Bab 4. Rahasia Alea
“Sayang, Mama minta maaf.” Emilia merasa bersalah. Alea membaringkan tubuhnya. “Tolong keluar, Ma. Aku mau sendiri.” Emilia beranjak. Ia berhenti di depan pintu, menatap kembali ke putrinya itu. “Mama selalu ada untuk kamu.” Alea menarik selimut. Memilih tidak menjawab ucapan mamanya. Dia kemudian tidur karena besok harus menjalani aktivitas rutin lagi. Hari-hari dihabiskan Alea dengan kesedihan meski tidak ada Zardan di rumah. Sudah sepuluh hari sejak Reivan yang dibentak kemarin, sepuluh hari ini juga Zardan tidak ada di rumah karena mengurus perusahaan di luar negeri. Aleza yang waktu itu sedang bahagia karena kekasihnya ingin mereka makan malam privat, menghampiri Alea di sofa ruang tamu. “Untuk kembaranku yang cantik.” Aleza meletakkan piring berisi sepotong kue ke depan Alea, lengkap dengan segelas jus jeruk. Alea menoleh, tersenyum tipis. “Makasih.” “Dicoba, ini enak banget,” kata Aleza sambil menunggu. Namun, Alea hanya diam. Aleza mendesah kesal, lalu mencoba menyuapi. “Aa ... buka mulut.” “Nanti saja.” Alea menolak. “Belum selera.” Aleza mengangguk. Tidak mah memaksa. “Kamu masih sedih, ya?” Ia menggenggam tangan kembarannya. “Masih kecewa sama Papa? Atau kamu kecewa sama aku?” Alea menarik tangannya. “Aku udah biasa. Tiap hari Papa selalu marah sama aku. Beda kalau sama kamu. Selalu memujimu setinggi langit.” “Maaf,” gumam Aleza. “Buat apa minta maaf?” Alea menatap lurus. “Aku memang gak pernah bisa jadi kebanggaan Papa.” Tersenyum getir. “Dari kecil juga udah begitu.” “Alea, kamu jangan merendah diri. Papa mungkin—” “Mungkin apa?” potong Alea. Ia melebarkan senyumnya. “Udah jam delapan. Aku harus kerja.” Alea beranjak ke kamarnya mengganti pakaian. Aleza terdiam, menatap punggung saudarinya yang menghilang. Rasa bersalah mendera. Kuenya tak tersentuh sama sekali. Di saat pikirannya berkecamuk, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Javier. [Sopirku sudah di depan rumah. Ikut dengannya ke kantor. Aku mau sarapan bersama.] Senyum Aleza mengembang. Ia bergegas mengambil tas dan keluar. Benar saja, sebuah mobil hitam menunggu di depan gerbang. Ia masuk dengan wajah berbinar. “Apa aku kelihatan cantik, Pak?” tanyanya malu-malu. Sopir menoleh sekilas dari kaca spion. “Tentu saja, Nona. Tuan Javier pasti terpesona.” Pipi Aleza memerah. Ia berkaca dengan ponselnya, menambahkan lipstik merah di bibirnya. Si sopir tersenyum. Mobil itu melaju, meninggalkan rumah, tepat ketika Alea keluar dengan motor matiknya. Alea sebenarnya kesal dengan Aleza yang mengungkit kembali ingatan amarah papanya. Dia tidak membenci Aleza. Dia tahu Aleza peduli. Yang membuat Alea semakin panas ketika Aleza menyambut Javier sebagai tamu istimewa keluarganya. Terlebih, ketika Zardan membandingkannya dengan Aleza. Sepanjang perjalanan ke kantor, Alea terus kepikiran apakah yang dia lakukan pada Aleza tadi pagi benar atau salah. Dia takut menyakiti hati Aleza. Mau bagaimanapun, mereka saudara kembar. Mereka juga saling support dari awal. Meski beberapa kali dimarahi Zardan karena membela Alea, Aleza tetap melakukannya. Saat hendak turun dari motor, sebuah suara memanggil. “Alea!” Ia menoleh. Reivan berjalan mendekat dengan wajah serius. Alea menarik napas, berusaha tetap tenang. “Aku mau bicara,” kata Reivan sambil melepas helm dari kepala Alea. Ia terperanjat melihat sudut bibirnya yang terluka. Sentuhannya spontan, suaranya menurun. “Ini salahku. Maaf.” Alea menepis perlahan. “Tidak apa-apa. Luka kecil, aku sudah terbiasa.” Reivan kembali menghela napas pelan. “Ayo kita bicara sambil minum teh.” “Aku harus kerja. Banyak deadline hari ini.” “Sebentar saja. Lima menit.” Reivan memohon. Alea menatap jam tangannya, pura-pura terburu. “Di sini saja.” Reivan mendengus. Ia menatap dalam, lalu bertanya, “Soal malam itu di bar. Kenapa kau pulang tanpa memberitahuku? Aku bisa mengantarmu.” Alea menelan ludahnya susah payah. “I-itu karena kepalaku pusing. Aku minta maaf.” “Aku khawatir, Alea. Malam itu kau kelihatan berbeda. Kau menciumku paksa. Kau tidak melakukan itu dengan orang lain, kan?” Reivan menatap dalam kepada Alea. Alea bergeming. “Aku sempat berpikir kau mencari teman pria lain.” Kalimat itu benar walau menusuk. Alea mengeratkan genggamannya setang motornya. “Reivan!” Alea meninggikan suaranya. “Apa maksudmu mengucapkan hal itu? Kau yang mengajakku ke bar. Kau juga yang menjemputku malam hari. Selama satu tahun kita pacaran, apa pernah aku mengajakmu ke tempat seperti itu? Sekarang apa? Kau mau menuduhku sebagai cewek murah hanya karena aku pergi dari bar jam 1 dini hari?” “Bu-bukan itu maksudku.” Revina tertunduk. Ia sadar, ucapannya menyakiti hati Alea. “Aku kebingungan mencarimu sampai jam tiga malam. Aku menghubungimu, tapi kau mengabaikannya.” “Maaf,” lirih Alea sekali lagi. “Aku lega saat kau mengirim pesan bahwa kau pulang.” Reivan menghela napas gusar. “Tapi dua minggu ini kau menghindariku. Menolak teleponku, tidak membalas pesanku, bahkan kau tidak pernah menghubungiku balik. Kenapa?” Alea memalingkan wajah. Tiba-tiba saja ia ingin muntah. Ia mengembuskan napas kasar. Tiga hari setelah kejadian itu, Alea merasa aneh. Dia sering mual dan porsi makannya berkurang drastis. Seperti ada yang berubah dari tubuhnya, entah apa. “Reivan, aku benar-benar harus masuk. Kita bahas lain kali.” Tanpa menunggu reaksi, Alea bergegas masuk ke dalam kantor. Reivan hanya berdiri di parkiran, menatap punggungnya yang menjauh. Reivan sempat melihat Alea yang mual tadi dan berujar pelan, “Alea, kau menyembunyikan sesuatu dariku.”Bab 6. Ternyata Dia Suami Kembaranku“Sayang, kamu kenapa?” Emilia khawatir. Alea terduduk di lantai kamar mandi. “Masuk angin biasa.”Emilia menghela napas pelan. “Kamu yakin?”Alea mengangguk. “Iya, Ma. Gak usah khawatir.” Ia berdiri di bantu Emilia. “Kenapa Mama ke kamar aku?” tanyanya kemudian. Emilia memukul jidatnya. “Di bawah ada Reivan. Dia menunggu kamu.”“Re-Reivan,” lirih Alea. “Reivan,” kata Alea. Ia menghampiri Reivan di teras. Lelaki itu memilih duduk di sana. Reivan tersenyum. Di tangannya ada buket bunga Tulip putih. “Hai.” Reivan menyapa dan menyerahkan buket itu. “Maaf aku datang tanpa ngabari kamu lebih dulu. Aku yakin kamu gak akan terima teleponku.”Alea bergeming. Menatap bunga itu. Seketika hatinya remuk.Setulus ini Reivan padanya!“Aku kangen, Alea. Aku masih belum paham, salahku di mana, sampai kau menghindariku terus menerus.” Reivan meraih tangan Alea. “Apa karena aku mengajakmu ke bar?”Alea menggelengkan kepalanya. “Bukan. Aku hanya—”“Kau ada masal
Bab 5. LamaranAlea menghela napas panjang sambil merentangkan tangan. Pekerjaannya akhirnya selesai setelah berjam-jam duduk tanpa banyak bergerak. Di meja, tiga gelas kosong berjejer—teh, kopi, dan minuman ringan—bersama sisa permen serta camilan kecil.“Makan siang.” Fania, teman kerjanya, mendekat sambil tersenyum.“Boleh. Tapi aku gak bawa bekal,” Alea meringis.“Aku traktir. Hari ini aku ulang tahun. Kita makan di kafe dekat sini.” Fania menarik tangannya.“Dengan senang hati.” Alea mengambil tasnya dan berjalan bersama Fania.Hanya butuh tujuh menit berjalan kaki. Begitu sampai, mereka memilih tempat di sudut kafe.“Pesan apa saja, bebas. Aku gak ada acara spesial di ulang tahun ini.” Fania menyerahkan menu.“Terima kasih,” jawab Alea. Untuk sesaat, kekalutan di kepalanya mereda. Bersama Fania, ia bisa berpura-pura baik-baik saja.“Alaaah, kayak sama orang asing aja.” Fania terkekeh.“Aku ke toilet dulu,” ujar Alea, bangkit dari kursi.Namun langkahnya terhenti. Dari pintu toil
Bab 4. Rahasia Alea“Sayang, Mama minta maaf.” Emilia merasa bersalah. Alea membaringkan tubuhnya. “Tolong keluar, Ma. Aku mau sendiri.”Emilia beranjak. Ia berhenti di depan pintu, menatap kembali ke putrinya itu. “Mama selalu ada untuk kamu.”Alea menarik selimut. Memilih tidak menjawab ucapan mamanya. Dia kemudian tidur karena besok harus menjalani aktivitas rutin lagi.Hari-hari dihabiskan Alea dengan kesedihan meski tidak ada Zardan di rumah.Sudah sepuluh hari sejak Reivan yang dibentak kemarin, sepuluh hari ini juga Zardan tidak ada di rumah karena mengurus perusahaan di luar negeri.Aleza yang waktu itu sedang bahagia karena kekasihnya ingin mereka makan malam privat, menghampiri Alea di sofa ruang tamu. “Untuk kembaranku yang cantik.” Aleza meletakkan piring berisi sepotong kue ke depan Alea, lengkap dengan segelas jus jeruk.Alea menoleh, tersenyum tipis. “Makasih.”“Dicoba, ini enak banget,” kata Aleza sambil menunggu.Namun, Alea hanya diam. Aleza mendesah kesal, lalu me
Bab 3. Lelaki BerengsekAlea menggigit bibir. “Aku—”“Tidak apa,” potong Emilia lembut. “Kamu sudah dewasa. Mama yakin kamu bisa jaga diri.”Kalimat itu menohok Alea. Bisa menjaga diri? Nyatanya, ia gagal. Dirinya sudah hancur semalam.“Mama selalu percaya sama kamu. Mama bangga sama kamu, Sayang.” Emilia kembali merengkuh putrinya.Alea membalas pelukan itu, mencoba menelan kepahitan dengan kehangatan Mama. Untuk sesaat, ia ingin percaya bahwa semuanya baik-baik saja.“Sudah, sekarang makan dulu. Jangan dipikirkan kemarahan Papa. Nanti Mama yang bicara sama dia.” Emilia menepuk pipi Alea lembut. “Mau Mama suap?”Alea menggeleng cepat. “Aku bisa sendiri, Ma.”“Baiklah. Makan yang banyak, ya.” Emilia berdiri dan keluar kamar, menutup pintu perlahan.Begitu keheningan kembali menyelimuti, Alea menghela napas berat. Bayangan semalam bersama Javier menyeruak lagi, menghantam pikirannya tanpa ampun. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, dadanya sesak.Air matanya pecah lagi. Ia memukul dad
Bab 2. Perjodohan Setara“Kenapa diam saja? Jawab pertanyaan Papa!”Suara Zardan memecah udara, tajam, menusuk kepala Alea. “Kamu ini tuli atau apa?”Alea tidak segera menyahut. Langkahnya kaku menuju sofa, tangannya gemetar menunjuk ke arah Javier. “Brengsek!”Javier hanya diam, tatapannya terkunci pada Alea yang mulai menangis.“Apa yang kau lakukan di rumahku?!” bentak Alea lagi. “Alea! Kau ini kenapa?!” bentak Zardan. “Sakit jiwa? Ha?!” “Pa, dia itu—”“Dia itu rekan bisnis Papa!” potong Zardan. Rekan bisnis? Alea menahan senyum getir. “Dia itu berengsek, Pa!” Satu tamparan keras mendarat di pipi Alea. “Kau keterlaluan!” Zardan menahan napas, lalu mengendus. “Dan kau mabuk!”Alea terisak. Papanya selalu begitu—kasar, tanpa peduli apa yang sebenarnya terjadi. Tidak pernah ada ruang untuk mendengar. Beda sekali jika itu Aleza.“Kau benar-benar memalukan. Keluar malam, mabuk, menginap entah di mana, lalu pulang seenaknya.” Tangan Zardan ter-acung menunjuk wajahnya. “Pekerjaanmu
Bab 1. Kesucian yang Direnggut“Panas …,” lirih Alea. Gadis itu naik ke pangkuan Reivan tanpa ragu. “To-tolong aku!” Tangannya meraih kerah kemeja Reivan, menariknya mendekat. Tatapannya sayu, bibirnya menggodanya dengan jarak yang begitu dekat.“Alea, stop! Kamu kenapa?” Reivan, pacar Alea, mendorong bahunya. Gadis itu tak peduli. Alea malah menempelkan bibir ke lehernya, menciumi kulitnya dengan paksa. “Aku tidak mau menodaimu, kita belum menikah.”Kejadian itu menjadi tontonan para pengunjung bar, tak terkecuali Javier, laki-laki berbadan tegap tinggi 180 centi, sudah menunggu momen ini terjadi.“Alea, sadar!” Reivan mencoba menahan, suaranya penuh frustasi, tapi Alea semakin berontak, tangannya mulai meraba, dan bibirnya berhasil meraih bibir Reivan dengan paksa.“Cukup!” Reivan kehilangan kesabaran. Ia mendorong Alea dengan lebih keras hingga gadis itu jatuh kembali ke sofa, terengah, wajahnya memerah karena panas yang bukan berasal dari alkohol semata.Dengan napas kasar, Alea b