"Dasar menantu sialan! Beginilah kalau keseringan dimanja, lelet!" kakinya.
Edna duduk di sofa, mengacuhkan kesedihan juga kesengsaraan Lula saat ini. Lula dengan tubuh yang masih terasa sakit melilit tubuhnya dengan selimut dan meraih pakaiannya sambil terisak. Ia tersenyum miris dan berjalan sambil memperhatikan Edna yang tengah asik dengan ponselnya. Bahkan wanita paruh baya itu tertawa terbahak-bahak, entah apa yang membuatnya bahagia. Tak berselang lama Lula keluar dengan mengenakan pakaiannya semula, namun tidak dengan riasan wajah karena ia tak membawa itu semua. Edna menoleh, lalu mencebikkan bibirnya saat melihat kesedihan dan jejak air mata di wajah menantunya. Pria sialan itu juga nampaknya tak ingin merugi hingga meninggalkan banyak jejak merah hingga membiru di leher juga di lengan Lula yang sangat ketara. Lula berusaha menutupi tanda merah itu dengan rambut panjangnya, namun sayangnya tanda itu tak bisa ditutupi dengan sempurna. "Kenapa tidak merias diri?" tanya Edna sinis. "A-aku tidak bawa make up Mi," balas Lula dengan nada bergetar takut, bahkan wanita itu tak berani menatap wajah Edna seperti biasanya. "Bodoh! Benar-benar tak berguna. Menjauhlah dariku, jangan berjalan di dekatku. Aku tunggu kau di parkiran mobil," perintah Edna, lalu meninggalkan kamar itu dengan langkah kesal. Lula menghela napas kasar. Ia meringis kesakitan saat hendak mengambil langkah maju. Meski begitu Lula masih berusaha berjalan sambil menahan rasa perih dan sakit akibat perbuatan orang asing tadi. Lula berjalan dengan kaku, bahkan langkahnya mampu menyita perhatian orang-orang yang dilintasinya. Tak sedikit orang yang menatapnya dengan tatapan hina. Membuat Lula malu dan tak berani mengangkat wajahnya. "Lula," sapa seorang pria seusia Arhan. "K-kak F-frans," balas Lula mengenal suara yang tak asing baginya. Suara pria yang selama ini menjadi sahabat suaminya. Frans Kristian, pria tampan yang tak lain adalah sabahabt juga rekan bisnis Arhan. Frans sangat dekat dengan suami Lula, namun sayang pria itu belum juga menikah di usia matangnya. Mata biru pria itu menelisik tanda merah kebiruan yang ada di tubuh Lula, sampai keningnya mengerenyit, heran. Tentu hal itu membuat Lula tersadar dan berusaha menutupi tanda merah itu dengan gerakan samar agar tak terlihat oleh Frans. Degh... Degh... Degh... Jantung Lula bergemuruh hebat, ia takut Frans mengadukan hal ini pada Arhan. Beruntungnya kegugupan itu tak berlangsung lama karena Frans mendapat panggilan dan wajah pria itu terlihat begitu cemas. "La, aku harus pulang ke London , ibuku sedang sakit. Aku tinggal ya, salam untuk Arhan," ucapnya memburu membuat Lula mengangguk dan menghela napas lega. "Baik, titip salam untuk ibumu, semoga beliau cepat pulih dan diangkat seluruh penyakitnya," balas Lula sambil tersenyum, berusaha menutupi kegugupannya. "Terima kasih doanya, aku permisi." Frans berbalik dan mengambil langkah maju, namun baru beberapa langkah pria itu menoleh ke belakang dan kembali mengampiri Lula karena rasa penasarannya. "La, aku lihat ada yang tak beres denganmu, terlebih ada tanda merah di sana." tunjuk Frans pada leher Lula. "Setahuku Arhan sedang di Bali, kau tidak selingkuh kan? Atau ada yang berbuat buruk padamu?" sambungnya, lalu tersadar ketika melihat pipi Lula yang terdapat kemerahan, seperti sebuah tamparan yang cukup kuat hingga mampu menimbulkan jejak. Degh... Degh... Degh... 'Bagaimana ini? Apakah aku ceritakan saja pada Kak Frans kalau Mami menjualku? Aku takut Mami melakukan hal yang sama selama Mas Arhan di Bali. T-tapi....' batin Lula gamang dan takut bersamaan sambil menatap wajah Frans dengan lekat. “Kenapa diam saja?” tanya Frans karena hanya melihat keterdiaman Lula. Lula menggeleng, ia memaksakan senyumnya di hadapan Frans. “Sebelum Mas Arhan pergi kami melakukannya, aku di sini bersama Mami,” balas Lula berbohong. Frans menghela napas lega, lalu tanpa sengaja ia melihat Edna yang baru saja keluar dari pintu utama hotel. “Baguslah, kalau ada apa-apa hubungi aku,” ucap Frans lalu kembali meninggalkan Lula. Lula bisa bernapas lega karena Frans tak memberikan pertanyaan yang akan menyulitkannya lagi. Lula yakin, ia tak bisa menceritakan hal ini pada siapappun. Ia malu pada dirinya sendiri, terlebih pada Frans yang sudah menganggapnya seperti adik. “Sudahlah, lagi pula kalau Kak Frans mengadu ke Mas Arhan, Mas Arhan tidak akan percaya. Tapi bagaimana menghadapi Mami?” gumamnya sambil mengambil langkah maju, arah pandangnya pun tak lepas dari sang ibu mertua yang kini sedang menunggunya. Edna terus memainkan ponsel, ia terkekeh dan tersenyum saat mematut layar ponsel tersebut. “Kenapa tidak dari dulu aku menjualnya, lumayan uangnya buat bersenang-senang,” gumam Edna tanpa ada rasa bersalah sedikit pun. “Ah ya, aku kenalkan saja dia dengan Maria, biar Maria yang mencarikan klien untuk Lula. Dan aku fokus mencari istri baru untuk Arhan, yang jelas wanita yang bisa memberiku cucu,” sambungnya.Teriakan Lula terdengar sampai ke luar rumah, menarik perhatian beberapa tetangga yang sedang melintas. Ibu Lula segera masuk ke kamar dengan napas tersengal, menemukan putrinya berdiri gemetar, dengan tangan mencengkeram sisi ranjang. "Lula, Nak... tenang, Ibu di sini," ujar ibunya lembut, mencoba mendekati. Namun, Lula mundur ke sudut kamar, tubuhnya berguncang hebat. "Mereka semua jahat, Bu... mereka bicara di belakangku, mereka bilang aku lemah... aku... aku tidak butuh mereka!" Matanya penuh air mata, suaranya melengking penuh rasa sakit. Ayah Lula menyusul masuk, wajahnya tegang. "Apa yang terjadi, Bu?" tanyanya sambil menatap putrinya yang mulai tersedu-sedu. "Lula mendengar sesuatu, Pak... mungkin tentang gosip itu," jawab istrinya, suaranya bergetar. "Diam semua! Jangan mendekat!" Lula berteriak lagi, matanya liar memandang orang tuanya. Ia seperti terjebak dalam pikirannya sendiri, mengingat kembali kejadian-kejadian yang menghancurkan dirinya. Ayah Lula mengepalkan ta
"Aku harus menemui Lula, aku nggak bisa kehilangan dia," racau Arhan sambil menatap punggung ayah mertuanya yang kian menjauh. Langkah Arhan terasa berat saat ia mengikuti ayah mertuanya yang berjalan cepat menuju kamar Lula. Tubuhnya terasa lemas, tidak hanya karena kelelahan fisik tetapi juga karena beban emosional yang terus menekan dadanya. Setiap langkah seolah menjadi pengingat atas kesalahan-kesalahan yang ia biarkan terjadi. Sesampainya di depan pintu kamar Lula, Arhan memberanikan diri untuk berbicara. "Pak, saya mohon… izinkan saya melihat Lula. Saya hanya ingin memastikan dia baik-baik saja," pintanya dengan suara parau, penuh harap. Namun, ayah Lula menatapnya dengan dingin, lalu menggeleng tegas. "Kamu nggak berhak menemui Lula. Cukup sudah. Jangan tambah beban hidupnya," ucapnya keras. Arhan menunduk, air mata mengalir di wajahnya. Ia tidak bisa melawan keputusan itu, hanya bisa berdiri terpaku di depan pintu. Saat pintu kamar tertutup, ia melangkah mundur, menatap
"Pak, sebenarnya apa yang terjadi dengan Lula?" tanya ibu Lula sambil terisak. "Bapak juga nggak tahu, Bu. Semoga bukan hal buruk, semoga Lula hanya bermimpi," balasnya penuh harap, berharap keadaan putrinya tak seburuk yang ia pikirkan. Setelah perawat memberikan Lula obat penenang, suasana di ruang rawat perlahan kembali sunyi. Kedua orang tua Lula duduk di kursi dekat tempat tidur dengan wajah penuh kecemasan. Sang ibu terus menggenggam tangan anaknya yang terkulai lemah, sementara sang ayah hanya bisa mondar-mandir dengan ekspresi penuh ketegangan. Waktu terasa berjalan sangat lambat. Berjam-jam mereka menunggu Lula sadarkan diri, perasaan khawatir semakin menghimpit dada. Hingga akhirnya, saat malam mulai larut, Lula perlahan membuka matanya. Tubuhnya yang lemah bergerak sedikit, dan air mata mulai mengalir di sudut matanya. "Lula... Nak, kamu sudah sadar?" tanya ibunya dengan suara penuh haru. Ia segera mendekat, menggenggam tangan putrinya. "Ibu... Bapak..." suara Lula be
"Semua ini salahku. Ini semua salahku," racau Arhan sambil memukuli tembok. Tangisan Arhan pecah di depan ruang tindakan. Tubuhnya bergetar hebat, dan rasa bersalah mulai menyelimuti pikirannya. Ia teringat pada Lula, wajah istrinya yang ceria, suara lembutnya, dan setiap kenangan yang mereka bagi. Semua itu terasa seperti mimpi yang perlahan berubah menjadi mimpi buruk. Dokter yang tadi berbicara dengan Arhan segera masuk kembali ke ruang tindakan, sementara beberapa perawat yang membawa tandu keluar dari ruangan itu terlihat sibuk menuju koridor lain. Arhan terus memandangi pintu ruang tindakan, berharap ada keajaiban yang datang. Orang tua Lula pun hanya bisa diam, tak berani berkata banyak melihat kondisi Arhan yang semakin kacau. Tak lama, salah satu dokter keluar lagi dari ruang tindakan. Kali ini, ekspresi wajahnya terlihat sedikit lega meskipun tetap serius. "Pak, istri Anda selamat. Kami berhasil menghentikan pendarahannya, tetapi... maafkan kami. Kami tidak bisa menyelama
"Dokter! Cepat bantu wanita ini! Cepat!" teriak Pak tua yang menolong Lula. Pria itu menggendong Lula dengan sisa tenaga yang ia miliki, meski dengan langkah tertatih. Beberapa petugas kesehatan pun mulai berlari ke arahnya, mengambil alih tubuh Lula. "Selamatkan dia, saya mohon," pinta Pak tua tak tega dengan nasib Lula. Lula terbaring lemah di ruang rumah sakit, tubuhnya dipenuhi luka-luka dan pendarahan yang cukup parah. Dokter yang memeriksa dengan cepat memberi tahu pria tua yang menolongnya, bahwa ada tulang lengan Lula yang patah. Selain itu, pendarahan yang terjadi sangat mengkhawatirkan, yang akhirnya mengonfirmasi bahwa janin di rahim Lula telah keguguran. "Apa? Separah itu?!" tanyanya Terkejut. "Ya, sepertinya dia terkena benturan keras. Kalau Anda bilang menemukannya di jalan, bisa saja dia tertabrak kendaraan yang melintas," balas Dokter dengan wajah serius. Pria tua itu meluruhkan pundaknya, menatap nanar pada ruang tindakan yang ada di hadapannya. "Anda bisa
"Cepat periksa semua ruangan, kepung mereka agar tidak ada yang bisa melarikan diri!" teriak komandan polisi. Polisi sudah mulai menggeledah rumah itu. Mereka masuk ke setiap ruangan, membuka pintu-pintu tersembunyi, bahkan merekam segala aktivitas aneh yang ditemukan. Beberapa wanita tampak ketakutan, tapi tak ada jejak Lula. Arhan langsung mencari Stella, perempuan yang dulu mengelola tempat ini. Tentu ia tahu nama mucikari itu dari Frans yang telah menceritakan segalanya. Dia berdiri di ruang tamu dengan wajah santai seolah tak ada yang salah. “Stella!” Arhan mendekat dengan langkah cepat. “Di mana Lula?!” suaranya keras, penuh amarah. Stella hanya mengangkat bahu sambil tersenyum tipis. “Aku nggak tahu siapa yang kamu cari.” “Jangan pura-pura bodoh!” Arhan menunjuk wajahnya. “Kamu pasti tahu sesuatu! Katakan di mana dia!” Stella terkekeh pelan. “Serius. Sudah lama aku nggak urus bisnis kayak gini. Tempat ini udah bersih. Nggak ada yang namanya perdagangan perempuan lagi.”