Oh iya, TK ini milik ibunya Erna. Selepas SMU, Erna mengikuti pendidikan guru TK kemudian ikut mengajar dan membantu ibunya mengelola TK ini.
“Nad, gimana wawancara kerjanya tadi?” tanya Erna antusias, matanya berbinar-binar, senyum merekah di wajahnya.
“Langsung aja tanya, gimana tadi Galang? Nggak usah sok peduli gitu deh!" kataku sambil membukakan bungkus eskrim untuk Rania. Erna termasuk penggemar sinetron dan drama Korea. Dia sering heboh ngobrolin aktor ini dan itu, yang aku tak begitu paham itu siapa. Aku yakin, pasti dia juga salah satu penggemar Galang.
“Ih, suudzon aja!” Erna cemberut. Ia mengambil selembar tissue dan mengusap pipi Rania yang belepotan eskrim.
“Mau dengar kabar baik dulu apa kabar buruk dulu nih?” Pertanyaanku bikin dia sedikit mikir.
“Emmmm apa ya, baik dulu aja deh.”
“Oke kabar baiknya ... aku keterima kerja, aaaak!” Aku histeris, kami berpelukan lebay.
“Terus kabar buruknya?” Erna melepaskan pelukanku, raut mukanya berubah agak serius.
“Kayaknya Galang nggak suka aku diterima kerja di sana, deh.”
“Hah kok bisa?”
Aku lalu bercerita panjang lebar pada Erna mulai dari insiden taksi sampai wawancara.
“Kamu sih, kubilang juga apa, sekali-kali nonton infotainment, biar nggak kudet!”
“Nih kamu harus baca informasi tentang Galang mulai sekarang. Dia itu bosmu, mampus kau kalau sampai dia kesel lagi kaya tadi terus kamu dipecat!” Erna menyodorkan HP nya, kulihat layarnya menampilkan laman wikipedia bertuliskan nama Galang. Galang Arnaldo Rizki nama lengkapnya. Usianya dua tahun lebih muda dariku rupanya.
Tak cukup sampai di situ, ia juga menunjukkan akun i*******m Galang.
“Cewek itu siapa?” Aku menunjuk salah satu foto Galang bersama perempuan.
“Ih, kamu ngga tau?” Ia malah balik bertanya.
Aku menggeleng
“Itu lawan mainnya si Galang di Aroma Cinta namanya Malya. Ada gosip mereka pacaran beneran. Tapi nggak tau sih soalnya belum ada kabar juga si Galang putus sama Marini.”
“Marini? Marini itu siapa?” tanyaku lagi.
“Nggak tau juga?” Erna nampak mulai kesal. Nada suara Erna meninggi. “Ihhh, Marini itu pacarnya Galang, dia kan model cukup terkenal dan sedang merambah dunia akting juga. Ya ampuuun bener-bener deh kamu.” Erna mencubit pipiku. Aw sakiit.
Kulihat Rania telah selesai makan eskrim, daripada Erna makin senewen gara-gara kutanyai terus lebih baik aku pulang deh. Nanti biar kucari-cari sendiri info tentang Galang di rumah.
“Udah ah, serem di sini jadi korban keganasan fansnya Galang,” candaku.
“Yuk Ran kita pulang!” Aku berdiri dan menggandeng tangan Rania.
“Ngapa sih buru-buru amat?” Erna ikut beranjak dari tempat duduknya dan mengantarku sampai gerbang TK.
“Jangan lupa besok minggu kita ada reuni SMA ya!” Erna mengingatkan. Oh, untung saja. Hampir aku lupa karena fokus sama wawancara kerja hari ini. SMA kami memang rutin menggelar reuni tiap tahun dan aku tak pernah melewatkannya sama sekali. Bagiku, bertemu teman lama adalah salah satu mood booster terbaikku.
“Mau berangkat bareng ke reuni?” tanyaku.
“Aku berangkat dari rumah Nenek Nad, ketemu di sana aja ya darling.”
“Oke deeh. Ayo Ran pamit sama tante Erna. Pulang dulu tante ....”
Rania menirukan omonganku dan mengulurkan tangan pada Erna “Pulang dulu atee. ”
Erna berjongkok, menyamakan tinggi dengan Rania. “Iya sayang, besok main lagi ya.”
********
Hari Minggu, aku sudah berpenampilan rapi mau pergi ke reuni. Begitupun Rania. Ia memakai dress sebawah lutut berwarna tosca dipadu legging berwarna hitam, manis sekali.
Baru saja hendak memesan taksi online, terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Suara mesinnya sangat kukenali.
Aku mengintip ke jendela. Melihat mobil putih terparkir di sana. Kugandeng Rania keluar rumah.
“Pamaaan!” Rania menghambur ke pelukan pamannya yang sudah berada di depan pagar rumah. Arman lalu mengendong Rania, berjalan ke arahku yang sedang mengunci pintu.
“Ada perlu apa? Aku mau pergi!” tanyaku jutek. Masih teringat dia memarahiku tempo hari di mobil karena aku meninggalkan Rania untuk wawancara kerja. Kesal.
"Naik ke mobil!" Bukannya menjawab, ia malah memerintahkan seenaknya. Bahkan tanpa menunggu persetujuanku, ia langsung ngeloyor menuju mobil sambil menggendong Rania.
"Heh, kamu mau bawa Rania ke mana? Siapa yang bilang mau naik ke mobilmu, hah?"
"Serius, Ra, kamu mau berhenti kuliah?" Mata Andini membulat. Apalagi setelah Kinara menjawabnya dengan sebuah anggukan. "Ra, kita baru beberapa bulan kuliah, sayang tauk uang masuknya. Galang yang suruh?" Kinara menggeleng. "Nggak, Ndin." Memang bukan karena permintaan Galang. Justru lelaki itu sama terkejutnya dengan Andini saat Kinara mengutarakan niatnya berhenti kuliah. "Kenapa, Flo?" Galang mengusap mulutnya dengan serbet, menjauhkan piring makan yang telah kosong di depannya. "Bukannya kuliah itu cita-cita kamu dari dulu?" "Hmm, bukannya kamu seneng kalau aku nggak kuliah, nggak ketemu Mas Jagad lagi di sana." "Iya, aku memang cemburu, tapi nggak usah sampai berhenti juga, Sayaang." Galang mencubit gemas pipi Kinara. Aww. "Setelah kupikir-pikir, Lang." Kinara mengusap-usap pipinya yang dicubit Galang tadi. "Aku hanya ingin fokus belajar fotografi, di kuliahan pelajarannya macam-macam." "Nah, kalau alasan ini masuk akal. Oke, aku akan carikan sekolah fotografi terbaik bua
Otak Kinara memerintahnya untuk berlari kencang namun otot kakinya menegang, sulit bergerak. Ia hanya mampu berjalan mundur, selangkah demi selangkah, lalu ... "Astaghfirullah." Tiba-tiba kakinya menginjak genangan air hingga ia jatuh terduduk. Kinara menoleh ke kanan dan ke kiri. Kenapa jalanan ini sepi sekali. Ditambah lagi hujan mulai turun rintik-rintik, membuat suasana semakin mencekam. "Oh, kamu rupanya. Sepertinya kita pernah berjumpa, ya." Hendri mengulurkan tangan, seolah mau membantu Kinara bangun dari jatuhnya. Namun Kinara menggeleng. Sedikit pun ia enggan menyentuh lelaki itu. "Mau terus-terusan di sini? Ayo ...." ujar lelaki itu, lembut tapi terdengar menyeramkan. "Kenapa, ha?" Ia mulai membentak, satu tangannya mencengkram kuat pipi Kinara. "Apa yang kau dengar?" Lagi-lagi Kinara hanya sanggup menggeleng tanpa suara. "Biarkan dia, kita bicara di tempat lain!" seru Malya yang nampak gusar. Ia tak mau berada di tempat ini berlama-lama namun merasa perlu menyelesaik
"Kamu tahu dia siapa?" bisik Arash ketika Hendri sudah jalan menjauh. "Hah, siapa, Kak?" Kinara sedikit mencondongkan badan mendekat pada Arash. "Dia produser yang disebut Marini." "Ma-maksudnya yang menghamili Marini?" Arash mengangguk. "Hem, begitu menurut pengakuannya." "Tuntutannya belum diajukan, Kak?" Kinara ingat beberapa waktu lalu saat ke rumah sakit tempat Marini dirawat, perempuan itu sempat menunjukkan surat tuntutan. "Para korban pelecehan menolak menandatangi surat tuntutan. Marini pun akhirnya berubah pikiran. Aku tidak bisa memaksa." Kinara menelan ludah. Tak semudah itu memang mengakui kasus pelecehan seksual meski kita sebagai korban. "Tapi aku masih tetap berusaha. Ada seorang korban lagi yang sedkit demi sedkit mulai menguak kebusukannya." "Siapa, Kak?" "Ada, seorang aktris pendatang baru. Maaf, aku tidak bisa sebut nama. Tapi kemungkinan kamu pun tidak tahu. Debutnya baru sebatas pemeran figuran. Ia ditawari casting untuk sebuah film dan dilecehkan ketika
Meski sudah kembali ke ibu kota, bukan berarti kesibukan Kinara berkurang. Jadwal syuting yang berbenturan dengan jam kuliah membuatnya terpaksa membolos lagi dan lagi. Saat hanya menjadi asisten, asalkan sudah mempersiapkan segala keperluan Galang, ia santai saja ijin barang beberapa jam untuk mengikuti perkuliahan, lalu setelahnya akan menyusul kembali ke lokasi syuting. Ah, ia jadi paham kenapa Galang sampai sekarang belum juga lulus kuliah. "Kinara, ntar sore jam empat, jangan lupa, lu dan Galang ada talkshow di podcast." Nah, belum lagi undangan wawancara sana-sini. Bagi Kinara sebagai artis pendatang baru, undangan wawancara terdengar mengerikan, bagaimana kalau dia sampai salah bicara. "Datang tepat waktu, promosikan sinetron kita, dan kalau ditanya soal Malya, jawab aja nggak tahu." "Oke, Bang, siap!" Karena Kinara diam saja, akhirnya Galang yang menjawab arahan Bang Sut. "Sayang, santai aja," bisik Galang begitu melihat wajah Kinara yang berubah tegang. "Hah, santai?" Ki
"Cut!" teriak Sutradara. Namun Galang bergeming. Bahkan ia memeluk Kinara erat dan semakin erat. "Woy, cut! Selesai! Udah! End!" Bang Sut mengulangi instruksinya hingga membuat Galang sadar dan melepaskan pelukan. "Eh, udah? Gini aja?" Galang menoleh. "Ya, emang udah, lo nggak baca naskahnya?" "Maksud gue, kaya ... nanggung gitu, Bang. Kan bisa diimprove, ditambah adegan kissing mungkin!" "Edan!" Bang Joel yang baru datang menoyor kepala Galang. "Mau merusak moral anak bangsa, lo?" "Jangan didengerin, Bang!" Bang Joel menoleh pada Sutradara. "Otaknya lagi rada-rada korslet!" Lelaki itu menempelkan telunjuk dengan posisi miring di dahinya. Bang Sut tertawa sembari geleng-geleng kepala. Setelahnya ia memberi instruksi untuk break syuting. "Jam setengah tujuh tet kita ganti lokasi, siap-siap, ya!" Mendengar perintah sang sutradara, para kru segera membereskan peralatan, sementara talent kembali ke kamar masing-masing. Ini hari ketiga mereka di Bandung. Revisi naskah membuat merek
"Dia, asisten lo kan, Lang? Kita pakai dia!" "Pakai? Saya?" Kinara menunjuk dirinya sendiri dengan raut wajah bertanya-tanya, menoleh pada Galang dan Bang Sut si sutradara secara bergantian. "Maksudnya, Bang?" "Elo jadi artis." Ucapan Bang Sut lebih seperti perintah yang harus disetujui daripada sebuah tawaran. "Cup! Urus dia!" katanya pada sang asisten. "Siap, grak!" "Eh, eh, kita mau kemanaa?" teriak Kinara ketika Ucup si asisten sutradara menarik tangannya. "Heh, Cup! Lu main tarik is-ehm asisten gue sembarangan aja!" Galang pasang badan menghadang langkah sang astrada. "Emangnya dia bersedia?" "Gini, ehm. Ki ... Kinara." Bang Sut maju menengahi. "Bener nama lo Kinara, kan?"Kinara mengangguk. "Karena Malya ngilang dan ntah kapan bisa syuting lagi, sementara sinetron kita kejar tayang, kita terpaksa mengubah jalan ceritanya. Jadi Malya bakal dibuat mendadak mati karena kecelakaan. Terus Galang yang ada di mobil yang sama dengan Malya saat kecelakaan diselamatkan orang. Nah,