Din Din Din!
Jihan berjingkat kaget mendengar suara klakson mobil yang tidak hentinya, membunyikan suara yang begitu nyaring. Matanya menyipit mendapati seseorang yang ia kenal berada di balik kemudi. Dengan tatapan yang begitu terlihat khawatir terhadap dirinya."Jihan?""A–ajeng?""Masuklah, kau berhutang penjelasan padaku."Ajeng melajukan mobilnya setalah juga dan duduk di sampingnya. Dengan kecepatan sedang menuju salah satu apartemen miliknya yang berada di pusat kota. Ajeng adalah pemilik dari berapa butik terkenal di ibu kota. Pelanggannya bukan hanya orang-orang kaya tepati selebriti dan para istri pejabat. Mereka menyukai disainer pakaian miliknya yang mampu menembus luar negeri.Tidak membutuhkan waktu lama mobil memasuki apartemen mewah, Ajeng menghentikan mobilnya di basement. Ajeng membantu Jihan yang terlihat menyedihkan."Jihan makanlah dulu, aku tahu kamu belum makan. Setelah itu kamu istirahat, tinggallah di sini sampai kamu benar-benar tenang. Jangan bicara apapun, masih ada waktu. Kau membutuhkan waktu untuk sendiri dulu,"Ajeng menyiapkan makanan untuk Jihan, dengan lauk istimewa mengingat hari ini ia berada di apartemen dan akan mengunjungi sahabatnya namun sayangnya kenyataan lain baru saja ia dapatkan."Ajeng. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi padamu, aku–""Mau aku pukul? Sekarang mandilah. Tidak perlu bicara lagi. Simpan saja ucapan itu, jangan lupa habiskan semua makanan yang ada di piringmu." ujar Ajeng tanpa bantahan."Ajeng...""Jangan panggil-panggil aku ada di sini."Ajeng tidak bermaksud untuk bersikap keras pada sahabatnya tetapi dengan cara ini ia mampu memaksa Jihan untuk makan. Hatinya begitu terluka, Ajeng berjanji akan mencari tahu yang sebenarnya terjadi pada sahabat masa kecilnya.Usai menghabiskan makanannya walau Ajeng tahu jika Jihan terpaksa. Ajeng mendorong tubuh Jihan masuk kedalam kamar mandi, Ajeng yang mengetahui apa yang terjadi pada sang sahabat hanya bisa menghela napas panjang. Sungguh hatinya terasa perih melihat kenyataan sahabatnya yang telah di usir dari rumah karena ulah saudara dan ibu tirinya."Minumlah ini akan sedikit membantumu. Aku sudah menghabiskan satu gelas ini. "Lapar," ujar Ajeng mengangkat gelas di tangannya. Saat melihat Jihan hanya menatap gelas berisi coklat panas di atas meja ruang keluarga. Kondisi Jihan yang kini jauh lebih segar dari sebelumnya meskipun wajahnya terlihat lebih dengan kesedihan."Ajeng....""Sudahlah kamu habiskan semuanya. Ingat masa depanmu membutuhkan tenaga yang lebih kuat dari sekarang. Jika kamu enggan untuk minum, maka ingatlah ayahmu ada di rumah itu, dan artinya mereka tidak segan-segan melukai ayahmu seperti yang mereka lakukan padamu. Kau harus ingat itu."Jihan dengan cepat menghabiskan coklat di gelasnya bukan hanya itu saja berapa makanan yang telah di hidangkan oleh Ajeng tandas tak tersisa hanya menyisakan piringnya. Kembali hari Ajeng begitu lega melihat Jihan yang memiliki sengat lagi. Tanpa terasa Air mata mengalir tanpa bisa di hentikan olehnya, tidak ingin Jihan melihatnya sehingga dengan cepat Ajeng menghapusnya dengan kasar."Mau tambah lagi?" tanya Ajeng mengalihkan perhatian Jihan yang mulai mengingat apa yang ia alami saat ini."Aku sudah kenyang Ajeng. Aku boleh meminta bantuanmu?"Dengan perasaan ragu, Jihan meminta bantuan dari sahabatnya. Ia tahu jika Ajeng akan membantunya tetapi Jihan enggan untuk membuat sahabatnya kerepotan."Apa yang kamu inginkan? Aku akan membantumu, Jihan. Katakan bantuan apa ya yang kamu inginkan? Jangan ada kata sungkan padaku Jihan. Kita adalah teman sebagai teman tentu aku harus berada di sampingmu, bukan? Kau lupa aku pernah berada di posisimu hanya saja ujian kita berbeda."Jihan terdiam membenarkan perkataan Ajeng. Jihan menyunggingkan senyum indah pada wanita di depannya. Berusaha untuk kuat meskipun hal itu sulit ia lakukan tetapi demi masa depan dirinya dan juga keselamatan Sanga ayah, Jihan akan membuang semua perasaan yang ia rasakan."Carikan aku pekerjaan."Ajeng tersenyum mendengar penuturan Jihan, Ajeng berusaha untuk menyembunyikan kesedihannya di hadapan Jihan sahabatnya. Tawanya terlepas begitu saja tawa yang sebenarnya sangat di paksa oleh Ajeng hanya untuk menutupi air mata yang kembali mengalir."Kau ingin mencari pekerjaan? Kau benar-benar membuatku tertawa Jihan! Lihat kau harus bertanggung jawab karena aku menangis karena kata-kata konyol mu itu Jihan!""Konyol? Kau anggap aku ini sedang bercanda?""Tidak, tidak Jihan.""Lalu?""Kita tidak perlu membahasnya, Oke? Sekarang kamu jangan khawatir. Aku akan ada di sampingmu dan untuk pekerjaan, tentunya hal mudah untukku bukan? Jihan ada pekerjaan yang cocok dengan mu,"Ajeng mengusap wajahnya dengan tisu air mata yang sulit ia tahan mengalir seiring tawanya yang memenuhi apartemen miliknya."Ajeng, benarkah?""Tentu. Kapan kamu akan memulainya?"Ajeng terdiam sesaat mengingat kondisi Jihan yang tidak memungkinkan untuk bekerja. Jihan adalah wanita yang luar biasa, ia mampu membedakan masalah pribadi dan pekerjaan tetapi Ajeng tetap mencemaskan keadaannya.
"Jihan jangan paksakan dirimu, jika kamu belum siap maka jangan pergi." lanjut Ajeng."Tidak Ajeng. Aku membutuhkan sekarang,""Ajeng, aku...," lanjut juga lirih.
"Jangan katakan apapun, aku sudah tahu semuanya. Sekarang kamu buktikan jika kamu kuat, kamu bisa melewati masalah ini dengan berdiri tegak. Dan kamu harus ambil semua yang seharusnya kamu miliki, bawa kembali kesuksesan perusahaan dan selamatkan ayahmu, Jihan. Bawa pergi jauh dari dua wanita ular itu. Jika perlu kau usir mereka dari rumahmu."Jihan memikirkan apa yang di katakan oleh sahabatnya, Ajeng. Membenarkan perkataan Ajeng jika ia harus kuat menunjukan pada mereka yang telah menghancurkan dirinya. Jihan mengurungkan niatnya untuk bekerja di luar kota, ia meminta bantuan Ajeng mencarikan pekerjaan yang ada di kota yang sama dengan mereka yang tidak menutup kemungkinan akan bertemu."Jangan pikirkan yang tidak seharusnya kamu pikirkan. Jihan apakah kamu tahu siapa laki-laki yang bermalam denganmu?"Jihan menggelengkan kepalanya, berusaha mengingat wajah pria yang telah merenggut miliknya yang berharga namun tidak kunjung mengingatnya. Kenyataan pahit yang harus ia telan, tidak ingin mengingat apa yang terjadi berapa jam yang lalu kembali mengungkit hatinya yang terasa nyeri."Sebaiknya, kau istirahat dulu. Besok adalah hari yang baru untukmu,"Jihan mengangguk merebahkan dirinya di kamar tamu. Matanya sulit untuk terpejam, sehingga Jihan memilih untuk berdiri di balkon kamar yang ia tempati. Menatap langit yang begitu gelap seakan bintang memahami apa yang ia rasakan."Jihan, kamu harus kuat. Tataplah masa depan yang menantimu, kamu pasti bisa menghancurkan mereka yang telah menyakitimu. Selamatkan ayahmu dan ambil kembali yang menjadi milikmu." gumam Jihan memberikan kekuatan pada dirinya, ia tahu jika sang ayah berada dalam bahaya selama mereka berada di samping ayahnya bahkan ia menyakini jika Sanga ayah telah di perlakukan tidak baik oleh mereka.Jihan memaksakan untuk memejamkan matanya mengingat esok hari adalah awal yang baru untuknya.******
Pagi menjelang dan Jihan telah rapi dengan setelah kerjanya.Hari ini juga, Jihan memutuskan untuk mencari pekerjaan, meskipun Ajeng memintanya untuk bekerja di salah perusahaan milik sahabatnya.
Namun, Jihan berusaha lebih baik agar tidak ada waktu yang terbuang hanya untuk meratapi rasa sakit yang membuatnya hancur.
Tiba-tiba, suara dari belakang mengaggetkannya."Jihan, kamu...?"
Jihan sontak menengok dan menemukan sahabatnya menatapnya dari atas ke bawah."Ajeng bikin kaget aja! Aku kenapa? Apakah ada yang salah?""Tidak, Jihan. Aku hanya takjub melihatmu yang begitu cantik seperti biasanya. Dia benar-benar buta sampai meninggalkan dirimu, dan memilih batu kali yang tidak berharga. Em, Jihan! Kamu sudah siap?" sahut Ajeng panjang lebar."Sudah dong. Ayo!""Ajeng, aku tahu kamu akan mengatakan sesuatu padaku. Tapi, kamu enggan membuatku mengingat kejadian kemarin. Kamu harus percaya jika aku akan baik-baik saja, aku kuat seperti yang kau katakan padaku." lanjut Jihan dalam hatiAjeng mengantar Jihan ke salah satu perusahaan milik sahabatnya yang saat ini berada di luar negeri. Ajeng yakin jika Jihan akan betah bekerja disana, mengingat jika perusahaan milik sahabatnya itu membutuhkan orang yang seperti Jihan dan tentunya dengan gaji yang tidak sedikit."Ajeng terima kasih," ucap Jihan penuh rasa syukur pada sahabatnya."Sekali lagi bilang makasih, aku tidak aka
Jihan yang sibuk dengan aktivitas setiap hari membuatnya melupakan apa yang terjadi dengan dirinya. Mengabaikan rasa sakit dan mengantikan dengan prestasi yang akan ia tunjukan pada sang ayah, walau bukti tidak ia dapatkan untuk membuktikan jika dirinya tidak bersalah. Namun Jihan tidak lagi peduli, hidupnya adalah bagaimana caranya bisa meraih mimpinya yang hilang karena ulah para benalu."Jihan kamu kenapa? Bangun Jihan!"Ajeng terkejut dengan jatuhnya Jihan yang tiba-tiba. Terlebih tubuh dan wajah Jihan yang pucat pasi membuktikan jika dirinya tidak baik-baik saja akhir-akhir ini. Tidak seperti biasanya Jihan selemah ini. Hal yang di takutkan oleh Ajeng kembali menyeruak di dalam hatinya kecemasan dan kekhawatiran keadaan Jihan yang tentunya akan shock mendapati kenyataan yang lebih menyakitkan lagi. "Jihan bangun!!! Jangan membuatku takut Jihan!!! Sadarlah Jihan. Bangun kamu tidak kasihan padaku, hah?!"Ajeng yang cemas melihat kondisi Jihan yang berapa hari ini terlihat pucat, ba
Ajeng tersentak mendengar penuturan Jihan yang semudah itu menolak anak yang ada dalam kandungannya. Tidak ingin menghakimi Jihan apa yang ia rasakan saat ini tidaklah muda. Dengan berlahan Ajeng kembali menasehati agar sang sahabat mengurungkan niatnya untuk menghilangkan nyawa."Dia adalah korban sama seperti dirimu, jangan lakukan apapun padanya, Jihan. Jangan membuat kesalahan untuk kedua kalinya, ingat ada tuhan bersamamu. Kau hanyalah salah satu orang yang tidak beruntung Jihan begitu juga anak yang ada dalam kandungan dia membutuhkan dirimu. Jika dia mampu berkata maka ia akan berkata, Mama aku ingin melihat dunia. Jangan sakiti aku," ujar Ajeng apapun untuk menyadarkan sahabatnya.Ajeng tidak hentinya mencoba menenangkan sahabatnya. Meskipun sulit pada akhirnya Ajeng berhasil menenangkan hati Jihan. "Kamu benar sekali Ajeng, aku hampir saja membunuh anakku. Seandainya kamu tidak mengingatkan dosa yang sudah aku lakukan, mungkin aku akan melakukan kesalahan dan dosa untuk kedu
"B– baik, pak. Saya mengerti hal itu,"Jihan telah menyiapkan hatinya untuk menerima pemecatan dirinya. Namun Jihan tidak menyangka jika waktunya lebih cepat dari yang ia perkirakan."Jihan boleh aku bertanya padamu?" "Pak Fikri? Apa yang ingin anda tanyakan pada saya? Maaf sebelumnya, jika pertanyaan anda mengenai masalah pribadi saya. Dengan berat hati saya tidak ingin menceritakan apapun yang terjadi dengan diri saya kepada anda atau orang lain. Saya harap anda mengerti untuk tidak–""Bukan itu Jihan. Aku hanya merasa ada sesuatu yang terjadi dan ini tidak benar. Maksudku, maaf aku tahu ini bukan urusanku tapi aku tahu jika kamu adalah putri dari keluarga yang tidak di ragukan lagi. Masalah yang terjadi dan gosip itu aku rasa bukan kamu yang bersalah, terlebih saudara tiri mu yang menjadi pengganti kamu di kantor. Aku harap kamu bisa mengakui aku sebagai sahabatmu, aku tahu siapa kamu meskipun kita baru bekerja di tempat yang sama. Aku harap kamu tidak memikirkan hal yang tidak pe
Bruaaaakkk !!"Argghhkkk!!!"Tubuh Jihan terhuyung kedepan, Jihan berusaha untuk menetralkan detak jantungnya dengan cepat meraba perutnya. Senyum terukir indah di bibirnya setelah menyadari bahwa kandungannya baik-baik saja."M– maaf, kamu tidak apa-apa?"Suara bariton terdengar di lembut namun sarat akan tegasnya. Jihan mendongak ke atas seorang laki-laki terlihat di depan wajahnya. Aroma maskulin membuat Jihan terasa nyaman, tanpa menyadari tatapan tegas seorang laki-laki yang mengerutkan keningnya."Aku tidak apa-apa," Tanpa menoleh ke arah wajah pria yang berdiri di depannya, Jihan berusaha untuk berlutut merapikan berkas yang berserakan di lantai. Pria yang berdiri hanya diam terpaku, wajah Jihan telah mengusik hatinya. Walau tidak sepenuhnya melihatnya namun entah kenapa hatinya berdesir seakan ia ingin begitu dekat dengan wanita yang tengah berlutut di depannya."Ken, kenapa ada di sini? Aku mencarimu, cepatlah sebelum karyawan tahu kamu disini, mereka akan berbondong-bondong
"Itu terserah denganmu, tapi kamu yakin akan melakukannya?"Ajeng tidak ingin sahabatnya kembali mengalami masalah terlebih saat ini jiwanya shock setelah menjadi bulan-bulanan di kantor tempatnya bekerja. Meskipun tidak memperlihatkan padanya tetapi sebagai seorang sahabat tentunya Ajeng tahu apa yang di rasakan oleh Jihan saat ini."Kenapa tidak? Aku sangat yakin. Aku titipkan ayah padamu, tolong kunjungi ayah. Selama aku tidak ada di sini,"Ajeng yang tidak ingin sesuatu terjadi pada sahabatnya mencoba untuk meyakinkan sang sahabat bahwa semuanya akan baik-baik saja selama dirinya berada di samping Jihan. Terlebih dengan Ayahnya yang kini berada di kota. Ajeng menyakinkan sahabatnya jika semuanya akan menjadi aman. Walau Ajeng kesulitan untuk mengunjungi ayah dari sahabatnya, namun ia yakin bahwa kesempatan itu akan datang meskipun tidak tahu kapan waktunya. Namun ia yakin jika akan ada kesempatan untuk menemui dan mengatakan kebenaran yang terjadi pada Jihan."Pasti aku akan menja
"T– tapi Jihan. Andra tidak akan pergi jika kamu tidak ikut. Kau akan membiarkan aku sendiri disana?"Jihan menggeleng untuk kesekian kalinya, setiap membicarakan Andra maka Indah akan terus mendesaknya agar bisa pergi bersama. Dengan demikian maka Indah akan bertemu dengan Andra."Kamu bicara lebih dulu dengannya. Aku yakin Andra akan pergi menemanimu asalkan kamu sendiri yang mengatakannya.""T— tapi Jihan,""Indah, bukankah aku sudah bilang tidak bisa? Kamu tahu jika aku berulang kali menolak ajakan Andra, kenapa tidak kalian berdua saja? Katakan jika aku tidak bisa pergi. Kamu bisa bersama dengannya, dan juga yang lain. Aku terlalu lelah untuk pergi malam ini lagi pula,""Lagi pula apa? Apakah kau sakit?""Kamu tahu kandunganku sudah semakin besar. Banyak keluhan, aku sering lelah. Temui Andra, pasti dia tidak akan menolak mu terlebih ini urusan kantor.""Baiklah aku akan mencobanya,"Jihan bersiap untuk pulang setelah kepergian Indah, pekerjaannya telah selesai. Ia tidak akan pul
Jihan terkejut ia tidak menyangka jika Indah bicara dengan nada tinggi di depannya. Terlihat tatapan penuh intimidasi, sorot mata yang begitu marah dan benci bersamaan. Jihan berusaha untuk menenangkan diri agar tidak terbawa emosi melihat sikap Indah yang begitu berbeda dari biasanya."Kenapa diam? Katakan padaku Jihan. Apa benar jika kamu hamil tanpa suami?! Apa benar jika kamu menghianati tunanganmu hanya demi laki-laki lain? Bahkan kamu menghabiskan malam dengan pria lain saat kau akan menikah dengan—"Indah menghentikan ucapannya menetralkan detak jantungnya yang tiba-tiba berdetak lebih cepat. Sejak lama Indah mencurigai keberadaan Jihan terlebih dalam kondisi hamil lima bulan. Datang dari kota dan rela memilih bekerja di kota terpencil yang jauh dari rumah sakit. Tetapi ia mencoba menjadi sahabatnya demi seseorang."Untuk apa aku menjelaskan padamu, Indah? Aku memiliki hak untuk tidak mengatakan padamu tentang pribadiku,""Jadi kamu tidak membatah gosip itu?""Apa gunanya, aku