"Ini uang bulanan untuk kamu! Kelola baik-baik, aku harap setelah ini tidak ada lagi yang namanya uang kurang!"
Wajahku memerah menahan marah saat mendengar Mas Umar mengatakan itu. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Bisa-bisanya ia hanya memberiku uang bulanan dengan nominal seperti itu. Namaku Dila, aku hanya seorang ibu rumah tangga yang bergantung dengan suamiku. Bukan aku tidak mau bekerja atau apa. Tapi, Mas Umar, selalu saja melarang jika aku ingin bekerja seperti istri orang lain. Jatah bulanan yang diberikan Mas Umar selama ini, benar-benar membuat aku kesal. Bagaimana tidak, aku hanya dijatah lima juta untuk satu bulan. Aku akui, nominal lima juta itu tidak lah sedikit untuk era seperti ini. Tapi, tetap saja itu masih kurang banyak untukku. "Kenapa harus lima juta terus sih, Mas? Apa tidak bisa kamu naikkan lagi uang bulanannya? Gaji kamu kan delapan juta satu bulan, kenapa tidak enam atau tujuh juta?" protesku. "Yang benar saja kamu Dil? Enam atau tujuh juta kamu bilang? Lima juta itu sudah nominal yang besar. Apa masih kurang? Gajiku memang delapan juta. Tapi aku harus memberi mama dua juta, dan satu jutanya lagi untuk aku simpan buat rokok dan uang bensin. Syukuri saja Dil!" Tanpa mau mendengar protesku lagi, Mas Umar langsung menyerahkan uang bulanan lalu keluar dari kamar. Mataku nanar melihat tumpukan uang di atas tempat tidur. Dengan sangat terpaksa aku mulai mengambil dan menyimpannya di dalam dompet khusus uang bulanan. Kepalaku terasa berat dan pusing, apalagi ini awal bulan. Banyak sekali yang harus aku pikirkan dengan jatah bulanan yang sedikit ini. "Kalau begini terus aku bisa gila. Mas Umar benar-benar kelewatan sekali. Dia memberiku jatah bulanan hanya lima juta, sedangkan mama dua juta. Sepertinya aku harus mencari kerja kali ini," Keputusanku sudah bulat. Aku tidak mau lagi terpaku dengan jatah bulanan yang selalu saja kurang. Aku mulai memikirkan melamar kerjaan dengan ijasah sarjana yang aku punya. "Dila, sini sebentar!" teriak mas Umar dari arah dapur. Awalnya aku tidak menghiraukan teriakan mas Umar. Namun, lagi-lagi Mas Umar mengulang teriakannya, dan terpaksa aku keluar dari kamar dengan kaki yang dihentakkan. "Ada apa Mas?" tanyaku malas. "Ada apa, ada apa. Lihat nih! Apa kamu tidak bisa masak atau pelit sih? Uang jatah bulanan sudah aku berikan, tapi kamu masih saja memasak menu yang sama setiap harinya. Tidak ada menu spesial, kamu bisa masak atau tidak sih?" omel mas Umar, menunjuk lauk pauk serta sayur di atas meja makan. Emosiku benar-benar diuji kali ini. Aku hanya manusia biasa, mas Umar benar-benar membuatku meledak hari ini. Belum selesai masalah jatah bulanan, dia kembali mempermasalahkan makanan di atas meja. "Syukuri saja Mas!" sahutku, mengulangi kalimat yang tadi ia ucapkan di kamar. Dapat aku lihat wajah mas Umar memerah, telapak tangannya juga terkepal. "Berani kamu mengulang kata-kata aku Dil? Syukur sih syukur, tapi kalau makan ini setiap hari aku juga bosan. Aku kerja dari pagi sampai malam cari uang, masa iya kamu hanya memasak ini? Percuma aku banting tulang, kalau makanan seperti ini yang tersaji. Aku cari uang itu untuk dapat uang banyak dan makan enak, bukan seperti ini!" bentak mas Umar, menatap nyalang ke arahku. Aku tidak peduli dengan tatapan itu.Dengan santainya aku mendekati meja makan, lalu menutup kembali tutup saji yang tadi mas Umar buka. "Kalau tidak mau makan, yasudah tidak usah sekalian!" ujarku, kemudian bersiap pergi ke kamar. Baru saja aku berjalan melewati mas Umar, ia sudah menarik lenganku kasar. "Apa-apaan sih kamu Dil? Kamu kenapa? Apa begini cara kamu memperlakukan suami sendiri? Aku capek kerja Dil, harusnya kamu itu memanjakan aku kalau pulang. Menyiapkan makanan yang enak-enak, bukan malah seperti ini!" ujar mas Umar, kali ini nada bicaranya tidak sekeras tadi, tapi penuh penekanan. Perutku mual mendengar kata-kata mas Umar. 'Memanjakan?' cih, dia saja tidak pernah memanjakan aku sama sekali. "Dengar ya, Mas! Aku ini bukan koki, aku ini hanya ibu rumah tangga biasa. Dalam satu bulan ada tiga puluh hari, dalam satu tahun ada tiga ratus enam puluh lima hari. Bagaimana caraku memikirkan menu yang berbeda-beda setiap harinya selama itu? Koki saja tidak akan sanggup, dan bisa saja memasak menu yang sama, apalagi aku yang hanya biasa ini. Makan saja apa yang ada, masih syukur masih bisa makan nasi dengan lauk dan sayur. Lihat orang-orang di luar sana! Jangankan buat makan ada lauk dan sayur, hanya makan nasi saja mereka sudah bersyukur," sahutku kesal. Mas Umar mengusap wajahnya kasar. "Aku tidak mempermasalahkan makanan yang dimasak berulang kali dalam satu tahun. Yang aku masalahkan, kamu sudah diberi uang bulanan, masa iya lauknya hanya ini terus? Dan lagi, aku bukan mereka orang jalanan. Aku punya uang, aku bekerja, sudah sewajarnya aku mengharapkan menu yang lebih," jelas mas Umar, wajahnya masih terlihat merah saat mengatakan itu. "Tau ah Mas, nanti saja membahas masalah ini! Aku mau istirahat dulu, tubuhku lelah. Kalau mau makan, makan saja yang itu. Tapi kalau tidak mau, kamu bisa pulang ke rumah mama dan makan di sana, menunya pasti enak-enak!" Setelah mengatakan itu, aku menghempaskan cengkraman mas Umar di lenganku. Aku melenggang pergi begitu saja masuk ke dalam kamar dan tak lupa menutup pintunya sedikit agak keras. Dengan perasaan kesal campur aduk dengan marah. Aku kembali menatap kesal uang yang barusan aku simpan. "Kalau saja kamu memberiku uang bulanan lebih, aku tidak mungkin memasak menu itu-itu saja Mas. Harusnya kamu mikir, semuanya sekarang ini serba mahal. Dengan uang segitu selama satu bulan, mana mungkin cukup. Biarpun saat ini kita belum punya anak, tetap saja tidak cukup. Harusnya kamu memberikan uang bulanan yang lebih kalau mau makan enak setiap harinya. Bukan malah memberi jatah bulanan ke mama kamu sebanyak itu. Mama kan sudah ada uang dari gaji pensiunan papa kamu, itu bahkan lebih dari cukup untuk biaya hidup satu bulan, bahkan masih lebih. Sedangkan aku masih banyak kurangnya, aku harus memutar otak memikirkan agar uang itu cukup sampai gajian bulan depan nanti." batinku. Pintu depan tertutup keras, dapat aku dengar dari dalam kamar. Aku tidak memedulikan itu, aku tau itu adalah perbuatan mas Umar. Ia pasti sedang marah dan pergi ke rumah mamanya. Biarlah ia makan di rumah mamanya, paling tidak ia tau kenyataan jatah bulanan yang ia berikan itu kurang."Dil, kamu marah sama Mama?" tanya mama, masuk ke dalam kamarku. Setelah kejadian itu, aku memilih mengurung diri di kamar. Bukan karena aku marah, aku hanya masih merasa kesal saja. Terlebih Lila memfitnahku di depan keluarga Firman, ada kedua mertuaku saat itu. Aku menoleh menatap mama. Daru raut wajah mama, terlihat jelas sekali kalau saat ini mama mungkin merasa bersalah. "Tidak Ma, aku tidak marah," jawabku, mencoba tersenyum. Melihat mama mendekat, Firman memutuskan untuk keluar dari kamar, memberi ruang untuk aku dan mama saling bicara. "Boleh Mama duduk di sini?" tanya mama, menunjuk ke arah sampingku. "Boleh Ma, duduk aja!" sahutku, menggeser posisi. "Maafkan Mama, Dil! Semua kekacauan tadi siang terjadi karena Mama. Mama yang salah karena mengundang mereka ke sini. Mama tidak bermaksud seperti itu, Mama hanya ingin menyambung silaturahmi, sekaligus memberi mereka bukti
Emosiku kini mulai membuncah. Aku yang tadinya sudah merasa bisa menerima masukan dari Firman kembali meradang. Ternyata memang sesulit ini berlaku baik pada orang jahat pada kita. Mau seperti apapun baiknya kita, pasti akan selalu saja ada salah di mata yang tidak suka. "Jangan bicara sembarangan kamu La! Untuk apa aku berpura-pura hamil? Kalau kenyataannya begini, mau apa kamu? Memangnya salah, kalau aku benar hamil? Toh, aku punya suami, wajar saja aku bisa hamil seperti ini. Kalau kamu tidak percaya, ikut aku ke kamar dan kita buktikan semuanya!" Tantangku, entah seperti apa wajahku saat ini. "Santai dong Mbak! Aku kan cuma tanya dan memastikan. Kalau memang benar hamil, baguslah kalau begitu. Paling tidak, Mbak tidak dikatakan mandul lagi," cibir Lila, semakin menjadi-jadi. "Asal kamu tau, aku tidak mandul! Apa kurang bukti waktu kita bertemu di klinik kemarin? Kamu juga memeriksakan kandungan kamu kan?" Balasku, kini tatapanku ter
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Aku duduk di sebuah kursi di tengah-tengah hiasan yang sudah mama siapkan. Hati ini terasa sangat bahagia, ternyata begini rasanya mengandung dan melaksanakan ritual mandi-mandi tujuh bulanan. Aku tidak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya, apalagi setelah penghinaan dan fitnah masa lalu yang aku dapatkan dari orang paling terdekat di hidupku. 'Dasar mandul! Pantas saja suaminya tidak betah.' 'Gara-gara tidak bisa memberi keturunan, suaminya meninggalkannya.' Kata-kata itu akan terus aku ingat. Bukan aku seorang pendendam, tapi aku akan selalu mengingat setiap kata yang membuatku terpuruk waktu itu. Aku tidak akan bisa lupa. Air mata ini menetes begitu saja, seiring guyuran air pertama membasahi pucuk kepala dan akhirnya jatuh membasahi seluruh tubuh ini. Sensasi dingin namun terasa segar, begitu aku nikmati. "Memang lain ya, pancaran ibu hamil itu beda sekali
Semua keputusan akhirnya berakhir merujuk rumah ibuku di desa. Aku tentu saja dengan senang hati menerimanya. Selain aku merindukan ibu dan saudara laki-lakiku, aku juga merasa nyaman jika acara dilaksanakan di rumah ibu sendiri. Keesokan harinya, aku dan Firman sudah bersiap berangkat menuju desa. Rencana awal untuk membeli bahan makanan kami batalkan. Rasanya tak tega jika harus meminta ibu memasak semuanya. Apalagi ibuku semakin hari bertambah usia. "Gimana Yank?" tanya Firman, menyusulku ke kamar. "Aku sudah siap, ayo pergi!" Dengan cepat aku meraih lengan Firman dan berjalan bergandengan tangan. Banyak sekali yang kami ceritakan selama perjalanan. Bernostalgia masa lalu kami berdua. "Kamu benar-benar serius waktu itu, atau cuma karena kasihan denganku, Yank?" tanyaku, selalu saja bertanya yang tidak jelas. "Jangan mulai Yank! Kenapa sih hobi sekali bertanya seperti itu? pertanyaan kamu ini menjebak tau! Aku jawab ti
Firman menanyakan itu dengan tegas. Mata teduhnya yang sering aku lihat, sekarang menampakkan kilat tajam. "Da-dari Silvi," jawabku sedikit takut. Silvi, adalah temanku dulu saat berkuliah. Sebenarnya bukan teman dekat. Hanya kenal begitu saja, karena aku dan dia juga tidak satu jurusan. Beberapa waktu lalu saat aku dan Firman pergi ke salah satu minimarket, tanpa sengaja aku bertemu dia. Dia menanyakan kabarku, lalu meminta nomor teleponku dengan alasan ingin menjalin tali silaturahmi. "Silvi? Sejak kapan kamu berteman dengan dia?" tanya Firman, ia tampak terkejut. "Berteman akrab sih tidak, cuma kenal begitu saja. Kebetulan dia punya nomor ponselku," jelasku. "Sayang, Silvi itu tidak tau, kalau aku sudah menikah dengan kamu. Lalu, untuk apa dia mengirim foto itu?" ujar Firman, kali ini aku yang terkejut. Memang benar, pernikahan kami diadakan tidak meriah. Yang diundang juga orang-orang dekat saja. Sedang para teman-tem
Setelah pertemuan di klinik, aku jadi malas berpergian ke mana-mana. Aku malas jika harus bertemu dengan mereka. Bukan takut karena akan dihina. Aku hanya tidak mau menambah masalah lagi saja. "Sayang, kamu di rumah aja atau ikut aku?" tanya Firman, ia sudah rapi dengan pakaiannya. Malam minggu seperti ini, Firman jarang sekali berpergian keluar jika tidak bersamaku. Tapi malam ini, ia terpaksa menghadiri reuni bersama teman-teman satu jurusannya dulu saat kuliah. "Aku malas Mas, kamu saja yang pergi!" tolakku. "Memangnya kamu tidak takut?" tanya Firman, ia sengaja menggodaku kali ini. Keningku mengernyit, apa maksudnya bertanya seperti itu? "Takut apa? Takut sendirian di rumah? Biarpun sendirian, tidak akan mungkin ada hantu yang muncul Mas!" sahutku, kemudian terkekeh. "Bukan hantu, Sayangku! Aku kan pergi reuni, kalau reuni kan biasanya bertemu dengan teman-teman lama. Siapa tau diantara teman lama itu ada