LOGIN
Senja itu menyisakan cahaya jingga. Nadira duduk di teras rumah, meratapi nasibnya. Tatapannya kosong, pikirannya melayang entah ke mana.
Setelah kematian ibunya, Nadira seperti tidak ada tempat bersandar. Beban berat di pundaknya kini di pikulnya sendiri. Sakit yang diderita sang ibu akhirnya merenggut nyawanya. Bukan ingin menyalahkan takdir, tetapi andai saja biaya untuk pengobatan ibu tidak dipakai ayahnya bermain judi dan mabuk-mabukan, mungkin ibunya bisa di bawa ke rumah sakit besar di kota untuk di obati. Dengan uang yang sudah di kumpulkan ibunya dengan susah payah dari hasil menjahit yang tidak seberapa itu. Kini, Nadira hanya tinggal berdua dengan ayahnya. Suara langkah membuatnya tersadar, ayahnya nya berjalan dengan terhuyung-huyung. Saat ayahnya sudah dekat tercium bau menyengat yang sangat dikenali Nadira. Ayahnya pulang dalam keadaan mabuk lagi. Dia duduk menghempaskan diri di samping Nadira, dengan mata yang merah dan badan sempoyongan. Nadira sebenarnya sudah lelah menghadapi ayahnya yang setiap hari datang dalam keadaan seperti ini. Ayah yang seharusnya menjadi tulang punggung dan pelindung keluarga, tapi menjadi ayah yang tidak bertanggung jawab. "Dira," suara berat dan sesak itu memanggilnya. "Yah," Dira berusaha menahan tubuh ayahnya yang hampir terjerembab ke tanah. "Kenapa ayah minum lagi, ayah kan sudah janji untuk ti-" "Diam!" bentaknya, membuat Dira terkejut dan menunduk. Dira menyandarkan tubuh ayahnya ke dinding rumah agar tidak terjatuh. Hening sesaat setelah membentak Nadira, ayahnya berusaha menegakkan diri dan berkata dengan suara yang seperti putus asa. "Dira, hutang Ayah pada Brama sudah terlalu besar. Ayah tidak sanggup untuk membayarnya..." Hutang yang dipakai ayahnya untuk mabuk-mabukan dan bermain judi, setiap hari hanya itu yang dilakukan ayah. Bahkan kalau kalah dan ingin main judi lagi tapi uangnya sudah tidak ada, dia akan mengamuk pada anak satu-satunya itu. Nadira menatap ayahnya dengan perasaan takut. Nama Brama sudah tidak asing lagi ditelinganya. Semua orang di kampungnya tahu siapa dia. Dia adalah rentenir yang menjerat nasabahnya dengan bunga yang sangat besar. "Yah, kita pasti bisa cari jalan keluarnya. Aku bisa kerja apa saja asalkan-" "TIDAK ADA JALAN LAIN!" teriak Surya tiba-tiba, menghantam lantai yang di dudukinya dengan kepalan tangannya. "Brama... Dia bilang kalau kamu mau jadi istrinya, maka hutang Ayah akan lunas." Nadira terdiam, rasanya dunianya runtuh seketika. Apa yang dikatakan ayahnya langsung menusuk jantungnya, bahkan lebih dalam dari pisau. Itu benar-benar menyakitkan. "Hanya itu cara agar Ayah selamat..." Surya menarik napas sejenak. "Besok kamu ikut Ayah menemui Brama, awas saja kalau kamu menolak," lanjut Surya. Air mata Nadira mengalir tanpa bisa ditahan. Tangisnya pecah. Dia menatap ayahnya dengan iba, seolah memohon agar semua itu tidak terjadi. Di balik mabuknya, Surya melihat tatapan iba anaknya sebenarnya tidak tega. Tapi hanya ini yang bisa Surya lakukan agar bisa selamat dari jeratan rentenir itu. Brama terkenal dengan kebengisannya, kalau ada nasabah yang tidak bisa membayar dia tidak akan segan-segan melukainya. Nadira memeluk dirinya sendiri. Dalam hati dia berjanji tidak akan menyerahkan dirinya pada Brama, apapun akan dia lakukan agar tidak menikah dengannya. Menikah dengan lelaki yang lebih pantas di sebutnya "Ayah" itu. Tapi... apa yang bisa Dira lakukan? Dia tidak bisa berpikir jernih, sementara besok dia harus bertemu dengan Brama. "Apa aku pergi saja dari kampung ini?" gumamnya. "Tapi bagaimana dengan Ayah?" Hatinya galau memikirkan nasib ayahnya jika dia kabur. Sudah pasti Brama akan mengamuk habis-habisan. Sebenarnya, pergi meninggalkan kampung adalah satu-satunya cara agar Nadira terlepas dari pernikahan. Karena Nadira sadar, bertahan di sini tidak akan bisa menyelesaikan masalah. Dia juga tidak bisa membayar hutang ayahnya yang sangat banyak itu dalam waktu dekat. "Tuhan, apa yang harus aku lakukan...?"Sore itu, rumah keluarga Vino terasa jauh lebih sunyi dari biasanya. Nadira berjalan pelan menaiki tangga, menuju kamar yang dia dan Vino tempati. Begitu dia membuka pintu, suara lembut shower terdengar dari kamar mandi. Vino baru pulang, lebih dulu dan langsung mandi. Nadira melepas tas kerjanya, melep[as cardigannya, dan duduk di sofa.Nadira menarik napas panjang, mengingat apa yang sudah terjadi di kantor tadi. "Kenapa hari ini rasanya... aneh sekali?" pikirnya.Pintu kamar mandi terbuka, Vino keluar dengan rambut yang masih basah. Dengan memakai kaos hitam dan celana santai yang terlihat rapi. Dia mengeringkan rambut sambil berjalan melintasi ruangan, tanpa menoleh sedikit pun pada Nadira."Tiba-tiba baik, tiba-tiba dingin, dia kenapa sih?" Nadira bertanya dalam hatinya.Tanpa menyapa, Nadira langsung masuk ke kamar mandi. Dia ingin cepat-cepat mengguyur kepalanya yang terasa panas. Mungkin dengan mandi air dingin, pikiran dan perasaannya bisa sedikit lebih tenang.Jujur saja se
Baru saja Nadira mendudukkan dirinya di kursi di ruangannya, menarik napas panjang setelah pagi hingga hampir siang yang cukup menguras energi jantungnya, tiba-tiba ponselnya bergetar tanda satu pesan masuk. Pesan dari Vino, "Temani aku makan siang."Alis Nadira terangkat, mulutnya sedikit menganga, matanya membulat. Dia baru saja keluar dari ruangan pria itu. Di suruh mengecek laporan yang seharusnya bisa dia kerjakan di ruangannya sendiri. Setelah itu dia mengira semuanya akan benar-benar selesai, ternyata..."Kenapa tidak sekalian tadi memberi tahu?" gerutu Nadira pelan, sambil menatap ponselnya.Bukannya Nadira tidak senang, ini bahkan sudah dia impikan dari beberapa bulan lalu. Bisa makan berdua dengan suaminya, tapi rasanya terlalu mendadak dan tidak masuk akal. Nadira merasa ada yang aneh dari perlakuan Vino. "Dia kenapa sih?"Satu pesan lagi masuk, "Aku tunggu di restoran, tiga pulih menit lagi.""Iya, Mas," balas Nadira singkat.Sebelum jam makan siang, dia mencoba fokus me
Sejak hari itu, hari ketika Vino tanpa sengaja melihat Nadira dan Doni mengobrol di depan ruang divisi administrasi umum, ada sesuatu yang berubah dari sikapnya. Sesuatu yang tidak pernah Nadira bayangkan akan muncul dari pria yang selama satu tahun ini menjadi suami kontraknya.Perubahan itu dimulai dengan hal yang tampak sepele.Pagi ini, ketika Nadira baru menyalakan komputer di mejanya, pesan masuk dari nomor Vino. Bukan dari Rama, tapi langsung dari Vino sendiri."Dira, datang ke ruanganku, sekarang!"Nadira mengerutkan kening saat membaca isi pesannya. Biasanya Vino hanya menyuruhnya melalui Rama, dan itu pun jarang sekali. Selama dia bekerja di sini, pertemuannya dengan Vino bisa di hitung dengan jari. Apa lagi sampai ke ruanannya, dia tidak pernah sama sekali menginjakkan kaki ke sana."Kenapa tiba-tiba menyuruh ke ruangannya?" gumamnya pelan.Nadira pun bergegas menuju lantai paling atas. Saat sampai di atas dia menghampiri meja karyawan yang ada di dekat ruangan CEO."Permis
Pagi terasa berjalan lambat hari itu. Vino memutuskan datang lebih awal ke kantor untuk meninjau laporan dari beberapa pabrik yang baru dia kunjungi minggu lalu. Dia sudah berjanji untuk mengurangi jadwal ke luar kota, jadi sekarang dia meminta Rama yang mengurus pekerjaan di luar kota dan bertemu klien.Dia biasanya langsung menuju lantai paling atas, ke ruangan CEO. Namun entah kenapa langkah kakinya membawanya ke lantai divisi tempat Nadira bekerja. Dia bilang pada dirinya itu hanya kebetulan, dia hanya ingin melihat aktivitas para karyawan. Tapi dalam hatinya, dia tahu itu hanya sebuah alasan untuk memastikan sesuatu.Ketika dia keluar dari lift, suara percakapan ringan dan gelak tawa kecil, samar terdengar dari arah ruang divisi administrasi umum. Vino tidak berniat mencari tahu, tapi langkahnya berhenti begitu saja ketika suara itu semakin jelas. "Suara Dira," batinnya.Dan satu suara pria yang terdengar begitu akrab mengobrol dengan Nadira.Vino berdiri beberapa meter dari rua
Malam itu menjadi makan malam keluarga yang yang hangat bagi Nadira. Untuk pertama kali dalam beberapa bulan, Vino tidak berada di luar kota. Dia pulang lebih cepat dari biasanya, langsung menuju rumah keluarga besarnya, tanpa singgah ke kantor.Nadira yang baru saja selesai membersihkan diri sepulang dari kantor, tampak terkejut ketika melihat Vino sudah duduk di sofa di kamar mereka."Mas..." ucapnya pelan sedikit terkejut, entah kenapa ada rasa bahagia di hatinya. Melihat Vino ada di kamar."Kamu... tidak keluar kota malam ini?" tanya Nadira pelan, sekedar memastikan."Besok pagi," jawab Vino singkat. Suaranya datar, tapi ada sedikit nada lelah yang tertangkap oleh Nadira.Vino berdiri, berjalan masuk ke kamar mandi. "Tunggu aku, kita turun sama-sama," pintanya pada Nadira.Nadira mengangguk pelan. "Iya."Ketika mereka sampai di ruang makan, Vina langsung tersenyum lebar. "Akhirnya, Kak Dira bisa makan malam bareng suami.""Ibu kira kamu sudah lupa jalan pulang, Vin.""Maaf, Bu. Ak
Suatu pagi di kantor, Doni datang dengan membawa dua gelas kopi. "Aku lihat kamu sibuk banget, masih pagi loh ini," katanya sambil menyodorkan segelas kopi.Nadira tertawa kecil, mengambil gelas. "Makasih, Don. Repot-repot deh.""Repot apanya," jawab Doni, namun menahan sisa kalimatnya. Yang seharusnya berbunyi "kalau untuk kamu, aku tidak akan merasa repot."Bagi Nadira, sikap itu hanya bentuk perhatian dari teman. Dia tidak pernah menganggapnya lebih dari itu. Nadira tidak menyadari tatapan Doni yang sedikit lebih lama dari saat pertama dia bergabung ke divisi ini, atau senyum gugup Doni ketika berbicara dekat dengannya.Mungkin karena dari awal Nadira sudah menjaga hatinya. Setiap kali nama Vino terlintas di pikirannya, dia otomatis menjaga jarak dan hatinya dari siapa pun. Meski Vino sendiri sedang jauh dan mungkin tidak peduli.Dia lebih sering bertukar pesan dengan Rama, menanyakan mereka sedang apa, sudah makan atau belum. Hanya sebatas itu, dia merasa segan untuk menanyakan l







