejolak emosi di dada yang tiba-tiba ingin meledak. Dia menarik napas, kemudian dengan perasaan geram, dia bertanya lirih. “Apa tidak ada satu pun keluarga Inara yang mengetahui soal ini?” Andrew menggeleng pelan. “Tidak ada, Pak. Tuan Wardhana menyimpan rahasia ini sangat rapi. Ia tutup rapat-rapat dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa sehingga tidak ada yang menaruh curiga padanya, sekalipun Nyonya Wardhana. Sebab itu, dia mencoba melindungi nama baiknya agar rahasia itu tetap tersimpan rapi dengan menggandeng Daffa, satu-satunya orang yang memegang bukti perselingkuhan Tuan Wardhana.” Damian terdiam. Sorot matanya menukik tajam, tetapi kosong. Tangannya mengepal di atas meja, menunjukkan kalau ia sedang sangat marah. “Tega sekali,” gumam Damian, nyaris tak terdengar, “bahkan putri sendiri dijadikan alat untuk menutupi aib ayahnya.”
“Tidak. Saya hanya curiga mereka saling kenal. Sepatu yang digunakan Daffa tadi, mirip dengan sepatu pria yang bertemu dengan Selena sebelumnya,” ujar Damian.Tadi, ia tak sengaja memperhatikan sepatu Daffa saat mencoba menjadi pahlawan untuk Alma. Saat itulah, ingatannya langsung tertuju pada sepatu yang dilihatnya dipakai Daffa pada video kiriman Leo beberapa waktu lalu.Andrew mengangguk. “Dugaan Bapak benar. Daffa memang terlibat dalam kasus penculikan Alma, tetapi dia bukan pelaku utama. Dia hanya ikut merahasiakan otak penculikan, bahkan mereka sudah bikin perjanjian kalau Daffa akan maju menolong Alma demi mencari perhatian Bu Inara.”“Jadi, pria yang bersama Selena, itu ... Daffa?” tanya Damian dengan alis terangkat. Daffa mengangguk lagi. “Benar, Pak. Apartemen yang ditempati Selena sekarang juga adalah milik Daffa, sebagai bentuk tanggung jawab Daffa pada anak yang ada dalam kandungan Selena.”“Maksudnya, anak dalam kandungan S
Keesokan harinya, Inara sudah siap berangkat ke kantor. Kini, dia berjalan bersama para saudara serta orang tuanya menuruni anak tangga di teras ketika sebuah mobil yang cukup dikenali berhenti di halaman mansion yang luas itu. Tak butuh waktu lama hingga pemilik mobilnya keluar. Tersenyum, lalu berjalan ke arah mereka tanpa merasa segan, seolah memang dengan keluarga itu sudah sangat akrab. “Tuan Wardhana, apa aku bisa jemput Inara. Biar aku yang antar ke kantor?” tanya pria yang tidak lain adalah Daffa tersebut. Mendengar itu, Inara sedikit syok. Tak ada janji dengan Daffa sebelumnya. Lagipula, ia merasa tidak nyaman dengan situasi ini. “Tidak perlu, Kak Daffa, aku bisa ke kantor dengan Kak Rafiq,” jawab Inara. Sungguh, ia tak memerlukan tumpangan dari Daffa. Ada Kak Rafiq yang bisa ditumpangi, kalaupun tidak, mobil keluarganya banyak yang bisa digunakan berangkat ke kantor. Hanya saja, penolakannya itu tak direstui sang ayah. “Inara, Daffa jauh-jauh datang ke sini untuk
Inara melangkah mendekat ke arah wanita yang telah melahirkannya itu. Rasanya sangat menyakitkan melihat punggung ibunya yang tampak begitu rapuh di balik cahaya remang, padahal selama ini wanita itu selalu tampak kuat di hadapan semua orang. “Ibu … ” Suara Inara serak. Mendengar panggilan itu, sang ibu buru-buru menyeka air mata di pipinya. Setelah dirasa wajahnya tak basah lagi, ia langsung menoleh dengan senyum kecilnya, seolah sedang baik-baik saja. “Ah … Inara. Kenapa belum tidur, Sayang?” tanyanya lembut, meski suaranya masih bergetar, seperti sedang menahan gejolak emosi yang menyeruak dalam dadanya. Ibu Alma itu beralih duduk di samping ibunya, mengamati wajah yang mulai dipenuhi gurat usia itu, seolah mencari tahu petunjuk melalui raut tenang yang tampak dipaksakan itu. “Ibu kenapa?” tanyanya kemudian. Bu Anastasia menggeleng cepat. “Tidak, Sayang. Ibu hanya … terlalu l