Share

01. Wang Sharon, Si Tuan Putri

     “AKU TIDAK MAU TAHU! POKOKNYA AKU MAU KETEMU JUN !”

     Teriakan itu memenuhi di ruangan berukuran sedang dengan desain interior yang minimalis itu. Suara itu, suara siapa lagi kalau bukan Tuan Putri yang dimanjakan ayahnya—Wang Sharon. Barangkali di mansion ini hanya Sharon seorang yang mampu meneriaki Richard dengan semena-mena seperti itu

     Di sisi lain ruangan, Kai menelan salivanya melihat Sang Nona yang menghardik ayahnya dengan pandangan berapi-api tanpa gentar sedikitpun. Kedua ayah dan anak itu saling melempar tatapan sengit. Sama-sama keras kepala. Tidak ada yang mau mengalah.

     “AKU MAU BERTEMU DIA, YAH! IJINKAN AKU BERTEMU DIA!!”

     Gadis itu lagi-lagi merengek. Masih dengan suaranya yang sepertinya dikeluarkan menggunakan tenaga dalam. Jika tidak, bagaimana bisa keluar suara yang sangat keras dan sangat memekakan telinga dari kerongkongannya yang sekecil itu bisa?

     “Ayah bilang tidak, Wang Sharon. Kau bisa meminta apapun. Apapun selain pergi dari mansion. Ayah tidak sedang melarangmu demi ayah, tapi ini demi dirimu sendiri.”

     Sharon berdecak, ia masih tidak terima.

     “Aku kan bisa menggunakan pakaian yang tertutup, kaca mata, dan masker... Ya, begitu saja! Pokoknya, aku akan lakukan apapun biar bisa bertemu dengan dia,” gadis itu berkata, membujuk ayahnya.

     “Ayolah, Yah! Tidak lucu kan, kalau seorang istri tidak pernah bertemu dengan suaminya sekalipun?”

     Lelaki berusia lima puluh empat itu mendelik mendengar perkataan anak gadisnya itu. Apa tadi katanya? Suami?

     Siapapun pria itu, mau dia artis atau anak presiden sekalipun, harus melangkahi mayatnya dulu untuk bisa menjadi suami dari putri tunggal kesayangannya itu.

     “Jangan beromong kosong. Kamu masih bocah, suami-istri apanya?”

     “Tapi, dia itu cinta sejatinya Sharon, Yah! Sharon cinta mati sama dia. Sharon gak mau ciuman, pegangan tangan, atau tidur sama cowok manapun kalau bukan dia orangnya!”

     Mata Richard semakin membola kaget. Dia tidak menyangka putrinya yang polos dan imut-imut itu bisa mengatakan hal sevulgar itu. Dia lantas melempar pandangan menghakimi pada Kai. Pemuda tak bersalah yang sedari tadi hanya sibuk menyimak perdebatan ayah dan anak itu sampai terhenyak.

     “Bukankah aku sudah bilang padamu untuk memfilter tontonan yang bisa dilihat Sharon? Bagaimana bisa kau memberikan anak kecil tontonan yang mengandung adegan ciuman dan pegangan tangan?! Apa kau sudah gila?”

     Kai tak bisa berkata-kata. Anak kecil darimananya?! Sharon—meski kadang suka ndebleg dan kekanakan— sudah berusia sembilan belas tahun. Bahkan tak lama lagi ia akan menginjak usia dua puluh.

     Bukan hal yang aneh kalau gadis itu sudah mengetahui tentang skinship antara lawan jenis. Apalagi, serial favoritnya adalah drama bergenre romantis. Jadi, tidak heran, kan? Keprotektifan Richard sebagai ayah kadang terlalu berlebihan—ia bahkan sampai tidak mau mengakui kalau putrinya sudah beranjak menjadi gadis dewasa-muda.

     “Jangan alihkan pembicaraan!” Sharon berteriak keras. Napasnya sudah tersengal-sengal karena sedari tadi harus beteriak mengimbangi suara ayahnya.

     “Aku mau bertemu Jun, Yah! Please! Ini satu-satunya keinginanku sebelum mati. Meski hanya satu menit, aku sudah sangat senang.”

     Mendengar kata ‘mati’ yang keluar dari mulut gadis itu membuat ruangan itu seketika disesaki hening. Tak ada satupun yang bersuara.

     Hanya raut wajah Richard yang pelan-pelan berubah sendu. Ia memandang wajah putus asa anak gadisnya sekali lagi. Sharon sudah berkaca-kaca dan hampir menangis.

     Semua orang di mansion ini juga tahu. Mulai dari staff dapur, petugas keamanan, dan Richard, mereka tahu kalau menyinggung tentang penyakit Sharon adalah hal yang paling terlarang. Karena gadis itu sangat membenci saat ada yang membahas kelemahannya.

     Namun kali ini, cewek itu sendiri yang secara tidak langsung membawa-bawa penyakitnya— bahkan ia menyebutkan kemungkinan hidupnya yang diperkirakan tidak lama lagi.

     “Tidak bisa,” ucap Richard tegas.  “Apapun yang kau katakan, aku tidak bisa membiarkanmu keluar dari mansion. Aku tak mau mengambil resiko apapun.”

     Saat itu juga air mata Sharon jatuh membasahi wajah sepucat bunga shasta daisy itu. Ia menunduk tanpa sepatah kata dan melangkah mundur dengan raut kecewa luar biasa.

     Tubuhnya berbalik menuju pintu dengan lemas tak bertenaga. Sekilas, ia beradu pandang dengan Kai yang berdiri mematung di tempatnya.

     Sudut bibirnya terangkat naik sedikit. Kai menatapnya tercengang. Cewek itu menggerakan mulutnya tanpa mengeluarkan suara.

     “Jangan lupa. Sekarang giliranmu membujuk ayah.” 

     * * *

     Raut wajah Richard terlihat suram mengiringi kepergian putrinya yang kecewa berat. Pria itu menghela napasnya kuat. Kai melihat Tuan-nya yang segera mengalihkan pandangan dan menatapnya dingin.

     “Sekarang katakan padaku,”  ia menumpukan wajah di atas kedua tangan yang saling bertaut, “bagaimana kau akan bertanggungjawab pada kekacauan yang telah kau buat ini?”

     Merinding. Lelaki itu mendesah pasrah. Senyum psikopat Nona Muda-nya kembali terbayang di kepalanya. Ia merasa seperti disuruh memilih untuk menjatuhkan diri ke jurang curam demi Sharon atau membelek lehernya sendiri dengan pisau yang disodorkan oleh Tuan Richard.

     Dalam kata lain ayah dan anak itu memberinya titah untuk mati saja.

     “S-saya memiliki sebuah ide, Tuan.”

     “Bagaimana jika kita menculik Wang Jun? Nona tidak perlu keluar mansion dan juga tidak akan merasa sedih lagi karena tidak bisa menghadiri fanmeet.”

     Kai... memilih untuk terjun ke jurang. Sambil berdoa dalam hati supaya dia bisa tetap selamat dari kejaran maut yang mengintai.

     * * *

     Sharon berjalan mondar-mandir di kamarnya sambil menggigiti kukunya yang panjang dan dikuteks berwarna hitam. Style ala gothic yang ia tiru dari salah satu tokoh utama wanita di drama favoritnya.

    Gadis itu nervous. Khawatir Kai tidak bisa meyakinkan ayahnya untuk membawa suami tercintanya ke rumah ini. Padahal dia sudah sampai bersusah-susah akting sedih dan mentikikan air mata.

     Awas saja kalau pemuda itu gagal. Akan Sharon pecat dan ganti dengan bodyguard yang lebih muda dan ganteng.  Memangnya dikira Sharon tidak bisa memecat dia karena masih muda? Tentu saja bisa. Wang Richard sudah mendeklerasikan sendiri dengan lantang kalau ia dibolehkan meminta apapun kecuali keluar dari mansion.

     “Apapun” di mata Sharon berarti termasuk hak untuk memecat bawahan yang diperkerjakan untuknya.

     Gadis itu lagi-lagi melirik ke arah jarum jam di dinding yang hanya bergeser sedikit. Hatinya makin risau diombang-ambing oleh ketidakpastian. Ingin rasanya ia keluar, menerobos masuk ke ruangan ayahnya dan mendengar langsung bagaimana negosiasi itu berlanjut tanpanya.

     Sayangnya dia sedang dalam mode ngambek-mellow agar dikasihani. Sebisa mungkin dia harus menahan diri agar ayahnya luluh dan mengizinkannya. Karena itulah Sharon tidak bisa bersikap bar-bar dan sesukanya sendiri.

     “Nona,” Kai yang muncul di pintu, membuatnya mendongak refleks.

     Ia belari menyambar kedua lengan Kai, menatapnya penuh harap. “Bagaimana?”

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status