Cindy duduk di kursi kerjanya. Tatapannya lurus ke depan, namun benaknya dipenuhi kemarahan yang mendidih. Ia benar-benar kesal. Fakta bahwa Kasih sedang mengandung anak kedua dari Eric seperti menamparnya tanpa ampun. Bayangan wajah Eric yang tadi begitu bahagia, lengkap dengan pelukan hangatnya kepada Kasih, membuat dada Cindy terasa sesak. Kecemburuan itu terus menggerogoti hatinya, membuatnya ingin berteriak."Aku tidak peduli jika wanita itu adalah istri Eric. Ia tidak boleh hamil lagi," gumam Cindy dengan suara rendah yang sarat dengan amarah.Tangannya mengepal di atas meja. Ia merasa seakan tak berdaya, namun pikirannya mulai dipenuhi rencana-rencana kelam yang muncul dari rasa benci dan keinginan memiliki yang tak tersampaikan.Tiba-tiba, seulas senyum muncul di wajahnya. Sebuah senyum yang tak mengandung kebahagiaan, melainkan angan-angan gila yang mulai tumbuh subur di benaknya. Ia membayangkan dirinya sebagai Kasih. Bayangkan jika ia yang sedang mengandung anak dari Eric.
Di ambang pintu, Kasih memandangi Eric yang sedang serius menekuni berkas-berkas pekerjaannya. Begitu fokusnya, hingga pria itu tidak menyadari pintu telah terbuka dan istrinya kini berdiri memandang ke arahnya.Seulas senyum muncul di wajah Kasih. Melihat berbagai ekspresi itu, ia teringat saat masih menjadi sekretaris Eric. Raut wajah pria itu saat bekerja masih sama seperti dulu, tenang dan penuh konsentrasi.Perlahan Kasih melangkah masuk, dengan langkah yang sengaja diperlambat agar tidak menimbulkan suara.Ia berdehem pelan ketika tiba di depan meja kerja Eric.Mendengar suara yang sangat dikenalnya, Eric tersenyum dan mengangkat wajah. Ia menatap Kasih dengan pandangan lembut, penuh kehangatan."Serius sekali, sampai tidak sadar kalau Mama masuk," ucap Kasih sambil tersenyum.Eric bangkit dari kursinya dan segera melangkah menghampiri Kasih. Tanpa berkata apa pun, ia merengkuh tubuh istrinya ke dalam pelukan hangat, seolah ingin memastikan bahwa wanita yang paling dicintainya i
Cindy mengulas senyum tipis saat mendengar kalimat ancaman yang terlontar dari bibir istri atasannya itu. Ia menegakkan dagunya, seolah tidak ada sedikit pun rasa takut. Dalam benaknya, berbagai macam praduga berkecamuk. Saat ini, Cindy memang merasa takut pada ancaman Kasih.Bagaimanapun juga, ia tahu betul sifat Eric. Namun, ia segera menguasai rasa takut itu, mengingat apa yang telah dilakukan Eric padanya kemarin. Tanpa berpikir panjang lebar tentang konsekuensi yang akan dihadapinya, Cindy justru semakin berani."Silakan saja Anda melaporkan saya kepada Pak Eric. Saya yakin beliau akan lebih menghargai kinerja dan kesetiaan saya, daripada sekadar amarah sesaat dari seorang istri yang hanya datang sewaktu-waktu, tanpa mengetahui betapa lelah dan beratnya pekerjaan beliau," ucapnya.Nada suaranya terdengar dingin dan penuh keberanian. Tatapannya tak lepas dari mata Kasih, seolah menantang wanita yang kini berdiri di hadapannya.Mendengar ucapan Cindy, Kasih menggeleng. Ia benar-ben
Kasih mendudukkan tubuhnya yang terasa lemas di tepian tempat tidur. Tangannya terangkat pelan, memijat pelipis yang berdenyut nyeri, berharap rasa sakit itu sedikit mereda. Sejak tadi, ia menahan semua keluhan yang dirasakannya karena tidak ingin membuat Eric khawatir.Ia tahu betul bahwa suaminya sangat mencemaskannya. Bahkan, Eric sempat memaksanya untuk pergi ke dokter keluarga mereka. Namun, dengan halus Kasih menolak.“Mama baik-baik saja,” ucapnya pagi tadi, mencoba meyakinkan Eric meskipun dirinya sendiri nyaris tak kuat berdiri.Setelah Eric berangkat bekerja, Kasih segera masuk ke kamarnya. Ia menutup pintu perlahan, lalu melangkah lemas menuju kamar mandi. Rasa mual yang sejak tadi ditahannya akhirnya tak terbendung lagi. Ia membungkuk di depan wastafel, memuntahkan seluruh isi perutnya dengan napas tersengal. Tubuhnya terasa lemah, tapi ia tetap mencoba bertahan."Apakah mungkin?" gumam Kasih pelan.Sejenak, Kasih tertegun. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya. Dengan lang
Cindy yang tampak kesal melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Berkali-kali terdengar umpatan terlontar dari bibir wanita berwajah manis itu. Ingatannya kembali melayang pada sikap Eric tadi di rumah pria itu. Ia benar-benar marah dan merasa terhina.Pengusiran yang dilakukan Eric membuatnya merasa dipermalukan, seolah ia tak memiliki harga diri di hadapan pria itu. Dengan rahang mengeras dan tatapan membara, Cindy mencengkeram setir mobilnya dengan sangat kuat, seakan hendak melampiaskan seluruh amarah yang sedari tadi berusaha ditahanya.Dalam hatinya, Cindy mendesis, “Berani sekali dia mengusirku seperti pembantu murahan. Dia pikir siapa dirinya? Hanya karena dia pemilik perusahaan, seenaknya saja mempermalukanku.”Matanya berkaca-kaca. Bukan karena ia merasa sedih, melainkan karena harga dirinya diinjak-injak begitu saja oleh atasan yang selama ini diam-diam menarik perhatiannya.“Tenang, Cindy. Kau hanya memerlukan sedikit waktu. Aku akan buktikan jika aku bukan wanita bias
Kasih terbangun oleh suara pintu kamar yang terbuka perlahan. Di antara kantuknya, ia mendengar suara Nayla yang sedang mengomel pelan, nadanya sebal tapi terdengar sangat lucu.Ia mengerjapkan mata sebentar, lalu memejamkannya kembali, membiarkan tubuhnya tetap berselimut hangat. Dengan mata yang terpejam dia mencuri dengar perbincangan putri dan suaminya. Dalam benaknya bertanya-tanya, siapa wanita yang dimaksud oleh Naya? Mengapa putrinya sangat kesal pada wanita itu?Pernyataan itu menggema di telinganya sehingga membuat Kasih semakin penasaran.”Nay tidak menyukai dia, Pa! Wanita itu cerewet sekali,” gerutu Nayla.Ia menatap wajah Eric dengan sorot mata penuh kekesalan. Sementara itu, Eric hanya diam, lalu melangkah menuju sofa dan duduk perlahan. Tatapannya kembali tertuju pada putri kecilnya yang kini sedang manyun, bibirnya mengerucut seolah menahan rasa jengkel."Papa tahu tidak? Waktu aku dan Mama mengantarkan makan siang ke perusahaan Papa, tante sekretaris itu menghalangi