Share

Bab 6

Saat melihat Zayden yang begitu serius, Timothy akhirnya juga setuju dan berkata, “Baiklah. Begitu kamu membawa pulang wanita yang kamu cintai, aku tidak akan melarangmu untuk bercerai.”

Setelah mencapai kesepakatan, Zayden pun kembali ke kamarnya. Saat melihat sosoknya yang menjauh, Timothy hanya bisa berdesah.

Setelah melihat situasi ini, Erick, pengurus rumah ini pun maju dan menghibur Timothy, “Pak Timothy, jangan terlalu khawatir. Nona Audrey sangat polos dan baik hati. Setelah menghabiskan waktu bersama, Tuan Zayden mungkin akan menyadari kebaikannya. Dengan begitu, bukannya mereka bisa memupuk perasaan untuk satu sama lain secara perlahan?”

Setelah mendengar ucapan Erick, Timothy mengangguk dan berdesah dalam hati, ‘Semoga begitu.’

...

Setelah Zayden pergi ke ruang baca bersama Timothy, Audrey buru-buru kembali ke “kamar pengantin” yang baru ditinggalinya tidak sampai satu malam itu. Saat mengingat kembali tatapan dingin Zayden tadi, dia tidak bisa menekan rasa takutnya. Pria itu sepertinya sangat tidak menyukainya. Apa mungkin dia akan membatalkan pernikahan mereka?

Setelah memikirkan hal ini, Audrey langsung merasa agak panik. Dia bukannya tidak rela meninggalkan pria itu, tetapi Keluarga Conner tidak akan melepaskannya begitu saja apabila Keluarga Moore membatalkan pernikahannya setelah mereka baru menikah satu hari. Ibunya juga belum lama ditransfer ke rumah sakit besar. Bagaimana mungkin dia rela membiarkan ibunya ditransfer kembali secepat itu?

Namun, jika Audrey tetap tinggal di sini, bagaimana jika insiden waktu itu terbongkar? Keluarga kalangan atas seperti Keluarga Moore pasti sangat memedulikan reputasi seorang wanita. Bagaimana jika insiden itu membuat Keluarga Moore marah?

Audrey merasa sangat serbasalah dan menggenggam sudut bajunya dengan erat. Keringat di dahinya juga tanpa sadar menetes ke wajahnya.

Tepat pada saat Audrey merasa kewalahan, pintu kamar tiba-tiba dibuka oleh seseorang. Kemudian, Zayden melangkah masuk. Saat melihat Audrey yang duduk di samping dengan kaku, dia pun mengangkat alisnya dan berkata dengan terlihat agak kesal, “Bisa-bisanya kamu duduk di sini.”

Saat menghadapi pria ini, Audrey selalu merasa kesulitan bernapas. Namun, ini bukan saatnya dia panik. Jadi, dia buru-buru berdiri, lalu memaksakan seulas senyum dan menyapa, “Tuan Zayden ....”

Zayden pun mendengus, “Untuk apa senyum-senyum? Apa kamu begitu senang melihatku sadar? Kamu kira kamu sudah bisa hidup enak di Keluarga Moore?”

Audrey segera menggeleng. Jika dilihat dari sikap Zayden terhadapnya, dia menyadari bahwa dia tidak mungkin bisa tetap tinggal di rumah ini. Oleh karena itu, dia pun memberanikan diri untuk berkata, “Tuan Zayden, aku mengerti kamu pasti marah karena tiba-tiba diberi tahu sudah memiliki seorang istri begitu sadar. A ... aku juga tahu kalau statusku yang rendah nggak pantas untuk mendampingimu. Jadi, aku bersedia bercerai denganmu. Tapi, sebelum bercerai, bisa nggak kamu ....”

“Bisa apa?” tanya Zayden.

“Bisa nggak kamu memberiku sejumlah uang sebagai kompensasi? Bagaimanapun juga, aku yang awalnya masih berstatus lajang sudah menjadi janda setelah menikah denganmu. Aku juga dirugikan,” ujar Audrey dengan terbata-bata. Namun, dia akhirnya memberanikan diri untuk menyelesaikan kalimatnya.

Sejak kecil, Audrey sudah diajari ibunya untuk memiliki integritas dan tidak boleh mata duitan. Dia tahu bahwa tindakannya yang meminta uang ini sangat memalukan. Namun, demi mengobati penyakit ibunya, dia sudah tidak peduli pada harga dirinya. Lagi pula, dia sudah akan diusir dari tempat ini. Jadi, dia lebih memilih mendapatkan biaya pengobatan ibunya untuk beberapa saat yang akan datang terlebih dahulu.

Selesai berbicara, Audrey pun menunduk dan tidak berani menatap Zayden. Putra dari keluarga kaya seperti Zayden seharusnya tidak akan kesulitan untuk menghabiskan uang demi mengusir orang tak penting seperti dirinya.

Audrey bahkan sudah mempersiapkan diri untuk menahan semua penghinaan yang akan ditunjukkan Zayden kepadanya. Hanya saja, sebelum adegan yang dibayangkannya terjadi, dia malah mendengar tawa sinis Zayden. Tawa itu terdengar sangat ironis dan membuat Audrey bergidik.

Kemudian, Audrey menggigit bibirnya dan berkata dengan suara sekecil nyamuk, “Tuan Zayden, aku rasa permintaanku ini nggak keterlaluan ....”

Sebelum sempat menyelesaikan kata-katanya, Zayden tiba-tiba berjalan ke arah Audrey. Kemudian, Audrey merasa dunia serasa berputar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status