LOGINJam 6 sore, langit sudah mulai gelap. Bian datang ke rumah itu dan memarkirkan mobilnya di halaman yang sangat indah dan luas. Dari pintu utama yang tinggi dan besar, Danisha berjalan ditemani kepala pelayan menghampiri Bian. Ketika mereka bertatap muka, Bian terdiam, melihat di kening dan tangan Danisha ada plester besar yang menutupi luka-lukanya. Pakaian dan sepatu yang dipakai Danisha pun nampak mahal, padahal semalam istirnya kabur tanpa mengganti pakaian.
"Dari mana saja kau, semalaman tidak pulang? Bahkan kau merusak semua tanaman yang ada di belakang rumah!" Bukannya disambut dengan baik oleh orang yang menjemputnya, Danisha malah dipelototi. Kepala pelayan yang mengantarnya pun sampai terheran-heran dengan sikap kasar Bian. "Terima kasih, Bu! Saya tidak akan melupakan semua kebaikan kalian!" Danisha tidak langsung menjawab pertanyaan Bian. Ia malah berpamitan pada kepala pelayan, lalu berterima kasih lagi untuk kesekian kalinya sebelum dirinya benar-benar pergi. "Iya, iya! Sama-sama! Pergilah. Jangan lupa obatnya dihabiskan agar luka Anda segera sembuh." Kepala pelayan tersenyum sambil menepuk pundak Danisha. "Iya, Bu! Kalau begitu, saya permisi!" pamit Danisha sambil membungkuk hormat. Setelah itu, Danisha berbalik badan, lalu masuk ke dalam mobil tanpa mempedulikan pria yang masih berdiri di samping mobil. Setelah itu, mereka pergi. Dari salah satu balkon yang ada di rumah mewah tersebut, seorang pria berdiri sambil melipat kedua tangannya di depan. Dia terdiam, menatap tajam pada mobil hitam yang keluar dari gerbang rumahnya. Padahal tadi sore, sang pemilik rumah tidak benar-benar pergi seperti apa yang dikatakan oleh asisten pribadinya. Dia hanya bersembunyi di salah satu ruangan, karena tidak ingin bertatap muka dengan wanita yang sudah bersuami. Tapi sekarang ... dia melihat sesuatu yang janggal. Pengantin baru itu nampak aneh, ada sesuatu yang disembunyikan. *** Di perjalanan, Danisha meminta untuk diturunkan di jalan. "Berhenti di depan! Aku bisa pulang sendiri!" pinta Danisha pada pria yang mengemudi di sampingnya. Bian yang memang sudah sedari tadi menahan kekesalannya, sekarang semakin kesal lagi karena wanita di sampingnya terus meminta untuk diturunkan. Padahal dirinya lah yang menjemputnya pulang. "Danish! Tidak bisakah kau berpikir normal?" tanyanya dengan mengeratkan gigi. "Setelah apa yang kau lakukan, kau masih saja bersikap seolah dirimu tidak bersalah!" tambahnya lagi yang membuat Danisha terdiam sambil mengerutkan kening. "Bersalah? Kesalahan apa memangnya yang telah kuperbuat?" tanya Danisha yang hatinya sudah mulai membeku. Karena rasa sakit yang dia terima semalam dari suami yang menyebabkan dirinya terluka hingga demam tinggi, Danisha bertekad untuk membuang semua rasa cintanya yang telah tumbuh lebih dari tiga tahun untuk pria itu. Danisha akan melupakan semua kenangan indah bersama pria itu dan membuka lembaran baru dengan statusnya yang sekarang. 'Janda di malam pertama!' "Apa?" Bian mendengus kesal. "Kesalahan apa, katamu?" "Dasar wanita murahan!" makinya dengan tangan yang sudah terangkat ke atas di samping Danisha. Satu tangan masih memegang roda kemudinya. Namun, detik berikutnya Bian menghempaskan tangannya dan menahan sedikit amarahnya. "Setelah kau tidur dengan pria lain saat bersamaku, bukannya introspeksi diri, kau malah kabur dari rumah dan berlari ke pelukan pria lain. Mungkin saja tadi malam kau tidur bersama. Haha! Kau mengadu padanya telah dianiaya olehku, kan? Dasar wanita ular! Ke sana mah, ke sini mau." "Bian! Jaga bicaramu!" Kali ini Danisha sudah habis kesabaran. Tadi malam, dirinya masih syok karena tiba-tiba dimarahi dan ditendang oleh Bian sampai babak belur. Tapi sekarang, pikirannya sudah lebih tenang. Danisha sudah bisa membela diri atas tuduhan keji yang telah pria itu tuduhkan kepadanya. "Pertama, kau terus menuduhku, aku tidur dengan pria lain seperti yang ada di foto itu! Kau pun memakiku, mendorongku, menendangku seperti kau menendang seekor anjing ...." Saat mengucapkan kalimat ini, Danisha tidak bisa menahan air mata untuk tidak menetes keluar. Kalau diucapkan kembali, rasanya sangat sakit dan hatinya begitu hancur. Perbuatan Bian padanya benar-benar sudah keterlaluan. "Yang kedua," Danisha segera menyeka air matanya di wajah cantiknya. Lalu melanjutkan ucapannya, "kau menuduhku, aku pergi ke pelukan pria lain." "Pria lain yang kau tuduh itu adalah orang yang menolongku, Bian!" Saat mengingat orang baik yang semalam menolongnya, moodnya menjadi baik. Bahkan sudut bibirnya sedikit terangkat, memperlihatkan senyumnya yang manis. Namun detik berikutnya, ekspresinya berubah menjadi dingin. "Coba kau pikir, semalam kau menyiksaku tanpa apapun. Jangankan uang untukku naik taksi, atau membayar sewa hotel, ponsel untuk menghubungi orang lain pun, aku tidak ada!" "Tanpa uang, bagaimana aku bisa pergi ke rumah pria lain?" "Tanpa Ponsel, bagaimana aku bisa menghubungi pria lain? Coba kau pikir, Bian!!" Danisha terus mengatakan apa yang ada di kepalanya. Berharap, pria itu bisa mengerti dengan situasinya. Namun, bukannya mengerti Bian malah marah. Ia memaki sambil meninju dashboard yang ada di depannya sampai tangannya sedikit terluka. "Sudahlah! Jangan banyak bicara lagi! Semakin kau berbicara, aku semakin muak kepadamu!" "Besok aku akan mengurus surat perceraian kita. Tunggulah!" ucap Bian dengan tegas. "Ah, iya! Barangmu ada di bagasi. Ambilah kalau tidak ingin kubuang!" tambahnya lagi masih dengan nada yang tidak enak. Setelah itu, Bian membanting setirnya ke samping, menginjak rem dengan kasar sampai kepala Danisha hampir terbentur ke depan. "Aishhh! Kau!" Danisha mendengus heran. Pria di depannya ini benar-benar sudah gila.Hari-hari telah berlalu, hujan tipis-tipis mengguyur kota malam itu. Jalanan basah memantulkan cahaya lampu jalan, membuat suasana sendu. Wihaldy duduk di kursi kemudi mobilnya, menatap kosong ke depan. Sejak tiga minggu terakhir, hidupnya terasa hampa. Ia kembali mengikuti aturan ayahnya, kembali mengikat diri pada Jane, kembali menjadi putra Mahendra yang patuh. Tiba di rumah orang tuanya, begitu melangkah masuk, suara Tuan Wilhem langsung menyambutnya dari ruang tamu. “Dari mana saja kau, Haldy?” suaranya berat, penuh wibawa, namun juga curiga. Wihaldy berhenti, menundukkan kepala sejenak. “Ada urusan!” “Urusan? Atau kau menemui wanita itu lagi?” Wilhem meletakkan koran di meja, menatap putranya dengan sorot tajam. Jantung Wihaldy berdegup keras. Sekilas wajah Danisha terbayang di wajahnya. Seperti biasa, setiap malam ia mengikuti wanita itu ke tempat kerja, melihatnya masuk ke salah satu ruangan dan keluar setelah beberapa jam. Setelah itu, dirinya pun langsung pulang
Malam turun perlahan, menutup kota dengan cahaya neon dan keramaian. Di depan cermin, Danisha menatap bayangan dirinya. Riasan tipis menutupi sisa sembab di matanya. Gaun sederhana yang dipilihkan Stefia kembali melekat di tubuhnya, memberikan kesan anggun meski hatinya masih penuh luka. “Cantik,” suara Stefia terdengar dari balik pintu kamar. “Kau sudah siap?” Danisha membuka pintu. Stefia berdiri dengan balutan dress merah menyala, rambutnya ditata rapi. Senyumnya penuh percaya diri, seakan dunia malam adalah panggung tempat ia bersinar. “Aku… aku masih merasa aneh, Stef,” bisik Danisha lirih. “Tapi aku akan coba!” Stefia menepuk bahunya. “Tidak apa-apa! Kau tidak sendirian. Ingat, aku selalu ada di sampingmu.” *** Mereka tiba di gedung karaoke mewah yang sama. Lampu-lampu neon berkelip, suara musik berdentum samar dari dalam. Begitu masuk, aroma parfum bercampur alkohol langsung menyambut. Bagi Danisha, dunia ini masih asing. Ia merasa seperti terlempar ke dalam realit
Siang itu, apartemen terasa begitu hening. Matahari menyorot masuk lewat celah tirai, tapi sinarnya tidak mampu menghangatkan hati Danisha yang dingin. Ia duduk di sofa, memeluk lutut, menatap kosong ke arah televisi yang menyala tanpa suara. Suara presenter di layar bergerak-gerak, tapi otaknya tak menangkap apa pun. Hanya ada satu hal yang terus menghantui pikirannya. Sejak semalam, ia sudah mencoba menelepon, mengirim pesan, bahkan menunggu sampai hampir fajar. Namun nomor itu tak pernah aktif. Tak ada balasan. Tak ada kabar. Seolah lelaki itu menghilang dari permukaan bumi. “Apa aku melakukan kesalahan?” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. Air matanya menggenang, tapi Danisha berusaha menahannya. Ia sudah terlalu sering menangis. Ia takut kalau air mata itu tak akan ada habisnya. Namun semakin ditahan, semakin perih rasanya di dada. Ia berdiri, melangkah gontai menuju balkon. Kota terlihat ramai dari lantai dua puluh apartemennya. Orang-orang berjalan, kendaraan lalu lalan
Pagi itu udara di rumah besar keluarga Mahendra begitu sejuk. Embun masih menempel di dedaunan taman yang terawat rapi, sementara sinar matahari perlahan menerobos kaca jendela besar ruang makan. Seisi rumah seakan tahu bahwa badai yang sempat mengguncang keluarga itu akhirnya sudah reda. Tuan Wilhem, kepala keluarga Mahendra, duduk di kursi utama meja makan panjang dengan wajah riang yang jarang ia tunjukkan. Koran harian terbuka di tangannya, sesekali ia menghela napas puas. Baginya, ketertiban dan kepatuhan anak-anaknya adalah hal terpenting, bahkan lebih penting dari perasaan mereka. Di seberangnya, Jane duduk anggun dengan gaun rapi warna gading. Rambut hitam panjangnya ditata gelombang lembut, wajahnya terlihat manis seperti biasa, namun tatapan matanya menyimpan kebahagiaan yang menusuk. Senyum tipis di bibirnya tak pernah lepas sejak semalam. “Om,” panggil Jane lembut, suaranya seperti madu, tapi ada tekanan terselubung di baliknya. “Terima kasih sudah memberikan kepercayaa
Di malam hari, Danisha duduk di sebuah kafe remang bersama teman baiknya. Wajahnya dihiasi riasan tipis namun matanya masih menyimpan duka. Di depannya, Stefia menepuk tangannya. “Sha! Kau harus kuat! Dunia ini keras, tapi kau tidak boleh menyerah,” ucap Stefia dengan penuh rasa khawatir. Danisha sudah menceritakan semuanya, dari mulai masalah di kantor sampai dengan kondisinya saat ini. Stefia pun sedikit syok, tidak menyangka hidup teman baiknya akan rumit setelah beberapa waktu keduanya tidak bertemu. Tadi sebelum pulang kerja, Danisha sudah memberikan surat pengunduran dirinya pada Syam. Awalnya Syam tidak menerima, namun keputusan Danisha sudah dipertimbangkan matang-matang. Itu terbaik untuk Syam dan perusahannya. “Aku tidak tahu harus ke mana lagi, Stef! Aku kehilangan segalanya! Semuanya kacau gara-gara aku!” Danisha tersenyum getir. Stefia menatapnya serius. “Kalau begitu ikut aku! Tempatku memang bukan dunia yang bersih. Tapi di sana, setidaknya kau bisa hidup. S
Suasana di ruang kerja Tuan Wilhel terasa mencekam. Lampu gantung kristal berkilau, namun tak mampu menetralkan hawa tegang yang menggantung di udara. Di balik meja kayu besar berwarna gelap, Tuan Wilhem duduk tegak dengan wajah dingin. Jemarinya mengetuk permukaan meja berulang kali, menandakan betapa kesabarannya sudah menipis. Pintu terbuka. Wihaldy masuk, mengenakan setelan kerja yang seharusnya rapi, namun hari ini tampak sedikit berantakan dan basah. Ikatan dasinya longgar, rambutnya kusut, wajahnya penuh lelah setelah melewati hari-hari berat bersama Danisha. “Papa,” sapanya pelan, mencoba menjaga nada suaranya agar tidak terdengar menantang. Tuan Wilhem menoleh dengan tatapan tajam. Lalu memerintahkan, “Duduk!” Wihaldy menurut, meski tahu pertemuan ini tidak akan berakhir baik. Begitu ia duduk, sang ayah langsung menggebrak meja. “Apa yang kau pikirkan, Haldy?! Sebentar lagi kau akan menikah, tapi kenapa malah menemui wanita itu terus?” "Sebelum pulang ke rumah, k







