Aku tidak menangis karena kamu memang tak layak untuk ditangisi. Aku menangis karena khayalanku tentang siapa dirimu hancur oleh kebenaran tentang siapa dirimu. Pengkhianatanmu ini mungkin adalah salah satu jalan agar aku bisa melihat wajahmu yang sesungguhnya.
(Erland ~ Dicintai kakak ipar)
Pagi ini mereka bersiap meninggalkan hotel tempat mereka melangsungkan resepsi pernikahan.
Erland langsung membawa Aruna ke rumahnya sendiri, tidak tinggal bersama kedua orang tuanya. Papa Aruna juga sudah kembali ke Bandung pagi tadi. Keduanya sudah sampai di rumah Bik Ina menyambut mereka dengan antusias dan terlihat sangat senang.
Sengaja Erland meminta Bik Ina ikut dengannya, menjadi asisten rumahnya. Sedangkan yang membantu di rumah kedua orang tuanya adalah anaknya Bik Ina dan menantunya. Bik Ina sudah ikut lama keluarganya sejak dirinya masih bayi, bahkan wanita tua itu lah yang merawatnya. Keluarga juga sangat cocok dengan pekerjaan Bik Ina.
Erland menyapa Bik Ina dengan lembut. Ia sangat menghormati sang pembantu.
"Bik, ini kenalkan Aruna, istriku."
"Selamat pagi, Nona Aruna," sapa Bik Ina sopan.
Aruna tersenyum tipis. " Saya Aruna, Bik," ucapnya sedikit datar.
"Saya sudah menyiapkan kamar Den Erland dan Non Aruna."
"Terima kasih, Bik." Bik Ina mengangguk dan mohon izin untuk melanjutkan pekerjaannya.
Erland mengajak Aruna masuk dan menunjukkan kamarnya. Ia menarik kopernya juga koper Aruna.
"Ini kamar kita. Kalau kamu tidak keberatan, bisa menata pakaianmu di walk in closed tanpa harus menunggu Bik Ina," ujarnya yang hanya diangguki Aruna.
Setelah melakukan aktivitas panas kemarin malam bersama sang istri. Erland merasa ada yang berbeda dengan Aruna. Perempuan itu terlihat sinis dan dingin, bahkan sering mengacukannya. Erland ingin menanyakan hal itu tapi ia urungkan, takut menyinggung Aruna.
Sepertinya dirinya harus punya stok kesabaran menghadapi sang istri. Apalagi mereka juga belum lama mengenal. Erland mau mengenal lebih dekat dengan Aruna. Ia berharap cinta akan tumbuh di hatinya untuk Aruna. Ia menerima apa pun kondisi Aruna. Tidak menuntut apa-apa yang Erland harapkan hanya kesetiaan. Namun, apakah harapan Erland akan terwujud? Bahkan ia tidak tahu alasan Aruna menikahinya.
"Aku dapat hadiah tiket bulan madu dari Papa, kamu mau pergi kemana? Aku usahakan meluangkan waktu untuk bulan madu kita? Aku ingin kita dapat mengenal lebih dekat lagi," ujarnya pada sang istri.
"Mohon maaf sebelumnya, lebih baik kamu simpan dulu saja tiketnya. Karena besok saya sudah harus bekerja. Sebelum menikah aku sudah banyak mengajukan cuti. Bahkan aku harus pulang ke Bandung untuk merawat Papaku. Jadi aku enggak mau cuti lagi," ucapnya. Memang apa yang dikatakan tidak sepenuhnya bohong.
"Baiklah, kalau kamu tidak mau bulan madu sekarang, kita bisa bulan madu lain waktu. Mungkin saat akhir tahun atau awal tahun," ujarnya. Erland mencoba menghormati keputusan Aruna.
"Terima kasih atas pengertiannya," ucapnya datar sambil meninggalkan Erland dan menuju kamar mandi.
Erland memutuskan untuk keluar kamar. Ia menghampiri Bik Ina yang sedang memasak untuk makan siang.
"Non Aruna cantik ya, Den?" ucapnya pada Erland. Erland tersenyum menanggapinya.
Makan siang sudah siap, Bik Ina segera memanggil Aruna untuk makan siang bersama Erland.
Di meja makan mereka menghabiskan makan siangnya tanpa membuka suara, hanya ada suara sendok, garpu dan piring yang beradu, hening ... Aruna yang masih acuh dan Erland yang juga diam tak mau mengawali obrolan.
Jujur Erland tidak suka dengan situasi seperti ini. Karena keluarganya sangat hangat. Keluarganya sangat mementingkan kebersamaan dan apa ini? Sekarang ia didiamkan tanpa sebab oleh sang istri. Sungguh hati Erland rasanya ingin menjerit. Menikah baru satu hari sudah seperti ini. Bagaimana ia harus mempertahankan pernikahannya kalau seperti ini setiap harinya.
Berulang kali ia menelan salivanya, menghembuskan napasnya dengan kasar. Aruna meninggalkan meja makan dan meninggalkannya setelah ia selesai makan.
Erland kira Aruna seperti sang mama, setelah makan akan membereskan meja makan dan membantu Bik Ina mencuci piring. Erland tak habis pikir Aruna tidak melakukan hal itu. Ternyata ia menikahi perempuan yang berhati batu. Ia keras kepala tapi tidak sekeras Aruna.
Pagi ini Aruna sudah bersiap untuk bekerja. Ia menyiapkan keperluannya, tapi tidak keperluan Erland. Erland mengambil kemeja dan jas sendiri seperti biasa sebelum ia bekerja. Apa yang ia harapkan dari Aruna? Apa seperti sang mama yang selalu menyiapkan keperluan sang papa sebelum berangkat bekerja? Bahkan Aruna menyentuh pakaian milik Erland saja tidak. Erland berusaha bersikap sabar. Entah sampai kapan kesabarannya akan diuji sang istri.
***
Dua bulan lebih pernikahan mereka. Erland menjalaninya dengan penuh kesabaran. Sikap Aruna tetap sama seperti awal pernikahan, bahkan berangkat pagi dan pulang malam. Erland ingin sekali mengajak Aruna mengunjungi kedua orang tuanya, tapi pasti ada saja alasannya. Aruna tidak pernah menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri, menyiapkan keperluan Erland sedikit pun tidak pernah. Apalagi masuk ke dalam dapur. Dapur bagi Aruna layaknya tempat yang menyeramkan yang harus ia hindari. Bik Ina terkadang sedih, ia benar-benar sedih melihat sang aden yang setiap hari diacuhkan oleh istrinya. Padahal Bik Ina tahu Erland adalah laki-laki yang baik dan sabar.
Erland sengaja tidak pernah bercerita pada kedua orang tuanya tentang rumah tangganya. Biarkan semua ini ia tutupi sendiri. Ia yang harus menjalaninya dan dirinya harus menutupi aib rumah tangganya tidak akan mengumbarnya meskipun pada kedua orang tuanya sekalipun, biar kan sang waktu yang akan berbicara. Biarkan kalau orang tuanya tahu sendiri, yang penting untuk saat ini dirinya harus menjaganya.
Bahkan keduanya sudah tidak pernah berhubungan badan lagi. Setelah malam pertama mereka dulu. Erland laki-laki normal, ia harus bersabar dengan semua ini. Kalau dirinya tidak malu pasti dirinya sudah memintanya langsung pada sang istri. Namun, karena fungsinya dirinya malu untuk memintanya. Apalagi sikap Aruna begitu acuh padanya.
***
Hari ini kebetulan tanggal merah di hari Jumat. Itu artinya Aruna libur tiga hari. Erland mengajak sang istri mengunjungi kedua orang tuanya. Pernikahan mereka saat ini sudah memasuki bulan keenam. Mau tak mau Aruna mengiyakan permintaan sang suami. Rencananya Erland mengajaknya menginap dua hari di sana.
Saat ini keduanya sudah berada di rumah mewah keluarga Erland, tak kalah besar dengan rumah yang mereka tinggali. Arumi dan Bagas menyambut mereka dengan senang.
"Mama senang, akhirnya setelah menikah selama enam bulan kamu mau mengunjungi kami, Nak Aruna," ucap Arumi.
"Mohon maaf, Ma, Pa. Karena kesibukan Aruna jadi tidak pernah mengunjungi kalian," ucapnya berbasa-basi.
"Tidak apa, Sayang. Kami bisa mengerti, menantu mama kan wanita karir jadi harus mengatur waktu dulu," ucap Arumi yang diangguki Bagas.
"Terima kasih atas pengertiannya."
Erland diam saja menyaksikan semua ini.
"Aruna pintar sekali mengambil hati Mama dan Papa," batin Erland.
***
Siang ini Erland bersama Anton, sekretarisnya. Meeting di sebuah restoran hotel. Ia meminta izin untuk ke toilet sebentar pada kliennya. Setelah keluar dari toilet dari jauh ia melihat Aruna dan bosnya masuk ke dalam lobi hotel. Erland melihat Aruna bergelayut manja pada laki-laki itu. Mereka berdua terlihat bak sepasang kekasih yang di mabuk asmara. Tidak memedulikan sekitar dan tetap bermesraan di tempat umum.
Erland masih mengikuti mereka dari belakang. Bahkan ia berada di satu lift bersama mereka. Rasanya Erland sudah tak tahan melihat semua ini. Namun, ia berusaha meredam amarahnya. Ia mendengar Aruna memanggil mesra laki-laki itu dengan sebutan sayang begitu juga sebaliknya. Tangannya sudah mengepal. Namun, ia harus tetap menahannya. Ia tidak mau malu dan viral bila menyelesaikan semua ini dengan amarah. Reputasinya juga keluarganya akan hancur. Siapa yang tidak mengenal keluarganya. Ia tidak ingin hal itu terjadi hanya karena sifat murahan Aruna.
Ia memilih tetap mengikuti mereka hingga Aruna dan bosnya masuk ke dalam kamar hotel. Erland menelan salivanya. Tangannya masih mengepal, sekali lagi ia dikhianati dan melihat dengan mata kepalanya sendiri. Sakit sungguh sakit. Setelah Erina, sang mantan mengkhianatinya dulu, ia dengan susah payah mempercayai sebuah hubungan. Sang mama lah yang selalu menasihatinya dan memberinya kekuatan. Namun, sekarang hal itu terjadi kembali. Apalagi saat ini ia sudah berstatus suami. Ia bingung harusnya mengatakan apa pada kedua orang tuanya. Bahkan menikah pun baru enam bulan.
"Selama ini aku diam, karena aku masih menghormatimu, menghormati kedua orang tuaku juga orang tuamu. Aku enggak menyangka kamu begitu busuk Aruna. Kamu begitu pandai menyembunyikan semua ini. Kamu terlihat kalem, pendiam dan citramu sebagai anak yang penurut membawa nilai plus, nyatanya sifatnya minus dari itu semua, hatimu begitu busuk. Aku membencimu Aruna. Sangat membencimu. Kamu bermain api dan aku pastikan kamu akan terbakar. Aku akan membalasnya. Membalas rasa sakit hatiku. Aku kira kamu mengacuhkanku, mendiamkanku karena kamu capek, ternyata aku salah besar," batin Erland.
"Baiklah, kalau itu yang kamu mau. Aku akan mengikuti permainanmu. Aku pastikan kamu juga akan merasakan sakit seperti yang aku rasakan saat ini," batinnya lagi.
Satu jam Erland menunggu di lobi. Ia sudah menghubungi sekretarisnya untuk menyelesaikan meeting yang ia tinggalkan tadi. Toh, sudah ada kesepakatan antara pihaknya dan pihak kliennya.
Satu jam lebih ia menunggu. Hingga ia melihat Aruna dan bosnya terlihat berjalan ke resepsionis dan check out dari hotel. Ia menutupi wajahnya dengan pura-pura membaca koran yang disediakan.
Erland dengan mengandalkan kekuasaan dan uangnya mencoba bernego dengan pihak hotel. Ia meminta rekaman CCTV hotel itu sebagai bukti. Mungkin suatu saat ia akan membutuhkannya.
Setelah menyelesaikan semua itu ia memutuskan untuk pulang. Ia tidak menyangka kalau Aruna sudah berada di rumah sore ini. Biasanya Aruna selalu pulang malam.
"Tumben sudah pulang?" sapanya.
"I-iya, Mas. Aku akan keluar kota untuk beberapa hari. Jadi aku pulang cepat untuk mempersiapkan semuanya," ujarnya.
"Gitu, ya." Erland pura-pura mengangguk mengerti.
Satu minggu sudah Aida melahirkan anak keduanya. Hari ini juga Aida diizinkan untuk pulang. Sempat terjadi pendarahan sehingga tidak boleh langsung pulang dan harus dirawat.Kondisi Aida dan putrinya sudah semakin membaik. Seminggu ini Erland yang mengkhawatirkan keadaan Aida, terpaksa harus bekerja di rumah sakit. Setiap ada dokumen penting yang membutuhkan tanda tangannya, Anton pasti akan membawanya ke rumah sakit.Setelah membereskan barang-barang, Erland meminta perawat membantu mendorong kursi roda yang dinaiki Aida dan bayi mereka. Sedangkan Erland membawa barang-barangnya.Erland bergegas meletakkan barang-barang ke dalam bagasi mobil, lalu membukakan pintu mobil untuk Aida.Di kediaman Erland dan Aida. Arumi sudah menyiapkan syukuran kecil dengan mengundang beberapa tetangga dan tokoh agama di kompleks perumahan yang dihuni Aida dan Erland itu.Aluna dan Rafa pun ikut hadir. Mereka yang beberapa hari ini ikut menjaga Rendra, saat ini menemani bocah tampan itu bermain.Byan da
Hari ini mereka semua bersiap untuk pulang ke Jakarta. Aisyah sudah siap dengan dua koper yang berisi barang-barangnya dan Byan. Byan menyeret koper-koper itu ke bawah. Di sana sudah ada Erland dan yang lainnya menunggu.Setelah perjalanan yang memakan waktu sekitar dua jam lebih, mereka sampai. Di bandara sopir keluarga sudah menjemput mereka sesuai perintah Bagas dan Arumi. Byan dan Aisyah, Erland dan Aida tidak langsung pulang ke kediaman mereka. Mereka akan berkumpul di rumah kedua orang tua mereka terlebih dahulu.Mereka akan membuka oleh-oleh untuk diberikan pada Bagas dan Arumi juga para asisten rumah tangga yang sudah mereka siapkan.***Dua bulan kemudian .... Malam ini Aida gelisah, sudah pukul dua belas malam dirinya masih terjaga, perutnya terasa keram berulang kali. Ingin membangunkan Erland. Namun, dirinya merasa kasihan. Pukul tujuh malam sang suami baru datang karena ada meeting penting bersama klien yang berasal dari luar negeri. Sudah berulang kali dirinya bangun un
Keesokan harinya. Setelah sarapan, mereka melakukan aktivitasnya masing-masing. Aida yang perutnya sudah semakin besar hanya ingin ditemani Erland jalan-jalan ke pantai. Sedangkan Dinda dan Anton mereka mempunyai rencana sendiri, begitu pun Byan dan AisyahByan mengajak Aisyah masuk ke dalam butik setelah meletakkan semua belanjaannya di mobil. Ya, mereka kembali berburu oleh-oleh. Aisyah lupa belum membelikan teman-teman sesama guru oleh-oleh.Malam ini Byan akan mengajak Aisyah ke pesta peresmian dan pembukaan rumah sakit cabang Bali. Ia ingin Aisyah tampil berbeda. Aisyah sudah cantik, tinggal sediki polesan. Pasti akan membuatnya semakin cantik.Di butik, Aisyah diminta mencoba beberapa gaun untuk pesta nanti malam. Sedangkan Byan sibuk dengan ponselnya dan membaca email. Aisyah keluar dengan menggunakan gaun yang tadi ditunjuk Byan yang terakhir kali. Ia memperlihatkannya pada Byan dan meminta pendapat sang suami.“Sayang, wow ... Aku suka yang ini. Kita pilih gaun ini aja bagus
Pagi menjelang. Byan dan Aisyah sudah keluar resort setelah mengerjakan salat Subuh. Byan ingin mengajak Aisyah menikmati sunrise.Setelah itu, Byan mengajak Aisyah berjalan mengunjungi pura, puas mengabadikan momen dengan berswafoto di sana, Byan mengajak Aisyah ke kawasan persawahan. Melihat keindahan terasering di sana. Di kawasan sawah itu terdapat jalan setapak yang tersusun rapi yang digunakan sebagai jalan untuk menuju ke tengah sawah. Mereka berswafoto lagi mencari spot foto yang instagramable untuk diunduh di story mereka. Mereka menghabiskan waktu mereka dengan penuh kemesraan. Canda tawa dan suka cita. Aisyah sangat bahagia, Byan sudah mewujudkan mimpinya.Byan menyewa sepeda untuk mereka berdua. Byan membonceng Aisyah, dengan sedikit kikuk dirasakan Aisyah ketika Byan menyuruhnya duduk di depannya. Awalnya Byan kesusahan mengayuh sepeda itu karena sudah lama tidak mengayuh sepeda, tetapi lama-kelamaan Byan sudah terbiasa mengayuhnya.Mereka bersepeda mengitari area pers
Hari ini Byan dan Aisyah berkemas untuk bulan madu, mereka membawa peralatan yang mereka butuhkan, semua perlengkapan yang menunjang mereka di sana sudah dimasukkan ke dalam koper.“Sudah beres semua kah, Yang?” tanya Byan sambil memeluk Aisyah dari belakang yang sibuk meletakkan barang-barang mereka ke dalam koper.“Tinggal sedikit, habis itu sudah beres, tinggal kita berangkat,” ucapnya.Sepulang dari hotel yang ada di Bogor, Byan langsung membawa Aisyah pindah ke rumah yang memang disiapkan Byan untuk Aisyah. Rumah itu pun sudah ditempati pengajian menjelang akad nikah dengan mengundang ibu-ibu pengajian komunitas Arumi dan juga anak yatim di bawah asuhan Arumi dan Aida.“Sayang hari ini aku masih ada jadwal operasi. Aku bisa melakukannya cepat karena ini hanya operasi kecil. Waktu kita untuk pergi ke bandara masih lama,” ucap Byan bersiap.“Hm ... Kakak segera bersiap. Selesaikan tugasmu gabus itu cepat pulang supaya kita tidak telat.” Aisyah tersenyum turut membantu mengancingi k
***Pagi pun menyapa. Sejuknya udara pegunungan sangat terasa. Apalagi saat ini musim penghujan. Udara pagi semakin dingin, sedangkan mentari masih bersembunyi di balik peraduannya. Aisyah mengajak Byan berjalan pagi mengitari hotel setelah salat subuh. Jaket tebal milik Byan bertengger di tubuh wanita cantik itu. Sebelum sarapan, mereka ingin berkeliling mencari kuliner khas Jawa Barat yang dijual di pagi hari.Dengan memakai gamis soft pink dan hijab senada, Aisyah semakin terlihat cantik memesona. Sedangkan Byan menggunakan celana pendek selutut berwarna abu dan sweater tebal berwarna putih tampil nyantai tetap tak mengurangi ketampanannya. Mereka terlihat sangat serasi, membuat beberapa pasang mata melihat kagum ke arah pasangan itu. Byan menggandeng erat tangan Aisyah yang sedikit kedinginan padahal sudah memakai jaket milik Byan. "Sayang, pagi-pagi gini enak minum yang hangat-hangat, ya," ucap Kenzo saat sudah keluar jauh dari hotel. "Iya ... Eh lihat itu ada penjual ronde. P