Sagara, dalam keputusasaan akibat pengusiran oleh ayah tirinya, menghadapi dilema tentang tempat tinggal yang layak baginya. Satu-satunya warisan yang dimilikinya kini hanyalah sebuah mobil hitam yang ditinggalkan oleh ayah yang telah tiada selamanya.
"Damar yang tak berbelas kasihan! Arrghhh!" teriaknya, diikuti dengan tendangan keras ke ban mobilnya. Ia juga menarik rambutnya dengan keras sebelum memejamkan matanya.
"Ke mana lagi saya harus pergi? Tabungan saya hanya cukup untuk bertahan seminggu," ucapnya dengan lirih, sambil mengusap air mata yang mengalir di sudut matanya.
Saat ia hendak kembali ke dalam mobilnya, mata Sagara menangkap sosok yang berdiri di tepi jembatan, tampaknya siap untuk melompat ke bawah.
"Hei! Jangan melakukannya!" serunya, lalu ia berlari menuju perempuan tersebut dengan secepat mungkin.
"Jangan melakukannya!" ucap Sagara lagi, sambil menarik tubuh perempuan itu sehingga keduanya terjatuh ke aspal.
Meskipun terkesan tidak senang dengan bantuan yang diberikan, Hanna Andira memandang tajam wajah Sagara seolah-olah tidak menyukai fakta bahwa ia harus diselamatkan.
"Anda tidak perlu menolong saya! Saya tidak membutuhkan bantuan anda!" kata Hanna dengan penuh kekesalan.
Sagara menatap wajah Hanna yang sedang menangis. Pandangannya kemudian turun ke arah perut yang agak membuncit, menunjukkan bahwa perempuan itu sedang mengandung.
“Kamu sedang mengandung. Mengapa kamu ingin mengakhiri hidupmu seperti ini, huh? Apakah kamu benar-benar ingin mengakhiri segalanya dengan sia-sia?” ucap Sagara, sedikit kesal atas tindakan Hanna sebelumnya.
Hanna mendengus dengan kasar. “Orang yang menghamiliku saja tidak peduli padaku. Mengapa kamu begitu peduli padaku? Biarkan aku mati! Ayah dari anak ini juga sudah tidak peduli lagi padaku! Aku ingin mati bersama anak ini yang sedang aku kandung!”
Hanna bangkit dari duduknya lagi dan hendak menuju sungai yang mengalir deras di bawah sana. Sagara menahan tangan Hanna dan menghela napasnya panjang.
“Jangan lakukan itu. Kamu butuh seorang ayah untuk anak ini? Aku akan menikahimu. Saat ini, aku membutuhkan tempat tinggal. Aku akan bertanggung jawab atas kehamilanmu ini.”
Hanna tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Sagara. “Apa? Kamu gila? Bagaimana bisa itu terjadi? Siapa namamu?” tanya Hanna.
“Sagara. Sagara. Aku butuh tempat tinggal, aku baru saja diusir oleh ayah tiriku. Ini semacam simbiosis mutualisme. Tolong!”
Hanna menelan ludahnya dan menatap wajah Sagara sekali lagi. “Apakah kamu yakin, ingin menikah denganku dan bertanggung jawab sebagai ayah bagi anakku?”
“Iya. Siapa namamu? Kita akan langsung pergi ke rumahmu sekarang jika kamu tidak percaya bahwa aku akan menikahimu. Kita akan bertemu dengan orangtuamu sekarang juga,” ujar Sagara.
Hanna menghela napas panjang. “Hanna. Aku tidak yakin bahwa kamu akan melanjutkan niatmu ini setelah bertemu dengan kedua orangtuaku, Sagara.”
“Kita akan mencoba. Selama kamu mau bekerja sama,” jawab Sagara.
Hanna terdiam sejenak, namun akhirnya menerima tawaran dari lelaki tersebut.
Keduanya pun berangkat ke rumah orangtua Hanna untuk meminta restu.
*Bugh!*
Sebuah hantaman keras mendarat dengan sempurna di wajah Sagara. Itu merupakan sambutan yang diberikan oleh ayah Hanna setelah Sagara menjelaskan maksud dan tujuannya datang.
“Berani sekali kamu menghamili anak saya dan hanya meminta maaf karena telah membuatnya hamil! Brengsek!” bentak calon mertua yang memberikan pukulan tersebut.
Itu bukan kali pertama, dan kemungkinan bukan juga yang terakhir. Sagara harus bersabar menahan rasa sakit.
“Sekali lagi saya mohon maaf, Pak. Saya minta maaf atas kesalahan yang saya lakukan. Kedatangan saya ke sini adalah untuk bertanggung jawab. Saya akan menjadi suami yang baik bagi Hanna,” ujar Sagara, setelah Krisna, calon mertuanya itu, berhenti meninju.
Sagara memang datang untuk melamar Hanna yang sedang hamil. Namun, dia bukanlah ayah dari bayi yang dikandung Hanna. Itu hanyalah pura-pura belaka.
“Kamu pikir, dengan hanya mengatakan bahwa kamu akan bertanggung jawab dan menikahi anak saya, saya akan luluh? Tidak! Tidak semudah itu!" bentak Krisna, menatap tajam wajah Sagara yang penuh dengan lebam.
“Saya mohon, Pak. Izinkan saya untuk menikahi putri Bapak," pinta Sagara, sambil tetap menahan rasa sakit di beberapa titik di wajahnya.
“Siapa namamu?! Dan sejak kapan kalian menjalin hubungan?!” tanya Krisna dengan kasar.
“Nama saya Sagara, Pak. Kami sudah menjalin hubungan selama enam bulan terakhir. Kehamilan Hanna sudah memasuki usia tiga bulan. Kami baru mengetahuinya karena Hanna baru saja melakukan tes kehamilan. Dia datang kepada saya dan memberitahu bahwa dia sedang hamil,” jelaskannya dengan tenang.
Namun, Krisna mengubah ekspresinya ketika mendengar penjelasan yang benar-benar dia karang sendiri oleh Sagara. Hanya demi keinginan untuk menumpang hidup, Sagara rela melakukan segala sesuatu asalkan bisa menikahi Hanna.
“Saya berjanji akan membuat Hanna bahagia seperti yang telah kami lakukan selama kami menjalin hubungan. Kita harus segera melaksanakan pernikahan ini, mengingat usia kandungan Hanna sudah tiga bulan,” tambahnya kemudian.
*Bugh!*
Krisna kembali memukul Sagara.
“Papa! Berhenti memukul Sagara lagi. Dia sudah setuju untuk bertanggung jawab. Coba pikir, kalau dia kabur! Sudahlah, Pa. Jangan bersikap arogan seperti ini!” seru Sinta—istri Krisna dan ibu dari Hanna.
“Diam! Saya sedang menghukum anak ini. Dia telah membuat keluarga kita malu. Ini adalah aib, Sinta! Aib!” pekik Krisna sambil memegang kerah kemeja Sagara.
Tidak ada perlawanan sedikit pun dari Sagara. Ia pasrah, seolah-olah memang dialah yang telah menghamili Hanna. Pria itu malah menatap Hanna yang tengah menangis, mengulas senyum tipis, lalu kembali menatap Krisna.
“Apa yang ingin Bapak lakukan pada saya, lakukanlah. Asalkan izinkan saya bertanggung jawab dan menikahi Hanna. Saya mencintainya, Pak. Saya ingin bertanggung jawab atas apa yang sudah saya lakukan padanya,” ujar Sagara, memohon kepada Krisna.
Pria itu sangat pandai dalam bertutur kata, membuat Krisna bingung dan tak tahu lagi harus berkata apa. Sorot mata yang penuh dengan ketidaksetujuan terlihat jelas pada Sagara.
“Siapa nama asli kamu?” tanya Krisna datar.
“Sagara.”
“Di mana kamu tinggal? Apa pekerjaanmu?”
Sagara menelan ludahnya, karena tidak bisa memberikan jawaban yang sebenarnya tidak ia miliki.
“Saya tinggal di Perumahan Indah Permai, Pak. Saya tidak memiliki pekerjaan tetap karena saya masih kuliah. Mungkin saya tidak akan melanjutkan S2 karena akan fokus pada pernikahan kami. Tetapi, jangan khawatir, setelah kami menikah, saya akan mencari pekerjaan untuk menafkahi Hanna dan calon anak kami,” jelaskannya dengan jujur.
Hanna merasa iba mendengar penjelasan Sagara yang tulus. Tidak punya pekerjaan, padahal ia adalah pewaris tunggal Anumerta Corporation—yang sekarang sudah dirampas oleh ayah tirinya, Damar.
“Cih!” Krisna mendecak kesal. “Tidak punya pekerjaan! Masih mahasiswa, masih bau kencur, dan berani menghamili anak saya! Di mana orang tua kamu? Biar saya yang menghadap langsung.”
"Kita lakukan tes terlebih dahulu. Susternya sudah saya minta untuk membawakan alat tes kehamilan juga," kata Dokter Azmi menjelaskan.Sagara tampak terkejut. Ia bahkan tak menyangka jika Hanna bisa secepat itu memberinya keturunan, kalau memang alat itu menunjukkan dua garis biru.Tak lama kemudian, Dokter Aris datang dan memberikan tespack kepada Hanna. "Silakan dicek terlebih dahulu, Bu Hanna. Kita periksa setelah hasilnya sudah keluar."Hanna mengangguk kemudian mengambil alat tes kehamilan itu. Lalu, masuk ke dalam toilet untuk segera melakukan tes kehamilan. Semakin cepat, semakin baik. Begitu menurutnya.Lima menit kemudian. Hanna keluar dari toilet. Sagara tengah duduk di samping sang anak yang sedang memakan buah apel yang sudah Sagara potong-potong."Positif, Dok." Hanna memberikan alat itu untuk diperlihatkan kepada Dokter Aris.Dokter Aris manggut-manggut. "Kalau begitu, kita lakukan USG terlebih dahulu. Agar tahu, sudah berapa usianya."Sagara juga ikut ke ruang USG. Pun
Sagara menelan salivanya dengan pelan. Kenangan terburuk yang pernah dia alami begitu menyakitkan hatinya. Di mana nasib buruk itu mengguncang dirinya, datang secara bersamaan.Namun, hasil yang kini dia dapatkan jauh lebih baik dari apa yang pernah dia miliki. Bahkan, orang-orang yang sudah merendahkannya kini bertekuk lutut padanya.Waktu sudah menunjuk angka sepuluh malam. Di mana acara pernikahan itu sudah selesai dilaksanakan. Para tamu yang datang sudah pulang ke rumah masing-masing.Pun dengan Sagara dan juga Hanna. Mereka memilih untuk pulang setelah acaranya selesai.Di dalam kamar hotel. Keduanya terlihat canggung karena tidak tahu harus dimulai dari mana.Andra pun mengirim pesan kepada Sagara untuk menanyakan perihal malam pertama yang harus dia lakukan.Andra: [Udah molor, belum? Apa jangan-jangan mau ngalahin gue!]Pesan terkirim.Sementara Indah masih berada di dalam kamar mandi. Seolah tak tahu, apa yang harus dia lakukan.Ting!Sagara: [Baru pemanasan. Tapi, karena el
“Milla kenapa jadi begitu? Bener-bener sampul nggak bisa menjamin bisa dipercaya,” kata Hanna setelah kembali dari kamar mandi.Sagara mengendikan bahunya. “Lagi suka sama seseorang, kali. Makanya cari perhatian.”Hanna lantas menolehkan kepalanya kepada Sagara. “Kalau sukanya sama kamu, gimana?”Sagara tersenyum miring. “Yaa nggak gimana gimana, Sayang. Mau diganti lagi? Aku sih, terserah kamu aja. Karena aku nggak akan terkena rayuan apa pun kalau dia berani merayuku.”Perempuan itu hanya melirik Sagara yang berbicara dengan santainya. Sebab memang begitu kenyataannya. Tidak tergoda sedikit pun pada orang-orang yang berani menggodanya."Gak akan kelar, kalau diganti lagi dan lagi. Biar aja. Kecuali kamunya oleng."Sagara menatap Hanna kemudian menghela napas kasar. "Nggak akan. Janji, gak akan oleng. Aku gak mau kehilangan kamu. Daripada ladenin orang macam dia, lebih baik aku pindah jabatan aja, kerja di Lestari aja."Hanna terkekeh pelan. "Yaa bagus. Jangan sampai membuang berlian
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi.Di ruang makan. Sagara, Hanna, Mayang dan juga Suster Indah tengah sarapan bersama.“Jadi gimana, Sus? Tetap mau resign?” tanya Sagara setelah menyelesaikan acara makannya.Suster Indah menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Bisa kita bicara, Mas Sagara?”Sagara mengangguk. “Temui saya di ruang kerja!” ucapnya kemudian beranjak dari duduknya. Setelahnya, diikuti oleh Suster Indah setelah pamit kepada Hanna dan juga Mayang.“Jadi gimana, Sus?” tanya Sagara setelah tiba di ruang kerjanya.Suster Indah memberikan catatan yang setiap hari ia tulis mengenai kondisi kesehatan Mayang.“Bu Mayang masih butuh pendamping, Mas Sagara. Dan sepertinya, harus selalu ditemani sampai selamanya. Kondisi kejiwaannya tidak sepenuhnya kembali. Dan memang, banyaknya pasien yang sembuh itu tidak sembuh permanen,” tutur Suster Indah menjelaskan.Sagara melihat catatan tersebut. Kemudian menghela napasnya dengan pelan. “Harusnya cari yang udah tua, janda atau perawan tu
Sampai akhirnya mereka tiba di Indonesia. Setelah berjam-jam lamanya, tanpa ada transit terlebih dahulu. Akhirnya tiba di tanah kelahiran.Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Waktu yang tepat untuk mereka makan terlebih dahulu sebelum kembali ke rumah. Makan di resto mereka, yang saat itu tidak terlalu ramai. Mereka memilih untuk makan di lantai tiga, ruang privasi sang pemilik resto.“Sayang. Rivano-nya tidurin di tempat tidurnya aja. Bawa ke sini,” teriak Sagara kepada Hanna yang tengah menyusui sang anak.“Iyaaa!” sahut Hanna kemudian.Sagara pun kembali menyesap kopi miliknya yang ia pesan lima menit yang lalu. Sembari menunggu makanan yang mereka pesan tiba.“Gue mau bahas project di Singapura. Kemaren, mereka pengen revisi motif yang ada di ujung deket kaca gitu. Katanya, terlalu rame dan warnanya juga kurang cocok dengan warna tembok kantor mereka.”Sagara manggut-manggut dengan pelan. “Sebenarnya gue lagi males bahas kerjaan. Karena gue masih cuti. Tapi, karena besok udah
Wisnu sudah tak tahan lagi dengan ucapan tak masuk akal Linda. Meminta agar Hanna dimasukkan ke dalam pemilik Lestari. Daripada meladeni ucapan aneh istrinya itu, ia pun memilih untuk pergi dari rumah itu.Linda mendengus kasar. Ia kemudian menghubungi Hanna untuk memarahi anaknya itu karena sudah berani berhenti bekerja.“Ma. Kan, udah Mas Adi yang menghidupi aku. Setiap bulan juga, aku selalu kirim uang ke Mam,” keluh Hanna dalam panggilan tersebut.Kebetulan sekali, perempuan itu sedang berada di rumah Hanna karena diminta untuk datang ke sana. Membantunya membuka semua kado dari para tamu undangan.“Kenapa dia?” tanya Andra yang juga ikut membantu membuka kado.Hanna mengendikan bahunya. “Kayaknya … mamanya Hanna matre, deh. Kedengerannya sih, Hanna ini diminta untuk kerja lagi.”"Ya elaaah! Si Adi gajinya udah puluhan juta juga. Masih aja kudu kerja. Beneran sih, kalau kayak gitu mah. Matre." Andra menepuk jidatnya.Hanna kembali duduk di samping Hanna, kemudian menghela napas pa