"Nathan, Ana kenalkan ini Pak Sean, rekan bisnisku." Finn mengenalkan Sean pada Ana dan Nathan.
"Hai, Nathan," ucap Nathan mengulurkan tangan pada Sean.
"Sean." Sean menerima uluran tangan Nathan.
"Hai Sean, apa kabar?" tanya Ana.
"Kamu kenal Pak Sean, Ana?" Finn begitu kaget saat Ana ternyata mengenal Sean.
"Dulu kami satu kampus," ucap Ana pada Finn. "Bukan begitu, Se?" Ana menatap tajam pada Sean. Sebagai teman Stela dia begitu membenci Sean yang sudah menyakiti temannya.
"Iya, kami dulu satu kampus."
"Berarti Auri juga kenal Pak Sean?" tanya Finn menatap Stela.
Stela bingung menjawab apa saat Finn bertanya. Dia tidak mau mengakui Sean-suaminya, karena tidak mau mencampuri kehidupan pribadi dengan pekerjaan.
Ana yang menyadarinya pun langsung berucap. "Stela tidak kenal dengan Sean."
Sean yang mendengar Ana menjawab, hanya bisa tersenyum tipis.
"Aku pikir kalau kamu kenal Pak Sean, Auri juga kenal." Finn mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia kemudian beralih pada Stela dan memerhatikan Stelayang datang sendiri. "Auri, apa kamu tidak datang dengan suamimu?" tanyanya.
Stela bingung saat harus menjawab apa. Padahal suami yang ditanyakan ada di hadapannya. "Suami saya sedang keluar kota, Pak," jawab Stela sekenanya.
"Sayang sekali suamimu membiarkan wanita secantik kamu pergi ke pesta sendiri."
Sean yang tadi emosinya karena Finn begitu memuji Stela, kini semakin bertambah saat Finn menanyakan suami Stela. Tatapan memuja dari Finn untuk Stela pun membuat darah Sean mendidih.
"Saya kemari dengan Nathan dan Ana, jadi saya tidak sendiri, Pak." Stela merasa jika yang dikatakan Finn tidak tepat.
Mendengar jawaban Stela, Sean hanya menarik senyum di ujung bibirnya. Rasanya puas sekali saat mendengar jawaban Stela.
Di dalam pesta, Stela asik mengobrol dengan Nathan dan Ana. Terlihat gelak tawa dari wajah Stela saat bersama Ana. Dia banyak bercerita dengan Ana tentang apa pun untuk mengalihkan fokusnya pada Sean.
Pemandangan tawa Stela itu tidak luput dari pandangan Finn. Finn yang sedang mengobrol dengan Sean sesekali melirik, memperhatikan Stela dari kejauhan.
'Ternyata dia bisa tertawa lepas dengan teman-temannya,' batin Finn saat melihat Stela.
Memang beberapa hari Stela bekerja, Finn tidak pernah melihat Stela tertawa lepas. Pembawaan Stela yang tenang membuat Finn begitu penasaran.
Sean yang memerhatikan Finn yang memandangi Stela, hanya bisa menahan emosinya. Ada rasa kesal saat Stela diperhatikan orang lain.
"Sepertinya Anda senang sekali memperhatikan sekretaris Anda, Pak Finn." Sean akhrinya mengomentari apa yang dilakukan Finn
"Iya, saya hanya kaget saja dia bisa tertawa bersama temannya, karena di kantor dia hanya diam dan tak banyak bicara."
'Kamu masih sama, tidak mau terlalu dekat dengan orang baru,' batin Sean.
"Apa Anda tertarik dengan sekretaris Anda?" tanya Sean penuh selidik.
"Sayangnya dia sudah menikah, dan lagi pula saya juga sudah bertunangan." Finn langsung mengelak.
Walaupun Finn menyanggah, tapi Sean menangkap dari ucapannya terdengar jelas jika Finn menaruh hati pada Stela. Namun, Sean membiarkan dulu sebelum memang benar-benar Finn melampaui batas.
Mata Sean sesekali melihat ke arah Stela. Wanita cantik yang sebenarnya masih menjadi istrinya itu, begitu tenang dan tak menujukan kesedihannya sama sekali di hadapannya.
***
Setelah pesta usai dan para tamu sudah mulai pulang, Stela juga bersiap untuk pulang bersama dengan Ana dan Nathan. Dia dan Ana menunggu Nathan di lobby hotel, karena Nathan sedang mengambil mobil yang di parkir di basement hotel.
Saat sedang menunggu Nathan, ada seseorang yang menghampiri mereka berdua.
"Apa kita bisa bicara," ucap Sean.
Stela dan Ana tahu ditujukan untuk siapa kata-kata itu yang diucapkan Sean.
"Bicaralah dengannya, Stel, aku akan menunggu." Ana menatap Stela.
"Biarkan aku yang mengantarnya nanti, kamu bisa langsung pulang." Sean menatap Ana dan memintanya untuk meninggalkan Stela.
Ana sebenarnya merasa takut kalau Sean melukai Stela lagi. Tapi, permintaan Sean untuk mengantar Stela tak bisa ditolak Ana. Ana masih merasa Sean masih berhak atas Stela.
Stela yang memahami apa yang dipikirkan Ana, karena itu dia mencoba menenangkan. "Aku akan pulang dengannya, Na, kamu tenanglah aku akan baik-baik saja."
Ana mengangguk dan membiarkan Stela untuk pergi bersama dengan Sean.
Stela melangkah mengikuti Sean masuk ke dalam mobil Sean. Stela yang masuk segera memasang seatbelt di tubuhnya.
"Apa kabarmu, Stel?" Sean membuka pembicaraan mereka di mobil.
Stela terkesiap saat Sean berbicara padanya. Sudah lama sekali Sean tidak pernah memanggil Stela dengan namanya. Dia menyadari jika Sean sudah memberi jarak pada antara mereka.
"Baik." Stela hanya menjawab singkat.
"Aku sudah mengajukan surat permohonan perceraian ke pengadilan, Stel," ucap Sean dengan dingin.
Hati Stela seketika hancur, rasanya begitu sakit mendengar ucapan dari Sean. Dia menahan air matanya menetes, karena tidak mau terlihat rapuh di depan Sean. Stela menatap ke arah luar kaca mobil, membayangkan akhir dari perjalanan cintanya. Dia masih ingat betul bagaimana awal dari perjalanan mereka.
**
Stela yang di hubungi oleh Sean untuk datang ke taman, dibuat kaget saat melihat pemandangan indah di hadapannya.
Di sebuah taman, Stela melihat lampu-lampu berjejer rapi seolah menujukan arah jalan. Dia berjalan menyusuri mengikuti arah lampu. Hingga sampai di ujung jalannya, Stela menemukan dua kursi dan hiasan bunga di sekitarnya. Semua itu tampak indah saat Stela melihatnya.
Seorang pria datang menghampiri Stela dengan seikat bunga. Walau di dalam kegelapan malam, Stela tahu betul siluet siapa itu. Itu adalah Sean, laki-laki yang begitu dia cintai selama empat tahun ini.
"Maukah kamu menikah dengan ku Auristela Chalondra," ucap Sean berlutut di depan Stela seraya membuka kotak berisikan cincin.
"Sean," ucap Stela. Dia menutup mulutnya yang merasakan kaget saat Sean melamarnya.
"Apa aku harus menunggu lebih lama, Sayang," ucap Sean mengoda, tapi sedikit membubuhi sindir.
Cukup lama Stela tercengang dengan apa yang dilakukan oleh Sean, hingga dia tersadar saat suara Sean terdengar protes. Stela menyadari bahwa Sean sudah terlalu lama berlutut untuk menunggu jawabannya, dan akhirnya Stela memberi jawaban. "Aku mau," ucap Stela seraya menerima bunga dari Sean.
Sean berdiri. Tangannya meraih jemari Shea dan memakaikan cincin di jari Stela. Matanya berbinar saat cincin manis melingar di jari Stella.
Rasa bahagianya pun dia ekspresikan dengan mendaratkan bibirnya kening Stela. "Terimakasih."
**
Stela ingat betul bagaimana pertama kali Sean mengajaknya menikah. Namun kini, dia di hadapkan dengan perceraian. Akhir Sean benar-benar akan menceraikannya.
"Aku akan datang ke pengadilan," ucap Stela menahan sesak di dadanya.
Sean mengangguk. Walaupun ada sesak di hatinya saat Stela menerima, tapi semua memang sudah menjadi keputusannya.
"Aku mohon jangan katakan semua pada ayahku, aku akan mengatakannya sendiri," tambah Stela. Suaranya sedikit bergetar, menandakan menahan sakit di hatinya.
Sean tahu betul wanita yang ada di sampingnya ini sedang menahan tangisnya. "Baiklah," ucap Sean, "tapi setelah kamu mengatakan kepada ayahmu, aku akan datang meminta maaf padanya."
Stela hanya diam tidak menjawab. Perjalanan mereka masih berlanjut. Hingga sampai di depan kos Stela, dia tidak membuka suaranya sama sekali.
"Aku akan memberimu kompensasi, jadi kamu bisa berhenti bekerja dan membuka usaha."
Stela yang mendengar ucapan Sean, hanya bisa menertawakan dirinya sendiri. Menikah dengan seorang pewaris dari PT Wijaya, uang adalah hal kecil yang bisa diberikan kepadanya, yang hanya dari kalangan bawah.
"Terima kasih, tapi aku masih bisa bekerja. Tidak perlu kamu mengeluarkan uang untukku," ucap Stela dengan dingin. "Permisi." Stela berpamitan seraya membuka pintu mobil. Meninggalkan Sean sendiri dengan pikirannya.
“Aku hanya ingin kamu tidak bekerja dengan laki-laki itu, Stel,” ucap Sean sesaat Stela pergi. “Kalau kamu tidak menerimanya, aku yang akan membuatmu meminta padaku.” Sean tetap berpikir jika dia akan tetap membuat Stela menerima kompensasinya.
"Sabar ya, rasa sakitnya nanti akan hilang jika anak kita sudah lahir." Sean mencoba menenangkan Stela. Namun, rasanya ucapannya tidak berarti apa-apa, karena Stela semakin mencengkeram erat tangannya.Sean hanya bisa pasrah saat kuku-kuku Stela menancap sempurna di tangannya. Dia merelakan itu asal bisa mengurangi rasa sakit yang dirasakan istrinya.Setelah semua peralatan siap. Dokter mulai memberi instruksi pada Stela untuk mengejan. "Kita mulai persalinannya, Bu, tarik napas dan buang seperti yang sudah diajarkan di kelas ibu hamil," ucap Dokter pada Stela.Stela hanya bisa mengangguk. Dia berusaha kuat dan melakukan instruksi yang diberikan oleh Dokter. Dia menarik napas dan membuangnya sambil mengejan.Mungkin ini adalah yang membuat surga di telapak kaki ibu. Sakitnya saat melahirkan benar-benar tak bisa dideskripsikan dengan kata-kata. Tulangnya serasa remuk saat berusaha untuk mengejan. Otot-ototnya tertarik semua saat tubuh berusaha keras untuk mendorong bayi untuk keluar."
"Mungkin aku kekenyangan." Stela tidak ingin membuat panik Sean. "Kita pulang saja," ajak Stela.Usai makan mereka akhirnya memilih pulang. Di mobil Stela merasakan kembali perutnya mulas."Kamu benar tidak apa-apa?" tanya Sean khawatir."Sepertinya aku sudah mulai ada tanda-tanda melahirkan."Mendengar ucapan Stela, Sean panik. Dia bingung harus berbuat apa. Padahal di kelas ibu hamil berkali-kali dijelaskan jika dia tidak boleh panik."Kita ke rumah sakit," ucapnya pada Stela."Tapi, masih berjarak sangat jauh rasa mulasnya, jadi aku rasa kita tunggu saja di rumah."Sebenarnya Sean merasa tidak tenang. Namun, dia menuruti keinginan istrinya, kembali ke rumah sambil menyiapkan semuanya.Di rumah Sean meminta Stela untuk duduk manis. Dia juga sudah memberitahu sang mama jika Stela sudah menunjukan tanda-tanda melahirkan. Adel yang sedang ada pertemuan dengan teman-temannya langsung meninggalkan tempat acara dan menuju ke rumah anaknya.Sean merapikan beberapa barang untuk keperluan a
Di depan cermin Stela menatap dirinya. Jika kemarin acara pesta pernikahannya bertema universal, kini acara tujuh bulanan diadakan dengan adat jawa sesuai dengan permintaan mertuanya.Rambut panjang Stela disanggul seperti tradisi jawa. Stela tersenyum melihat tampilan di pantulan cermin. Terakhir kali dia semacam ini adalah saat SD di hari kartini. Semenjak remaja hingga kuliah, dia lebih memilih memakai kebaya dengan rambut yang digerai.Penata rias, terus memoles wajah Stela dengan make up tipis sesuai permintaan Stela."Apa sudah siap?" tanya Sean seraya menyembulkan kepalanya dari balik pintu."Sudah, Pak," jawab penata rias. Penata rias keluar dan bergantian dengan Sean yang masuk ke dalam kamar. Sean mengambil baju dengan motif yang sama dengan Stela yang di letakan di atas tempat tidur.Sean langsung mengganti bajunya untuk acara yang sebentar lagi akan dimulai. Sepanjang memakai bajunya, Sean menggerutu karena harus memakai jarik dan itu membuat dirinya kesulitan. Namun, dem
Tentu saja Stela mau. Dia mengangguk mendapati tawaran dari mama mertuanya. Dia ingin membayangkan kelak akan seperti apa anaknya.Adel langsung mengambil foto yang ditemukannya kemarin. Kemudian dia menunjukan pada Stela. Lembar demi lembar Adel tunjukan pada Stela dan membuat Stela benar-benar senang.Sean kecil begitu mengemaskan. Dengan pipi gembulnya Sean begitu lucu. Stela memerhatikan dengan baik semua foto. "Ini umur berapa, Ma?" Saat melihat-lihat Stela justru menemukan selipan foto Sean yang besar."Itu umur sepuluh tahun."Mendengar jawaban mertuanya, Stela mengingat jika wajah Sean yang dilihatnya pertama kali di kampus tidak berubah. Entah kenapa, Stela merasakan jika Sean masih awet muda saja."Anak kalian nanti pasti anak lebih tampan dan cantik." Adel sudah membayangkan bagaimana cucunya nanti. Perpaduan antara Stela yang cantik dan Sean yang tampan."Yang penting sehat, Ma. Mau dia mirip Stela atau Sean sama saja." Stela tidak berharap banyak. Dia hanya ingin semua s
Sean meletakan keranjang ke lantai dan menegakkan tubuhnya. Dia memijat pinggangnya yang begitu terasa sakit. "Aku membelinya karena penjualnya adalah seorang nenek tua." Dia menjelaskan pada Sean alasan membeli semua buah manggis.Stela merasa terharu mendengar jawaban Sean. Dia langsung memeluk tubuh Sean karena merasakan senang melihat suaminya membantu nenek-nenek dengan membeli banyak buah. Padahal mungkin yang akan dimakannya tidak akan banyak.Mendapati dekapan Stela, Sean merasa heran. Dia hanya tahu jika istrinya begitu melow, gampang menangis dan gampang terharu. "Ayo makan buahnya, aku tidak mau nanti anak kita mengeluarkan air liur karena tidak buru-buru diberikan."Stela melepas dekapan Sean dan tersenyum. Sean mengambil beberapa buah dan mengajak Stela untuk duduk menikmati buah yang dibuka oleh Sean.Rasa manis dari buah manggis membuat Stela begitu senang. Dia merasa lidahnya dimanjakan dengan rasa yang sudah dia bayangkan sedari tadi.Sean merasa sangat senang karena i
Stela mencebikkan bibirnya karena tidak menemukan perubahan itu, dan membuat Sean yang gemas mendaratkan kecupan di pipi Stela. "Tunggulah beberapa bulan lagi, pasti kamu akan melihat perut buncitmu, dan tidak hanya itu, kamu akan mendapati pipi kamu yang juga akan gembung." Sean menjelaskan seraya menggembungkan pipinya.Melihat Sean yang menggodanya, Stela terlihat kesal. "Apa jika aku gendut kamu tidak akan suka?" Dia langsung melepas dekapan tangan Sean dan meninggalkan Sean ke tempat tidur. Dia merebahkan tubuhnya di tempat tidur dan menarik selimut.Dahi Sean berkerut diiringi dengan matanya yang membulat. Niatnya tidaklah meledek istrinya. Akan tetapi istrinya itu justru merajuk. 'Tenyata bukan hanya wanita yang datang bulan yang sensitif, tetapi ibu hamil juga sensitif,' batin Sean.Melangkah menuju ke tempat tidur, dia merangkak naik dan kembali mendekap tubuh Stela. "Sayang, bukan maksud aku begitu," bujuknya."Kamu tadi bilang begitu." Stela masih saja dengan pendiriannya. D