Share

Bab 2

Author: Mufid Pandri
last update Last Updated: 2025-10-01 20:30:21

Motor tua itu berhenti di depan rumah besar yang memperlihatkan bahwa pemiliknya adalah orang yang banyak berduit.

Rumah itu adalah rumah paling besar yang ada di kampung Nadira.

Gerbang besi berdecit terbuka, menyambut kedatangan sang tamu.

Surya memasukkan motornya ke dalam halaman yang sudah terbuka pagarnya.

"Ayah, aku takut."

Hati Nadira berdegup kencang, tangannya meremas celana dengan gemetar. Dia merasa seperti masuk ke dalam kandang serigala.

"Ayo, turun," ucap Surya tanpa menghiraukan apa yang di ucapkan anak gadis satu-satunya itu.

Surya berjalan ke arah pintu utama rumah itu, diikuti Nadira di belakangnya. Setelah sebelumnya memarkirkan motor tuanya di dekat pagar rumah itu.

Brama sudah berdiri di depan teras rumahnya. Menyambut dengan tatapan tajam dan senyum yang tidak bisa di artikan oleh Nadira.

"Selamat datang, calon istriku. Masuklah, sayang. Rumah ini nanti juga akan jadi rumahmu," ujar Brama sambil mempersilahkan masuk ke rumahnya.

Nadira menelan ludah karena rasa takut, tanpa berani membantah dia mengikuti lelaki itu bersama ayah. Begitu masuk ke dalam, suasana rumah itu terlihat rapi dan bersih. Lantai marmer dingin berkilau, terlihat adem. Tapi tetap terasa seram bagi Nadira.

Di ruang tamu, beberapa anak buah Brama berkumpul duduk santai sambil tertawa. Ada juga yang asik mengisap rokoknya.

Bau asap rokok dan parfum murah bercampur jadi satu, membuat kepala Nadira terasa pening.

Brama berhenti di depan anak buahnya, dengan bangga memperkenalkan Nadira pada mereka.

"Perkenalkan, calon istri ku. Calon nyonya besar di rumah ini," tangannya sambil menggandeng bahu Nadira. "Kalian harus menghormatinya juga," lanjutnya.

Nadira merasa risih saat di gandeng Brama, namun tidak bisa menolak. Karena takut.

"Dia calon mertua ku," katanya sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah Surya yang sedari tadi mengikutinya di belakang, dengan tangan yang masih menggandeng bahu Nadira.

"Perlakukan dia dengan baik, tidak perlu lagi kalian menagih hutang padanya." Mendengar itu, anak buah Brama paham kalau anaknya Surya sebagai pengganti membayar hutangnya.

"Baik, bos," sahut anak buah Brama.

Brama yang sudah memiliki tiga istri, akan menikah lagi dengan Nadira, menjadikannya istri keempat.

Istri kedua dan ketiga Brama juga bernasib sama seperti Nadira. Dijadikan alat menebus hutang oleh orang tuanya.

Karena ekonomi yang sulit, memaksa mereka untuk berhutang pada rentenir seperti Brama, agar mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Di kampung tempat Nadira tinggal, mayoritas penduduknya bekerja sebagai buruh di kebun.

Yang pendapatannya tidak menentu setiap hari. Lebih sering tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari.

Brama berjalan mendekati kursi besar di ruang utama, tangannya sudah terlepas dari bahu Nadira. Lalu duduk dengan gaya angkuhnya, mengangkat satu kakinya. Sambil menyalakan cerutu, mengisapnya dalam-dalam dan menghembuskan asapnya ke udara.

"Mulai besok, setelah ijab kabul, kau tinggal di sini. Tidak ada lagi urusan mu dengan dunia luar, kau hanya perlu melayaniku."

"Jadilah istri yang patuh, mengerti?" lanjutnya.

Nadira menunduk dengan air mata yang jatuh, bibirnya bergetar. Ingin sekali dia berkata "tidak", tapi suaranya seakan terkunci saat ini. Karena rasa takutnya pada Brama dan juga ayahnya.

Melihat calon istrinya menangis, Brama tertawa sambil menghembuskan asap cerutunya ke arah Nadira. Lalu dia meminta pembantunya untuk mengantarkannya ke kamar yang akan didiami Nadira mulai besok.

Nadira pun digiring melewati lorong dengan dinding penuh lukisan, namun pandangannya malah terasa kosong.

Saat pintu kamar terbuka, dia mendapati kamar yang luas, dengan ranjang yang megah, lemari besar dan tirai yang juga megah. Setelah melihat itu, bukannya merasa senang dan nyaman dia malah merasa akan terkurung dalam sangkar seperti burung.

Setelah melihat kamar yang akan di tinggalinya besok, Nadira diajak kembali ke ruang utama, di mana Bram dan ayahnya menunggu.

Sesampainya di ruang utama, Brama mendekati Nadira. Jemarinya menyentuh bahu gadis itu hingga membuat tubuhnya merinding.

"Ingat, tidak ada yang bisa keluar dari tempat ini, tanpa seizin ku," bisiknya di telinga Nadira.

"Besok kita akan menikah secara sah. Kau akan jadi milik ku seorang, Dira".

Itu membuatnya semakin ketakutan. Dalam hati, dia bersumpah untuk bisa lepas dari jeratan yang akan menyiksanya seumur hidup.

"Bagaimanapun caranya, aku harus bisa melepaskan diri dari jeratan ini sebelum terlambat," ujarnya dalam hati.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dijual Ayah, Dipinang Takdir   Bab 47

    Sore itu, rumah keluarga Vino terasa jauh lebih sunyi dari biasanya. Nadira berjalan pelan menaiki tangga, menuju kamar yang dia dan Vino tempati. Begitu dia membuka pintu, suara lembut shower terdengar dari kamar mandi. Vino baru pulang, lebih dulu dan langsung mandi. Nadira melepas tas kerjanya, melep[as cardigannya, dan duduk di sofa.Nadira menarik napas panjang, mengingat apa yang sudah terjadi di kantor tadi. "Kenapa hari ini rasanya... aneh sekali?" pikirnya.Pintu kamar mandi terbuka, Vino keluar dengan rambut yang masih basah. Dengan memakai kaos hitam dan celana santai yang terlihat rapi. Dia mengeringkan rambut sambil berjalan melintasi ruangan, tanpa menoleh sedikit pun pada Nadira."Tiba-tiba baik, tiba-tiba dingin, dia kenapa sih?" Nadira bertanya dalam hatinya.Tanpa menyapa, Nadira langsung masuk ke kamar mandi. Dia ingin cepat-cepat mengguyur kepalanya yang terasa panas. Mungkin dengan mandi air dingin, pikiran dan perasaannya bisa sedikit lebih tenang.Jujur saja se

  • Dijual Ayah, Dipinang Takdir   Bab 46

    Baru saja Nadira mendudukkan dirinya di kursi di ruangannya, menarik napas panjang setelah pagi hingga hampir siang yang cukup menguras energi jantungnya, tiba-tiba ponselnya bergetar tanda satu pesan masuk. Pesan dari Vino, "Temani aku makan siang."Alis Nadira terangkat, mulutnya sedikit menganga, matanya membulat. Dia baru saja keluar dari ruangan pria itu. Di suruh mengecek laporan yang seharusnya bisa dia kerjakan di ruangannya sendiri. Setelah itu dia mengira semuanya akan benar-benar selesai, ternyata..."Kenapa tidak sekalian tadi memberi tahu?" gerutu Nadira pelan, sambil menatap ponselnya.Bukannya Nadira tidak senang, ini bahkan sudah dia impikan dari beberapa bulan lalu. Bisa makan berdua dengan suaminya, tapi rasanya terlalu mendadak dan tidak masuk akal. Nadira merasa ada yang aneh dari perlakuan Vino. "Dia kenapa sih?"Satu pesan lagi masuk, "Aku tunggu di restoran, tiga pulih menit lagi.""Iya, Mas," balas Nadira singkat.Sebelum jam makan siang, dia mencoba fokus me

  • Dijual Ayah, Dipinang Takdir   Bab 45

    Sejak hari itu, hari ketika Vino tanpa sengaja melihat Nadira dan Doni mengobrol di depan ruang divisi administrasi umum, ada sesuatu yang berubah dari sikapnya. Sesuatu yang tidak pernah Nadira bayangkan akan muncul dari pria yang selama satu tahun ini menjadi suami kontraknya.Perubahan itu dimulai dengan hal yang tampak sepele.Pagi ini, ketika Nadira baru menyalakan komputer di mejanya, pesan masuk dari nomor Vino. Bukan dari Rama, tapi langsung dari Vino sendiri."Dira, datang ke ruanganku, sekarang!"Nadira mengerutkan kening saat membaca isi pesannya. Biasanya Vino hanya menyuruhnya melalui Rama, dan itu pun jarang sekali. Selama dia bekerja di sini, pertemuannya dengan Vino bisa di hitung dengan jari. Apa lagi sampai ke ruanannya, dia tidak pernah sama sekali menginjakkan kaki ke sana."Kenapa tiba-tiba menyuruh ke ruangannya?" gumamnya pelan.Nadira pun bergegas menuju lantai paling atas. Saat sampai di atas dia menghampiri meja karyawan yang ada di dekat ruangan CEO."Permis

  • Dijual Ayah, Dipinang Takdir   Bab 44

    Pagi terasa berjalan lambat hari itu. Vino memutuskan datang lebih awal ke kantor untuk meninjau laporan dari beberapa pabrik yang baru dia kunjungi minggu lalu. Dia sudah berjanji untuk mengurangi jadwal ke luar kota, jadi sekarang dia meminta Rama yang mengurus pekerjaan di luar kota dan bertemu klien.Dia biasanya langsung menuju lantai paling atas, ke ruangan CEO. Namun entah kenapa langkah kakinya membawanya ke lantai divisi tempat Nadira bekerja. Dia bilang pada dirinya itu hanya kebetulan, dia hanya ingin melihat aktivitas para karyawan. Tapi dalam hatinya, dia tahu itu hanya sebuah alasan untuk memastikan sesuatu.Ketika dia keluar dari lift, suara percakapan ringan dan gelak tawa kecil, samar terdengar dari arah ruang divisi administrasi umum. Vino tidak berniat mencari tahu, tapi langkahnya berhenti begitu saja ketika suara itu semakin jelas. "Suara Dira," batinnya.Dan satu suara pria yang terdengar begitu akrab mengobrol dengan Nadira.Vino berdiri beberapa meter dari rua

  • Dijual Ayah, Dipinang Takdir   Bab 43

    Malam itu menjadi makan malam keluarga yang yang hangat bagi Nadira. Untuk pertama kali dalam beberapa bulan, Vino tidak berada di luar kota. Dia pulang lebih cepat dari biasanya, langsung menuju rumah keluarga besarnya, tanpa singgah ke kantor.Nadira yang baru saja selesai membersihkan diri sepulang dari kantor, tampak terkejut ketika melihat Vino sudah duduk di sofa di kamar mereka."Mas..." ucapnya pelan sedikit terkejut, entah kenapa ada rasa bahagia di hatinya. Melihat Vino ada di kamar."Kamu... tidak keluar kota malam ini?" tanya Nadira pelan, sekedar memastikan."Besok pagi," jawab Vino singkat. Suaranya datar, tapi ada sedikit nada lelah yang tertangkap oleh Nadira.Vino berdiri, berjalan masuk ke kamar mandi. "Tunggu aku, kita turun sama-sama," pintanya pada Nadira.Nadira mengangguk pelan. "Iya."Ketika mereka sampai di ruang makan, Vina langsung tersenyum lebar. "Akhirnya, Kak Dira bisa makan malam bareng suami.""Ibu kira kamu sudah lupa jalan pulang, Vin.""Maaf, Bu. Ak

  • Dijual Ayah, Dipinang Takdir   Bab 42

    Suatu pagi di kantor, Doni datang dengan membawa dua gelas kopi. "Aku lihat kamu sibuk banget, masih pagi loh ini," katanya sambil menyodorkan segelas kopi.Nadira tertawa kecil, mengambil gelas. "Makasih, Don. Repot-repot deh.""Repot apanya," jawab Doni, namun menahan sisa kalimatnya. Yang seharusnya berbunyi "kalau untuk kamu, aku tidak akan merasa repot."Bagi Nadira, sikap itu hanya bentuk perhatian dari teman. Dia tidak pernah menganggapnya lebih dari itu. Nadira tidak menyadari tatapan Doni yang sedikit lebih lama dari saat pertama dia bergabung ke divisi ini, atau senyum gugup Doni ketika berbicara dekat dengannya.Mungkin karena dari awal Nadira sudah menjaga hatinya. Setiap kali nama Vino terlintas di pikirannya, dia otomatis menjaga jarak dan hatinya dari siapa pun. Meski Vino sendiri sedang jauh dan mungkin tidak peduli.Dia lebih sering bertukar pesan dengan Rama, menanyakan mereka sedang apa, sudah makan atau belum. Hanya sebatas itu, dia merasa segan untuk menanyakan l

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status