LILIANA
Di luar kamar, Sophia duduk di ruang tamu, menikmati secangkir the yang disiapkan pelayan. Ketika aku berjalan melewatinya, ia memandangku dengan tatapan dingin. Kukepalkan tangaku kuat-kuat. Aku tahu dia mencoba membuatku terlihat buruk dan ingin menjadikanku tersangka untuk segala hal yang tidak pernah aku lakukan.
"Kau seharusnya tahu kapan harus menyerah, Lili," katanya tanpa menoleh.
Aku berhenti sejenak, lalu menjawab dengan suara pelan namun tegas, "Aku tidak pernah mencoba merebut apa pun darimu, Sophia. Tapi aku juga tidak akan membiarkan diriku diinjak-injak. Ah, dan aku juga ingat bagaimana caramu menyebut-nyebut dengan jijik 'pria tua dan cacat' itu dalam setiap kesempatan jamuan the dengan para sahabatmu!"
Sophia tersenyum tipis, tetapi tidak berkata apa-apa lagi. Aku melanjutkan langkahku, meninggalkan vila dengan perasaan campur aduk. Entah kenapa kata-kata ibu tiriku lagi-lagi mengiringi langkahku.
"Perusahaan kita sedang terancam! Banyak karyawan yang harus kita jaga masa depannya. Jika sampai Presdir Darnell menuntut, maka kita semua akan hancur, bangkrut, dan tidak akan ada yang tersisa. Aku dan ayahmu tidak punya pilihan lain. Lili, kamu harus menikahi Presdir Darnell."
"Aku tidak mengenalnya, Bu. Aku juga tidak mencintainya. Bahkan aku tidak pernah melihat wajahnya. Bagaimana bisa kau memintaku menikah dengan pria asing ini? Dia... Terkenal sangat kejam. Kenapa tidak kau minta saja Raymond untuk bertanggungjawab?"
Wajah putus asa ibu tiriku berubah menjadi kemarahan. Dia menamparku dengan kasar.
"Raymond adalah calon penerus perusahaan Lennox. Kau harus berkorban untuknya! Aku tidak peduli meskipun kau tidak menyukainya. Kau hanya perlu bercumbu dengan Presdir Darnell dan mendapatkan anak darinya. Anak itu yang akan menjadi daya jual keluarga kita. Jika kau hamil dan memiliki anak dari Presdir Darnell, aku yakin keluarga mereka tidak akan membiarkan kita menderita."
Memikirkan ucapan ibu tiriku, membuat aku merasa mual. Aku berjalan meninggalkan Solaris Heights dengan perasaan bebas dan juga marah. Dari awal Ethan Darnell hanya menginginkan Sophia Lennox. Jika Sophia juga menginginkan semua ini, kenapa harus menjebakku dan mempermalukanku?
Tiga Tahun Kemudian
Hidupku berubah drastis setelah meninggalkan Solaris Heights. Kembali menjadi manusia bebas dan hidup normal selayaknya yang lain. Aku benar-benar melepas nama Lennox di belakang namaku dan menyembunyikan diri dari siapapun.
Aku sangat menikmatinya, meski sesekali aku merasa ada yang salah. Aku telah mencoba melupakan semua rasa sakit itu dan membangun hidupku kembali. Namun, takdir tampaknya tidak ingin memberiku jeda.
Malam ini, aku terpaksa kembali ke Celestia. Aku mendongak menatap gedung-gedung tingginya dan ke sebuah gang sempit serta lembab yang mengingatkanku pada kengerian tiada akhir.
"Aku hanya perlu melewatinya tanpa berpikir dan berjalan cepat. Tempat yang aku tuju ada di ujung gang itu. Agak menyebalkan saat klien ingin bertemu di tempat tidak biasa seperti ini, tapi aku bisa mengerti. Dia seorang figur publik dan menginginkan kerahasiaan."
Aku embuskan napas berat sambil menatap gaunku yang rasanya kurang pas untuk pertemuan malam ini. Gaun putih sepaha tanpa lengan, jaket kulit, dan sepatu bot berhak setinggi lutut. Aku juga menggerai dan mengikalkan rambutku yang sudah sepunggung saat ini. Sambil menggamit tas di lengan kiri, aku memantapkan diri untuk berjalan ke gang.
Malam semakin larut, dan suasana di sekitarku semakin mencekam. Aku merasa ada bayang-bayang yang mendekatiku. Napasku menjadi semakin berat seiring langkah yang kuayunkan.
"Tenang, Liliana. Kau aman. Tak ada yang tahu kau kembali ke kota ini," gumamku pada diri sendiri. Namun, rasa takutku terbukti benar ketika sebuah tangan besar meraih lenganku dari belakang.
"Ah!" Aku refleks menjerit, tetapi jeritanku teredam oleh desiran angin malam.
Pria itu menarikku dengan paksa ke dinding gang yang lembab. Aku terjatuh dengan keras, kepala nyaris terbentur dinding yang berjamur.
"Siapa kau? Apa yang kau inginkan?" tanyaku dengan suara gemetar. Mereka para yang menakutkan.
Pria itu tertawa dingin, suaranya serak dan penuh ejekan. "Kau tidak tahu siapa aku? Lihat baik-baik, dasar kecil," katanya sambil menjambak rambutku, memaksaku mendongak.
Aku berusaha melawan, tetapi kekuatanku tidak sebanding dengan pria itu. "Lepaskan aku! Aku tidak tahu siapa kau!" teriakku, tetapi pria itu hanya tertawa lebih keras.
"Kau pikir bisa lari dari kami? Kami telah mencarimu di setiap sudut negeri ini, dan akhirnya kami menemukanmu 'kembali ke sini'. Kau berutang pada kami, dan hari ini kau harus membayarnya!"
Wajahku memucat. Berutang padanya?
"Aku tidak pernah berutang apapun pada siapapun! Ini pasti salah paham," kataku mencoba meyakinkan pria itu.
Pria itu tidak peduli. "Salah paham? Jangan bercanda! Kau kabur dari Celestia setelah menjual kami pada Ethan Darnell! Dia menghancurkan dan merebut wilayah kami. Maka, kau harus membayar setiap perbuatanmu!" ancamnya.
Aku mengernyit menahan sakit. Aku tidak tahu siapa mereka. Tapi, mendengar kekesalannya tampaknya dia salah satu orang yang sudah dikecewakan oleh Ethan Darnell. Itu tidak ada hubungannya denganku, kan?
Pria itu mengeluarkan pisau lipat dari sakunya, memainkan ujung tajamnya di depan wajahku.
"A-apa yang kalian inginkan dariku?"
"Kembalikan wilayah kami!" desisnya. "Buat Ethan Darnell berlutut di depan kami dan membayar setiap perbuatannya pada warga kami! Jika kau tidak bisa melakukannya, kami akan mengambil sesuatu yang lebih berharga darimu," katanya dengan seringai mengerikan.
Aku menelan ludah, tubuhku gemetar hebat. Aku tidak tahu bagaimana cara keluar dari situasi ini. Namun, sebelum pria itu bisa bergerak lebih jauh, sebuah suara tegas menggema di sepanjang gang.
"Lepaskan dia!"
Semua orang menoleh. Di ujung gang, seorang pria tinggi dengan setelan mahal berdiri, tatapannya dingin seperti es.
"Siapa kau?" salah satu ini bertanya dengan suara kesal karena terganggu. "Sebaiknya jangan bermain menjadi pahlawan."
Pria tinggi itu tidak menjawab. Ia melangkah maju, auranya yang mengintimidasi membuat semua orang di sana merasakan ancaman, termasuk aku. Ketika ia cukup dekat, cahaya dari salah satu gedung memperlihatkan wajahnya.
Aku terkejut. "Sanders Gram? Apa yang dia lakukan di sini?" suaraku bergetar.
Aku berpikir cepat. Jika ada Sanders, apakah artinya Ethan Darnell juga ada di sekitar sini? Sanders Gram adalah orang kepercayaan Ethan Darnell. Saudara kembar Sanders yang mati di tangan Raymond.
Sanders hanya menatap para itu dengan penuh kebencian. "Aku bilang, lepaskan dia," ulangnya, kali ini dengan nada lebih rendah tetapi lebih mengancam.
yang mengancamku ragu sejenak sebelum akhirnya melepaskanku. Aku jatuh ke lantai, terengah-engah.
"Kau tahu siapa kami?" salah satu itu mencoba bersikap berani.
Sanders tersenyum dingin. "Aku tidak peduli siapa kalian. Jika kalian tidak pergi sekarang, kalian akan tahu apa artinya menantang keluarga Darnell."
Pernyataan itu malah semakin membuat para itu lebih marah. "Mumpung orangnya Darnell ada di sini, kenapa tidak kita habisi sekalian dia lalu kita bisa membawa wanitanya Darnell sebagai tawanan?"
Mereka saling bertukar pandang sebelum akhirnya mengeluarkan senjata masing-masing. Aku sungguh tidak ingin terlibat dengan semua kekonyolan ini. Maka, diam-diam aku berlari meninggalkan gang yang gelap itu.
Tapi, salah satu dari para itu menyadari kepergianku dan dia mulai mengejarku. Dengan susah payah aku akhirnya sampai di ujung gang. Mataku disilaukan oleh cahaya lampu mobil yang melaju dengan kencang. Aku hampir saja tertabrak jika seseorang tidak menarik tanganku dengan kuat dan membuatku jatuh... di pangkuannya!
Saat mataku sudah beradaptasi, aku kaget karena aku duduk di pangkuan Ethan Darnell yang keras dan berotot.
"Hei, pria cacat! Kembalikan perempuan itu pada kami!" teriak dua yang berhasil mengejarku ke ujung gang.
Aku berusaha melepaskan diri dari pangkuan Ethan yang duduk kaku di kursi rodanya, tapi Ethan menahan pinggangku. "Tetaplah di sini. Ini perintah!"
LILIANAMalam itu terasa dingin meski api di perapian pondok masih menyala. Kabut tipis menggantung di luar, seolah-olah ikut menyembunyikan dosa-dosa yang belum sempat terbongkar.Aku mencoba mendorong dadanya. Tapi dia terlalu kuat, dan aku terlalu lemah dalam pelukannya.“Lepaskan aku, Ryder!” desisku, separuh panik, separuh muak.Tangannya menelusuri pinggangku dengan perlahan, seolah menandai wilayah kekuasaannya. Sentuhan itu membuat tubuhku tegang, tidak karena gairah, tapi karena jijik dan ketakutan. Getar tangannya terasa dingin di kulitku, menciptakan gelombang mual dalam perutku.“Aku tidak melakukannya! Aku bukan pelacur!” teriakku putus asa.Tapi memang itu kabar yang beredar. Bahkan dimuat dalam laporan berita khusus untuk istri-istri pria ternama. Nama dan wajahku terpampang jelas di layar, disandingkan dengan judul yang membuat semua orang jadi menyalahkanku atas perceraianku dengan Ethan tiga tahun lalu. Gosip yang terlalu sempurna untuk dipercaya, terlalu keji untuk
LILIANAMalam sudah larut. Angin dari celah pintu pondok tua ini menggesek pelan kulitku, membawa aroma tanah basah dan kabut. Di dalam pondok yang terbuat dari kayu keras ini hanya diterangi lampu minyak, aku berdiri mematung. Napasku tertahan. Di depanku, Ryder berdiri tegak. Tegas. Matanya menyorotiku seperti elang memangsa mangsanya."Baiklah," katanya akhirnya, suaranya dalam dan tajam. "Aku akan melepasmu..."Aku hampir tidak percaya dengan yang kudengar. Lidahku kelu. Dadaku seperti akan meledak. Apakah ini berarti dia sadar akan kebodohannya karena telah mempercayai Ethan? Ataukah... apakah kata-kataku akhirnya menyentuhnya? Membuatnya iba?Namun, sebelum aku bisa meresapi perasaan itu, suara dinginnya kembali menusuk."Dengan satu syarat," lanjutnya.Aku mengerjapkan mata. Tentu saja. Selalu ada syarat. Tak pernah semudah itu. Aku mengepalkan tangan, mencoba menenangkan detak jantungku yang kacau."Syarat?" gumamku, nyaris tak terdengar.Ryder menatapku tajam, seperti memutus
LILIANAEntah berapa lama aku duduk meringkuk di ranjang keras itu, tubuhku kaku dan pegal. Tali kasar yang mengikat pergelangan tangan dan kakiku terasa semakin menyakitkan setiap kali aku mencoba bergerak. Udara di dalam pondok kayu ini dingin, menusuk tulang, dan semakin menambah perasaan putus asa yang menggerogoti hatiku.Aku benar-benar bosan, tapi yang lebih dominan adalah rasa kesal yang membakar dalam dada.Siang tadi, seorang pria bertubuh kekar mengantarkan makanan. Ia juga menawariku bantuan untuk ke toilet, dengan sikap dingin dan formal seperti robot. Aku menolak keduanya. Aku tidak ingin bergantung pada siapapun di tempat ini, apalagi menunjukkan kelemahan.Dia mengabaikan semua rengekanku untuk membebaskanku. Wajahnya datar, bahkan saat aku berusaha memohon ataupun mengancam. Sejak upayaku kabur semalam — dengan mencuri salah satu kuda mereka — semua orang di tempat ini tampaknya jauh lebih berhati-hati.Aku mendesah pelan, menahan rasa frustrasi.Ketika malam tiba dan
LILIANADia menjatuhkanku ke ranjang kokoh dan cukup besar di pondok ini. Ranjang ini bahkan terasa lebih nyaman daripada yang mereka berikan padaku di pondok tempat aku dikurung semalam. Tapi, bukan soal ranjang yang ingin aku keluhkan. Aku inginkan jawaban.Ryder tidak bisa pergi begitu saja setelah apa yang baru saja dia katakan. Seharusnya aku sadar dari awal ini terasa aneh. Aku berjuang untuk duduk dan berlari ingin mencegah Ryder pergi.Aku menatap punggung Ryder dengan tatapan marah yang membara. Lelaki itu tetap tak bergeming, seolah-olah pertanyaanku tak berarti apa-apa baginya. Tanpa menoleh sedikit pun, dia berjalan menuju pintu kayu pondok yang reyot itu. Pondok ini bahkan tak memiliki jendela—tempat ini jelas dibuat untuk menahan seseorang. Sepertiku.“Tunggu!” teriakku, suaraku menggema keras di ruangan yang pengap ini. “Jangan coba-coba meninggalkanku tanpa jawaban, Ryder! Jangan berani mengabaikan pertanyaanku!”Aku merasakan nadiku berdegup cepat di bawah kulitku. Ke
LILIANAAku tidak punya pilihan selain berkuda dengannya. Ryder menarikku ke atas kudanya dengan kasar, membuat tubuh kami otomatis berimpitan. Aku bisa merasakan napasnya yang berat di belakang telingaku, sementara satu tangannya mencengkeram tali kendali dan tangan lainnya melingkari pinggangku erat.Aku merasa muak pada diriku sendiri. Aku menyesal kenapa tidak pernah mau repot-repot belajar cara bertahan hidup di alam. Setidaknya akan bermanfaat pada saat seperti ini. Tidak memiliki keahlian khusus menjadikanku seperti beban."Duduk diam dan jangan banyak bergerak," desisnya. "Kalau kau mencoba melompat turun, aku tidak akan bertanggung jawab jika kau terluka."Aku menggigit bibir, menahan amarah yang berkecamuk di dadaku. Aku tahu Ryder bukan orang yang bisa diajak bernegosiasi dengan mudah, terutama dalam situasi seperti ini. Kudanya berlari melintasi jalanan berbatu yang sepi, jauh dari perkampungan terdekat. Aku merasa terperangka
LILIANATekadku sudah bulat. Seharian bahkan sampai malam, aku terus memikirkan rencana untuk kabur. Aku mencuri waktu berkeliling perkampungan ini demi mempelajari rute pelarianku dan kendaraan apa yang bisa kugunakan.Ada sejumlah mobil kemah dan truk di lapangan desa terpencil ini, diparkir di area yang digunakan untuk api unggun saat malam. Tapi terlalu banyak orang di sana saat malam. Mustahil aku mencuri salah satunya tanpa membuat mereka sadar.Lalu cara lain apa yang bisa kugunakan? Kuda? Entah kenapa tiba-tiba aku teringat kuda yang dipakai Ryder saat membawaku ke sini. Aku mengoreksi ide itu. Kuda itu ditinggalkan di kampung sebelumnya, dan kami ke sini menggunakan truk.Tak putus asa, aku menyelinap lagi setelah dari sungai untuk mandi. Aku terus mencari dan benar saja, ada beberapa kuda di kandang. Sekitar tiga atau empat. Tampaknya mereka menggunakan kuda untuk berburu.Aku sudah memikirkan dan mempersiapkan segalanya. Malam nanti, menjelang fajar, saat orang-orang terlel
LILIANADengan susah payah, aku akhirnya berhasil melepaskan diri darinya dan menjauh. Aku menarik selimut yang tadi menjadi alas dudukku, membungkus tubuhku, lalu berguling di bawah pohon. Jika dia melarangku pergi ke pondok, maka aku akan tidur di sini. Aku tidak peduli.Angin malam bertiup pelan, menyentuh kulitku yang mulai dingin. Aku merapatkan selimut, mencoba menenangkan diri. Tapi ketenangan itu tidak berlangsung lama.Tanpa peringatan, Ryder meraih tubuhku, mengangkatku bersamaan dengan selimut yang membungkusku erat. Aku terperangkap! Aku meronta sekuat tenaga, tapi itu sia-sia."Apa yang kau lakukan?" pekikku."Membawamu pergi," jawabnya singkat.Aku terus menggeliat, mencoba melepaskan diri, tapi Ryder tetap melangkah mantap seolah aku hanyalah gumpalan kapas dalam gendongannya. Dengan sekuat tenaga, aku berusaha menggigit lengannya, berharap dia akan melepaskanku."Aww!" Dia mengumpat pelan, tapi tidak menghentikan langkahnya. "Sial, kau benar-benar liar."Aku tidak pedu
LILIANAAku menggigit bibir bawahku, menyadari bahwa aku telah menginjak ranah yang seharusnya kuhindari. "Aku hanya bertanya," jawabku akhirnya, berusaha membela diri.Ryder menghela napas pelan, lalu bangkit dari tempatnya duduk. Dia menarikku ke balik batu besar tempatnya bersandar tadi. Kami tersembunyi dari semua orang. Anehnya, aku tidak menolak. Sebaliknya, aku tidak bergerak, meskipun ada dorongan dalam tubuhku untuk mundur."Serina bukan siapa-siapaku," katanya, berdiri tepat di hadapanku. Dia mengunci tubuhku di antara kedua lengannya yang menekan batu. "Dan aku tidak membiarkan siapa pun memilihkan jalan hidupku."Aku menelan ludah. Ada sesuatu dalam caranya berbicara yang membuatku merasa seakan ia sedang berusaha menegaskan sesuatu padaku."Kalau begitu," suaraku hampir berbisik, aku tidak akan terintimidasi. "Mengapa dia begitu marah kepadaku?"Ryder menyipitkan matanya. "Kau terlalu banyak bertanya."Aku mendengus pelan, mencoba menutupi kegugupanku. "Aku sandera di sin
LILIANASebelum aku bisa merespons, satu penjaga pintu sudah bergerak cepat, tangannya yang besar mencengkram tanganku dan menarikku dengan kasar. Aku berusaha melawan, berteriak dan berontak sekuat tenaga. "Tidak!" aku berteriak, suaraku pecah. Aku berusaha untuk menarik diriku dari genggaman tangan penjaga yang kasar, tetapi usahaku sia-sia. Tangan besar itu tak tergoyahkan, menarikku tanpa ampun.Aku merasa tubuhku terangkat dari lantai, tak mampu melawan. Tanpa ampun, mereka membawaku keluar dari balai pertemuan itu, menarikku kembali ke pondok. Aku tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Aku akan terkunci di sana, sendirian. Mereka tidak akan membiarkanku keluar sampai mereka yakin aku tak akan mencoba melarikan diri atau melakukan sesuatu yang bisa membahayakan mereka.Setiap langkah yang mereka ambil membawa aku semakin jauh dari apa yang masih tersisa dari kebebasanku. Rasanya seperti ada tembok besar yang menghalangi jalanku, dan aku tak tahu bagaimana cara menghindarinya. Ak