Share

Nasihat Mama

Setelah mendengar dan mencerna semua ceritaku. Mama menatap sayu ke arahku. Aku bisa merasakan perasaan mama saat mengetahui aku begitu tertekan selama ini.

 "Kamu yang sabar ya, Dil! Hidup berumah tangga memang seperti itu. Berumah tangga tidak semudah kelihatannya. Dibalik kebahagiaan yang terlihat, pasti ada duka yang terpendam. Pernikahan kalian baru dua tahun, masih ada tahun-tahun ke depannya. Semoga saja setelah itu Umar bisa berubah. Usia kalian yang masih labil, pasti akan sulit mengendalikan diri," ujar mama menasehati.

 Mataku menatap nanar ke arah mama. Aku tau saat ini mama marah, mama kecewa saat putrinya diperlakukan seperti ini. Tapi, mendengar nasihat mama, aku mulai meragukan perasaanku sendiri.

 "Mama tidak marah aku diperlakukan seperti ini?" tanyaku, menatap lekat netra coklat mama.

 Mama memalingkan wajahnya, lalu menghembuskan nafas panjang. "Mau semarah apa pun Mama, Mama bisa apa Dil? Mama memang orang tua kandung kamu, tapi yang sekarang berhak atas kamu adalah Umar. Masalah ini masih bisa diselesaikan, selama dia masih bisa menjaga tangan, hati, dan pergerakannya. Lain lagi kalau dia sudah berlaku kasar, atau bermain gila di belakang kamu, Mama yang akan turun tangan lebih dulu," 

 Aku memeluk mama erat, lagi-lagi di dalam pelukan mama aku menangis. Mama memang begitu mengerti perasaanku, beliau bahkan tidak menyalahkan mas Umar atau berpihak salah satu dari kami. Beliau hanya memberikan aku nasihat.

 "Sekarang Mama tanya, kamu ke sini, apa Umar tau?" tanya mama.

 Aku menepuk keningku pelan. Saking kesalnya tadi saat mas Umar meminta uang, aku sampai lupa mengabarinya kalau aku pergi ke rumah mama.

 "Hehehe... Belum Ma. Nanti saja Ma, nanti juga mas Umar menghubungi aku," sahutku nyengir malu.

 Mama menggelengkan kepalanya pelan. "Kebiasaan kamu ini Dil. Cepat hubungi Umar, biar bagaimanapun dia itu suami kamu. Sebelum keluar rumah, lebih bagusnya dapat ijin dulu," 

 Ada sedikit tak terima dengan kata-kata mama. Bukannya aku tidak mau ijin dan memberitahu. Tapi apa gunanya? Mas Umar saja kadang tidak meminta ijin kalau pergi, kenapa aku harus meminta ijin? Bukankah kata orang, istri itu cerminan suami? Kalau mas Umar saja bisa, kenapa aku tidak?

 ---

 Di dalam kamar berukuran 3x3 aku duduk di atas kasur kamarku sewaktu bujangan. Banyak sekali kenangan di kamar ini. Kamar yang sudah dua tahun tidak aku tempati, tapi masih dijaga baik oleh mama.

 "Dil, kamu sedang apa? Makan dulu!" Panggil mama dari balik pintu.

 "Iya Ma, ini mau keluar," jawabku, gegas aku beranjak dan meletakkan gawai di atas kasur.

 Hampir dua jam aku menunggu panggilan atau pesan dari mas Umar, tapi dia tidak juga menghubungi aku. Entah sengaja, atau dia tidak memegang ponselnya.

 "Wah, kelihatannya enak. Mama kapan masak?" tanyaku, menarik salah satu kursi.

 "Baru aja, kamu tadi di kamar. Mama kira kamu capek, kan jarak dari rumah kamu dan rumah Mama lumayan jauh juga, harus dua jam dulu baru sampai. Kamu makan yang banyak, Mama masak makanan kesukaan kamu," sahut mama, tanpa aku minta langsung mengambilkan nasi, lauk pauk serta sayuran.

 Mataku mengembun, ada rasa haru tersendiri diperlakukan mama seperti ini. Walaupun ini bukan yang pertama, tapi tetap saja rasanya beda. Dua tahun aku hidup terpisah, mama mertuaku bahkan tidak pernah memperlakukanku seperti ini. Mungkin benar kata orang, wanita yang masuk ke keluarga suaminya, akan selalu dianggap orang lain. Lain halnya jika itu pria, dia pasti akan diterima baik di keluarga istrinya.

 

 Aku makan dengan lahapnya. Sedangkan mama hanya tersenyum menatapku.

 "Oh iya Ma, mas Galang di mana? Kenapa tidak ke sini?" tanyaku bingung.

  Aku dan mas Galang bersaudara, setiap aki datang ke rumah mama. Mas Galang pasti akan ke sini menemui aku, walaupun dia sudah punya rumah sendiri bersama istri dan anaknya.

 "Astagfirullah, Mama lupa memberitahu mas kamu. Besok saja Mama beritahu, ini kan sudah malam juga," sahut mama, yang aku balas dengan anggukan.

 Hari berganti hari. Kini sudah tepat dua hari aku menginap di rumah mama. Namun, selama dua hari ini juga mas Umar tidak ada menghubungi aku. Entah dia marah atau dia lupa, kalau istrinya tidak ada di rumah.

 "Dil, kamu mau ke mana?" tanya mama melihat aku sudah rapi.

 "Mau pulang dulu Ma, kasihan mas Umar kalau ditinggal terlalu lama," sahutku, menyiapkan barang bawaan.

 "Kamu benar juga. Ingat ya Dil, kalau ada apa-apa cerita ke Mama! Bagaimanapun Umar, dia tetap suami kamu. Bicarakan baik-baik masalah kalian. Mama yakin, Umar pasti mengerti dan mau mengubah kebiasaannya itu. Jangan marah-marah, bicarakan dengan kepala dingin! Kalau perlu uang atau uang kamu tidak ada, bilang ke Mama. Kalau Mama ada, pasti Mama kirim ke kamu," ujar mama kembali mengingatkan aku.

 Cukup lama mendengar wejangan mama, akhirnya aku pulang. Hampir petang aku baru tiba di rumah.  Dua hari berada di rumah mama, keadaan rumahku masih sama. 

 "Kenapa rumah dan tempat tidur masih rapi? Mas Umar ke mana?" 

 Merasa ada yang tidak beres, aku kembali meraih kunci motorku. Pikiranku hanya satu, yaitu rumah mertuaku. Beruntung rumahku dan mama mertua tidak terlalu jauh, dalam waktu sepuluh menit aku sudah sampai dan langsung memarkirkan motor.

 "Assalamualaikum Ma," 

 "Waalaikumsalam, eh kamu Dil? Tumben kamu ke sini sendirian, Umar mana?" tanya mama mertuaku.

 Deg... Jantungku berdetak cepat. Kalau mama mertuaku menanyakan suamiku di mana. Lalu, dua hari ini mas Umar ke mana? aku pikir dia tidur di sini selama aku tidak ada.

 "Bukannya mas Umar di sini Ma?" tanyaku, bingung.

 "Jangan ngaco kamu Dil! Umar sudah dua hari ini tidak ke sini. Mama kira dia di rumah sibuk," sahut mama mertuaku, juga tidak kalah bingung.

 Bingung memikirkan mas Umar ke mana, aku langsung pulang tanpa pamit dan menghiraukan teriakan mama mertuaku yang minta penjelasan.

 Aku pacu motorku secepat mungkin pulang ke rumah, pikiranku sudah tidak karuan lagi saat ini. Berbagai pemikiran buruk mulai merajai otakku. Begitu motor sampai di rumah, aku terdiam saat melihat mobil mas Umar sudah terparkir di halaman rumah, sedang pintu rumah terbuka lebar.

 "Mas, kamu dari mana?" tanyaku, menghampiri mas Umar yang sedang duduk santai di meja makan.

 "Harusnya aku yang tanya kamu ke mana? Suami pulang bukannya ada di rumah, malah keluyuran tidak jelas. Kamu dari mana saja?" tanya mas Umar, wajahnya benar-benar tidak bersahabat sama sekali.

 "Aku tadi sudah pulang, tapi Mas nggak ada di rumah. Aku pikir Mas Umar ada di rumah mama. Jadi aku ke sana," jelasku.

 "Alah, alasan kamu aja itu Dil! Aku capek Dil, lama-lama kamu begini, bisa-bisa aku cari istri baru lagi. Lihat ini, mau makan saja aku harus beli dulu. Kamu kerjanya apa sih di rumah?" omel mas Umar.

 Aku yang tadinya biasa saja menanggapinya, kini mulai tersulut emosi.

 "Dengar ya Mas! Berani kamu kawin lagi, aku potong itu kamu! Kamu pikir kamu mampu punya istri dua? Satu istri saja kamu tidak becus, apalagi dua. Kalau kamu protes tidak ada yang bisa dimakan di rumah, harusnya kamu introspeksi diri! Uang bulanan yang kamu berikan saja sudah habis kamu ambil lagi. Lalu, bahan apa yang mau aku masak?" 

 Emosiku benar-benar diuji lagi saat ini. Baru saja aku ingin berdamai dengan keadaan, mas Umar malah membuat onar lagi. Semua nasihat yang aku dapat dari mama langsung hilang seketika. Aku tidak peduli lagi dengan pendapat orang lain tentang diriku. Yang jelas, saat ini aku benar-benar marah.

 Mendengar ancamanku, mas Umar mati kutu. Ia bahkan menunduk dan tidak berani menatapku secara langsung.  

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status