Pria di depannya ini benar-benar sudah gila.
Tadi, Bian menjemput Danisha di rumah orang lain layaknya suami yang baik. Tapi sekarang, dia menurunkannya seperti akan menurunkan seekor domba dari mobilnya, sangat kasar dan arogan. Tanpa membuang waktunya lagi, Danisha pun segera membuka sabuk pengamannya, keluar dari mobil, lalu membuka bagasi belakang sesuai arahan dari Bian. Melihat ada koper hitam yang memang miliknya, Danisha langsung mengangkatnya, lalu menurunkannya ke tanah. Setelah itu, Bian benar-benar pergi. Dia mengunjak gasnya dengan kuat seperti akan menerbangkan mobil dua baris itu ke langit. Melihat mobil dan orangnya sudah pergi, Danisha pun terdiam. Ia membeku di pinggir jalan yang gelap dengan tinju yang terkepal erat di dalam pakaian. Ia pun tidak menyadari, orang yang menolongnya semalam mengikutinya dari belakang. Dan sekarang dia sedang memperhatikannya dari jarak yang tidak terlalu jauh. "Ah, sudahlah! Lebih baik seperti ini. Dia pergi aku pun pergi! Toh pernikahan ini sudah hancur berkeping-keping, sudah tidak bisa diperbaiki lagi!" ucap Danisha sambil melamun. Ini merupakan nasib yang sangat buruk sepanjang hidupnya. Dulu, ibunya meninggal pada saat melahirkan dirinya. Ayahnya pun menikah lagi dengan janda beranak satu dan membawa anaknya ke rumah. Danisha selalu dibeda-bedakan dan tidak pernah disayang oleh ibu tirinya. Namun, itu bukan masalah besar, dunianya masih aman selagi ayahnya masih mencintainya. Tapi sekarang ... tuduhan keji dan perlakuan buruk dari suami dan ibu mertuanya itu telah menyakiti hati dan perasaan Danisha. Selamanya, ia tidak akan memaafkan mereka. "Taksi!" panggilnya pada taksi yang lewat. Taksi pun berhenti di depannya. Danisha segera masuk ke dalam taksi, lalu pergi menuju tempat tinggalnya yang baru, yang seharusnya ditempati oleh dirinya dan Bian setelah mereka menikah. *** Malam hari, di sebuah bar ternama yang ada di pusat kota, Danisha memakai pakaian seksi berupa atasan tanpa lengan yang dipadukan dengan rok mini sepaha dan sepatu boots kulit berwarna hitam, duduk bersama teman wanita sambil makan dan minum. Hari ini Danisha sangat stres dengan masalah yang menimpanya. Ia ingin minum-minum sampai mabuk dan sampai dirinya tidak mengingat apapun lagi. "Udah lah, Sha! Jangan minum lagi. Walau mabuk sampai pingsan sekalipun, itu tidak akan membuat statusmu berubah, kan? Kau akan tetap menyandang status janda karena si brengsek Bian itu sudah mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan!" ucap Stefia—teman baik Danisha sekaligus rekan kerja di kantor—sambil mengambil gelas kecil yang sudah kosong dari tangan Danisha. Danisha sudah menceritakan semuanya pada Stefia tentang nasib buruk yang baru saja menimpanya. Stefia pun sangat syok dan tidak percaya kalau tidak melihat luka di kening, juga memar di bahu dan lengannya karena tendangan dari Bian. Padahal sebelumnya Danisha dan Bian sudah menggelar pesta pernikahan yang meriah di sebuah hotel berbintang yang ada di pusat kota dengan tamu yang beragam. Dari mulai rekan kerja Danisha di kantor sampai para konglomerat yang merupakan rekan bisnis Bian dan keluarganya. Mereka semua hadir dan ikut memeriahkan acara tersebut. Tidak ada yang menyangka kalau akhirnya akan seperti ini. "Ya, kau benar! Aku tetap akan menyandang status janda! Itu sangat lucu kan, haha ...." Mulutnya tertawa lebar, namun matanya mengeluarkan air yang cukup deras dari ujung matanya. "Sini! Aku mau minum lagi. Aku mau minum sampai mati!" gerutunya sambil merebut gelas dari tangan Stefia. Danisha yang sudah mabuk pun kembali mengambil minuman. Ia tertawa, menertawakan kebodohannya yang mudah sekali difitnah oleh orang lain. “Ah ….” Lama kelamaan kepalanya terasa pusing. Danisha bangkit berdiri, lalu pamit untuk pergi ke toilet. “Sini … biar aku antar!” ucap Stefia dengan cemas. Ia pun memegang tangan Danisha, bermaksud untuk memapahnya. “Tidak! Aku bisa sendiri,” balas Danisha sambil menghempaskan tangan Stefia. Setelah itu, ia pergi ke ke belakang sendiri. Di toilet yang nampak sepi, Danisha berjalan sempoyongan menuju bilik yang terbuka. Ia pun duduk di kloset sambil memijat keningnya yang terasa sakit. "Ahhh! Sakit sekali!" Di dalam toilet, Danisha tidak buang air kecil, juga tidak buang air besar. Ia hanya duduk sambil merasakan kepalanya sakit dan perutnya terasa mual. Semakin lama mualnya semakin terasa, Danisha pun segera keluar dari bilik toilet, berlari ke arah wastafel, lalu membungkuk untuk memuntahkan sesuatu yang sudah ada di tenggorokannya. Setelah berkumur dan mencuci tangan, Danisha bergeras pergi ke luar. Dari pintu masuk utama, Danisha yang berjalan sempoyongan tiba-tiba menabrak seseorang yang baru masuk ke toilet sampai hidung dan keningnya terasa sakit. Pria bertubuh tinggi dan gagah dengan wangi yang sangat khas itu segera menunduk, menatap Danisha yang juga menatapnya. Namun, detik berikutnya Danisha malah pingsan di pelukan pria itu. *** Di dalam mobil dengan interior yang sangat mewah, Danisha duduk sambil membuka mata sedikit demi sedikit. Antara sadar dan tidak, ia bergumam dan memarahi pria yang ada di sampingnya. "Dasar brengsek! Kau menuduhku tidur dengan pria lain. Jangankan tidur dengan pria lain, denganmu pun aku belum pernah! Asal kau tahu, aku masih perawan sampai detik ini. Kalau tidak percaya, coba saja sekarang!" Danisha mulai melantur. Ia memaki sambil menunjuk-nunjuk pria di sampingnya. Dipikirnya pria itu adalah Bian. Bukannya menjawab, pria itu malah menyalakan mesin mobil, lalu membawa mobilnya keluar dari bar tersebut. Melihat mobilnya berjalan, Danisha yang sedang mabuk pun segera bertanya, "Bian! Kau mau membawaku ke mana? Kita sudah berpisah, aku tidak ingin ikut denganmu!" "Eh!" Pria itu terkesiap. Dia pun menjelaskan, "Maaf Nona, saya bukan suami Anda! Nama saya Wihaldy!" "Hah .... Wihaldy? Sepertinya aku pernah mendengar nama itu!" balas Danisha sambil berpikir. "Wihaldy! Apa kau mau menculikku?""Kenapa neraka?" tanya Jane sambil tersenyum, seolah dirinya tidak setuju dengan apa yang dikatakan oleh Wihaldy. "Kalau kita menikah, bukankah itu akan menjadi surga dunia yang sangat indah?" ucap Jane sambil bangkit berdiri. Dia berjalan menghampiri Wihaldy sambil menatapnya dengan tajam. "Haha!" Namun, tiba-tiba Jane tertawa. "Aku jadi ingat, pacarmu yang cupu itu tadi keluar dari kantornya dengan kasihan." "Ckckck, suruh siapa dia bersaing denganku? Dia akan kalah dalam segala hal," cibirnya lagi sambil tersenyum membayangkan kemenangannya akan sesuatu hal. Mendengar hal itu, Wihaldy mengerutkan kening. Ia membuyarkan lipatan kakinya, lalu meminta Jane untuk menjelaskan apa yang dia katakan tentang pacarnya. "Apa yang kau lakukan di tempat kerja Danish?" "Kenapa? Apa kau begitu peduli pada pacarmu? Haha!" Jane tertawa lagi. Dia duduk di samping Wihaldy, lalu mencondongkan tubuhnya pada pria itu dengan gerakan yang sangat menggoda. "Kalau kubilang, aku baru s
Di dalam ruangan yang luas dan bersih, juga dekorasi yang sangat mewah dan modern, Danisha duduk di sofa kulit sambil menatap kagum pada semua yang ada di depannya. Di sana ada meja kerja yang terbuat dari marmer berwarna abu, yang biasa digunakan saat Wihaldy bekerja. "Nona! Anda bisa menunggu Tuan di sini. Sebentar lagi Tuan kembali!" ucap Fay sesuai dengan apa yang dikatakan oleh sekretaris bosnya tadi di telepon. Mendengar hal itu, Danisha pun mengerti. Ia mengangguk, duduk dengan tenang di sofa sambil menatap kiri dan kanan dan memperhatikan sekelilingnya. "Baiklah! Kalau ada apa-apa, Anda bisa menghubungi saya!" ucap Fay lagi. Setelah itu, Fay keluar dari ruangan itu. Ditinggal sendirian di ruangan mewah itu, Danisha merasa gugup. Ini pertama kalinya ia masuk dan bahkan duduk di ruang kerja Wihaldy setelah mereka bersama. Ia pun menatap sekeliling, memperhatikan setiap sudut ruangan itu, khawatir ada kamera tersembunyi yang sedang memperhatikan dirinya. Ketik
Di luar gedung perusahaan, Danisha berjalan perlahan sambil melamun. Saat ini, dirinya tidak tahu harus pergi ke mana dan harus bagaimana? Pemecatannya yang tiba-tiba ini membuatnya syok dan juga tidak percaya. Tid! Dari belakangnya, sebuah mobil keluar dari kawasan itu lalu membunyikan klakson saat akan melewati Danisha. Tanpa rasa curiga, Danisha segera menyingkir ke samping. Ia melihat seseorang yang ada di dalam mobil menurunkan kaca mobilnya, lalu menatap Danisha dengan penuh keangkuhan. Setelah berpapasan, kacanya kembali diturunkan, dan mobil itu melaju pergi. "Eh ... itu?" Danisha terdiam sejenak. Ia ingat dengan wajah itu. Wanita yang baru saja lewat di depannya memakai make up tebal, juga kacamata dan topi berjaring hitam yang menutupi mata dan sebagian dari wajahnya. Tapi walaupun begitu Danisha bisa dengan mudah mengenalinya. "Jane! Apa dia dari kantorku?" gumam Danisha sambil terus menatap mobil yang mulai menghilang di balik jalanan yang lumayan padat itu. "
Di jam 7 pagi, Danisha keluar dari tempat tinggalnya dengan pakaian rapi yang lengkap dengan tas dan sepatu. Ia turun ke bawah, lalu masuk ke dalam mobil yang sudah terparkir di depan gedung apartemen. Bruk! Danisha menutup pintu mobilnya. Ia duduk di depan, samping Stefia yang akan mengemudi. "Ayo!" ajak Danisha sambil memakai sabuk pengaman. Setelah itu mereka pergi dari sana dan berjalan menuju kantor tempatnya bekerja. Pagi ini, Danisha sudah menelepon Wihaldy di kamarnya, meminta ijin pada pria itu untuk pergi ke kantor bersama Stefia. Jadi, sopir pribadinya tidak perlu mengantarnya pergi ke kantor. Di perjalanan, Stefia penasaran apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa teman baiknya itu ingin pergi ke kantor bersama, sedangkan Stefia baru saja punya kendaraan roda empat hasil kreditnya kemarin. Danisha sendiri pun ada mobil dan sopir pribadi yang akan mengantarnya ke manapun dia pergi. "Ada apa, Sha? Apa kalian bertengkar lagi?" "Kalau tidak, kau tidak
Malam ini, Danisha nampak murung selama perjalanan menuju tempat tinggalnya. Ia terdiam, tidak mempedulikan apapun selama berada di dalam mobil. Karena merasa tidak nyaman dengan situasi itu, akhirnya Wihaldy bertanya, "Ada apa?" "Apa kau tidak suka kuajak makan bersama Jane?" tanyanya lagi karena wanita di sampingnya tidak menjawab. Danisha masih terdiam sambil memalingkan muka ke samping, melihat pemandangan yang ada di luar, tidak melihat Wihaldy yang sedang menyetir. "Ya, maaf kalau kau tidak suka! Lain kali, aku akan memberitahumu lebih awal. Tidak akan melakukan apapun tanpa persetujuanmu! Sekarang, maafkan aku, ya!" bujuk Wihaldy sambil memegang tangan Danisha dengan satu tangan. Dan, satu tangannya lagi memegang roda kemudian sambil sesekali menatap ke depan, melihat jalanan yang mulai macet. Sebenarnya Danisha ingin marah, pipinya masih sakit karena ditampar oleh Jane. Tapi, melihat ketulusan dan kebaikan Wihaldy, Danisha menjadi tidak tega. Akhirnya ia menatap Wih
Suasana di ruangan itu terasa hening dan sepi. Semua orang terdiam beberapa detik, lalu saling tatap, setelah itu Wihaldy berdiri, mempersilahkan Jane untuk duduk. "Hemmm!" Jane mengiyakan ucapan Wihaldy dengan enggan. Dia pun langsung duduk di kursi depan Danisha. "Sayang! Perkenalkan, ini Jane, mantan tunanganku! Eh, ya! Waktu itu kalian sudah pernah bertemu di rumahku," ucap Wihaldy tanpa ragu sedikitpun. Danisha tergagap sejenak. Namun kemudian ia membungkukkan badan dan menyapa. Di depannya Jane menatap Danisha dengan sinis. Ia ingin berkata kasar, namun diurungkan karena Wihaldy ada di depannya. Tadi siang Wihaldy sudah berbicara serius dengan Jane. Ia pun sudah menjelaskan alasan dirinya tidak bisa kembali pada wanita itu. Awalnya Jane tidak setuju. Ia tetap ingin mempertahankan pernikahan itu dan ingin Wihaldy menikah dengannya sesuai dengan apa yang telah dibicarakan oleh kedua keluarga. Namun Jane pun tersadar, keputusan Wihaldy sudah bulat, ia menyetujui keput
Di jam pulang kerja, Danisha keluar dari gedung kantornya dengan lesu. Ia pun memikirkan banyak hal, termasuk ucapan teman baiknya tentang Bian, Fandy dan juga Lingga yang menghilang dari Kota A ini. "Apa benar Haldy yang membuat mereka pergi?" "Tapi kenapa?" Tiddd! Ketika Danisha sedang berjalan di trotoar jalan, tiba-tiba sebuah mobil hitam mewah berhenti di depannya, lalu sang sopir membuka pintu belakang untuknya. "Nona, masuklah!" ucap Fay dengan senyum ramahnya pada Danisha. Sedangkan wanita itu hanya terdiam sambil mengerutkan kening. Dari dalam mobil, Wihaldy melihatnya, lalu menyuruh Danisha untuk masuk. "Mau masuk sendiri atau mau digendong olehku?" canda Wihaldy karena wanita itu tidak kunjung merespon. Danisha yang mendengarnya jelas saja sangat malu. Ia bergegas masuk ke dalam mobil karena khawatir pria itu benar-benar akan melakukannya. Bruk! Pintu mobil pun sudah ditutup. Fay segera mengemudikan mobilnya dan melaju di jalanan yang lumayan padat. D
Di pagi hari, Danisha terbangun karena dering alarm dari ponsel yang ada di dalam tasnya. Ia pun mengulurkan tangan, mengambil tasnya yang ada di lantai samping tempat tidur karena arah suara itu muncul dari sana."Jam berapa ini?" Danisha menggeliat, membuka mata sedikit demi sedikit dan melihat jam di ponselnya."Jam 5! Aku harus segera bersiap pergi ke kantor!"Ini hari Senin, Danisha harus segera bangun, mandi dan pergi ke kantor sebelum kesiangan."Aishhh! Sakit ...." Danisha merasakan sekujur tubuhnya sakit, seperti habis lari maraton berpuluh-puluh mil. Selain itu, kepalanya berdenyut dan pusing."Eh...." Ketika membuka mata, Danisha terkejut, mendapati dirinya ada di kamar asing tanpa berpakaian. "Apa yang terjadi?" tanyanya sambil memeluk selimutnya dengan erat. Ia pun menoleh ke samping, melihat seorang pria tertidur pulas sambil memunggunginya. Yang terlihat hanya punggung polo dengan luka cakar di beberapa bagian. "Opsss ...." Danisha segera menutup mulutnya dengan tang
Seketika di kamar yang luas dan mewah itu menjadi hening dan dingin. Baik Danisha maupun Wihaldy, keduanya terdiam tanpa bergerak. Tidak terdengar sepatah katapun sampai akhirnya Danisha mengulurkan tangan, menarik pegangan pintu dan berniat membukanya. "Eh!" Semakin ditarik, pintu itu semakin sulit untuk dibuka. Wihaldy yang ada di belakangnya hanya terdiam sambil melihat Danisha yang terus berusaha keluar dari kamar itu. "Kau tidak lupa, kan! Ini kamarku! Kau tidak bisa keluar dari kamar ini tanpa seijin dariku!""Hah?" Danisha berbalik badan, mendongak, menatap pria di depannya dengan heran."Atas dasar apa kau menahanku di sini?" tanya Danisha dengan lantang.Ia tidak mempedulikan ekspresi wajah pria di depannya yang sudah sangat buruk."Jangan terlalu egois kalau jadi pria! Aku terus kau ganggu, tapi di belakang, kau menikahi mantan tunanganmu! Lebih baik lepaskan aku, menjauh dari hidupku, aku tidak mau bersama dengan pria sepertimu!"Bruk!Baru selesai berbicara, tiba-tiba