Di sore hari, kondisi Danisha sudah membaik, demamnya pun sudah turun dan kepalanya tidak pusing. Ia tidak diinfus lagi karena kondisinya benar-benar sudah baik. Hanya memar di tubuh dan sedikit bengkak di tangan, itu tidak masalah. Danisha masih bisa beraktifitas seperti biasa.
"Nona! Ini pakaian untuk Anda! Mandi dan pakailah! Pak Lucas menunggu Anda di bawah!" ucap kepala pelayan yang bernama Lunie. Tadi, setelah tuannya pulang kerja, Lunie menceritakan kondisi dan keadaan Danisha pada pria single yang sudah berusia tiga puluh lima tahun—namun belum menikah. Tuannya yang sangat kaya itu langsung memberikan pakaian yang dibawanya dari luar, lalu meminta Lunie untuk memberikannya pada Danisha dan memanggil wanita yang terpaut usia 9 tahun lebih muda darinya itu untuk turun ke bawah. Tapi bukan untuk menemui sang pemilik rumah, melainkan Lucas—asisten pribadinya—mewakilinya untuk berbicara dengan Danisha. "Oh, ya! Terima kasih!" balas Danish sambil mengambil pakaian itu dari tangan Lunie, lalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai, ia segera memakai pakaian bagus dari merek terkenal yang sudah lengkap dengan pakaian dalam, lalu turun ke bawah sesuai arahan dari kepala pelayan. Di ruang keluarga yang nampak luas dengan lampu minimalis besar yang tergantung di atas meja, juga sofa sudut yang besar berwarna krem, duduk seorang pria yang sudah berusia 40 tahu. Dia mewakili tuannya berbicara pada Danisha. Di tangannya ada ponsel lipat besar yang sedang dipegangnya dan dia mengirim pesan pada seseorang. "Pak!" panggil Lunie pada Lucas. Lucas yang sedari tadi duduk di sofa pun segera menoleh. Ia melihat Lunie dan Danisha silih berganti. Lalu menyuruhnya untuk ke depan. "Silahkan duduk!" "Ini Pak Lucas, asisten pribadi Tuan Muda Wihaldy! Silahkan, Nona!" Lunie memperkenalkannya pada Danisha. Setelah itu dia membantu Danisha duduk di depan Lucas, lalu kembali ke belakang setelah selesai. Di ruangan yang dingin, yang hanya ada mereka berdua, Danisha tersenyum, lalu menunduk sambil memainkan jari jemarinya di atas paha. Ia berkata dengan pelan, "Terima kasih, Pak! Semalam Anda sudah menolong saya! Selain itu, Anda pun mengobati saya sampai saya sembuh. Kebaikan Anda dan orang-orang yang ada di rumah ini, selamanya saya tidak akan melupakannya. Suatu hari nanti, jika Anda membutuhkan bantuan, saya akan siap membantu semaksimal mungkin!" Danisha mengatakannya dengan tulus. "Em! Syukurlah kalau Anda sudah sehat! Semalam yang menolong Anda bukan saya, tapi Tuan. Sekarang dia sedang pergi ke luar, ada pertemuan dengan klien. Saya mewakili beliau ingin berbicara langsung dengan Anda. Semalam Tuan menolong Anda di jalan. Tapi yang menabrak Anda bukan Tuan. Dia hanya—" "Ah, tidak Pak! Sepertinya kalian salah paham. "Saya bukan korban tabrak lari. Melainkan ...." Danisha tersenyum kecil. Tidak ingin mereka salah paham, tapi juga sangat menyakitkan jika harus diceritakan kepada orang lain. "Karena tuan Anda yang menolong saya, saya pun tidak ingin kalian salah paham, jadi, saya akan berkata terus terang. Sebenarnya ... tadi malam itu saya habis dipukuli orang. Tapi itu tidak masalah. Sekarang saya sudah baik-baik saja. Saya sangat berterimakasih karena tuan anda sudah menolong saya!" jelas Danisha masih dengan menunduk. Jika tidak dijelaskan, mereka akan mengira kalau dirinya merupakan korban tabrak lagi. Danisha tidak ingin tuan itu merasa terancam, dan Danisha pun tidak ingin pria itu dituduh sebagai orang yang menabraknya semalam. "Hah? Di–dianiaya?" Lucas pun terkejut. Pikirnya semalam tuannya menolong wanita yang tertabrak mobil, tapi ternyata wanita itu korban penganiayaan. Lucas pun menyarankan, "Sebaiknya Anda lapor polisi. Biar orang itu hukuman!" "Hehe! Tidak apa-apa! Saya bisa menyelesaikannya sendiri!" Danisha masih tersenyum. Namun kali ini air matanya tidak bisa berhenti untuk menetes. Dengan cepat ia menyekanya dengan pakaian agar orang yang ada di depannya tidak salah paham. "O, baiklah!" Lucas pun jadi serba salah. "Berapa nomor telepon suami Anda? Saya akan segera menghubunginya, meminta dia untuk menjemput Anda di sini," ucap Lucas sambil membuka kembali ponselnya. Bersiap menghubungi suami wanita yang ada di depannya. "Berapa nomornya?" tanya Lucas lagi karena Danisha tidak menjawab. Wanita itu hanya terdiam sambil melamun. "Nona?" "Oh, ya!" Danisha segera tersadar. Ia pun menjawab, "83820xxxxxx. I-itu nomor mantan, eh, nomor suami saya!" Akhirnya Danisha mengatakannya. Ia tidak ingin menyulitkan orang yang telah menyelamatkan nyawanya. Kalau sampai orang lain tahu, Danisha yang sudah menikah pergi ke rumah pria lain dan menginap, mungkin pria ini akan disalahkan oleh semua orang. Untuk mencegah hal itu terjadi, lebih baik kalau sekarang Danisha menghubungi Bian, membiarkan suami jahatnya itu untuk menjemputnya di rumah orang kaya itu. Benar saja, Lucas langsung menghubungi nomor tersebut. Ia bilang, dirinya menolong Danisha yang habis dianiaya orang semalam. Lucas pun meminta maaf karena baru menghubunginya sekarang setelah keadaan Danisha membaik. Setelah itu, ia menyuruh Bian untuk menjemput istrinya di rumah. "Oke!" Klik! Sambung telepon pun ditutup. "Satu jaman lagi suami Anda akan datang menjemput. Bersiaplah!" ucap Lucas setelah menutup teleponnya. Danisha yang ada di depannya hanya tersenyum sambil mengangguk. Hatinya sungguh berat, membayangkan jika 1 jam lagi dia akan bertemu dengan suami jahat yang semalam menyiksanya. Ingin berkata tidak pun, itu tidak bisa. Permasalahan rumah tangganya, orang lain tidak boleh tahu. Apalagi ini orang asing yang belum pernah bertemu sebelumnya. Mereka tidak boleh tahu apa yang terjadi pada pernikahannya.Di malam hari, Danisha keluar dari kamarnya dengan memakai gaun seksi yang sangat cantik lengkap dengan make up dan tataan rambut yang diikat ke atas. Ia menenteng tas kecilnya sambil berjalan ke arah ruang keluarga. Di sofa, Rachel sedang duduk santai sambil memeluk toples bening berisi makanan. Satu tangan memegang makanan dan dimasukan ke dalam mulut. Sedangkan matanya terfokus pada acara di televisi. Ketika Danisha berjalan ke ruangan itu, tiba-tiba Rachel berhenti mengunyah. Dia terdiam dengan mulut yang penuh dengan makanan, menatap Danisha dengan heran. "Kau mau pergi ke mana?" tanya Rachel sambil memperhatikan Danisha dari ujung kaki hingga ujung kepala. Selain sangat cantik, adik tirinya itu semakin sempurna dengan perhiasan yang berkilau berupa kalung, anting dan juga gelang. Rachel pun mengerutkan kening sambil terus memperhatikan. "Aku mau keluar sebentar! Kalau ada orang asing datang, pintunya jangan dibuka. Berpura-pura lah di sini tidak ada orang!" ucap Danisha memb
Danisha terdiam. Ia terkejut dengan tindakan pria di depannya yang tiba-tiba menciumnya dengan lembut. Detik berikutnya, Danisha terhanyut dan memejamkan mata sambil menikmati gerakan pria itu. Tadi, dirinya sedang bersembunyi, lalu mendengar pembicaraan Wihaldy dengan mantan tunangannya tentang keinginan keluarga yang ingin mereka menikah. Awalnya, Danisha marah dan cemburu dengan pembicaraan dan sikap Jane yang terus menggoda Wihaldy. Namun, saat Wihaldy menolak dan menegaskan bahwa dia tidak akan menerima Jane lagi, hati Danisha menjadi hangat. Ia tidak menyangka, pria kaya dan tampan itu akan menolak pernikahan dengan wanita kaya itu. Bahkan semua anggota keluarga mereka sangat menantikan bersatunya Wihaldy dengan Jane. "Enh ...." Tiba-tiba Wihaldy melepaskan pautan bibir mereka. Ia bertanya dengan pelan sambil menatap Danisha dengan mata sendu, "Ada apa?""Apa ada yang membuatmu tidak nyaman?" tanyanya lagi sambil menatap kiri dan kanan. Tiba-tiba dia tersenyum, lalu mencolek
"Kenapa neraka?" tanya Jane sambil tersenyum, seolah dirinya tidak setuju dengan apa yang dikatakan oleh Wihaldy. "Kalau kita menikah, bukankah itu akan menjadi surga dunia yang sangat indah?" ucap Jane sambil bangkit berdiri. Dia berjalan menghampiri Wihaldy sambil menatapnya dengan tajam. "Haha!" Namun, tiba-tiba Jane tertawa. "Aku jadi ingat, pacarmu yang cupu itu tadi keluar dari kantornya dengan kasihan." "Ckckck, suruh siapa dia bersaing denganku? Dia akan kalah dalam segala hal," cibirnya lagi sambil tersenyum membayangkan kemenangannya akan sesuatu hal. Mendengar hal itu, Wihaldy mengerutkan kening. Ia membuyarkan lipatan kakinya, lalu meminta Jane untuk menjelaskan apa yang dia katakan tentang pacarnya. "Apa yang kau lakukan di tempat kerja Danish?" "Kenapa? Apa kau begitu peduli pada pacarmu? Haha!" Jane tertawa lagi. Dia duduk di samping Wihaldy, lalu mencondongkan tubuhnya pada pria itu dengan gerakan yang sangat menggoda. "Kalau kubilang, aku baru s
Di dalam ruangan yang luas dan bersih, juga dekorasi yang sangat mewah dan modern, Danisha duduk di sofa kulit sambil menatap kagum pada semua yang ada di depannya. Di sana ada meja kerja yang terbuat dari marmer berwarna abu, yang biasa digunakan saat Wihaldy bekerja. "Nona! Anda bisa menunggu Tuan di sini. Sebentar lagi Tuan kembali!" ucap Fay sesuai dengan apa yang dikatakan oleh sekretaris bosnya tadi di telepon. Mendengar hal itu, Danisha pun mengerti. Ia mengangguk, duduk dengan tenang di sofa sambil menatap kiri dan kanan dan memperhatikan sekelilingnya. "Baiklah! Kalau ada apa-apa, Anda bisa menghubungi saya!" ucap Fay lagi. Setelah itu, Fay keluar dari ruangan itu. Ditinggal sendirian di ruangan mewah itu, Danisha merasa gugup. Ini pertama kalinya ia masuk dan bahkan duduk di ruang kerja Wihaldy setelah mereka bersama. Ia pun menatap sekeliling, memperhatikan setiap sudut ruangan itu, khawatir ada kamera tersembunyi yang sedang memperhatikan dirinya. Ketik
Di luar gedung perusahaan, Danisha berjalan perlahan sambil melamun. Saat ini, dirinya tidak tahu harus pergi ke mana dan harus bagaimana? Pemecatannya yang tiba-tiba ini membuatnya syok dan juga tidak percaya. Tid! Dari belakangnya, sebuah mobil keluar dari kawasan itu lalu membunyikan klakson saat akan melewati Danisha. Tanpa rasa curiga, Danisha segera menyingkir ke samping. Ia melihat seseorang yang ada di dalam mobil menurunkan kaca mobilnya, lalu menatap Danisha dengan penuh keangkuhan. Setelah berpapasan, kacanya kembali diturunkan, dan mobil itu melaju pergi. "Eh ... itu?" Danisha terdiam sejenak. Ia ingat dengan wajah itu. Wanita yang baru saja lewat di depannya memakai make up tebal, juga kacamata dan topi berjaring hitam yang menutupi mata dan sebagian dari wajahnya. Tapi walaupun begitu Danisha bisa dengan mudah mengenalinya. "Jane! Apa dia dari kantorku?" gumam Danisha sambil terus menatap mobil yang mulai menghilang di balik jalanan yang lumayan padat itu. "
Di jam 7 pagi, Danisha keluar dari tempat tinggalnya dengan pakaian rapi yang lengkap dengan tas dan sepatu. Ia turun ke bawah, lalu masuk ke dalam mobil yang sudah terparkir di depan gedung apartemen. Bruk! Danisha menutup pintu mobilnya. Ia duduk di depan, samping Stefia yang akan mengemudi. "Ayo!" ajak Danisha sambil memakai sabuk pengaman. Setelah itu mereka pergi dari sana dan berjalan menuju kantor tempatnya bekerja. Pagi ini, Danisha sudah menelepon Wihaldy di kamarnya, meminta ijin pada pria itu untuk pergi ke kantor bersama Stefia. Jadi, sopir pribadinya tidak perlu mengantarnya pergi ke kantor. Di perjalanan, Stefia penasaran apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa teman baiknya itu ingin pergi ke kantor bersama, sedangkan Stefia baru saja punya kendaraan roda empat hasil kreditnya kemarin. Danisha sendiri pun ada mobil dan sopir pribadi yang akan mengantarnya ke manapun dia pergi. "Ada apa, Sha? Apa kalian bertengkar lagi?" "Kalau tidak, kau tidak