Cindy terbelalak menatap layar yang menayangkan rekaman dirinya yang sedang berjalan mondar-mandir di dalam ruangan. Namun bukan gerak-geriknya yang membuat jantungnya berdegup kencang seolah hendak melompat keluar dari dadanya. Yang membuat tubuhnya gemetar hebat dan diliputi ketakutan adalah suara dalam rekaman itu, suara dirinya sendiri, bergema nyaring memenuhi ballroom hotel.Setiap kalimat yang keluar dari bibirnya, rencana liciknya untuk menjebak Eric agar tidur dengannya, terdengar jelas di telinganya dan semua orang. Di layar, plastik putih berisi bubuk obat perangsang yang akan ia taburkan ke dalam gelas Eric terlihat begitu nyata.“Tidak mungkin,” gumamnya lirih. Ia menggeleng, seakan menolak percaya atas apa yang sedang dialaminya.Dalam sekejap, ballroom itu berubah riuh. Beberapa tamu berdecak kesal, sebagian menutup mulut dengan tangan seolah tak percaya, sementara yang lain memelototi Cindy dengan penuh amarah. Bisik-bisik tajam bercampur teriakan cemooh, membuat udara
Kasih menghela napas panjang. Sedikit pun ia tidak terkejut akan ucapan yang terlontar dari bibir sekretaris Eric itu. Kasih sudah menduga akan kelicikan Cindy yang mengorek masa lalunya untuk digunakan sebagai senjata olehnya agar membuat Kasih malu di hadapan banyak orang.Namun, ia sengaja diam dan hanya memperhatikan Cindy, seolah ia tidak berkutik sedikit pun. ”Aku akan mengikuti permainanmu, Cindy,” gumam Kasih dalam hati.Indira yang mendengarnya sangat terkejut, apalagi nada suara Cindy sangat menghina masa lalu Kasih. Sementara itu, Revan, walaupun ia memiliki keterbelakangan mental, ia pun paham maksud dari Cindy. Matanya menatap wajah kakaknya dengan tatapan cemas.”Kau!” bentak Indira. Matanya tak lepas dari wajah Cindy, kedua tangannya mengepal, napasnya memburu, wajahnya memerah penuh dengan amarah.Suara bentakan Indira yang menggema di ruangan ballroom membuat tamu undangan menoleh ke arahnya dengan tatapan mata penuh tanda tanya, sedangkan Eric yang terkejut bergegas
Cindy melangkah mendekati Nayla yang sedang asyik berceloteh bersama teman-temannya. Matanya memandangi gadis kecil itu dengan sorot yang sulit diartikan.Nayla yang merasa ditatap oleh seseorang, menoleh dan membalas pandangan mata sekretaris papanya itu. Keningnya berkerut. Dalam benaknya, ia bertanya-tanya mengapa wanita itu memandanginya dengan tatapan yang begitu aneh.Cindy mengulas senyum di wajahnya. “Hai, anak cantik,” sapa Cindy.Kerutan di kening Nayla semakin dalam saat melihat keramahan Cindy dan senyumnya yang terasa aneh.”Mengapa tante Cindy datang kesini?” gumamnya.Nayla tampak jelas tidak menyukai sekretaris Eric itu. Meskipun masih kecil, ia mampu membedakan mana ketulusan dan mana kepura-puraan. Terlebih lagi, ia tahu bahwa selama ini sekretaris papanya itu tidak pernah menunjukkan sikap yang baik.Cindy melangkah semakin dekat. Ia berjongkok, mensejajarkan tinggi tubuhnya dengan Nayla.“Tante membawa hadiah untukmu,” ucapnya sambil memperlihatkan kado yang dipega
Acara ulang tahun Nayla yang keempat berlangsung dengan sangat meriah di sebuah hotel mewah. Ballroom hotel disulap menjadi kerajaan dongeng penuh keajaiban. Tirai-tirai menjuntai anggun berwarna ungu muda dan emas, dihiasi hiasan mahkota dan lambang kerajaan di setiap sudut. Balon-balon berwarna pastel dan perak menggantung di langit-langit, membentuk lengkungan seperti gerbang istana.Nayla menatap dekorasi ulang tahunnya itu. Anak yang baru saja berusia empat tahun itu mendongakkan wajahnya, menatap kedua orang tuanya, juga Revan dan Omanya yang saat ini tampak sangat bahagia melihat kebahagiaan gadis kecil mereka.“Papa, Mama, terima kasih. Nay sangat bahagia sekali,” ucapnya.Kasih dan Eric menunduk, mata mereka memandang wajah Nayla. Sorot mata pasangan suami istri itu tampak sangat lembut.“Sama-sama, sayang,” ucap mereka bersamaan.Eric mengusap lembut pundak gadis kecilnya itu. “Apakah dekorasi ulang tahunmu ini sudah sesuai dengan keinginanmu?” tanyanya.Nayla mengedarkan pa
Eric menghembuskan napas berat, matanya tak lepas menatap punggung istrinya yang melangkah keluar dari ruang kerjanya. Begitu pintu tertutup, keheningan seketika menyelimuti ruangan.Ia termenung. Permintaan Kasih barusan terus mengganggu pikirannya. Dengan gusar, Eric mengusap kasar wajahnya. Ia benar-benar tidak habis pikir akan permintaan Kasih.“Ya Tuhan... bagaimana mungkin Kasih meminta izin untuk bekerja lagi?” gumamnya lirih, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri.Raut wajahnya berubah muram. Kegundahan tergambar jelas pada sorot matanya. Kalimat itu kembali terngiang jelas di telinganya, begitu jelas, seolah baru saja diucapkan.“Mama minta izin untuk kembali bekerja di kantor sebagai sekretaris Papa.”Tadi Eric sempat terkejut. Ia memandang Kasih dengan tatapan penuh selidik. Ia berusaha sekuat tenaga menahan kekesalannya pada Kasih. Bahkan Eric sempat berpikir jika Kasih cemburu pada Cindy, mengingat sikap anehnya tadi siang sewaktu di perusahaan.Namun, Eric pun sanga
Kasih menghela napas panjang. Saat ini, ia sangat bingung menjawab pertanyaan Eric. Tidak mungkin jika dirinya mengatakan yang sesungguhnya pada suaminya. Kasih tahu, jika Eric mengetahui apa yang sudah didengarnya, maka ia yakin Eric tidak akan pernah mau mendengarkannya. Saat itu juga, Eric akan memecat Cindy tanpa berpikir panjang lagi.“Apa yang harus aku katakan? Tadi saja Eric sudah akan memecat Cindy jika aku tidak mencegahnya. Tapi, mengingat perbuatan Cintya dan Sandra dulu, aku sudah banyak belajar. Memecat Cindy bukan penyelesaian dari masalah, tapi malah membuat segalanya menjadi lebih rumit lagi,” gumam Kasih dalam hati.Kasih tahu, Eric mampu menjaga dan melindunginya bersama putri mereka. Namun, tidak selamanya Eric berada di sampingnya. Kasih ingin belajar mandiri dalam menjaga keluarganya tanpa bergantung pada Eric. Apalagi sekarang ini, beban pekerjaan Eric sangat banyak, dan sebagai seorang istri, ia tidak ingin terus membebani suaminya.“Mengapa diam?” tanya Eric.