Lima tahun kemudian, Aurora kembali ke Jakarta dengan penampilan baru yang memukau. Rambut panjangnya kini telah dipotong sebahu, memberikan kesan yang lebih segar. Matanya berbinar, langkahnya lebih mantap dan percaya diri.
Aurora menurunkan kaca mobilnya sedikit, ia menghirup udara malam dan sambil menatap kota yang sudah lama ia tinggalkan itu. Ia merasa Jakarta, kota yang pernah membuatnya merasa sakit, kini terasa seperti kanvas kosong yang siap ia lukis dengan warna-warna hidupnya yang baru. "Nona, Jasmine. Kenapa kita belum sampai juga? Di mana kita sekarang?" Aurora menoleh ke arah bocah laki-laki berusia 5 tahun itu. Namanya Ethan. Ia duduk di kursi belakang mobil. Ethan adalah anak Aurora dan Jonny. Rambut Ethan yang keemasan terlihat lebih panjang dan mata birunya semakin bersinar. Ethan mewarisi gen neneknya yaitu Emiliana yang merupakan orang Inggris. Aurora menggelengkan kepala. Karena Ethan lebih sering memanggil namanya daripada memanggilnya ibu. "Sebentar lagi sayang, sekarang kita berada di Jakarta," jawab Aurora, tersenyum. Ethan menatap ke luar jendela mobil. "Jakarta?" tanya Ethan dengan suara yang penuh pertanyaan. "Ya, Jakarta," jawab Aurora. "Ini adalah kota tempat Ibu lahir dan besar." "Apakah kita akan tinggal di sini selamanya?" tanya Ethan. "Tidak, Ethan," jawab Aurora. "Kita akan tinggal di sini selama beberapa waktu." Ethan terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi itu. "Kapan kita akan kembali ke Inggris?" tanya Ethan dengan polosnya. "Kita akan kembali ke Inggris nanti," jawab Aurora. "Tapi untuk sekarang, kita akan tinggal di Inggris." Aurora memandang Ethan dengan tatapan yang penuh kasih sayang. Ethan adalah segalanya bagi Aurora. Ethan adalah harapan dan kebahagiaan dalam hidupnya. Mobil Aurora berhenti di depan sebuah rumah mewahnya yang berada di kawasan Elit jakarta Selatan. "Ethan, kita sudah sampai. Ayo turun!" kata Aurora. Ethan yang mulai mengantuk merasa enggan turun dari mobil. Aurora pun langsung menggendongnya. Para pelayan membantu Aurora dengan membawa semua koper Aurora dan Ethan. Mereka senang melihat anak majikan mereka tinggal di rumah yang sudah lama tidak dihuni sama pemiliknya itu. Keesokan paginya, asisten sekaligus sahabat Aurora saat berada di Inggris, datang. "Silvia. Akhirnya kamu datang juga,"kata Aurora sambil tersenyum manis. "Saat kamu menghubungiku semalam, aku menjadi tidak sabar untuk kesini. Sudah setahun sejak aku kembali ke Jakarta, aku sangat merindukan kamu dan anak angkat ku, Ethan,"kata Silvia dengan penuh semangat. Aurora tersenyum lebar, ia juga sangat merindukan sahabatnya itu. Tapi, ada hal penting yang harus ia lakukan saat ini dibandingkan melepaskan kerinduannya pada Silvia. "Apa jadwalku hari ini?"tanya Aurora. Silvia menghela nafas berat, ia masih ingin melepaskan rindu, tapi ia sudah diajak membahas pekerjaan. Silvia sudah menjadi asisten Aurora sejak mereka masih bekerja di perusahaan Santoso yang ada di Inggris. Silvia kembali ke Jakarta lebih dulu, untuk mewakili Aurora, mengurus Santoso Fashion yang tidak stabil. "Kamu harus mengecek email mu. Karena sudah banyak perusahaan yang mengirim email, mereka ingin kamu bekerjasama dengan perusahaan mereka. Ini semua karena rancanganmu di musim semi tahun kemarin, memenangkan kontes Internasional. Salah satu perusahaan yang mengincar mu adalah SM Group,"jelas Silvia. Aurora terdiam sejenak mendengar nama SM Group. Ia seakan menemukan titik terang untuk balas dendamnya. "Nanti malam, kamu punya jadwal untuk makan malam bersama Presiden Direktur Maverick Group. Jadwal ini di masukkan oleh Ayahmu yang sudah lama menjodohkan kamu dengannya."kata Silvia sambil tersenyum, ia menggoda Aurora. Aurora menghela nafas pelan, ia tidak menyangka kalau Ayahnya masih menjodohkannya dengan lelaki yang tidak ia kenal. Sangat menyebalkan. "Baik, aku akan memeriksa emailnya nanti. Soal makan malam, sepertinya aku harus menyelidiki calon suamiku. Aku akan melamar sebagai karyawan di Maverick Group. Dan kamu harus menyembunyikan identitasku. Bagaimana?" Silvia mengerutkan kening karena bingung. Ia tidak mengerti jalan pikiran Aurora."Kenapa harus ke Maverick Group? Harusnya kamu langsung memimpin Santoso Fashion dan memilih satu partner yang akan bekerjasama denganmu. Bukan membuang-buang waktu di Maverick Group!" Aurora tersenyum licik, ia memiliki ide dan alasan tersendiri . "Keputusanku sudah bulat. Kamu cukup membantuku menjalankan semua rencanaku!" "Tapi ...." Silvia sedikit khawatir. "Tidak perlu khawatir aku akan baik-baik saja. Aku percayakan Santoso Fashion padamu." Pada akhirnya, Silvia setuju dengan ide Aurora. Silvia percaya kalau Aurora mampu bertanggung jawab dengan keputusan yang ia ambil. "Baiklah, aku akan mendukung semua keputusan mu!" "Terima kasih!" Aurora tersenyum lebar. "Oh iya, hari ini aku harus pergi ke suatu tempat. Jadi, selagi aku pergi, tolong temani Ethan jalan-jalan setelah ia bangun. Katakan padanya kalau aku akan segera menyusulnya," kata Aurora. Silvia mengangguk patuh. Aurora mempercayakan putranya kepada Silvia, setelah itu ia pergi meninggalkan rumah. Di dalam mobil Rolls-Royce berwarna hitam itu, terlihat bocah kecil menggunakan baju kaos berwarna merah, celana kain selutut berwarna hitam dan sepatu berwarna putih. Ia sedang menggerutu dengan kesal. "Nona Jasmine itu sangat keterlaluan. Kenapa dia pergi tanpa pamit pada anaknya? Bukannya menemani aku jalan-jalan, ia malah sibuk dengan urusannya. Harusnya, aku tidak ikut pulang ke Jakarta," ucap Ethan dengan kesal. Silvia terlihat mengerutkan keningnya. Ia merasa gemas pada Ethan yang semakin cerdas dan sedikit lebih dewasa dari usianya. "Kenapa harus mencari ibumu, bukankan ada tante disini? Tante akan menemanimu jalan-jalan kemanapun kamu mau." Anak kecil itu cemberut, ia mengabaikan Silvia lalu membuat panggilan kepada ibunya. "Halo Ethan, sayangku?" terdengar suara lembut Aurora dari seberang telpon setelah panggilan tersambung. "Nona Jasmine yang terhormat. Apakah Anda tahu kalau anak anda sedang kesal?" Ethan cemberut. Terdengar tawa renyah Aurora dari seberang telpon."Ayah langsung terbang ke Indonesia begitu dengar kabar pernikahan kalian!," Tuan Armand berseru, senyum lebar mengembang di wajahnya. "Untungnya Ayah bisa sampai di rumah sebelum kalian pulang. Senang banget akhirnya keluarga Santoso dan Maverick bersatu. Sempat khawatir kalian bakal nolak perjodohan ini, lho!"Aurora tersipu malu, matanya bertemu dengan tatapan Archen. Lelaki yang tak sengaja ia nikahi ini ternyata jodoh yang sudah disiapkan oleh sang ayah. Sebuah kenyataan yang membuatnya terkejut sekaligus merasa takdir memang bekerja dengan cara yang tak terduga."Sudah, sudah, sayang. Jangan ngobrol di sini, ayo kita masuk," kata Emeliana, tangannya lembut menggenggam lengan Aurora. Matanya memancarkan kehangatan dan kasih sayang seorang ibu yang ingin segera memeluk anak kesayangannya. Mereka semua mengangguk, lalu beriringan mengikuti Emeliana dan Aurora menuju ruang keluarga. Suasana hangat menyelimuti mereka, penuh dengan keceriaan dan harapan akan masa depan yang cerah."A
Untuk beberapa saat, suasana hening, hanya desiran angin yang menembus celah kaca dan suara mesin mobil yang menjadi teman perjalanan mereka. Delina menatap keluar jendela, wajahnya muram. Tatapannya kosong, pikirannya masih terpaku pada sosok Ethan yang mirip dengan Jonny."Mama, tenanglah. Ethan itu bukan anakku. Dia anak Archen dan Aurora. Mama harus percaya padaku," kata Jonny pelan, berusaha menenangkan ibunya. Ia bisa merasakan kecemasan yang merayap di hati ibunya.Delina menoleh ke arah Jonny, matanya berkaca-kaca. "Bagaimana mungkin Jonny? Anak itu sangat mirip denganmu! Bahkan anak itu lebih mirip daripada Adrian."Jonny menghela napas. "Mama, memang benar, Ethan mirip denganku. Tapi itu hanya kebetulan. Tidak mungkin Aurora punya anak dariku. Dia keguguran. Sedangkan Adrian, lebih mirip Clara, jadi itu wajah, " jawab Jonny, suaranya bergetar."Tapi ...," Delina terdiam, kata-kata yang ingin diucapkannya terhenti. Hatinya masih dipenuhi keraguan dan kebingungan.Di sisi l
Delina menahan napas, matanya tak lepas dari Ethan. Jantungnya berdebar kencang, keringat dingin menetes di pelipisnya. Pertanyaan itu terus berputar di kepalanya, mendesak untuk terjawab. "Apakah anak ini ... anakmu?" tanyanya pelan, jari-jarinya dengan ragu menyentuh pipi Ethan. Kegentingan dan keraguan terpancar dari matanya.Ethan menepis tangan Delina dengan kasar. "Mama, ayo kita pulang!" raungnya, matanya menatap ibunya dengan amarah.Aurora mengangguk sembari memegang tangan putranya. Ia lalu menatap Delina kembali sembari berkata, "Maaf, Nyonya Smith. Kami harus segera pulang!" katanya, menghindar tatapan Delina yang tajam.Delina yang keras kepala tidak mau menyerah, ia memegang erat pergelangan tangan Aurora. "Jawab dulu pertanyaanku!"Aurora mengerutkan kening, ia tahu betul bagaimana kerasnya mantan ibu mertuanya itu."Dia..." Aurora tidak melanjutkan ucapannya saat Archen menyela."Dia adalah putraku!" kata Archen mendahului Aurora.Delina terdiam sesaat, bagaimana mung
"Beraninya kau menyebut dia penipu!" Suara Roni menggelegar, menusuk keheningan ruangan seperti petir yang menggelegar di tengah malam. Roni berdiri tegak di pintu sebelah kanan panggung, sosoknya menjulang bak patung marmer yang siap melepaskan amarah. Semua mata tertuju padanya. Orang-orang saling berbisik, mencoba memahami makna di balik kemunculan Roni. Clara tersenyum kecil, namun matanya berkilat tak menentu. Ia yakin Roni akan mendukungnya, karena ia adalah asisten Presiden Maverick. "Mati kalian berdua, Pak Roni tidak akan pernah memaafkan siapapun yang berpura-pura menjadi bosnya,"gumam Clara.Roni melangkah tegap menghampiri Archen dan Aurora. Ia berdiri di samping mereka, tatapannya tajam menyapu semua orang. "Perkenalkan," Roni berucap dengan suara berat, "Yang di samping saya ini adalah Presiden Direktur Maverick Group, Archen Ludwig Maverick. Salah satu pengusaha muda tersukses di negara ini." Ia menunjuk Archen dengan tegas.Niken terpaku. Mulutnya menganga, matanya
Archen, dengan senyum yang memikat, menyerahkan sebuket mawar merah kepada Aurora. "Selamat atas terpilihnya kamu, Aurora. Maverick Fashion beruntung mendapatkan desainer seberbakat seperti kamu."Jantung Aurora berdebar kencang, ia menerima bunga itu dengan tangan gemetar. Aroma mawar itu seperti membuai indranya, namun di balik itu, ada rasa gugup yang menggerogoti hatinya. "Terima kasih, Presedir Archen," ucapnya, suara serak menahan debaran.Archen mengangguk pelan sembari menatap lembut kedalam mata wanita yang ia cintai itu. Seketika, Aurora menjadi salah tingkah.Ethan menurunkan kaca matanya, ia mendongak menatap Archen dan Aurora dengan seksama. "Kenapa aku merasa Ayah dan Ibu canggung? Apakah mereka sedang bertengkar?" gumam Ethan, matanya mengerut heran."Kenapa kamu membawa Ethan?" bisik Aurora setelah mencuri pandang kearah anaknya. Ia khawatir Ethan akan memanggilnya Ibu, sedangkan ditempat itu ada Jonny dan keluarganya. Ia takut identitas Ethan akan terungkap.Archen me
Tanpa ragu, Aurora menarik kain sutra itu. Dengan gesit, ia segera mengubah desain gaunnya. Ia menggunakan teknik lipatan dan jahitan yang rumit untuk menyatukan kain sutra itu dengan bagian gaun yang masih utuh.Aurora mengatur lipatan kain itu dengan teliti, menciptakan pola yang baru dan lebih berani. Warna biru pastel berpadu harmonis dengan ornamen bunga emas yang masih menempel pada gaun itu.Seiring dengan berjalannya waktu, gaun itu berubah menjadi sebuah karya seni yang indah dan luar biasa unik. Lebih daripada sekedar gaun, itu merupakan pernyataan tekad, kreativitas, dan keindahan yang menakjubkan. Mereka yang menyaksikan terpesona saat melihatnya."Wow, terlihat lebih bagus dari sebelumnya,"kata staf itu dengan takjub. Aurora tersenyum lebar, ia sangat bangga pada dirinya. "Tapi, siapa yang akan menggunakannya?"Aurora terdiam sesaat sembari mengamati gaun itu. Tiba-tiba lampu menyala di kepalanya. Aurora tersenyum sembari melirik staf itu, "Ukuran gaun ini pas dengan tub