Share

Tidak Mas, makasih banyak!

 Hari berganti hari, sampai kini mendekati tanggal gajian mas Umar. Setelah pertengkaran malam itu. Hubunganku dengan mas Umar semakin renggang. Entah aku yang terlalu egois karena ingin dimengerti, atau mas Umar yang tidak pernah peka.  

 Aku menjalani hari seperti biasanya. Walaupun tidak ada lagi uang belanja dari jatah bulanan. Aku masih bisa memasak makanan untuk mas Umar. Tentunya itu uang dari hasil kiriman mamaku, dan mas Umar tau itu.

 "Dil, besok Mas pulangnya telat, kamu tidak usah masak!" ujar mas Umar, sudah rapi dengan pakaian kerjanya.

 Aku mengangguk tanda mengiyakan. Hanya obrolan singkat yang mewarnai rumah tangga kami. Tidak ada kemesraan atau kehangatan seperti awal-awal pernikahan.

 Dan benar saja, sampai tengah malam bahkan hampir dini hari, mas Umar belum juga pulang. Ini bukan kali pertama, sudah sering akhir-akhir ini mas Umar seperti itu. Entah menghindari aku, atau ada urusan lain.

 "Dil, kamu di kamar?" Panggil mas Umar, mengetuk pintu kamar.

 Aku membuka mata perlahan. Kamar yang tadinya gelap, kini mulai terlihat sedikit terang.

 

'Astaga sudah pagi,' pekikku, langsung bangun dan berjalan membuka pintu.

 "Baru bangun?" tanya mas Umar begitu pintu terbuka.

 "Sudah pukul delapan masih tidur. Untung aku pulang, kalau tidak, sudah pasti kamu kesiangan. Memangnya tadi malam kamu ngapain aja?" omel mas Umar, kakinya melangkah masuk melewati aku yang masih berdiri di dekat pintu.

 "Ya nunggu kamu, apa lagi? Sampai hampir subuh aku menunggu, tapi kami tidak pulang juga. Memangnya kamu dari mana?" tanyaku kesal.

 "Dari rumah Kirman. Bukannya aku sudah memberitahu kamu kemarin? Kenapa masih menunggu lagi?" tanya mas Umar, tanpa beban dia mengatakan itu.

 "Kamu kan  bilangnya cuma jangan masak. Kamu tidak bilang, kalau kamu menginap. Kenapa kamu yang sewot? Harusnya aku yang marah, berapa hari ini kamu jarang pulang ke rumah," Balasku mengomeli mas Umar.

 "Sudah, sudah! Jangan mengomel terus! Nih uang bulanan kamu, seperti biasa lima juta rupiah," ujar mas Umar, menyerahkan hasil upah kerja satu bulan.

 Aku tidak segera mengambil, aku hanya melirik uangnya, lalu berjalan menuju tempat tidur.

 "Kamu saja yang pegang Mas! Aku malas menerimanya," jawabku santai.

 Merasa bingung dengan penolakanku, mas Umar mendekat.

 "Loh, kenapa jadi aku yang pegang? kamu kan istri? Kamu saja, aku tidak pandai mengelola uang," tolak mas Umar.

 "Aku tidak mau," sahutku.

 "Ayolah Dil, terima uangnya. Kamu kenapa sih? Biasanya kamu menerimanya dengan senang hati? Kalau aku yang pegang, bisa pusing nanti kepalaku," bujuk mas Umar.

 Aku mendelik kesal. "Kalau aku yang pegang, kepalaku juga pusing. Kamu pikir selama ini aku senang menerimanya? Ini bukan nafkah bulanan Mas! Uang itu hanya titipan, uang sekali pegang langsung habis tak bersisa. Lebih baik kamu yang pegang dan atur. Jadi kamu tau, uang itu habis ke mana saja, terus cukup atau tidaknya. Kalau aku yang pegang, kamu terima beresnya terus. Aku capek!" 

 Mendengar kata-kataku, mas Umar tiba-tiba saja marah dan membentakku.

 "Dasar istri tidak tau diuntung! Suami capek-capek kerja, kamu malah seperti ini. Ini tugas kamu, bukan tugas aku. Tugasku hanya mencari uang, dan sisanya kamu yang mengelola," 

  Mendapat bentakan dari mas Umar, tentu saja aku tidak terima. Bisa-bisanya dia mengatakan itu. Aku memang istrinya, tapi kalau harus mengurus uang yang tidak cukup itu terus, aku juga tidak sanggup.

 "Baiklah, aku mau menerima uang itu. Tapi ada syaratnya," ujarku, memberi penawaran.

 "Apa? Jangan bilang kamu mau semua gajiku?" sahut mas Umar, ada ketakutan di wajahnya.

 Aku terkekeh, lalu menatap nyalang mas Umar. "Tenang saja, aku tidak akan meminta uang tambahan. Syaratnya mudah saja. Kamu kembalikan mobil dan motor trail kamu itu, aku tidak mau lagi ada cicilan. Dengan begitu, uang bulanan terisa banyak dan aku tidak akan mengeluh," ujarku mantap.

 Mata mas Umar melebar sempurna mendengar syarat yang aku ajukan. Reaksinya benar-benar membuatku muak. 

 "Gila kamu Dil! aku tidak mau!" tolak mas Umar cepat.

 "Kenapa tidak mau? kalau kamu tidak mau, aku juga tidak mau. Lebih baik kamu kelola sendiri saja uangnya, atau minta kelola sama mama. Kan mama yang memberi ide mengambil mobil itu?" sahutku.

 "Kenapa syaratnya harus itu sih? Nanti apa yang orang lain bilang, kalau mobil dan motor itu aku kembalikan ke dealer? Aku sudah menghabiskan uang tabunganku untuk membayar uang muka mobil dan motor itu. Masa iya aku mengembalikannya cuma-cuma? Sudah hampir dua tahun aku bayar angsurannya, hanya tersisa tiga tahun lagi dan semuanya beres," ujar mas Umar marah.

 "Heh Mas, hanya tiga tahun kamu bilang? Tiga tahun itu bukan waktu yang sebentar Mas. Itu waktu yang lama. Dan aku tidak mau membayar cicilan dengan waktu selama itu. Biarkan saja orang bicara apa, itu hak mereka. Mereka punya mata untuk melihat, mereka punya mulut untuk bicara, biarkan saja. Mau sampai kapan kamu hidup hanya untuk mendengar pujian orang lain? Mereka yang memuji kamu itu hanya melihat Mas, sedangkan sisanya kita yang menyandang. Tidak usah terlalu terlihat wah kalau ekonomi masih sulit. Gaya elit, tapi ekonomi sulit. Itu lebih memalukan Mas. Lebih baik terlihat biasa saja, tapi tabungan banyak, dari pada terlihat luar biasa, tapi cicilan di mana-mana," sahutku panjang lebar.

 Tak mau mendengar pembelaan apapun lagi dari mas Umar, aku segera berlalu meninggalkannya yang masih terlihat syok mendengar kata-kataku. Biarlah mas Umar marah atau tersinggung, itu memang kenyataannya.  Terlalu menuruti gaya hidup, sampai-sampai hidup sendiri sulit. Semoga saja mas Umar benar-benar tersinggung, biar dia mengerti, kalau hidup itu tidak hanya sekedar untuk mendapat pujian.

 Aku mulai menyibukkan diriku berkutat dengan bahan makanan dan asap kompor. Hampir satu jam aku di dapur, tapi mas Umar masih belum keluar juga dari kamar. Entah apa yang ia lakukan di dalam sana.

 "Makanan sudah siap, lebih baik aku mandi dulu, setelah itu sarapan," gumamku, bergegas ke kamar.

 Di dalam kamar, mas Umar langsung membuang muka saat melihatku masuk. Aku tidak peduli lagi sekarang. Rasakan itu! Memangnya enak memikirkan mengelola uang sedikit itu untuk cicilan? Dia yang punya uang saja pusing, apalagi aku yang hanya di rumah dan bergantung hidup dengannya. 

 "Kamu benar-benar tidak mau mengambil uang ini Dil?" tanya mas Umar pelan, saat aku baru saja mau menutup pintu kamar mandi.

 "Tidak Mas, makasih banyak," sahutku, dengan santainya aku menutup pintu kamar mandi.

 Aku sengaja berlama-lama di dalam kamar mandi. Selain untuk menghindari paksaan mas Umar nanti, aku juga ingin mendinginkan kepalaku, walau hanya sekedar mengguyurkan air beberapa kali.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status