Karan termangu, menatap wanita asing yang kini terisak. Ia penasaran pada pria tadi yang diyakininya sebagai seseorang di masa lalu.
“Siapa ... nama pria itu?” tanyanya.Ailyn menoleh sembari menyeka air mata. “Om Alex,” jawabnya.Sontak hal itu membuat Karan melotot. Ia menoleh pada pengawal yang duduk di belakangnya. “Apa nama panjangnya Alex Brawijaya?”“Kata Ayah sih, begitu. Dari mana kau tahu? Huaaaahhh! Kenapa aku malah menangis?”Ailyn histeris mengingat dirinya yang sudah memaksakan diri untuk tegar, tapi akhirnya menangis juga.“Sttt!! Diam! Sudah masuk mobil orang sembarangan malah berteriak,” tegur Karan, menoleh ke arah belakang, takut diikuti.“Maaf,” lirih Ailyn. Ia merapikan gaunnya yang sobek setelah menyeka keringat. Ia merutuki diri yang meminta bantuan tanpa memikirkan konsekuensinya.“Tak salah lagi. Sialan itu masih suka bermain wanita. Apa dia tidak memikirkan Mama?” Karan bicara pada diri sendiri, semakin yakin.“Apa katamu tadi?” Ailyn merapikan rambutnya.“Bukan apa-apa. Bisa kau jelaskan, kenapa semua ini terjadi?” Karan tampak penasaran.Ailyn menarik napas panjang, terdengar mengeluh. “Karena tak kunjung menikah, aku dipaksa kencan buta. Eh, tahu-tahunya sama pria hidung belang.”“Kau tahu apa yang lebih buruk? Ayah tega menjualku padanya.” Ailyn berdecak kesal mengingat kejadian sebelumnya.“Lalu, sekarang kau mau ke mana? Ah, gaunmu sobek. Pakai ini saja.” Karan membuka jas, lantas menyerahkannya pada Ailyn.“Entahlah. Aku takut kalau pulang, Ayah akan memakanku. Bagaimana kalau Om Alex datang dan membawaku lagi? Aku tidak mau!” Ailyn meringis.Dibiarkannya Karan memakaikan jas padanya. Ia hanya menatap wajah tampan itu tanpa berkedip, begitu juga dengan Karan.‘Apa ini? Kenapa jantungku berdebar?’ batin Karan, langsung memalingkan muka.“Apa Ayahmu pemakan manusia, sampai dia akan memakanmu?” Karan mencoba sebisa mungkin bersikap wajar, padahal debaran kian bertambah.“Dia lebih seram dari itu.” Ailyn mengalihkan perhatian pada jalanan. Beruntung orang asing itu mau menolongnya.Teringat itu, Ailyn buru-buru menoleh. “Terima kasih banyak atas bantuanmu. Turunkan saja aku di depan sana. Aku akan mencari tempat untuk sementara.”Mengingat hal tadi, Karan merasa tak tega meninggalkannya. Wanita yang ketakutan karena hampir dilecehkan itu pasti masih memikirkan hal tadi.“Sudahlah. Kau ikut aku saja ke hotel. Besok kau boleh pulang. Tenang, aku orang baik,” ujarnya. Tak tega membiarkan seorang wanita berkeliaran di jalanan malam.Ailyn menyelidik seluruh wajah muda di sebelahnya. “Kau terlihat sangat muda, ya? Berapa umurmu?” tanyanya, mulai akrab.“Sebelum bertanya umur, harusnya kau bertanya nama dulu,” tegur Karan. Ia tak bisa mengalihkan perhatian pada sosok cantik di sebelah kanannya.“Aku lupa. Siapa namamu? Namaku Ailyn Vazila.” Ailyn mengulurkan tangan.“Karan. Karan Pradipta Kusuma. Aku baru pulang dari luar negeri malam ini.” Karan menyambut uluran tangan itu.Ailyn hanya manggut-manggut. “Umur? Aku sih, susah 32 tahun. Tua, ya?” Ailyn terkekeh mengingat umurnya sendiri.“Aku 25 tahun. Kau lebih tua dariku? Wah, aku pikir kita seumuran.” Alis Karan sedikit terangkat, tak menyangka wanita itu lebih tua tujuh tahun darinya, padahal terlihat seumuran.“Stop! Aku turun di sini saja.” Ailyn menghentikan mobil, membuat Karan heran. Mendadak saja wanita itu meminta diturunkan.“Kau yakin? Bagaimana kalau Om Alex itu menemukanmu? Dia mafia, loh.” Karan memerhatikan Ailyn yang keluar dari mobil.“Dari mana kau tau kalau dia mafia? Aku ... tidak mengatakannya.” Ailyn tampak heran.“Ah, itu ... a-aku pernah mendengarnya.” Pria itu jadi salah tingkah karena kalimatnya sendiri.“Ooo. Ya sudah, aku pergi dulu. Terima kasih banyak. Kalau bertemu lagi, aku akan mengembalikan jasnya. Eh, minta nomormu, dong.”Ailyn yang sadar tak membawa ponsel, menepuk kening. Ia tersenyum malu saat Karan menunduk agar bisa melihatnya.“Kau tidak bawa ponsel? Nih, ambil kartu namaku.” Karan menyerahkan kartu nama saat ia masih menjadi pelajar di luar negeri.Wanita itu mengambilnya. “Aku akan segera menelepon.” Bergegas ia pergi. Namun, baru beberapa langkah, Karan menghentikannya.“Hei, Ailyn! Kalau kau belum menemukan pasangan, bagaimana kalau kita kencan? Aku merasa tertarik padamu!" teriaknya.Ailyn menghentikan langkah, langsung menoleh. “Cari yang lain saja. Aku lebih tua darimu. Lagi pula, kita baru bertemu,” ujarnya, tersenyum getir.“Baiklah, kita lihat saja nanti.” Karan menutup pintu mobil, merasa ada sedikit harapan. Ini adalah pertama kalinya hatinya seperti diketuk seseorang. Sekian lama di Amerika, tak ada satu pun yang membuatnya tertarik.Mereka pun segera pergi meninggalkan Ailyn yang masih melangkah tak tentu arah.“Aku tak sabar untuk pulang. Kalian tahu kan? Mama pasti tersiksa hidup dengannya.” Karan memejamkan mata.“Apa Tuan akan tinggal bersama Nyonya?” tanya pengawal yang sejak tadi hanya menjadi pendengar.“Entahlah. Tinggal bersama Mama tidak mungkin, apalagi bersama Papa. Aku bingung.” Hembusan napas terdengar. Karan bingung, dengan siapa ia harus tinggal.“Pantas saja dia membeli Ailyn. Aku saja terpana. Meski lebih tua, dia masih terlihat muda. Aku benar-benar tertarik.” Bibir Karan menguntum senyum.Mendadak ia khawatir. Alex Brawijaya adalah ketua mafia yang kejam. Mustahil akan membiarkan buruannya terlepas.“Putar balik! Aku khawatir!” titahnya.“Baik, Tuan.” Sopir hanya mengiyakan. Mereka pun berniat kembali ke tempat tadi.Sementara itu ....“Sial! Ah, kepalaku!” Alex memegangi kepalanya yang berdarah. Sudah sejak tadi ia mencari, tapi Ailyn bak ditelan bumi.Diambilnya ponsel dari saku, lalu menelepon seseorang. “Halo, Gandhi! Cepat temukan Ailyn! Dia menghilang. Aku akan ke rumah sakit dulu,” katanya.“Apa terjadi sesuatu, Bos? Semua baik-baik saja?” tanya orang di sambungan telepon.“Dia pura-pura pingsan dan berhasil melukaiku. Sekarang aku menuju rumah sakit.” Alex berhenti ketika rambu lalu lintas berwarna merah.“Baik, Bos. Aku akan mencarinya. Biar yang lain menyusul ke rumah sakit. Bos kirim saja lokasinya.”“Suruh anak buahmu mencari ke rumahnya. Dia pasti menemui Mohan untuk marah.”Alex lebih dulu memutuskan sambungan telepon. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi di jalan yang cukup ramai.***Karan kebingungan mencari. Ailyn tak ada di tempat mereka berpisah tadi. Menyesal ia sudah meninggalkannya begitu saja.“Sial! Ke mana dia pergi?” Karan mengambil ponsel yang sejak tadi bergetar. Puluhan panggilan tak terjawab terlihat di bar notifikasi.“Apa kita lanjut mencarinya, Tuan? Tuan pasti lelah. Mungkin dia menginap di hotel atau rumah temannya.” Sopir melirik dari kaca spion.“Ya sudah. Kita ke hotel. Pagi-pagi sekali kita ke rumah Mama dulu. Aku tak sabar ingin melihat suaminya.” Karan sengaja tak menjawab saat papanya menelepon.Malas sekali untuk bicara saat ini. Yang ia pikirkan hanya wanita dengan gaun sobek itu. Dia luar biasa, berani berbuat sampai Alex terluka.Tak jua menemukan Ailyn, Karan memutuskan untuk pergi ke hotel. Tubuhnya sangat lelah, ditambah perut keroncongan.Berbeda dengan Karan yang menuju ke hotel, Ailyn dengan langkah lemas menuju ke sebuah rumah. “Aku takut,” lirihnya.“Semoga dia tidak marah, aku datang.” Sukar baginya untuk menelan ludah. Saat tangan itu memencet bel pun, rasanya bergetar. Ailyn menggigit bibir bawahnya, harap-harap cemas.“Iya, sebentar.” Terdengar suara pria menjawab. Ailyn sedikit merasa lega. Tak berapa lama, pintu masuk pun dibuka.“Kau? Di sini?” Pria di dalam tampak kaget mendapati siapa yang datang. Tanpa menjawab, Ailyn langsung masuk, membuat si empunya rumah menganga.****“Om adalah teman Papamu. Ambil ini dan berikan pada Ailyn.” Pria itu menyerahkan kado kecil pada Kiran. “Ini apa, Om?” tanyanya dengan polos. “Berikan saja, ya. Kiran kan anak baik.” Pria itu mengelus pipi dan kepala Kiran. Setelah itu, ia menghilang dari pandangan. Heran dengan kado kecil itu, Kiran meletakkan mangkok dan berlari mendekati Ailyn. “Kak, ini untuk Kakak,” katanya. “Wah, ini apa, Sayang?” Ailyn tersenyum, menerima kado itu. Kiran menaikkan pundak. “Entah. Tadi ada pria, katanya teman Papa. Dia nyuruh Kiran memberikannya pada Kakak.” “Apa?” Ailyn terkejut. Dilihatnya sekeliling. Tidak ada wajah yang mencurigakan. Lalu, siapa pengirimnya? Dibukanya kado yang ternyata berisi surat. Jantung Ailyn berdebar hebat. Rasa takut yang sejak beberapa hari dirasakan, ternyata suatu pertanda. “Aku tahu, suatu saat aku akan mati. Entah karena penyakit yang selama ini menyerang atau terbunuh Karan. Aku sudah lama
Ailyn sedang becermin. Meja rias yang dipenuhi berbagai macam alat kecantikan itu terlihat seperti milik perias. Terinspirasi dari meja rias di rumah Lila waktu itu. "Aku merasa semakin gendut." Ailyn memeriksa tubuhnya. Malam ini adalah acara syukuran tujuh bulanan. Mereka mengundang beberapa rekan kerja, baik dari perusahaan ataupun rekan sesama artis. “Sayang, kau sudah siap?” Karan memasuki kamar. Ia berdecak kagum melihat istrinya menggunakan pakaian longgar dan panjang berwarna merah. “Wah, kau mau ke pesta apa bagaimana ini? Kok cantik sekali. Sudah seperti mau photo shoot saja.” Karan mengecup sekilas. Ailyn membiarkan Karan mengelus perutnya yang kian membesar. “Kau baru saja memberi ide. Bagaimana kalau kita photo shoot setelah ini? Aku kan model, Karan.” “Terserah kau saja. Ayo, Sayang. Tamu sudah datang.” Pria berkemeja biru itu menggandeng tangan istrinya yang mulai kesulitan berjalan. Dibiarkann
Ailyn dan Karan mendekat. Keduanya tak menyangka akan bertemu Bella setelah sekian lama. “Ka-kalian di sini?” Bella menutupi wajah anaknya dengan tas. “Itu ... Anakmu?” tanya Ailyn, sembari mengusap perut. Bella mengangguk, sedikit gugup. Ia malah menoleh ke kanan dan kiri seperti menunggu seseorang. “Apa yang kau lakukan panas-panas begini di parkiran?” Karan ikut memerhatikan sekitar. Tak ada siapa pun yang bisa diperhatikan. “A-aku menunggu sopir.” Bella menjawab dengan terbata-bata, sementara sang anak mengibas tangannya sampai tas itu terjatuh. Gelagapan Bella memungutnya sebelum diambil Karan yang juga membungkukkan badan hendak membantu. Sopir? Anak kecil? Ada banyak pertanyaan di benak Ailyn. Selama ini yang ia tahu Bella dikirim ke luar kota karena hamil anak Krishna yang belum keluar dari penjara."Papamu membantu keuanganku sampai sekarang. Dia juga yang menyediakan tempat tinggal dan sopir," tutur
Jovan melirik sekilas. Mendadak ia juga merasa khawatir. Apa yang sebenarnya terjadi pada majikannya? Kenapa rasa bahagia itu lenyap seketika? “Karan, a-aku tidak tahu harus bagaimana. Yang jelas, anak ini milik kita. Anakku dan anakmu.” Ailyn menangis, menyentuh perutnya. Melihat istrinya menangis, Karan tertawa keras sampai terpingkal-pingkal. Hal itu membuat Ailyn penasaran, apa yang terjadi. “Aku tahu, Sayang. Aku hanya bercanda. Masa iya, aku meragukan kehamilanmu. Ada-ada saja kau ini.” Karan memeluk Ailyn yang memukul dadanya karena kesal. Sesaat tadi pikirannya sudah negatif. Beberapa detik lalu rasanya amarah ingin meluap. “Jahat!” Ailyn memukul, tapi semakin mengencangkan pelukan. Mendapati semua hanya candaan semata, Jovan mengurut dada, lega. Keduanya pun sepakat untuk pergi ke dokter kandungan sebelum memberitahukan kabar baik itu pada keluarga. Sesampainya di rumah sakit .... “Selam
Hari yang hening, di mana bunga-bunga nan indah beserta daun pandan yang diiris tipis ditaburkan ke makam. Suara tangis bersahutan. “Papa!” rintihan dan kesedihan tergambar jelas di wajah mungil itu. Wajah yang kini semakin basah karena air mata. Makam dengan batu nisan berwarna putih bertuliskan nama seseorang mulai ditaburi bunga. Alex Brawijaya. Seorang pria yang tewas dalam perkelahian semalam. “Jangan bersedih. Ini sudah takdir, Sayang,” bisik Ailyn, merangkul pundak adik iparnya yang terus saja memeluk batu nisan. Karan ikut berjongkok. Peristiwa semalam bukan hanya kelabu, tapi gelap segelap-gelapnya. Seorang pria dengan obsesi tinggi telah pergi untuk selamanya. “Iya, Sayang. Biarkan Papa beristirahat dengan tenang.” Karan menimpali. Air matanya turut menetes. Ditolehnya beberapa orang yang mulai meninggalkan pemakaman. Sengaja makam Alex diletakkan bersebelahan dengan makam Marina, sesuai permintaan Kiran.
Kusuma berlari keluar dari mobil menuju ke rumah sakit. Ia dikabari sang istri sakit perut sampai dilarikan ke rumah sakit. Namun, belum juga menginjakkan kaki di tempat itu, pengawal pribadi Ailyn mencegah. “Tuan, tak perlu masuk,” katanya. “Memang kenapa? Apa wanita itu ... maksudku, Yunita baik-baik saja?” Kusuma enggan menyebut kata istri. “Dia hanya pura-pura sakit agar bisa mengecoh kita. Nyaris saja saya kecolongan kalau tidak segera membaca situasi,” paparnya, membuat Kusuma mengernyitkan dahi. “Mengecoh? Kecolongan? Apa yang kau bicarakan? Tunggu! Kau siapa?” Kusuma baru menyadari pria asing yang kini bicara dengannya tak pernah ia kenal. “Saya pengawal pribadi Nona Ailyn mulai hari ini. Tadi saya dan beberapa teman diminta mengantar Nyonya ke sini, tapi saya mendapat telepon anak buah diserang.” Pria itu menceritakan bahwa saat ini anak buahnya dikunci di kamar bersama pengawal yang lain, termasuk pelayan da