Seorang pria keluar dari pesawat sembari membuka kacamata. Bibirnya menguntum senyum. “Indonesia, akhirnya aku kembali padamu,” lirihnya menuruni tangga.
Langkahnya santai, mendorong koper melewati banyak orang tanpa peduli. “Di mana pengawalku?” Baru saja bertanya pada diri sendiri, dilihatnya beberapa orang berlari mendekat.“Selamat datang kembali, Tuan Muda.” Tiga orang berpakaian rapi menyapa, lantas membungkuk hormat.Pria itu adalah Karan Pradipta Kusuma yang baru pulang dari luar negeri setelah 10 tahun lebih sekolah bisnis di Amerika.“Bawakan koperku! Aku sangat lelah.” Karan menyerahkan koper, lalu beranjak pergi lebih dulu.“Baik, Tuan!” Seorang pengawal menjawab, bergegas mengikuti sembari menarik koper.“Tuan Kusuma sudah menunggu. Apa kita langsung pulang?” tanya pengawal berkumis tebal.“Tidak. Aku malas melihat Papa bersama penyihir itu. Belum lagi si nakal yang pasti sudah seusiaku.” Karan memasukkan kacamata ke dalam saku jas.“Apa Tuan mau ke rumah Nyonya? Beliau pasti rindu.” Pengawal berusaha agar tak menyinggung perasaan Karan yang baru saja tiba.“Rindu, tapi aku benci suaminya. Dialah alasan aku pergi ke Amerika lebih awal.” Karan mengepalkan tangan, kesal mengingat kejadian di masa lalu.“Lalu, kita ke mana, Tuan?” Pengawal yang sejak tadi diam ikut bicara.“Ke Hotel. Aku ingin merebahkan diri dulu sebelum menemui dua keluarga menyebalkan itu,” ujar Karan.Pengawal hanya mengiyakan, membukakan pintu mobil untuknya tanpa kata.Sepanjang perjalanan, Karan terdiam. Ia teringat papa dan mamanya yang berpisah 10 tahun lalu dan memilih menjalin hubungan dengan orang baru.“Andai saja Papa tidak tertarik pada penyihir itu .... “ Karan memejamkan mata. Kenangan kelabu bagai kembali terlintas di benaknya.Di usia yang ke-15 tahun, Karan terpaksa meninggalkan tanah air. Dendamnya pada sosok ayah tiri yang jahat, juga pada ibu tiri dengan anak laki-laki itu tak pernah terlupakan.“Jangan ada yang bicara!”Seketika suasana senyap saat Karan memberi perintah. Angannya kembali menerpa.Papanya tergoda pada janda beranak satu hingga menuntut perceraian, sedangkan mamanya menikah dengan mafia karena terpaksa. “Hidup yang berantakan.” Karan tersenyum hambar.Perjalanan panjang dan melelahkan dari Amerika membuatnya dengan mudah terlelap.***Mobil yang dikendarai Alex berhenti di depan hotel. Ia membuka pintu mobil, lalu mengangkat tubuh Ailyn yang masih tak sadarkan diri menuju ke kamar.“Siapa bilang uang tak mampu membeli segalanya?” Pria berkumis tipis itu tersenyum. Mohan sudah menjual Ailyn padanya seharga 500 juta.Semua anak buah Alex kompak membungkuk, lalu membukakan pintu begitu melihatnya muncul. “Tinggalkan aku. Kalian kembali saja ke mansion!” titahnya.“Baik, Bos!” Sekali lagi mereka membungkuk hormat, bergegas meninggalkan sang ketua yang akan menikmati malam bersama wanitanya.Pria dengan wajah masih tampan di usianya yang menginjak 60 tahun itu membuka pintu kamar hotel, lantas menguncinya dari dalam. Dilemparnya kunci ke sofa tanpa menoleh.Diletakkannya tubuh Ailyn perlahan di atas kasur yang dihiasi bunga-bunga. “Aku tak sabar untuk segera bermain.” Digosoknya kedua tangan, sedangkan lidahnya membasahi bibir perlahan.“Wanita kasar dan susah dimiliki selalu menarik. Marina, Ailyn ... dua-duanya membuatku tergila-gila sejak pandangan pertama.”Alex membuka jas. Dilemparnya jas itu ke sofa dekat kunci. Bersiap ia menaiki ranjang. “Padahal aku lebih suka melakukannya saat terjaga.”Melihat tubuh Ailyn, nafsu memenuhi tubuhnya. Tak sabar ingin segera beradu. Tangan itu pun spontan mengelus pipi, lalu menjalar ke leher.“Tidak ada yang tidak bisa dilakukan oleh mafia, Ailyn! Itulah kenapa menjadi mafia adalah hal yang menyenangkan.”Ailyn masih terpejam. Saat tangan Alex hampir menyentuh dadanya, secara tiba-tiba tangan Ailyn bergerak mencegah.“Dan mafia ini ternyata bodoh!” Ailyn mendorong tubuh Alex di atasnya hingga terjungkal.“Kau—“ Alex bergegas bangun, terkejut Ailyn bisa sadar.“Apa? Kau pikir jus itu akan membuatku tak sadar? Aku tak sebodoh itu sampai tak akan berjaga-jaga!” Ailyn bangun, menjauhi ranjang.Tersenyum ia, melipat kedua tangan ke dada. Beruntung pelayan restoran itu adalah temannya. Jadi, ia lebih dulu menelepon dan meminta bantuan saat sebelum ke restoran.“Hah? Kau memang wanita cerdas. Aku suka itu.” Alex berdiri, mengibas tangan pada pakaian. Pintar juga Ailyn berpura-pura pingsan, mengikuti permainannya.“Tapi, mafia lebih cerdas!” Dengan gerakan cepat, Alex berlari mendekat dan menarik tangan Ailyn. Dipelintirnya tangan Ailyn ke belakang.“Lepaskan aku, Sialan! Sudah tua, belum sadar dosa!” Ailyn berusaha melepaskan cengkeraman tangannya.“Dosa yang indah, siapa takut?” Dibaliknya tubuh Ailyn, lantas mendorongnya ke kasur.“Lepaskan aku! Lepaskan!” Kaki Ailyn menendang-nendang, berusaha menghindari tubuh Alex yang bersentuhan dengan tubuhnya.“Tidak akan!” Semakin wanita itu berusaha melepaskan diri, semakin pula Alex ingin menikmati. Tak enak jika tanpa pemanasan, pikirnya.Saat bibir itu hampir menyentuh bibir Ailyn, kaki wanita itu berhasil menendang selangkangan Alex dengan keras.“Ahhh!” Alex terjungkal, mengaduh kesakitan memegangi selangkangan.“Kurang ajar! Awas kau, Ailyn!” Meskipun sakit, ia memaksakan diri untuk bangun.Melihat Alex kesulitan bergerak, kesempatan itu dimanfaatkan Ailyn untuk kabur. Dicobanya membuka pintu, tapi tak bisa. “Sial!”“Aku harus mencari cara!” Dilihatnya Alex sudah pun mendekat.“Kau tak bisa lari dariku!” Alex menarik tubuh Ailyn sampai terjatuh. Paha itu terekspos dengan sempurna, semakin membangkitkan gairah.“Kalau Om berani mendekat, aku akan berteriak!” ancamnya, beringsut.“Teriaklah! Aku ingin tahu, siapa pahlawan yang akan menolongmu, Sayang.”Alex memutar leher, mengejar buruannya yang berlari ke pintu. Ditariknya rambut itu. “Ah, lepaskan!” Rintihan terdengar saat Alex menggendongnya paksa ke ranjang.“Aku sudah tak tahan! Lebih baik kau diam dan nikmati saja!” Dengan sekuat tenaga, disobeknya gaun yang membalut tubuh indah Ailyn. “Tidaaakkk!!!” Raungan memenuhi kamar. Sekuat tenaga ia berusaha melepaskan diri dari cengkeraman si penjahat.“Tolooongggg!!!”Di detik berikutnya, tangan Ailyn berusaha menggapai lampu tidur di atas nakas dengan susah payah. Setelah berhasil, sekuat tenaga ia memukulkannya pada kepala Alex.“Ahhh!” Begitu Alex lengah, Ailyn mendorong tubuh itu ke samping. Tatapannya tertuju pada jas. Ia yakin kunci itu di sana. Buru-buru Ailyn merapikan gaunnya yang sobek bagian depan.Sejurus kemudian, ia berlari menuju sofa. Tatkala memeriksa jas, ia melihat kunci kamar di bawahnya.“Ketemu!” Sudut bibirnya terangkat, menoleh pada Alex yang wajahnya berlumur darah.“Selamat tinggal,” katanya, menuju ke pintu dan membukanya.“Hei, Ailyn! Jangan pergi! Ahhh!” Alex memegangi kepalanya sambil mengejar. Sempoyongan ia berjalan.Tak dipedulikan keadaan sekitar. Dengan sisa tenaga, wanita itu berlari tanpa alas kaki meninggalkan tempat menyebalkan itu.“Taksi! Aku harus menemukan taksi sebelum si tua itu menemukanku.” Ailyn berlari ke tepi jalan, berusaha menghentikan taksi, tapi tak ada yang berhenti.Melihat mobil dari arah kiri melaju pelan, Ailyn berlari ke tengah dan menghadang. “Stop!” Ailyn memejamkan mata, ngeri membayangkan dirinya akan ditabrak.Ciiittt!!Mobil mengerem mendadak hingga penumpangnya terbentur. Karan yang terlelap akhirnya bangun. “Ah! Kenapa mengerem tiba-tiba?”Mobil yang ditumpangi Karan terhenti. “Maaf, Tuan. Ada wanita berlari ke tengah. Tuan baik-baik saja?” tanya sopir.Karan menoleh ke depan, mendapati seorang wanita dengan rambut acak dan gaun sobek mendekat. “Tolong! Tolong aku!” Ailyn membuka pintu mobil. Tanpa ada jeda, ia masuk ke mobil itu.“Hei! Beraninya kau masuk ke mobilku!” Karan heran melihat wanita asing sembarangan masuk.“Maaf untuk itu, tapi tolong aku. Om itu ... di-dia melecehkan aku!” Ditunjuknya Alex yang berlari.Karan mengalihkan perhatian. Ia terkejut melihatnya. “Wajah itu ... aku merasa ... pernah melihatnya!” Karan menganga, mencoba mengingat-ingat.“Aku mohon, bawa aku pergi.” Tangannya mengatup, dengan air mata mulai berderai. Karan terdiam. De Javu! Dia merasa pernah terjadi hal seperti ini sebelumnya.“Keluar kau! Ailyn!” Alex mengetuk pintu dengan kasar.“Tolonglah! Selamatkan aku!” rengek Ailyn, memegangi pintu.“Tuan?” Sopir dan pengawal menatap.“Cepat pergi!” Karan memberi perintah, membuat sopir langsung tancap gas membawa wanita asing yang mendadak muncul.“Hei! Jangan kabur!”Keduanya menoleh pada Alex yang berusaha mengejar. “Sial! Dia berhasil kabur. Aku harus mengejarnya!”****Karan termangu, menatap wanita asing yang kini terisak. Ia penasaran pada pria tadi yang diyakininya sebagai seseorang di masa lalu.“Siapa ... nama pria itu?” tanyanya.Ailyn menoleh sembari menyeka air mata. “Om Alex,” jawabnya.Sontak hal itu membuat Karan melotot. Ia menoleh pada pengawal yang duduk di belakangnya. “Apa nama panjangnya Alex Brawijaya?”“Kata Ayah sih, begitu. Dari mana kau tahu? Huaaaahhh! Kenapa aku malah menangis?” Ailyn histeris mengingat dirinya yang sudah memaksakan diri untuk tegar, tapi akhirnya menangis juga.“Sttt!! Diam! Sudah masuk mobil orang sembarangan malah berteriak,” tegur Karan, menoleh ke arah belakang, takut diikuti.“Maaf,” lirih Ailyn. Ia merapikan gaunnya yang sobek setelah menyeka keringat.Ia merutuki diri yang meminta bantuan tanpa memikirkan konsekuensinya.“Tak salah lagi. Sialan itu masih suka bermain wanita. Apa dia tidak memikirkan Mama?” Karan bicara pada diri sendiri, semakin yakin.“Apa katamu tadi?” Ailyn merapikan rambutnya.
“Ailyn! Apa yang terjadi? Bagaimana kencannya?” Seorang pria mengikuti Ailyn yang duduk tanpa permisi. “Gatot! Gagal total! Si om brengsek itu malah membawaku ke hotel.” Ailyn melepaskan jas milik Karan, lalu meletakkannya di sofa. “Sudah kuduga! Untung saja aku membuang obat tidur itu. Kalau tidak ... habis kau!” Pria itu duduk di depan Ailyn, menyodorkan botol air mineral. Ternyata dia adalah pelayan restoran yang waktu itu melayani Ailyn. “Lalu, apa rencanamu sekarang?” tanyanya. Pria itu bernama Hadid. “Aku boleh menginap di sini, tidak? Aku takut Ayah marah atau si Om Alex akan datang lagi.” Ailyn meminum air mineral sedikit, lalu meletakkannya di atas meja. Hadid mempersilakan Ailyn untuk menginap sekaligus tidur di kamarnya. lagi pula, dia dan wanita itu sudah bersahabat sejak lama. Tak akan terjadi apa-apa. “Terima kasih banyak. Untung aku punya sahabat yang masih jomblo sepertimu, jadi bisa menginap. Hehe.” Hadid hanya berdecak, membiarkan Ailyn beranjak menuju ke kama
Karan masih mematung, sampai Marina menyentuh lengannya. Wanita itu menyerahkan segelas jus padanya, lantas meminta agar sang anak duduk. “Mama mengadopsi anak?" Karan tertawa sambil menggeleng. Ia yakin si kecil berbaju putih itu anak angkat mamanya. Dia berpikir Marina kesepian karena suaminya jarang pulang, lantas mengadopsi anak.“Tidak, Karan. Dia anak Mama. Adikmu.” Marina menuntun anak kecil yang diakuinya sebagai anak. Wanita itu mengelus rambutnya dengan penuh perhatian. “Anak bagaimana?” Karan duduk, masih dengan tangan memegang gelas. Tak ada niatan untuk meminumnya. Yang ada hanya rasa penasaran memenuhi pikirannya. Marina menarik napas dalam-dalam, berat untuk bercerita. Maklum, dia dan Karan sudah 10 tahun tak bertemu. Selain agak aneh, waktunya dirasa tidak pas. “Ma?” Karan meletakkan gelas di depannya. Tatapan mata Karan seolah menegaskan ia ingin tahu cerita sebenarnya. “Kau ingat hari saat Mama dipaksa menikah dengan Alex setelah Papa menuntut cerai?” ungkit Mar
Taksi yang ditumpangi Ailyn dan Mohan berhenti di depan gedung KUA. Dengan terpaksa, Ailyn membiarkan ayahnya menariknya paksa sembari mengomel. “Hentikan, Ayah! Biarkan aku mencari pekerjaan agar Ayah tidak perlu menjualku!” rengek Ailyn, menghentikan langkah. “Kau masih akan mencari, bukan sudah mendapatkan pekerjaan. Sudah, Ayah sudah bawa dokumen pentingnya. Kau tinggal masuk dan mendaftar.” Mohan yang telanjur emosi dengan sikap anaknya yang sukar diajak bicara baik-baik, mendorong tubuh itu agar memasuki gedung KUA. Belum juga kakinya melangkah lebih jauh, mendadak seseorang menghentikan. “Tunggu!” Suara itu membuat keduanya spontan menoleh dan mendapati Karan mendekat. “Karan? Kenapa kau di sini?” tanya Ailyn, heran melihat pria itu datang entah dari mana. “Kau siapa?” Mohan memerhatikan pria dengan setelan jas rapi berhenti di depannya, langsung berkacak pinggang. Karan tak menjawab, malah bertanya,
Alex duduk dengan kasar di sofa berwarna merah. Mension tempatnya berkumpul bersama para mafia menjadi memanas. “Aku tidak mau mendengar kabar buruk lagi. Pokoknya, kalian harus menemukan pacar Ailyn secepatnya!” Alex menaikkan kaki ke atas meja. “Baik, Bos.” Anak buahnya yang hendak pergi, terpaksa kembali saat Alex mengatakan ada hal lain yang perlu dibicarakan. “Awasi juga anak Kusuma. Dia baru datang. Sialnya, aku lupa kalau Marina punya anak.” Alex mengambil cerutu dari saku jaket, hanya memerhatikannya. “Aku dengar dari informan, dia yang akan menjadi penerus K2 Company, Bos. Apa kita harus bertindak?” tanya Gandhi, selaku kaki tangan sekaligus orang kepercayaan Alex. “Sabar dulu. Aku masih ingin tahu, apa dia ingat kejadian 10 tahun lalu. Kalau dia ingat dan memberitahu Marina, habis aku,” katanya, meletakkan cerutu. Alex memang masih mencintai Marina, bahkan sejak dia pertama bertemu. Sayang, kehadiran Ailyn m
Karan baru saja tiba di kediaman keluarga Kusuma. Matanya langsung memerhatikan seluruh kawasan luas itu. “Banyak sekali perubahan,” lirihnya, membiarkan pengawal membawakan kopernya. Pria itu melangkah mendekati pintu utama. Belum sempat mengetuk pintu, ternyata pintu dibuka lebih dulu. Seorang wanita berbaju merah berdiri di depan pintu dengan tatapan tak suka. Siapa lagi kalau bukan ibu tirinya, Yunita. “Apa aku harus meminta izin untuk masuk?” Karan lebih dulu bicara saat Yunita hanya mematung sambil melipat kedua tangannya. “Apa perlu kupersilakan? Kau bukan anak ingusan itu lagi, kan?” Sudut bibir Yunita terangkat. ‘Dasar!’ rutuk Karan dalam hati. Wanita penggoda itu malah bicara seolah-olah rumah itu miliknya. Tangan Karan yang mengepal, sedikit terangkat. Namun, ia harus diam mengingat baru saja tiba. “Siapa, Sayang?” Suara seseorang membuat Yunita langsung berubah. Kalau sampai suaminya tahu apa yang tadi ia
[Hentikan, Om! Selama aku masih bernapas, aku tidak butuh uangmu!] Ailyn membalas dengan memberikan tambahan emoticon pisau. Alex sudah bertindak di luar batas. “Kalau dibiarkan, dia pasti akan semakin menjadi-jadi,” keluh Ailyn. Tanpa diduga, Alex membalas dengan mengirim foto pistol di atas meja. Tanpa dijelaskan pun Ailyn paham maksudnya. Alex akan membunuh siapa pun yang tak menurutinya. Selang beberapa waktu, Ailyn sampai di depan kantor K2 Company. Ia turun setelah membayar ongkos taksi. Pikirannya berkecamuk. Dirapikannya rambut dan baju, lalu melangkah menuju ke satpam yang berdiri di depan gerbang. “Semoga berhasil,” lirihnya. “Selamat pagi, Pak,” sapa Ailyn. “Pagi, Mbak. Ada yang bisa dibantu?” Satpam berkumis tipis itu memerhatikan seluruh tubuh Ailyn yang mengenakan kemeja putih dan rok cokelat selutut. “Ah, saya dapat tawaran casting iklan produk terbaru di sini. Apa masih ada lowongan? Soalnya baru
Ailyn hanya bisa diam saat menunggu di ruang Anggrek. Sesuai namanya, ruangan itu dipenuhi ornamen anggrek yang indah. “Eh, bukannya dia model itu?” Seorang wanita dengan rok mini berwarna putih berbisik, tapi masih bisa didengar Ailyn yang duduk tak jauh darinya. “Iya, ya. Dulu dia terlibat skandal sama produsernya, kalau aku tidak salah dengar. Dia masih berani menunjukkan wajah?” balas temannya. Ailyn mulai memanas. Ia mengibaskan map yang dibawa karena keringat mendadak mengucur deras di keningnya. Pembahasan tentang masa lalunya ternyata masih belum selesai. “Lama sekali,” keluh Ailyn. Ia merasa gerah, padahal ruangan itu ber-AC. “Kau ... model sampo itu, kan? Yang pernah viral itu?” tanya wanita yang tadi berbisik. “Kalau memang iya, kenapa? Toh, itu sudah berlalu sangat lama. Tak ada gunanya diungkit,” ketus Ailyn. Ia pura-pura memeriksa ponsel, padahal tidak ada pesan apa pun. Pandangannya fokus, se