Share

Calon Madu

 Hampir setengah jam aku di kamar mandi. Akhirnya aku memutuskan untuk keluar. Tapi, begitu aku keluar keadaan di kamar terlihat sepi. Mas Umar sudah tidak ada di tempatnya lagi. Aku tidak ambil pusing, segera aku memakai pakaian kebangsaan ibu rumah tangga, yaitu daster.

  Sudah siap dan rapi, aku gegas keluar dari kamar. Terlalu lama mengurung diri di kamar mandi, perutku keroncongan juga. Cacing-cacing di dalam perut sudah berdemo ria meminta isi amunisi. 

 "Ke mana mas Umar? Di kamar tidak ada, di depan televisi dan dapur juga tidak ada," gumamku heran.

 Merasa penasaran ke mana perginya suamiku itu. Aku memutuskan mencarinya di ruang tamu atau teras rumah. Namun lagi-lagi mas Umar tidak ada. Mobilnya juga sudah tak terlihat lagi.

 "Paling juga ke rumah ibunya," batinku.

 Tak mau ambil pusing ke mana perginya mas Umar, aku memutuskan untuk makan. Akhir-akhir ini mas Umar sudah biasa pergi tanpa pamit atau bilang mau ke mana. Harusnya aku sudah tau itu, tapi aku malah membuang-buang waktu berkeliling mencarinya.

 Menu masakan hari ini benar-benar membuatku kekenyangan. Tempe orek dengan ikan goreng dan sambal bawang, sukses membuat nafsu makanku terpenuhi.

  "Assalamualaikum, Dila!" teriak seseorang di teras rumah.

 Aku menajamkan pendengaranku. Tidak salah lagi, itu suara mama mertuaku. Ku tarik nafas dalam, sebelum aku beranjak dari meja makan. Aku sudah tau, apa tujuan mama mertuaku itu datang.

 "Eh Mama, silahkan masuk Ma!" ujarku, bicara seramah mungkin. 

 Mama mas Umar melengos kesal, kemudian menghentakkan kakinya masuk ke dalam rumah.

 "Apa yang kamu lakukan pada Umar, Dila?" Tanpa basa-basi, mama mas Umar langsung menyemprotku begitu saja.

 "Melakukan apa Ma? Aku tidak melakukan apa-apa," sahutku jujur.

 "Alah, tidak usah polos begitu Dil! Apa maksud kamu menyuruh Umar memegang uang gajinya? Kamu tidak mau mengelola keuangan rumah tangga lagi?" sentak mama, matanya nyalang menatapku.

 Tanpa sadar bibirku tertarik melengkung. "Oh soal itu, itu memang benar Ma. Dari pada aku salah, lebih baik mas Umar saja yang mengelola semuanya. Toh itu juga uang hasil kerja kerasnya sendiri," sahutku tanpa rasa bersalah sedikitpun. 

 Mendengar jawabanku, tentu saja mama mertuaku meradang. Dari awal pernikahan beliau memang tidak menyukaiku. Apalagi saat ini, beliau pasti semakin tidak suka.

 "Kamu ini jadi istri tidak berguna sama sekali. Bisa-bisanya kamu meminta Umar mengatur semuanya yang harusnya itu tugas kamu. Umar itu sudah capek kerja Dil, harusnya masalah sepele seperti itu saja kamu bisa mengatasinya. Memang apa susahnya membagi uang bulanan itu sih?" omel mama mertuaku.

 "Susah sekali Ma! Kalau Mama bisa, Mama saja yang mengaturnya. Jujur saja aku tidak bisa Ma, rasanya aku tidak sanggup mencukupkan uang segitu untuk satu bulan penuh," jawabku.

 "Kami istrinya, kenapa malah jadi Mama yang kamu minta mengaturnya? Uang yang Umar beri itu banyak. Ya, walaupun banyak yang harus dibayar, harusnya itu bukan sesuatu yang sulit untuk kamu membagi sisa uangnya. Kamu kan lulusan sarjana akutansi, masa uang segitu tidak bisa mengaturnya? Waktu kuliah, kamu belajar kan?" sindir mama mas Umar, dengan tatapan sinisnya.

 Emosiku tiba-tiba saja meledak, namun sebisa mungkin aku menahannya. Aku tidak boleh terpancing emosi, mereka bisa main cantik, kenapa aku tidak?

 "Aduh Ma, ini tidak ada hubungannya dengan jurusanku kuliah dulu. Sekarang begini saja, kalau Mama menganggap aku tidak becus jadi istri. Aku minta pendapat Mama aja deh. Menurut Mama, uang dua ratus ribu, bagaimana mengaturnya untuk cukup dalam waktu satu bulan? Buat beli beras, lauk pauk, sayur, gas, minyak, gula, bumbu dapur, sabun mandi, sabun cuci pakaian, dan lain-lain. Mama kan sudah berpengalaman, jadi Mama pasti bisa dong?" tantangku.

 Wajah mama mertuaku langsung berubah masam. Aku tertawa puas dalam hati melihat ekspresinya. Dia yang lebih berpengalaman saja bingung, apa lagi aku yang baru dua tahun menikah.

 "Kalau kamu tidak bisa, lebih baik Umar cari istri baru lagi saja. Punya istri tidak berguna sama sekali," ujar mama mas Umar, mengalihkan pembicaraan.

  Aki terkekeh mendengar kata-kata mama mertuaku. "Istri baru lagi Ma? Mama yakin? Dengan uang segitu, apa menantu baru Mama bisa mengaturnya? Aku kira bukan aku saja yang tidak bisa mengaturnya, wanita lain juga tidak akan sanggup. Termasuk Mama juga tidak sanggup, kan?" cibirku.

 Wajah mama mas Umar memerah, tanpa mengatakan apapun lagi ia langsung pergi. Aku tersenyum sinis menatap kepergian mama mertuaku. 

Jujur saja aku merasa sakit saat mendengar mama mertuaku menyebut wanita lain. Biarpun mas Umar begitu, hatiku masih mencintainya. Yah, walaupun tidak secinta dulu sih. Tapi rasa itu masih ada tersisa sedikit.

---

 Sudah hampir sore, mas Umar belum juga pulang ke rumah. Entah di mana dia sekarang, yang jelas aku sudah tidak peduli lagi.  Aku kembali teringat dengan keinginanku satu bulan lalu. Tanpa membuang waktu, aku segera mengambil gawai di atas meja.

 Jari-jari lentikku dengan gesit berselancar di layar benda pipih itu. Aku membuka situs lowongan pekerjaan. Cukup lama aku mencari, akhirnya aku mendapatkannya juga. Sebuah pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan ijasahku.

 Sedang sibuk mengisi formulir dan melengkapi data diri, mas Umar tiba-tiba saja masuk ke dalam kamar. 

 "Kapan pulang?" tanyaku, menyimpan gawaiku di atas meja.

 "Aku langsung saja Dil, aku tidak mau basa-basi lagi. Sekarang aku tanya, kamu yakin tidak mau menerima uang bulanan?" tanya mas Umar, raut wajahnya terlihat begitu serius.

 "Seperti yang aku bilang tadi Mas. Kalau kamu mau menuruti syarat yang aku buat, aku akan menerimanya. Tapi kalau tidak mau, maaf sekali. Aku tidak tertarik mengelola uang itu lagi,"  jawabku, mantap.

 "Baiklah kalau kamu bersikeras tidak mau menerimanya. Aku juga tidak mau menuruti syarat gila kamu itu. Kalau kamu tidak mau, terpaksa aku mencari wanita lagi yang mau mengelolanya," ujar mas Umar, tanpa berdosa mengatakan itu.

 Mataku menatapnya nanar. Di sudut hatiku yang terdalam merasakan sakit. Dadaku rasanya sesak sekali. Bagaimana bisa, suami sendiri menginginkan wanita lain masuk dalam rumah tangga kami? Bukannya sadar kenapa aku bersikap seperti ini, dia malah membuat pilihan yang membuatku sakit.

 "Maksud kamu apa, Mas?" tanyaku, suaraku bergetar saat menanyakan itu.

 "Semuanya sudah jelas Dil. Aku rasa, kamu cukup cerdas untuk mencerna semuanya dan tau artinya," sahut mas Umar.

 "Kamu mau menikah lagi? Kamu mau membawa madu ke rumah ini?" tanyaku memperjelas semuanya.

 Mas Umar mengangguk pasti. "Tidak ada salahnya kan? Toh kamu juga tidak mau lagi mengambil uang bulanan yang aku berikan. Dan lagi, seorang pria juga tidak masalah kalau mempunyai istri lebih dari satu," ujar mas Umar, wajahnya begitu sumringah saat mengatakan itu. 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status