Bab 3. Lelaki Berengsek
Alea menggigit bibir. “Aku—” “Tidak apa,” potong Emilia lembut. “Kamu sudah dewasa. Mama yakin kamu bisa jaga diri.” Kalimat itu menohok Alea. Bisa menjaga diri? Nyatanya, ia gagal. Dirinya sudah hancur semalam. “Mama selalu percaya sama kamu. Mama bangga sama kamu, Sayang.” Emilia kembali merengkuh putrinya. Alea membalas pelukan itu, mencoba menelan kepahitan dengan kehangatan Mama. Untuk sesaat, ia ingin percaya bahwa semuanya baik-baik saja. “Sudah, sekarang makan dulu. Jangan dipikirkan kemarahan Papa. Nanti Mama yang bicara sama dia.” Emilia menepuk pipi Alea lembut. “Mau Mama suap?” Alea menggeleng cepat. “Aku bisa sendiri, Ma.” “Baiklah. Makan yang banyak, ya.” Emilia berdiri dan keluar kamar, menutup pintu perlahan. Begitu keheningan kembali menyelimuti, Alea menghela napas berat. Bayangan semalam bersama Javier menyeruak lagi, menghantam pikirannya tanpa ampun. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, dadanya sesak. Air matanya pecah lagi. Ia memukul dadanya sendiri, putus asa. “Aku harus bagaimana … setelah semua ini?” * Malamnya, suasana ruang tamu terasa hangat. Obrolan Zardan dan Javier mengalir ringan, memuji masakan Aleza yang baru saja mereka santap setelah seharian survey lokasi dari tadi pagi. “Kamu tidak akan menyesal menikahi Aleza.” Zardan berbicara dengan bangga, seperti biasa. “Papa, malu ah ….” wajah Aleza merona. “Jangan terlalu percaya, Javier. Masakanku kadang asin, kadang hambar.” Javier terkekeh. “Kalau kamu yang masak, aku tetap akan memakannya.” Wajah Aleza makin bersemu. Sementara Emilia hanya duduk di sudut, diam. Senyumnya tipis, pikirannya melayang pada Alea yang sejak pulang mengunci diri di kamar. Posisi kamar Alea dan ruang tamu memang dekat, tapi pintu kamar Alea menghadap ke Timur, berbanding dengan ruang tamu yang ada di Barat. Meski bisa mendengar ada orang yang masuk, dia memilih diam di kamar. Langkah tergesa terdengar. Semua kepala menoleh, mendapati Reivan masuk. “Selamat malam, Om, Tante.” Ia segera duduk di sebelah Emilia. “Nak Reivan,” sapa Emilia ramah. “Em … Alea ada?” tanya Reivan hati-hati. “Apa dia baik-baik saja? Aku khawatir, karena dia pulang tanpa menungguku. Bahkan teleponku tidak dia angkat sejak pagi.” Reivan terus berbicara tanpa menunggu jawaban. Zardan langsung menyipitkan mata. “Memangnya kenapa?” Reivan menarik napas berat. “Maaf, Om. Tadi malam … aku yang mengajak Alea ke klub. Jam satu dini hari.” Ruangan mendadak hening. Emilia tertegun, wajahnya muram. Rasa kecewa jelas terpancar. Javier hanya mengangkat alis tipis, sedang Aleza melirik ke arah papanya, tahu ledakan itu akan datang. Benar saja. Zardan mendengus kasar, wajahnya memerah. “Dasar anak sialan!” Ia berdiri, melangkah cepat ke arah kamar Alea. Tanpa ragu ia menggedor pintu keras-keras. “Alea, buka pintunya!” Pintu terbuka—dan tamparan keras mendarat di pipi Alea. “Anak pembawa sial! Murahan! Kau sengaja mau membuat aib di keluarga ini?” Zardan menarik rambut putrinya kasar, tanpa belas kasihan. “Papa,” lirih Alea. Tangisnya pecah. Zardan mendorong Alea hingga terbentur meja. “Kamu benar-benar mencoreng nama baik keluarga. Mau taruh di mana wajah papamu ini, ha?” Alea menatap papanya. Mengharapkan belas kasih, tapi yang ia dapat malah tamparan. “Mau jadi apa kau? Wanita penghibur? Ke klub malam jam 1 dini hari.” Zardan membentak, menunjuk wajah Alea. “Papa, maafkan aku. Aku tidak bermaksud—” “Tidak bermaksud apa? Ini, lihat. Ada saksi mata. Ada yang mengakui bahwa kau pergi ke klub malam!” Zardan menarik Alea ke kamar mandi. Mendorong lagi hingga keningnya terbentur sisi wastafel. “Ampun, Pa. Ampun!” Alea memohon. Zardan tidak iba sama sekali. Jeritan suara Alea sampai ke ruang tamu. Membuat Aleza dan Emilia berlari ke kamar Alea. “Mas, cukup!” Emilia melotot tajam saat menyaksikan Alea disiram air oleh Zardan. Aleza memeluk Zardan. “Pa, aku mohon. Kasihan Alea.” Kilat kemarahan di mata Zardan belum surut sama sekali. “Kalian membelanya?” Zardan mendengkus kasar. “Di mana otak kalian? Anak yang hanya bisa membawa aib bagi keluarga, lebih baik pergi saja dari rumah!” Emilia memeluk Alea, tidak peduli putrinya itu basah. Tubuh Alea gemetar, bukan hanya karena menangis tapi juga karena kedinginan. “Mas. Jangan menghakimi Alea seperti ini. Bicara baik-baik. Tanyakan kenapa? Bukan menyiksanya.” Amelia menatap suaminya nelangsa. Tangisnya pecah. “Anak sialan itu benar-benar aib!” Zardan masih saja menghina Alea. “Pa, aku mohon. Stop! Masih ada tamu, Pa. Papa nggak malu? Dua orang tamu.” Aleza berusaha mengingatkan papanya. Zardan menarik napas kasar. “Hari ini kau aman karena Aleza.” Ia melepaskan pelukan Aleza. “Jika kau mengulanginya lagi, Papa sudah siapkan hukuman yang jauh lebih kejam. Camkan itu!” Zardan keluar dari kamar, di susul oleh Aleza. Dia akan terus menenangkan kemarahannya. “Maafkan Om Javier.” Zardan duduk. Mengelap tangannya di tisu. Javier tersenyum. “Tidak apa, Om.” Ia sempat menatap ke lantai atas di mana kamar Alea berada. Zardan mengalihkan tatapannya ke Reivan yang khawatir ke Alea. “Om, saya minta maaf. Seharusnya Om memarahi saya bukan—” “Sebaiknya kau pulang saja.” Zardan memotong ucapan Reivan. “Satu lagi. Jangan ikut campur urusan keluargaku!” Reivan terdiam. Aleza memohon ke Reivan dengan isyarat. Reivan mengangguk pasrah. Mungkin memang lebih baik ia pulang saja dari pada membuat emosi Zardan meluap lagi. Sementara di kamar, Emilia membantu putrinya itu ganti pakaian. Emilia menangis melihat luka di bibir dan kening Alea. Membuka laci, mengambil kotak P3K dan mengobati luka itu. “Maafin Mama, Sayang. Mama gak bisa bela kamu. Mama lemah di depan Papa.” Emilia memeluk Alea dengan penuh kasih. Alea menangis. “Sampai kapan Papa selalu membedakanku dengan Aleza?”Bab 6. Ternyata Dia Suami Kembaranku“Sayang, kamu kenapa?” Emilia khawatir. Alea terduduk di lantai kamar mandi. “Masuk angin biasa.”Emilia menghela napas pelan. “Kamu yakin?”Alea mengangguk. “Iya, Ma. Gak usah khawatir.” Ia berdiri di bantu Emilia. “Kenapa Mama ke kamar aku?” tanyanya kemudian. Emilia memukul jidatnya. “Di bawah ada Reivan. Dia menunggu kamu.”“Re-Reivan,” lirih Alea. “Reivan,” kata Alea. Ia menghampiri Reivan di teras. Lelaki itu memilih duduk di sana. Reivan tersenyum. Di tangannya ada buket bunga Tulip putih. “Hai.” Reivan menyapa dan menyerahkan buket itu. “Maaf aku datang tanpa ngabari kamu lebih dulu. Aku yakin kamu gak akan terima teleponku.”Alea bergeming. Menatap bunga itu. Seketika hatinya remuk.Setulus ini Reivan padanya!“Aku kangen, Alea. Aku masih belum paham, salahku di mana, sampai kau menghindariku terus menerus.” Reivan meraih tangan Alea. “Apa karena aku mengajakmu ke bar?”Alea menggelengkan kepalanya. “Bukan. Aku hanya—”“Kau ada masal
Bab 5. LamaranAlea menghela napas panjang sambil merentangkan tangan. Pekerjaannya akhirnya selesai setelah berjam-jam duduk tanpa banyak bergerak. Di meja, tiga gelas kosong berjejer—teh, kopi, dan minuman ringan—bersama sisa permen serta camilan kecil.“Makan siang.” Fania, teman kerjanya, mendekat sambil tersenyum.“Boleh. Tapi aku gak bawa bekal,” Alea meringis.“Aku traktir. Hari ini aku ulang tahun. Kita makan di kafe dekat sini.” Fania menarik tangannya.“Dengan senang hati.” Alea mengambil tasnya dan berjalan bersama Fania.Hanya butuh tujuh menit berjalan kaki. Begitu sampai, mereka memilih tempat di sudut kafe.“Pesan apa saja, bebas. Aku gak ada acara spesial di ulang tahun ini.” Fania menyerahkan menu.“Terima kasih,” jawab Alea. Untuk sesaat, kekalutan di kepalanya mereda. Bersama Fania, ia bisa berpura-pura baik-baik saja.“Alaaah, kayak sama orang asing aja.” Fania terkekeh.“Aku ke toilet dulu,” ujar Alea, bangkit dari kursi.Namun langkahnya terhenti. Dari pintu toil
Bab 4. Rahasia Alea“Sayang, Mama minta maaf.” Emilia merasa bersalah. Alea membaringkan tubuhnya. “Tolong keluar, Ma. Aku mau sendiri.”Emilia beranjak. Ia berhenti di depan pintu, menatap kembali ke putrinya itu. “Mama selalu ada untuk kamu.”Alea menarik selimut. Memilih tidak menjawab ucapan mamanya. Dia kemudian tidur karena besok harus menjalani aktivitas rutin lagi.Hari-hari dihabiskan Alea dengan kesedihan meski tidak ada Zardan di rumah.Sudah sepuluh hari sejak Reivan yang dibentak kemarin, sepuluh hari ini juga Zardan tidak ada di rumah karena mengurus perusahaan di luar negeri.Aleza yang waktu itu sedang bahagia karena kekasihnya ingin mereka makan malam privat, menghampiri Alea di sofa ruang tamu. “Untuk kembaranku yang cantik.” Aleza meletakkan piring berisi sepotong kue ke depan Alea, lengkap dengan segelas jus jeruk.Alea menoleh, tersenyum tipis. “Makasih.”“Dicoba, ini enak banget,” kata Aleza sambil menunggu.Namun, Alea hanya diam. Aleza mendesah kesal, lalu me
Bab 3. Lelaki BerengsekAlea menggigit bibir. “Aku—”“Tidak apa,” potong Emilia lembut. “Kamu sudah dewasa. Mama yakin kamu bisa jaga diri.”Kalimat itu menohok Alea. Bisa menjaga diri? Nyatanya, ia gagal. Dirinya sudah hancur semalam.“Mama selalu percaya sama kamu. Mama bangga sama kamu, Sayang.” Emilia kembali merengkuh putrinya.Alea membalas pelukan itu, mencoba menelan kepahitan dengan kehangatan Mama. Untuk sesaat, ia ingin percaya bahwa semuanya baik-baik saja.“Sudah, sekarang makan dulu. Jangan dipikirkan kemarahan Papa. Nanti Mama yang bicara sama dia.” Emilia menepuk pipi Alea lembut. “Mau Mama suap?”Alea menggeleng cepat. “Aku bisa sendiri, Ma.”“Baiklah. Makan yang banyak, ya.” Emilia berdiri dan keluar kamar, menutup pintu perlahan.Begitu keheningan kembali menyelimuti, Alea menghela napas berat. Bayangan semalam bersama Javier menyeruak lagi, menghantam pikirannya tanpa ampun. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, dadanya sesak.Air matanya pecah lagi. Ia memukul dad
Bab 2. Perjodohan Setara“Kenapa diam saja? Jawab pertanyaan Papa!”Suara Zardan memecah udara, tajam, menusuk kepala Alea. “Kamu ini tuli atau apa?”Alea tidak segera menyahut. Langkahnya kaku menuju sofa, tangannya gemetar menunjuk ke arah Javier. “Brengsek!”Javier hanya diam, tatapannya terkunci pada Alea yang mulai menangis.“Apa yang kau lakukan di rumahku?!” bentak Alea lagi. “Alea! Kau ini kenapa?!” bentak Zardan. “Sakit jiwa? Ha?!” “Pa, dia itu—”“Dia itu rekan bisnis Papa!” potong Zardan. Rekan bisnis? Alea menahan senyum getir. “Dia itu berengsek, Pa!” Satu tamparan keras mendarat di pipi Alea. “Kau keterlaluan!” Zardan menahan napas, lalu mengendus. “Dan kau mabuk!”Alea terisak. Papanya selalu begitu—kasar, tanpa peduli apa yang sebenarnya terjadi. Tidak pernah ada ruang untuk mendengar. Beda sekali jika itu Aleza.“Kau benar-benar memalukan. Keluar malam, mabuk, menginap entah di mana, lalu pulang seenaknya.” Tangan Zardan ter-acung menunjuk wajahnya. “Pekerjaanmu
Bab 1. Kesucian yang Direnggut“Panas …,” lirih Alea. Gadis itu naik ke pangkuan Reivan tanpa ragu. “To-tolong aku!” Tangannya meraih kerah kemeja Reivan, menariknya mendekat. Tatapannya sayu, bibirnya menggodanya dengan jarak yang begitu dekat.“Alea, stop! Kamu kenapa?” Reivan, pacar Alea, mendorong bahunya. Gadis itu tak peduli. Alea malah menempelkan bibir ke lehernya, menciumi kulitnya dengan paksa. “Aku tidak mau menodaimu, kita belum menikah.”Kejadian itu menjadi tontonan para pengunjung bar, tak terkecuali Javier, laki-laki berbadan tegap tinggi 180 centi, sudah menunggu momen ini terjadi.“Alea, sadar!” Reivan mencoba menahan, suaranya penuh frustasi, tapi Alea semakin berontak, tangannya mulai meraba, dan bibirnya berhasil meraih bibir Reivan dengan paksa.“Cukup!” Reivan kehilangan kesabaran. Ia mendorong Alea dengan lebih keras hingga gadis itu jatuh kembali ke sofa, terengah, wajahnya memerah karena panas yang bukan berasal dari alkohol semata.Dengan napas kasar, Alea b