Share

4. Kehancuran

Din Din Din!

Jihan berjingkat kaget mendengar suara klakson mobil yang tidak hentinya, membunyikan suara yang begitu nyaring. Matanya menyipit mendapati seseorang yang ia kenal berada di balik kemudi. Dengan tatapan yang begitu terlihat khawatir terhadap dirinya.

"Jihan?"

"A–ajeng?"

"Masuklah, kau berhutang penjelasan padaku."

Ajeng melajukan mobilnya setalah juga dan duduk di sampingnya. Dengan kecepatan sedang menuju salah satu apartemen miliknya yang berada di pusat kota. Ajeng adalah pemilik dari berapa butik terkenal di ibu kota. Pelanggannya bukan hanya orang-orang kaya tepati selebriti dan para istri pejabat. Mereka menyukai disainer pakaian miliknya yang mampu menembus luar negeri.

Tidak membutuhkan waktu lama mobil memasuki apartemen mewah, Ajeng menghentikan mobilnya di basement. Ajeng membantu Jihan yang terlihat menyedihkan.

"Jihan makanlah dulu, aku tahu kamu belum makan. Setelah itu kamu istirahat, tinggallah di sini sampai kamu benar-benar tenang. Jangan bicara apapun, masih ada waktu. Kau membutuhkan waktu untuk sendiri dulu,"

Ajeng menyiapkan makanan untuk Jihan, dengan lauk istimewa mengingat hari ini ia berada di apartemen dan akan mengunjungi sahabatnya namun sayangnya kenyataan lain baru saja ia dapatkan.

"Ajeng. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi padamu, aku–"

"Mau aku pukul? Sekarang mandilah. Tidak perlu bicara lagi. Simpan saja ucapan itu, jangan lupa habiskan semua makanan yang ada di piringmu." ujar Ajeng tanpa bantahan.

"Ajeng..."

"Jangan panggil-panggil aku ada di sini."

Ajeng tidak bermaksud untuk bersikap keras pada sahabatnya tetapi dengan cara ini ia mampu memaksa Jihan untuk makan. Hatinya begitu terluka, Ajeng berjanji akan mencari tahu yang sebenarnya terjadi pada sahabat masa kecilnya.

Usai menghabiskan makanannya walau Ajeng tahu jika Jihan terpaksa. Ajeng mendorong tubuh Jihan masuk kedalam kamar mandi, Ajeng yang mengetahui apa yang terjadi pada sang sahabat hanya bisa menghela napas panjang. Sungguh hatinya terasa perih melihat kenyataan sahabatnya yang telah di usir dari rumah karena ulah saudara dan ibu tirinya.

"Minumlah ini akan sedikit membantumu. Aku sudah menghabiskan satu gelas ini. "Lapar," ujar Ajeng mengangkat gelas di tangannya. Saat melihat Jihan hanya menatap gelas berisi coklat panas di atas meja ruang keluarga. Kondisi Jihan yang kini jauh lebih segar dari sebelumnya meskipun wajahnya terlihat lebih dengan kesedihan.

"Ajeng...."

"Sudahlah kamu habiskan semuanya. Ingat masa depanmu membutuhkan tenaga yang lebih kuat dari sekarang. Jika kamu enggan untuk minum, maka ingatlah ayahmu ada di rumah itu, dan artinya mereka tidak segan-segan melukai ayahmu seperti yang mereka lakukan padamu. Kau harus ingat itu."

Jihan dengan cepat menghabiskan coklat di gelasnya bukan hanya itu saja berapa makanan yang telah di hidangkan oleh Ajeng tandas tak tersisa hanya menyisakan piringnya. Kembali hari Ajeng begitu lega melihat Jihan yang memiliki sengat lagi. Tanpa terasa Air mata mengalir tanpa bisa di hentikan olehnya, tidak ingin Jihan melihatnya sehingga dengan cepat Ajeng menghapusnya dengan kasar.

"Mau tambah lagi?" tanya Ajeng mengalihkan perhatian Jihan yang mulai mengingat apa yang ia alami saat ini.

"Aku sudah kenyang Ajeng. Aku boleh meminta bantuanmu?"

Dengan perasaan ragu, Jihan meminta bantuan dari sahabatnya. Ia tahu jika Ajeng akan membantunya tetapi Jihan enggan untuk membuat sahabatnya kerepotan.

"Apa yang kamu inginkan? Aku akan membantumu, Jihan. Katakan bantuan apa ya yang kamu inginkan? Jangan ada kata sungkan padaku Jihan. Kita adalah teman sebagai teman tentu aku harus berada di sampingmu, bukan? Kau lupa aku pernah berada di posisimu hanya saja ujian kita berbeda."

Jihan terdiam membenarkan perkataan Ajeng. Jihan menyunggingkan senyum indah pada wanita di depannya. Berusaha untuk kuat meskipun hal itu sulit ia lakukan tetapi demi masa depan dirinya dan juga keselamatan Sanga ayah, Jihan akan membuang semua perasaan yang ia rasakan.

"Carikan aku pekerjaan."

Ajeng tersenyum mendengar penuturan Jihan, Ajeng berusaha untuk menyembunyikan kesedihannya di hadapan Jihan sahabatnya. Tawanya terlepas begitu saja tawa yang sebenarnya sangat di paksa oleh Ajeng hanya untuk menutupi air mata yang kembali mengalir.

"Kau ingin mencari pekerjaan? Kau benar-benar membuatku tertawa Jihan! Lihat kau harus bertanggung jawab karena aku menangis karena kata-kata konyol mu itu Jihan!"

"Konyol? Kau anggap aku ini sedang bercanda?"

"Tidak, tidak Jihan."

"Lalu?"

"Kita tidak perlu membahasnya, Oke? Sekarang kamu jangan khawatir. Aku akan ada di sampingmu dan untuk pekerjaan, tentunya hal mudah untukku bukan? Jihan ada pekerjaan yang cocok dengan mu,"

Ajeng mengusap wajahnya dengan tisu air mata yang sulit ia tahan mengalir seiring tawanya yang memenuhi apartemen miliknya.

"Ajeng, benarkah?"

"Tentu. Kapan kamu akan memulainya?"

Ajeng terdiam sesaat mengingat kondisi Jihan yang tidak memungkinkan untuk bekerja. Jihan adalah wanita yang luar biasa, ia mampu membedakan masalah pribadi dan pekerjaan tetapi Ajeng tetap mencemaskan keadaannya.

"Jihan jangan paksakan dirimu, jika kamu belum siap maka jangan pergi." lanjut Ajeng.

"Tidak Ajeng. Aku membutuhkan sekarang,"

"Ajeng, aku...," lanjut juga lirih.

"Jangan katakan apapun, aku sudah tahu semuanya. Sekarang kamu buktikan jika kamu kuat, kamu bisa melewati masalah ini dengan berdiri tegak. Dan kamu harus ambil semua yang seharusnya kamu miliki, bawa kembali kesuksesan perusahaan dan selamatkan ayahmu, Jihan. Bawa pergi jauh dari dua wanita ular itu. Jika perlu kau usir mereka dari rumahmu."

Jihan memikirkan apa yang di katakan oleh sahabatnya, Ajeng. Membenarkan perkataan Ajeng jika ia harus kuat menunjukan pada mereka yang telah menghancurkan dirinya. Jihan mengurungkan niatnya untuk bekerja di luar kota, ia meminta bantuan Ajeng mencarikan pekerjaan yang ada di kota yang sama dengan mereka yang tidak menutup kemungkinan akan bertemu.

"Jangan pikirkan yang tidak seharusnya kamu pikirkan. Jihan apakah kamu tahu siapa laki-laki yang bermalam denganmu?"

Jihan menggelengkan kepalanya, berusaha mengingat wajah pria yang telah merenggut miliknya yang berharga namun tidak kunjung mengingatnya. Kenyataan pahit yang harus ia telan, tidak ingin mengingat apa yang terjadi berapa jam yang lalu kembali mengungkit hatinya yang terasa nyeri.

"Sebaiknya, kau istirahat dulu. Besok adalah hari yang baru untukmu,"

Jihan mengangguk merebahkan dirinya di kamar tamu. Matanya sulit untuk terpejam, sehingga Jihan memilih untuk berdiri di balkon kamar yang ia tempati. Menatap langit yang begitu gelap seakan bintang memahami apa yang ia rasakan.

"Jihan, kamu harus kuat. Tataplah masa depan yang menantimu, kamu pasti bisa menghancurkan mereka yang telah menyakitimu. Selamatkan ayahmu dan ambil kembali yang menjadi milikmu." gumam Jihan memberikan kekuatan pada dirinya, ia tahu jika sang ayah berada dalam bahaya selama mereka berada di samping ayahnya bahkan ia menyakini jika Sanga ayah telah di perlakukan tidak baik oleh mereka.

Jihan memaksakan untuk memejamkan matanya mengingat esok hari adalah awal yang baru untuknya.

******

Pagi menjelang dan Jihan telah rapi dengan setelah kerjanya.

Hari ini juga, Jihan memutuskan untuk mencari pekerjaan, meskipun Ajeng memintanya untuk bekerja di salah perusahaan milik sahabatnya.

Namun, Jihan berusaha lebih baik agar tidak ada waktu yang terbuang hanya untuk meratapi rasa sakit yang membuatnya hancur.

Tiba-tiba, suara dari belakang mengaggetkannya.

"Jihan, kamu...?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status