Andin tidak menyangka Bu Sekar memperbolehkan orang lain untuk memanggilnya Mama, sedangkan saat Andin memanggilnya demikian, Bu Sekar sangat marah padanya.
Bu Sekar mengizinkan setelah usia pernikahan Seno dan Andin menginjak dua tahun. Betapa sakit hati Andin melihat kedekatan Bu Sekar dengan Dewi, selayang pandang saja Andin dapat mengetahui bahwa orang yang diharapkan menjadi menantu di keluarga ini adalah Dewi. Bukan dirinya, yang tidak punya apa-apa."Mulai sekarang Dewi akan sering datang ke rumah, jadi pastikan kamu melayani Dewi dengan baik. Jangan berlaku kurang ajar, awas saja kalau kamu berani seperti itu," ancam Bu Sekar.Andin hanya bisa mengangguk, ya apa lagi yang dia bisa. Perintah mertuanya adalah suatu kemutlakan yang harus dilaksanakan."Mama, maaf loh aku ngerepotin gini jadinya. Aku nggak enak sama si Mbak dan Mas Seno," ucap Dewi dengan nada manja manjalita."Tentu saja tidak, Sayang. Oh iya, nggak usah panggil dia, Mbak. Panggil nama saja, atau kamu boleh panggil dia Bibik. Toh begitulah statusnya di rumah ini," tegur Bu Sekar yang langsung disambut dengan gelak tawa Dewi.Kepala Andin teramat berat, rasanya dia sudah tidak sanggup berdiri terlalu lama. Bahkan Andin tidak mendengar apa yang dikatakan oleh ibu mertua dan Dewi."Pergi kamu, sudah nggak ada lagi yang harus kamu dengar. Bikin sepet aja melihat wajahmu itu," titah Bu Sekar.Dengan langkah perlahan Andin berjalan menuju kamarnya, dia tidak peduli saat ibu mertua dan wanita itu kembali membicarakan dirinya.Selama tinggal di rumah ini, Andin memang tidak berharap banyak. Apa lagi sejak sikap sang suami mulai berubah, tidak seperti pada awal pernikahan. Seno yang lebih mendengarkan ibunya, membuat Andin tidak punya kesempatan untuk membela diri."Ma, kenapa sih Mas Seno kok mau sama cewek kampungan itu? Katanya Mas Seno cinta sama aku, tapi kok malah milih cewek itu?" rengek Dewi sambil bergelayut di lengan Bu Sekar."Duh bukan begitu, Seno itu hanya kasihan saja dengan dia. Makanya Seno menikahinya, lagian kamu tenang saja posisi kamu di hari Seno itu masih sama kok. Siapa sih yang mau menolak gadis secantik dan penuh kasih sayang seperti kamu ini?" tanya Bu Sekar."Mas Seno kapan pulang, Ma? Aku sudah kangen banget ini. Sudah berapa tahun kami tidak bertemu.""Wah! Kebetulan, gimana kalau kita pergi menemui Seno? Kite ke kantor Seno sekalian makan malam di luar, gimana?""Mau, Ma!"Bu Sekar tertawa senang, dia kemudian menghentikan Andin yang hampir sampai ke kamarnya."Hei, kamu dengar apa yang kamu bicarakan tadi bukan? Aku dan Dewi akan menemui Seno, jadi kamu tidak perlu masak buat kami. Pasti senang 'kan tidak perlu repot-repot masak dan bisa bersantai di rumah, dasar pemalas!"Andin tidak menjawab, dia terus berjalan dan masuk ke kamarnya. Melihat reaksi menantunya itu tentu saja Bu Sekar murka."Kamu lihat sendiri 'kan gimana kurang ajarnya anak itu, huh! Dari awal memang Mama itu nggak setuju dengan ide Seno, punya menantu pengangguran dan tidak bisa apa-apa selain makan dan tidur sungguh bikin sakit kepala. Mama tuh pengennya kamu yang jadi menantu Mama, kamu sangat cocok dan serasi dengan Seno," omel Bu Sekar.Sebuah mobil Mercedes-Benz 300 SLR Uhlenhaut berhenti tepat di sebuah gedung mewah, dari dalam mobil keluar dua wanita beda generasi. Bisik beberapa orang saat melihat mobil tersebut rupanya menjadi kebanggaan tersendiri bagi kedua wanita tersebut. "Siapa mereka?" "Kalian tidak tahu? Wanita yang sudah paruh baya itu 'kan ibunya Pak Seno. Kalau wanita disebelahnya aku tidak tahu sih, nggak kenal." "Apa mungkin istrinya? 'Kan Pak Seno sudah menikah." "Bukan, Pak Seno memang sudah menikah. Tapi istrinya bukan orang itu, istri Pak Seno itu cantiknya alami. Sedangkan wanita itu cantiknya karena oplas." Iya, dua orang yang baru saja turun dari mobil dan hendak memasuki gedung di mana Seno bekerja adalah Bu Sekar dan Dewi. Keduanya datang tepat di saat jam makan siang, sehingga banyak karyawan yang baru mau keluar mencari makan siang. Walau di perusahaan tersebut tersedia kantin, tapi ada sebagian dari karyawan yang ingin makan makanan luar. Bu Sekar mendelik pada tiga karyawati yang
Sejak pertemuan pertama dengan Dewi, Seno semakin jarang pulang ke rumah. Sekalipun dia pulang, pasti hari sudah larut. Bukan hanya Seno yang berubah dan jarang di rumah, Bu Sekar pun lebih banyak menghabiskan waktunya di luar sana. Terkadang keduanya pulang dalam keadaan mabuk, atau pulang dengan tangan penuh barang belanjaan. Andin tidak tahu apa yang keduanya lakukan, tapi dia bukan gadis lugu yang tidak tahu apa pun. Seperti halnya dini hari ini, saat Andin baru saja selesai dengan pekerjaan rumah, suaminya baru saja pulang. Namun ada yang berbeda, jika selalunya Seno pulang sendiri malam ini Dewi dengan Seno. "Ngapain kamu bengong! Cepetan bantu aku, kamu kira mapah Mas Seno nggak berat!" hardik Dewi. Dewi kewalahan menyanggah tubuh Seno yang teler akibat minuman keras yang dia tenggak. "Kenapa kamu yang bawa Mas Seno pulang? Biasanya dia pulang sendiri." "Heh! Cewek dungu, lihat dong kondisi Mas Seno. Memang dengan kondisinya yang seperti itu dia bisa pulang dengan kakinya
Hari demi hari kelakuan Seno makin menjadi, jangankan untuk pulang ke rumah yang sudah mulai jarang. Seno bahkan sudah tidak pernah memberikan nafkah pada Andin. Alasan Seno selalunya sebab Andin tidak memerlukan uang, makan rumah sudah ditanggung Seno. Sementara itu mereka juga belum punya anak, jadi Andin tidak punya alasan untuk meminta nafkah padanya. Untuk keperluan pribadinya, Andin mencoba menjadi reseller online shop. Secara tidak langsung, Andin sudah diabaikan oleh Seno. "Andin!!" "Andin!!" Lamunan panjang Andin memikirkan nasibnya seketika buyar, saat ibu mertuanya memanggil dirinya dengan lantang. "Iya, Ma. Ada apa?" tanya Andin yang tergopoh-gopoh memenuhi panggilan sang ibu mertua. "Kamu ini dari tadi aku panggil nggak dengar apa? Tuli atau memang sengaja, hah?" Bu Sekar segera menarik telinga Andin, hingga telinga menantunya itu memerah. "A--ampun, Ma. S--saya beneran nggak denger," jawab Andin, meringis kesakitan. "Ya Tuhan! Aku lama-lama bisa mati berdiri, ka
Hari ini Andin keluar diam-diam dari rumah, bukan untuk kabur. Dia hanya ingin bertemu dengan temannya, oh bahkan mungkin sahabatnya. Sebab hanya dia teman yang Andin punya. Andin terpaksa keluar tanpa meminta izin dari ibu mertua maupun suaminya, selain ke pasar Andin tidak diizinkan untuk keluar rumah. Hidup Andin di rumah itu tidak cukup dijadikan sebagai pembantu, pemuas nafsu suaminya, tapi juga bagai tawanan. "Andin!" Suara yang sangat Andin kenal membuatnya menoleh, mencari si pemilik suara. "Siska..." Andin berlari sekuat tenaga dan memeluk sahabat yang sudah lama tidak dia temui. "Ya ampun, Ndin. Kamu kenapa jadi kurus begini?" Ketika Siska membalas pelukan Andin, dia menyadari tubuh sahabatnya itu jauh lebih kurus dari terakhir dia bertemu dengan Andin. "Sebenarnya apa yang terjadi selama pernikahan kamu dengan Seno? Jangan bilang Seno tidak memperlakukan kamu dengan baik?" terka Siska. Andin membisu, dia tidak yakin apa harus menceritakan semuanya pada Siska. Bukank
"Dari mana kamu?" Suara Bu Sekar mengagetkan Andin, yang baru saja kembali seusai dia menemui Siska. "S--saya habis buang sampah di depan, Ma." "Buang sampah aja lama amat. Dipanggil-panggil nggak nyahut.""Maaf, Ma. Tadi saya juga bersihin halaman belakang, jadi nggak denger Mama manggil saya." Andin menyeka keringat dingin di dahinya, dia sangat takut kalau sampai ketahuan keluar dari rumah. "Ya sudah! Buatin aku mie rebus, lapar banget ini." "Tapi, bukannya Mama mau keluar sama Dewi?" Bu Sekar mendelik, persis seperti dedemit yang selalu muncul di film horor. "Kalau disuruh tuh jangan banyak tanya! Sana buat, bawel amat jadi orang!" Bu Sekar mendorong Andin, sampai hampir jatuh. Tidak mau membuat ibu mertuanya murka lebih dari itu, Andin menuruti apa yang ibu mertuanya minta. Selama memasak mie rebus, Andin teringat dengan rencana yang disarankan oleh Siska. Siska mengatakan padanya, kalau dia akan mencari seorang pengacara untuk menangani kasus Andin. Pengacara yang komp
"Apa yang kamu lakukan tadi?" tanya Bu Sekar dengan pandangan mata penuh curiga. "T--tidak sedang apa-apa kok, Ma. Sumpah." Andin tidak tahu harus menjawab apa pada ibu mertuanya. Selama ini dia menjadi menantu dan istri yang jujur. Tidak pernah sekalipun Andin berkata bohong, sepahit apa pun hidup yang dia alami sejauh ini. "Sudah berani berbohong ya kamu, tadi aku lihat kamu sedang membalas chat orang 'kan? Hayo ngaku! Jangan bilang kamu itu punya selingkuhan di luar sana? Makanya ngumpet-ngumpet begini?" terka Bu Sekar. "T--tidak, Ma. S--saya tidak pernah punya pikiran seperti itu. Demi Tuhan, Ma." "Halah! Jangan bawa-bawa nama Tuhan untuk menutupi kebohonganmu itu, kemarikan HP-mu! Cepat!" Andin menggeleng cepat, dia sudah menghapus chat dengan Siska. Untung saja dia juga belum memfoto luka lebam seperti yang diminta Siska. Mengantisipasi jika hal yang tidak diinginkan terjadi, sebelum rencana mereka berhasil. Baru saja Andin ingin memulai rencananya, dia sudah kepergok dulua
Seno menekan tombol hijau sehingga terdengarlah suara si penelpon. Seno pun juga mengaktifkan speaker, supaya ibunya dan Dewi dapat mendengar juga. "Selamat sore Ibu, saya Angie dari jasa_" Belum juga si penelpon yang ternyata spam itu selesai berbicara, tapi Seno sudah memutuskan sambungan telepon itu. Bukan Seno namanya jika melepaskan hal itu begitu saja. Karena dia gagal membuat masalah dengan Andin, Seno pun mengecek history chat dan panggilan di HP istrinya itu. Tidak ketinggalan dengan galeri yang ada juga menjadi objek kekesalan Seno. "Tuh 'kan, Mas. Aku bilang juga apa. Aku tidak pernah sekalipun berpaling hati darimu, Mas. Berbeda dengan apa yang kamu lakukan padaku. Bukan hanya kamu melukai hatiku dengan membawa wanita lain ke rumah kita, kamu juga menjadi lebih ringan tangan. Sebenarnya aku ini siapa di matamu, Mas? Masihkah aku dianggap sebagai istri?" ujar Andin. "Sekarang itu aku bukan lagi bahas tentang aku, tapi kamu. Jangan memutar balikkan pembicaraan ya!" sent
Suara bel masih nyaring terdengar, baik Bu Sekar, Seno, mau pun Dewi tidak ada yang berani beranjak membukakan pintu. Ketiganya ketakutan dengan apa yang baru saja mereka lakukan terhadap Andin. Begitulah apa yang dirasakan orang yang berbuat dzalim. Mau sekeras apapun menyangkal dan menutupi perbuatan mereka, hati kecil mereka tidak dapat berbohong. Karena rasa takut itulah, ketiganya hanya saling melempar tugas untuk membukakan pintu dan melihat siapa yang datang. "Ma, Mama saja tuh yang buka. Paling juga itu teman Mama," ucap Seno. "Loh, kok Mama sih? Harusnya kamu saja, kan kamu yang laki-laki di antara kita bertiga.""Duh, kok aku? Ya sudah kamu saja, Dewi." "Kok aku? Kan ini rumah kamu, Mas." Sampai akhir pun tidak ada yang mau, akhirnya Seno terpaksa mengakhiri perdebatan siapa yang membuka pintu. Dia pun melangkah ke arah pintu depan."Semangat ya, Mas. Hati-hati juga," bisik Dewi sambil cekikikan. Seno hanya mengangguk, tapi dia terus menerus menggerutu akan kehadiran