Sesampainya di kamar kos, air mata yang Stela tahan sejak tadi pun akhirnya lolos juga dari mata indahnya. Dia meluapkan kesedihannya, Meluapkan rasa sakitnya
"Kenapa kamu tega, Se?" Rasa sesak di dadanya begitu menyakitkan. Dia tidak menyangka bahwa Sean benar-benar melakukan ini semua. Mengakhiri kisah cinta yang sudah dirajutnya selama empat tahun.
Saat Stela sedang menangisi semuanya, terdengar pintu kamarnya diketuk. Dia berdiri, dan membuka pintu. Saat membuka pintu, dia mendapati Ana di depan pintu.
Ana yang menunggu Stela dari tadi, begitu khawatir. Namun, saat melihat Stela kembali diantar oleh Sean, dia langsung menyusul Stela.
"Stela," panggil Ana yang melihat Stela terlihat menangis.
"Ana." Stela langsung berhambur kepelukan Ana. Perasaannya yang begitu sedih, membuatnya membutuhkan sandaran.
"Stel, apa yang terjadi?"
"Dia sudah mengajukan surat permohonan cerai, Na." Stela menjelaskan dengan isakan apa yang dikatakan oleh Sean.
"Stel, apa kamu tidak jelaskan semuanya?" tanya Ana dengan kesal, dan Stela mengeleng. "Stel, harusnya kamu jelaskan semuanya agar dia tidak terus terjadi salah paham."
"Malam itu aku sudah jelaskan, tapi apa dia mendengarkan?" Stela bertanya balik pada Ana.
"Waktu itu lain, Stel."
"Sudahlah, dia sudah mengambil keputusan ini. Jadi biarkan ini berjalan seperti yang dia mau."
"Sebaiknya kamu istirahat, mungkin sekarang pikiranmu sedang kalut, aku akan menemanimu hingga tenang." Ana membantu Stela berbaring di tempat tidur.
Setelah memastikan Stela tenang, Ana keluar dari kamar Stela. Ana merasa sangat geram saat mendengar bahwa Sean sudah mengajukan perceraian mereka.
"Setega itu kamu, Se. Aku akan beri perhitungan dengan mu," geram Ana.
Di dalam kamar Stela masih menangisi semuanya. Rasanya dia tak ada tenaga untuk melawan nasibnya. Ingin rasanya dia menjelaskan pada Sean bahwa semua salah paham. Tapi, melihat Sean yang sudah dengan keyakinannya untuk mengakhiri semua, Stela tidak bisa berbuat apa-apa. Kini dia hanya bisa pasrah menerima nasib pernikahannya yang akan berakhir.
***
"Apa kamu mau bekerja hari ini?" tanya Ana yang melihat Stela keluar dari kamar kos.
"Aku rasa, aku akan sedikit melupakan masalah ini jika bekerja."
Ana membenarkan dalam hati apa yang dikatakan Stela. Kalau Stela di rumah, dia hanya akan menangis mengingat perceraiannya.
"Baiklah jika kamu ingin berkerja. Tapi biarkan aku yang mengantarmu."
Stela memahami kekhawatiran Ana padanya. Dengan keadaan dengan pikiran penuh kekacauan, tidak baik untuknya mengendarai motornya ke kantor.
"Baiklah," ucap Stela yang menyetujui Ana yang akan mengantarnya.
"Baiklah, tunggulah di dekat mobil aku akan mengambil tas dan kunci," ucap Ana seraya masuk ke dalam kamar kos.
Ana melajukan mobilnya menuju kantor Stela. Di dalam perjalanan Ana menghidupkan radio untuk mengusir keheningan. Ana tahu Stela tidak akan banyak bicara dalam keadaan seperti ini.
"Nathan akan mengadakan reuni dengan teman-temannya di pucak, apa kamu mau ikut denganku?" Ana bertanya untuk memecah keheningan di dalam mobil.
Stela menoleh mendapati pertanyaan dari Ana. "Aku tidak mengenal teman Nathan, untuk apa aku ikut?" Dia memberi penolakan.
"Aku memintamu menemaniku, karena aku juga tidak mengenal teman Nathan." Ana menjelaskan pada Stela. "Aku mohon temani aku," pinta Ana penuh harap.
Melihat Ana yang begitu berharap, Stela menjadi tidak tega. "Baiklah," ucapnya.
Ana yang mendengar Stela mau pergi dengannya merasa senang. Sebenarnya alasan utama mengajak Stela, hanya ingin membuat temannya itu melupakan kesedihannya saja.
"Tujuan Anda sudah sampai Nona, jangan lupa beri bintang lima," goda Ana menirukan taxi online yang biasa dinaiki Stela atau pun Ana.
Stela yang mendengar temannya menggodanya hanya memberi senyum tipis. "Terimakasih, saya akan memberi bintang lima," ucap Stela seraya membuka pintu mobil dan keluar dari mobil Ana.
Melihat Stela sudah keluar, Ana melajukan mobilnya menuju ke rumah sakit
***
Seperti biasa, pekerjaan pagi Stela adalah membacakan jadwal Finn dan menyiapkan teh hangat untuk atasannya itu.
Saat membacakan jadwal Finn, Finn memperhatikan Stela tampak berbeda hari ini. "Apa kamu semalam menangis?" tanya Finn setelah menyimpulkan apa yang tampak beda dari Stela.
"Hah .... " Stela seketika kaget mendapati pertanyaan dadi Finn. "Ti ... dak, Pak," jawab Stela sedikit gugup.
Untuk pertama kalinya Finn melihat kegugupan dari Stela. Stela yang bisa bersikap tenang seolah berubah seketika. "Aku sudah biasa melihat Vania menangis semalaman, karena aku membuatnya kecewa, dan itu tampak seperti kamu dengan lingkaran hitam di bawah mata." Finn menjelaskan sesuatu yang dia ketahui tentang wanita yang menangis semalaman.
"Apa Bapak tahu lingkaran hitam di bawah mata bisa ada bukan hanya karena menangis semalaman, lingkaran hitam bisa tampak saat seseorang kurang tidur," jelas Stela sudah dengan tenang. "Jadi alasan lingkaran hitam di bawah mata saya, adalah karena saya kurang tidur semalam," tambah Stela.
Finn mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar penjelasan itu.
"Karena jadwalnya sudah saya bacakan, saya permisi keluar, Pak," ucap Stela seraya menundukan kepalanya sedikit memberi hormat. Kemudian melangkahkan kakinya keluar meninggalkan ruangan Finn.
"Aku tahu, bukan karena kurang tidur lingkaran hitam di mata mu, Auri." Finn masih merasa jika Stela menangis semalam.
Di luar ruangan yang lebih tepatnya di meja Stela, dia merasakan kegeramannya. Di dalam ruangan Finn, dia menahan diri untuk tidak marah atau kesal dengan bosnya, tapi saat keluar, emosinya muncul begitu saja.
"Dia pikir dia siapa, mengatakan aku habis menangis," gumam Stela.
"Kamu kenapa Auri?" tanya Ina yang melihat Stela keluar dari ruangan bosnya dengan kesal.
"Tidak Kak, hanya kesal saja."
"Apa Pak Bos memarahimu?"
Stela yang melihat kecemasan dari Ina langsung memberi jawaban. "Tidak Kak, hanya tadi Pak Finn mengatakan lingkaran hitam di wajahku akibat menangis, tapi sebenarnya ini hanya akibat aku kurang tidur saja," jelasnya.
"Coba lihat?" tanya Ina seraya mengangkat dagu Stela dan melihat wajah Stela. "Aku rasa lingkarannya tidak terlalu terlihat, tapi kenapa Pak Finn bisa memperhatikanmu sedetail itu?"
Stela mencerna kata-kata ina, yang mengatakan kalau lingkaran hitamnya tidak terlihat. 'Kenapa dia bisa sedetail itu memerhatikanku?' batin Stela.
"Sabar ya, rasa sakitnya nanti akan hilang jika anak kita sudah lahir." Sean mencoba menenangkan Stela. Namun, rasanya ucapannya tidak berarti apa-apa, karena Stela semakin mencengkeram erat tangannya.Sean hanya bisa pasrah saat kuku-kuku Stela menancap sempurna di tangannya. Dia merelakan itu asal bisa mengurangi rasa sakit yang dirasakan istrinya.Setelah semua peralatan siap. Dokter mulai memberi instruksi pada Stela untuk mengejan. "Kita mulai persalinannya, Bu, tarik napas dan buang seperti yang sudah diajarkan di kelas ibu hamil," ucap Dokter pada Stela.Stela hanya bisa mengangguk. Dia berusaha kuat dan melakukan instruksi yang diberikan oleh Dokter. Dia menarik napas dan membuangnya sambil mengejan.Mungkin ini adalah yang membuat surga di telapak kaki ibu. Sakitnya saat melahirkan benar-benar tak bisa dideskripsikan dengan kata-kata. Tulangnya serasa remuk saat berusaha untuk mengejan. Otot-ototnya tertarik semua saat tubuh berusaha keras untuk mendorong bayi untuk keluar."
"Mungkin aku kekenyangan." Stela tidak ingin membuat panik Sean. "Kita pulang saja," ajak Stela.Usai makan mereka akhirnya memilih pulang. Di mobil Stela merasakan kembali perutnya mulas."Kamu benar tidak apa-apa?" tanya Sean khawatir."Sepertinya aku sudah mulai ada tanda-tanda melahirkan."Mendengar ucapan Stela, Sean panik. Dia bingung harus berbuat apa. Padahal di kelas ibu hamil berkali-kali dijelaskan jika dia tidak boleh panik."Kita ke rumah sakit," ucapnya pada Stela."Tapi, masih berjarak sangat jauh rasa mulasnya, jadi aku rasa kita tunggu saja di rumah."Sebenarnya Sean merasa tidak tenang. Namun, dia menuruti keinginan istrinya, kembali ke rumah sambil menyiapkan semuanya.Di rumah Sean meminta Stela untuk duduk manis. Dia juga sudah memberitahu sang mama jika Stela sudah menunjukan tanda-tanda melahirkan. Adel yang sedang ada pertemuan dengan teman-temannya langsung meninggalkan tempat acara dan menuju ke rumah anaknya.Sean merapikan beberapa barang untuk keperluan a
Di depan cermin Stela menatap dirinya. Jika kemarin acara pesta pernikahannya bertema universal, kini acara tujuh bulanan diadakan dengan adat jawa sesuai dengan permintaan mertuanya.Rambut panjang Stela disanggul seperti tradisi jawa. Stela tersenyum melihat tampilan di pantulan cermin. Terakhir kali dia semacam ini adalah saat SD di hari kartini. Semenjak remaja hingga kuliah, dia lebih memilih memakai kebaya dengan rambut yang digerai.Penata rias, terus memoles wajah Stela dengan make up tipis sesuai permintaan Stela."Apa sudah siap?" tanya Sean seraya menyembulkan kepalanya dari balik pintu."Sudah, Pak," jawab penata rias. Penata rias keluar dan bergantian dengan Sean yang masuk ke dalam kamar. Sean mengambil baju dengan motif yang sama dengan Stela yang di letakan di atas tempat tidur.Sean langsung mengganti bajunya untuk acara yang sebentar lagi akan dimulai. Sepanjang memakai bajunya, Sean menggerutu karena harus memakai jarik dan itu membuat dirinya kesulitan. Namun, dem
Tentu saja Stela mau. Dia mengangguk mendapati tawaran dari mama mertuanya. Dia ingin membayangkan kelak akan seperti apa anaknya.Adel langsung mengambil foto yang ditemukannya kemarin. Kemudian dia menunjukan pada Stela. Lembar demi lembar Adel tunjukan pada Stela dan membuat Stela benar-benar senang.Sean kecil begitu mengemaskan. Dengan pipi gembulnya Sean begitu lucu. Stela memerhatikan dengan baik semua foto. "Ini umur berapa, Ma?" Saat melihat-lihat Stela justru menemukan selipan foto Sean yang besar."Itu umur sepuluh tahun."Mendengar jawaban mertuanya, Stela mengingat jika wajah Sean yang dilihatnya pertama kali di kampus tidak berubah. Entah kenapa, Stela merasakan jika Sean masih awet muda saja."Anak kalian nanti pasti anak lebih tampan dan cantik." Adel sudah membayangkan bagaimana cucunya nanti. Perpaduan antara Stela yang cantik dan Sean yang tampan."Yang penting sehat, Ma. Mau dia mirip Stela atau Sean sama saja." Stela tidak berharap banyak. Dia hanya ingin semua s
Sean meletakan keranjang ke lantai dan menegakkan tubuhnya. Dia memijat pinggangnya yang begitu terasa sakit. "Aku membelinya karena penjualnya adalah seorang nenek tua." Dia menjelaskan pada Sean alasan membeli semua buah manggis.Stela merasa terharu mendengar jawaban Sean. Dia langsung memeluk tubuh Sean karena merasakan senang melihat suaminya membantu nenek-nenek dengan membeli banyak buah. Padahal mungkin yang akan dimakannya tidak akan banyak.Mendapati dekapan Stela, Sean merasa heran. Dia hanya tahu jika istrinya begitu melow, gampang menangis dan gampang terharu. "Ayo makan buahnya, aku tidak mau nanti anak kita mengeluarkan air liur karena tidak buru-buru diberikan."Stela melepas dekapan Sean dan tersenyum. Sean mengambil beberapa buah dan mengajak Stela untuk duduk menikmati buah yang dibuka oleh Sean.Rasa manis dari buah manggis membuat Stela begitu senang. Dia merasa lidahnya dimanjakan dengan rasa yang sudah dia bayangkan sedari tadi.Sean merasa sangat senang karena i
Stela mencebikkan bibirnya karena tidak menemukan perubahan itu, dan membuat Sean yang gemas mendaratkan kecupan di pipi Stela. "Tunggulah beberapa bulan lagi, pasti kamu akan melihat perut buncitmu, dan tidak hanya itu, kamu akan mendapati pipi kamu yang juga akan gembung." Sean menjelaskan seraya menggembungkan pipinya.Melihat Sean yang menggodanya, Stela terlihat kesal. "Apa jika aku gendut kamu tidak akan suka?" Dia langsung melepas dekapan tangan Sean dan meninggalkan Sean ke tempat tidur. Dia merebahkan tubuhnya di tempat tidur dan menarik selimut.Dahi Sean berkerut diiringi dengan matanya yang membulat. Niatnya tidaklah meledek istrinya. Akan tetapi istrinya itu justru merajuk. 'Tenyata bukan hanya wanita yang datang bulan yang sensitif, tetapi ibu hamil juga sensitif,' batin Sean.Melangkah menuju ke tempat tidur, dia merangkak naik dan kembali mendekap tubuh Stela. "Sayang, bukan maksud aku begitu," bujuknya."Kamu tadi bilang begitu." Stela masih saja dengan pendiriannya. D